PARKINSON’S DISEASE
PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
Sandi Kurniawan
NIM : 030.13.174
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Parkinson’s disease” dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah periode 28
Maret 2018 – 30 April 2018. Di samping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk menambah
pengetahuan bagi kita semua tentang Parkinson’s disease.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada dr. Haryo Teguh, Sp.S selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada
dokter–dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada rekan–rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah
Sakit Umum Daerah Kardinah serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan
bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun
saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesar–besarnya,
semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Penulis
Sandi Kurniawan
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Secara klinis, Penyakit parkinson dapat ditandai dengan resting tremor, rigiditas,
bradikinesia, dan gait impairment. Tanda- tanda ini dikenal sebagai cardinal features dari
penyakit parkinson. Adapun gejala tambahan seperti freezing, ketidakstabilan postural,
kesulitan berbicara, gangguan sistem otonom, gangguan pada sistem sensoris, gangguan
mood, gangguan tidur, gangguan fungsi kognitif, dan dementia dapat timbul pada penyakit
ini.1
Secara patologis, pada Parkinson dijumpai degenerasi dari dopaminergic neuron pada
substansia nigra pars kompakta dan lewy body. 1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
2.2 Klasifikasi 4
2.3.Etiologi 5
antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional(belum diketahui), reaksi abnormal
2
terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui,
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu
kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Akibatnya,
bagaimana kerusakan itu belum jelas benar. Beberapa hal yang diduga bisa menyebabkan
1. Usia : Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari
10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang
parkinson.
2. Geografi : Di Libya 31 dari 100.000 orang, di Buinos aires 657 per 100.000 orang. Faktor
resiko yang mempengaruhi perbedaan angka secara geografis ini termasuk adanya
perbedaaan genetik, kekebalan terhadap penyakit dan paparan terhadap faktor lingkungan.
berhubungan dengan hasil pemaparan lingkungan yang episodik, misalnya proses infeksi,
industrialisasi ataupun gaya hidup. Data dari Mayo Klinik di Minessota, tidak terjadi
perubahan besar pada angka morbiditas antara tahun 1935 sampai tahun 1990. Hal ini
mungkin karena faktor lingkungan secara relatif kurang berpengaruh terhadap timbulnya
penyakit parkinson.6
4. Genetik : Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit
parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1)
pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal
resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di
kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria. Adanya riwayat
3
penyakit parkinson pada keluarga meningkatkan faktor resiko menderita penyakit
parkinson sebesar 8,8 kali pada usia kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari
70 tahun. Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh keturunan, gejala parkinsonisme
tampak pada usia relatif muda. Kasus-kasus genetika di USA sangat sedikit, belum
ditemukan kasus genetika pada 100 penderita yang diperiksa. Di Eropa pun demikian.
Penelitian di Jerman menemukan hasil nol pada 70 penderita. Contoh klasik dari penyebab
genetika ditemukan pada keluarga-keluarga di Italia karena kasus penyakit itu terjadi pada
usia 46 tahun. 7
5. Faktor Lingkungan
a. Xenobiotik
mitokondria.
b. Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama.
c. Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi penyakit
parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya
d. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu mekanisme
e. Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski peranannya masih
4
f. Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik. Depresi dan
stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stress dan depresi terjadi
peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif. Jika penyakit murni tidak
didahului trauma atau stroke, dikatakan penyakit Parkinson atau primer parkinsonisme.Tetapi
jika diawali dengan trauma, dikatakan parkinsonisme. Trauma kepala juga berhubungan
dengan penyakit Parkinson pada usia muda. Resiko menderita penyakit parkinson rendah
2.4 Patofisiologi 6
Kelainan utama pada penyakit Parkinson yang idiopatik maupun pada postensefalitik
adalah hilangnya sel-sel berpigmen di substansia nigra dan nukleus berpigmen lainnya (locus
ceruleus, nukleus motorik dorsalis vagus). Dengan berkurang atau hilangnya sel-sel neuron
dopaminergik di substansia nigra, akan mengakibatkan hilangnya neuron dopaminergik
nigro-striatum.
Dalam keadaan normal, neuron ini memproduksi Dopamin. Dopamin merupakan
neurotransmitter yang berperan dalam transmisi sinyal untuk kontrol dan koordinasi gerakan
motorik halus. Kerusakan sel-sel neuron substansia nigra menyebabkan berkurangnya
produksi dopamin sehingga akan mengganggu fungsi motorik.
Penyebab kerusakan belum jelas diketahui. Diduga terdapat 4 mekanisme kematian
sel yang menimbulkan degenerasi neuron yaitu stress oksidatif, toksin dari lingkungan,
predisposisi genetik dan percepatan penuaan. Pada stress oksidatif diduga menyebabkan
kematian sel neuron secara langsung.
Toksin lingkungan seperti Sianida, CO, pestisida, obat neuroleptik menyebabkan
gangguan metabolisme sel neuron dopaminergik secara selektif sehingga pada akhirnya
menimbulkan degenerasi sel. Terdapat beberapa gen yang diduga berhubungan dengan
5
penyakit ini yaitu gen yang mengkode protein “parkin” pada kromosom 6. Mutasi pada gen
tersebut menyebabkan Parkinsonism secara autosomal resesif. Onset terjadi sebelum usia 40
tahun dan progresivitas berjalan lambat. Selain itu terdapat juga gen untuk protein alpha-
synuclein pada kromosom 4 yang diduga berhubungan dengan terjadinya penyakit Parkinson.
Pada penyakit Parkinson, terjadi percepatan degenerasi neuron dopaminergik oleh
sebab yang belum diketahui sehingga menimbulkan gejala klinik. Berbagai keadaan tersebut
menimbulkan destruksi sel-sel neuron melanin penghasil dopamin pada pars kompakta
substansia nigra sehingga secara makroskopis terhadi depigmentasi. Secara mikroskopis,
terjadi pengurangan jumlah sel neuron melanin, dimana sel-sel yang tersisa mengandung
badan-badan inklusi eosinofilik di sitoplasma yang dikelilingi oleh halo sehingga disebut
sebagai Lewy bodies.
6
Sinyal-sinyal dari korteks cerebri akan diproses melalui ganglia basalis-talamokortikal
dan kembali ke area yang sama melalui mekanisme feedback. Ada dua jalur di jaras tersebut,
yaitu jalur direk dan jalur indirek. Pada jalur direk, striatum secara langsung menghambat
globus palidus pars interna dan substansia nigra pars reticulata. Pada jalur indirek, inhibisi
oleh striatum ke glonbus palidus pars interna dan substansia nigra pars reticulata terjadi
melalui hambatan ke globus palidus pars externa dan nucleus subtalamus.
Jaras nigro-striatal ini berperan penting dalam mengatur fungsi gerakan halus. Untuk
fungsi yang normal, perlu ada keseimbangan antara komponen dopaminergik yang
menghambat dengan sistem kolinergik yang mengeksitasi. Dopamin disekresikan dari
neuron-neuron nigrostriatal (substansia nigra pars kompakta) untuk mengaktivasi jalur direk
dan menghambat jalur indirek.
Gejala Parkinson timbul bila terdapat disproporsi fungsional antata kedua komponen
(inhibisi dan eksitasi) dimana hasil akhirnya terjadi penurunan dopamin di striatum sehingga
terjadi peningkatan efek inhibisi ke globus palidus secara direk maupun indirek. Peningkatan
efek inhibisi di jalur talamokortikal tersebut menyebabkan penekanan pada gerakan sehingga
gerakan menjadi lamban, sulit, gerakan asosiatif berkurang, gerakan spontan berkurang.
7
2.5. Manifestasi Klinis
1. Rigiditas
Mungkin hanya terbatas pada satu kelompok otot dan terutama unilateral atau dapat
menyebar dan bilateral. Parkinsonisme menurunkan kekuatan dan menurunkankecepatan
otot, dan merupakan faktor utama dalam terjadinya deformitas akibat sindrom ini. Gejala
pasif yang melibatkan ekstrimitas atau trunkus mengalami resistensi “traffylike” yang relatif
stabil melalui kisaran gerakan. Parkinsonisme telah dibandingkan dengan pipa saluran yang
ditekuk sehingga kadang disebut rigiditas pipa saluran. “Catches “ sering timbul selama
gerakan pasif, menyebabkan karakter roda pedati atau “rachetlike”pada rigiditas yang
disebut rigiditas roda pedati. Otot fleksor maupun ekstensor berkontraksi kuat(tonus
meningkat), mengindikasikan adanya gangguan kontrol pada kelompok otot yang
bersebrangan.
2. Tremor
Akibat parkinsonisme timbul pada saat istirahat dan disebut tremor istirahat.
Ketika otot menegang untuk melakukan tindakan yang bertujuan, biasanya tremor akan
berhenti. (sekitar sepertiga pasien mengalami tremor yang hebat bersamaan dengan tremor
istirahat, namun seperti yang telah disebutkan, tremor hebat biasanya berkaitan dengan
disfungsi serebelum). Tremor yang melibatkan tangan dijelaskan sebagai pill rolling dan
mengakibatkan gerakan ritmis ibu jari pertama dan kedua. Tremor adalah akibat dari
kontraksi bergantian yang regular (4 hingga 6 siklus per detik) pada otot yang berlawanan.
Tremor sepertinya akan memburuk jika pasien lelah, di bawah tekanan emosi, atau terfokus
pada tremor. Dasar tremor tidak jelas. Degenerasi ganglia basalis menyebabkan hilangnya
pengaruh inhibitor dan menigkatkan timbal balik berbagai sirkuit yang berakibat dalam
osilasi. Tidak semua pasien memiliki tremor yang jelas. Bila pasien secara tidak sengaja
mengalami kejadian serebrovaskular (CVA, stroke) dan timbul hemiplegia, tremor akan
hilang pada bagian yang paralisis.
8
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda
akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan
sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit
mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga
penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi.
Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang,
sehingga sering keluar air liur.7
3. Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif misalnya sulit
untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila
berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya
ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti
topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah sering
keluar dari mulut.7,8,9
4.Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini
merupakan gejala dini, berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat
(marche a petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan,
punggung melengkung bila berjalan.7
5.Sering pula terjadi bicara monoton karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita
suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan
volume suara halus ( suara bisikan ) yang lambat. 7
6.Demensia, adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan defisit
kognitif. Gangguan Behavioral, lambat-laun menjadi dependen ( tergantung kepada orang
lain ), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap
pertanyaan lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal
diberi waktu yang cukup, dan gejala lain yaitu kedua mata berkedip-kedip pada pengetukan
diatas pangkal hidungnya (tanda Myerson positif) 7,8,9
9
Ada pula gejala non motorik yaitu :
1. Disfungsi otonom
a. Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia,
dan adanya hipotensi ortostatik.
b. Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
c. Pengeluaran urin yang banyak
d. Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual,
perilaku, orgasme.
2. Gangguan afek penderita sering mengalami depresi
3. Ganguan kognitif, lamban menanggapi rangsangan
4. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
5. Gangguan sensasi,
a. Kepekaan kontras visual lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna
b. Penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension
orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian
tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan
c. Berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra penciuman ( microsmia atau anosmia).
10
tidak dapat dibedakan dari gejala awal gangguan gerak neurodegeneratif yang jarang
terjadi dan secara terpisah disebut palsi supranuklear progressive (PSP).
2. Krisis okuligirik : spasme otot mata untuk berkonjugasi dengan mata yang terfiksasi
biasanya pada pandangan ke atas, selama beberapa menit hingga beberapa jam; berkaitan
dengan parkinsonisme yang berasal dari eksogen, seperti penggunaan obat atau
pascaensefalitis.
3. Kelelahan dan nyeri otot yang akibat rigiditas.
4. Hipotensipostural akibat efek samping pengobatan
5. Gangguan fungsi pernapasan yang berkaitan dengan hipoventilasi, aspirasi makanan atau
saliva, dan berkurangnya bersihan jalan napas.
11
12
Hingga saat ini, terdapat beberapa skala penilaian untuk menilai dan mengevaluasi
adanya disfungsi motorik pada pasien penyakit Parkinson. Namun sebagian besar dari skala
penilaian tersebut, tidak memiliki hasil yang valid dan tidak sepenuhnya dapat dipercaya.
Skala menurut Hoehn dan Yahr merupakan skala penilaian yang paling sering
digunakan untuk menggambarkan progresifitas penyakit.
2,6 Diagnosis13
Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson dapat berdasarkan kriteria:
1. Secara klinis
- Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik : tremor, rigiditas,
bradikinesia, atau
- 3 dari 4 tanda motorik : tremor, rigiditas, bradikinesia dan ketidakstabilan
postural.
2. Berdasarkan UK Parkinson’s Disease Society Brain Bank (UKPDSBB)
Clinical Diagnostic Criteria dan NINDS criteria13
14
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena
tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson.
Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing, darah maupun
cairan otak akan menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan kontrol. Lebih
lanjut, dalam keadaan tidak ada penanda biologis yang spesifik penyakit, maka
15
diagnosis definitive terhadap penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi.
Dua penelitian patologis terpisah berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita
memenuhi kriteria patologis aktual, sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain
untuk parkinsonisme tersebut.(14)
16
c. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh
SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus
dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan ke
striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55,
berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena
maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang
berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek
dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11% pada
pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit Parkinson dini yang
dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan untuk memvisualisasi dan
menghitung degenerasi sel saraf nigrostriatal pada penyakit Parkinson.
Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang
menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna dalam
mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai
suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik
tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut sebagai
metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi farmakologis baru, sekarang
sedang diselidiki.14
17
2.9 Penatalaksanaan
Saat ini, terapi obat terhadap penyakit Parkinson merupakan simptomatis.
Mengingat obat-obat ini mempunyai efek samping jangka pendek dan jangka panjang
yang dapat mengganggu, dianjurkan untuk tidak memulai terapi bila penyakit Parkinson
yang diderita belum mengakibatkan gangguan. Banyak teori yang mengemukakan baik-
buruknya obat-obat tertentu dalam menangani penyakit Parkinson, namun kebanyakan
teori ini didasarkan atas eksperimen dan penelitian di lapangan yang masih terbatas.16
a. Medikamentosa
1. Obat dopaminergik17
Prekursor dopamine
Levodopa atau L-dopa merupakan prekursor dopamine. Pada terapi Parkinson, tidak dapat
secara langsung diberikan dopamin eksogen sebab dopamin dalam darah tidak dapat
menembus blood brain barier. Hal ini berbeda dengan levodopa, dimana levodopa yang
diserap dalam saluran cerna melalui transport aktif menuju darah, dan mampu menembus
blood brain barier. Kemudian levodopa dikonversi menjadi dopamine di otak dengan
bantuan enzim dopa dekarboksilase.17 Lebih dari 90% levodopa dimetabolisme menjadi
dopamine oleh dekarboksilase dopa perifer (diluar SSP) dan kadar yang sampai ke otak
kurang dari 2%, sehingga levodopa perlu diberikan dalam dosis tinggi. Akan tetapi, kadar
dopamine yang tinggi di perifer dapat menyebabkan efek samping otonomik yang hebat. Efek
samping otonomik yang hebat ini dapat dikurangi dengan pemberian bersama-sama dengan
inhibitor enzim dopa dekarboksilase perifer, yaitu karbidopa.
Berdasarkan gambaran gejala klinis, pasien dengan PD dikelompokkan ke dalam 3
kategori dasar yaitu kategori ringan, sedang dan berat. Pada tingkat ringan (3-5 tahun pertama
setelah diagnosis), respon terhadap levodopa masih baik dan efek yang menguntungkan ini
menetap walaupun dosis yang diberikan tidak bersifat individual. Pada tingkat sedang
biasanya setelah 5-10 tahun di diagnosa, biasanya 50-70% pasien memperlihatkan komplikasi
motorik yang diinduksi oleh obat (drug induce) berupa periode “on” dan “off”. Waktu
periode “on” pasien tampak berrespon terhadap obat tapi waktu periode “off” gejala
parkinson kembali kambuh.13Pada kategori ketiga (berat) pasien PD yang lanjut sudah terjadi
kerusakan motorik yang progresif meskipun telah mendapat terapi levodopa, dan tidak
berespon secara baik terhadap pengobatan yang menyebabkan timbulnya komplikasi motorik
seperti fluktuasi dan diskinesia dan mungkin sulit diobati, bahkan tidak mungkin dapat
dikontrol dengan terapi obat.Untuk mencegah timbulnya efek samping dari penggunaan
levodopa tersebut,saat ini strategi penundaan pemberian levodopa lebih diterapkan.17
18
Levodopa diberikan ketika gejala parkinson pada pasien sudah mulai menyebabkan gangguan
fungsional dalam kehidupan sehari-hari.17
Dopa dekarboksilase inhibitor
Karbidopa dan benserazid merupakan dopadekarboksilase inhibitor pada jaringan perifer,
tetapi tidak masuk susunan saraf pusat. Karena tidak dapat melewati blood brain barier,
sebagai hasilnya karbidopa menurunkan kadar dopamine di perifer, tetapi tidak di susunan
saraf pusat.
Dopamin agonis
Oleh karena perlunya penundaan pemberian levodopa pada tahap awal penyakit Parkinson,
para ahli parkinsonologist merekomendasikan pemberian obat-obat dopamine agonis sebagai
terapi awal atau inisial dari golongan obat dopaminergik. Obat-obat dopamine agonis bekerja
dengan mengaktivasi reseptor dopamine secara langsung, dimana berdasarkan studi
penemuan klinis dan eksperimental menemukan bahwa aktivasi reseptor dopamin yang
penting adalah reseptor dopamin D2 dalam memediasi efek antiparkinsonian dari dopamine
agonis. Akan tetapi, beberapa penelitian saat ini juga menyatakan bahwa stimulasi reseptor
D1 dan D2 dibutuhkan terhadap peningkatan optimal efek terhadap fungsi fisiologis dan
perilaku.
Dopamine agonis terdiri atas derivat ergot (bromocriptine, cabergoline, lisuride and
pergolide) dan derivat non-ergot (pramipexole and ropinirole). Derivat non-ergot memiliki
resiko komplikasi yang lebih rendah dibandingkan derivat ergot. Komplikasi yang terjadi
dapat berupa ulkus peptikum, efek vasokonstriktif, fibrosis retroperitoneal, penyakit katup
jantung, dan reaksi serosal berupa efusi pleura, perikardial, dan peritoneal. Oleh karena obat-
obat derivat ergot berpotensi cukup kuat terhadap kejadian penyakit jantung katup,
penggunaan obat golongan ini sudah sangat terbatas.
Pramiprexole merupakan obat yang aman dan efektif apabila digunakan sebagai
monoterapi pada tahap awal Parkinson. Pramiprexole juga digunakan sebagai neuroprotektif
dan dapat meningkatkan aktivitas neurotropik pada dopaminergik mesensefali. Penggunaan
ropirinole juga merupakan obat yang aman dan efektif pada tahap awal penyakit Parkinson,
hanya saja ropirinole berisko lebih tinggi terhadap kejadian hipotensi dan somnolen.17
MAO-B Inhibitor
Selegilline dan rasagiline merupakan obat golongan MAO-Inhibitor. MAO-B Inhibitor
memblok metabolisme dopamine sehingga kadarnya tetap meningkat di striatum.
COMT Inhibitor
19
Entacapon dan tolcapon merupakan obat golongan COMT-Inhibitor. Obat golongan COMT
Inhibitor menghambat degradasi dopamine menjadi 3-O-methyldopa oleh enzim COMT,
terutama di perifer da meningkatkan jumlah levodopa yang melewati sawar darah otak.
12
Tolcapon kini sudah tidak digunakan di negara Eropa setelah 3 pasien meninggal akibat
toksisitas hepar terhadap obat tersebut. Entacapom mengurangi waktu “off” dari dosis
levodopa, dan mengurangi-sedang-gangguan motorik dan disabilitas.
1) Obat Non-dopaminergik
Antikolinergik
Triheksifenidil dan benztropine merupakan obat antikolinergik. Obat ini menghambat sistem
kolinergik di ganglia basal dengan menghambat aksi neurotransmitter asetilkolin, sehingga
mampu membantu dalam menjaga keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga
dapat mengurangi gejala tremor.
Efek samping obat antikolinergik perifer mencakup pandangan menjadi kabur, mulut kering,
retensi urin. Piridostigmin, sampai 60 mg, 3x sehari, dapat membantu mengatasi mulut kering
dan kesulitan miksi. Efek samping sentral terutama adalah pelupa dan menurunnya memori
jangka pendek. Kadang-kadang dapat dijumpai halusinasi dan psikosis, terutama pada
kelompok usia lanjut, sehingga dapat digunakan obat antikolinergik yang lebih lemah, seperti
difenhidramin (Benadryl), orfenadrin (Norflex), amitriptilin.16
Amantadin
Bekerja dengan membebaskan dopamin dari vesikel prasinaptik.
20
Pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menangani penyakit Parkinson stadium dini
adalah:
2) Prevensi fluktuasi
Penggunaan agonis dopamin sebagai obat inisiasi atau pemula dapat mengurangi resiko
timbulnya diskinesia, wearing off dan on-fluctuations.
3) Usia pasien
Pasien penyakit Parkinson usia muda (<65 tahun) umumnya lebih mampu
mentoleransi medikasi dan resiko terjadinya efek samping lebih rendah. [asoen berusia
lanjut mengalami kesulitan dengan efek samping kognitif fan psikiatrik. Pada kelompok
usia lanjyt, obat antikolinergik dan amantadin digunakan secara hati-hati. Agonis
dopamin mungkin juga disertai efek samping yang lebih banyak pada usia lanut.
4) Profil efek-samping obat
21
Bila pasien takut akan kemungkinan ia mengantuk dan dapat membahayakan bila ia
mengendarai, atau ia tidak dapat mentolerir gangguan kognisi, maka agonis dopamin
bukanlah pilihan yang baik.
Terapi simptomatik didasarkan atas kebutuhan pasien dan harus direevaluasi secara
berkala, sesuai dengan progresivitas penyakit.
a. Edukasi
b. Terapi rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan
menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi masalah-masalah sebagai berikut :
22
Abnormalitas gerakan, Kecenderungan postur tubuh yang salah, Gejala otonom, Gangguan perawatan
diri (Activity of Daily Living – ADL), dan Perubahan psikologik. Latihan yang diperlukan penderita
parkinson meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi.
Latihan fisioterapi meliputi : latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan
frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai, latihan isometrik untuk
kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari
kursi.
Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian ADL pasien, pengkajian lingkungan tempat tinggal
atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai bermacam strategi, yaitu :
~ Strategi kognitif : untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas dan tidak cepat, mampu
menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual dan hanya melakukan satu tugas kognitif maupun
motorik.
~ Strategi gerak : seperti bila akan belok saat berjalan gunakan tikungan yang agak lebar, jarak kedua
kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dilantai.
~ Strategi keseimbangan : melakukan ADL dengan duduk atau berdiri dengan kedua kaki terbuka
lebar dan dengan lengan berpegangan pada dinding. Hindari eskalator atau pintu berputar. Saat
bejalan di tempat ramai atau lantai tidak rata harus konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat
sekitar. Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi kognitif, kepribadian, status mental
pasien dan keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif dan
melakukan intervensi psikoterapi.21
c. Terapi Suara
Perawatan yang paling besar untuk kekacauan suara yang diakibatkan oleh penyakit
Parkinson adalah dengan Lee Silverman Voice Treatment ( LSVT ). LSVT fokus untuk
meningkatkan volume suara. Suatu studi menemukan bahwa alat elektronik yang
menyediakan umpan balik indera pendengar atau frequency auditory feedback (FAF) untuk
meningkatkan kejernihan suara.
d. Terapi gen
Pada saat sekarang ini, penyelidikan telah dilakukan hingga tahap terapi gen yang
melibatkan penggunaan virus yang tidak berbahaya yang dikirim ke bagian otak yang disebut
subthalamic nucleus (STN). Gen yang digunakan memerintahkan untuk mempoduksi sebuah
enzim yang disebut glutamic acid decarboxylase (GAD) yang mempercepat produksi
23
neurotransmitter (GABA). GABA bertindak sebagai penghambat langsung sel yang terlalu
aktif di STN.
Terapi lain yang sedang dikembangkan adalah GDNF. Infus GDNF (glial-derived
neurotrophic factor) pada ganglia basal dengan menggunakan implant kathether melalui
operasi. Dengan berbagai reaksi biokimia, GDNF akan merangsang pembentukan L-dopa.
e. Pencangkokan syaraf
Cangkok sel stem secara genetik untuk memproduksi dopamine atau sel stem yang
berubah menjadi sel memproduksi dopamine telah mulai dilakukan. Percobaan pertama yang
dilakukan adalah randomized double-blind sham-placebo dengan pencangkokan
dopaminergik yang gagal menunjukkan peningkatan mutu hidup untuk pasien di bawah
umur.22
2.10 Prognosis 12
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan
perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka
penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi
mengalami progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan
fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan
gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan
terkadang dapat sangat parah.
PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang sejalan
dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD pada umumnya lebih rendah
dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada tahap akhir, PD dapat menyebabkan komplikasi
seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian. Progresifitas
gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang
dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini
pada masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakan pasien PD dapat
hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Longo DL dkk. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi 18. New York:
McGraw- Hill company; 2012. Hal 3317- 3327
2. American Parkinson Disease Assosiation. Handbook of Parkinson Disease. USA:
American Parkinson Disease Assosiation Inc; 2010. p. 1- 2
3. Parkinson Management. Available at: file:///C:/Users/user/Downloads/C123_1781-
1794.pdf Access on August 15th 2015
4. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Edisi 4. Jakarta: EGC;
2010. Hal 301- 303
5. 12.Jankovic. J, Tolosa. E. Parkinson’s Disease And Movements Disorders 4th.
Philadelpia : Lippincott &Wilkins;2002. P 91-99, 39-53
6. Parkinson. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1831191-
overview#a2 Access on August 15th 2015
7. Reichmann H. Clinical criteria for Diagnosis Parkinson Disease. German:
Neurodegenerative Dis; 2010;7:284–290 DOI: 10.1159/000314478
8. Zigmond MJ. Pathofisiology of parkinson. Available at:
https://www.google.co.id/search?q=pathophysiology+of+parkinson+disease+pdf&oq
=pathophysiology+of+par&aqs=chrome.1.69i57j0l5.12085j0j7&sourceid=chrome&e
s_sm=93&ie=UTF-8 Access on August 15th 2015
10. Massachusetts General Hospital. Hoehn and Yahr staging for parkinson disease.
Available at: http://neurosurgery.mgh.harvard.edu/functional/pdstages.htm Access on
August 15th 2015
11. Agoes, Azwar, dkk. 2010. Penyakit di Usia Tua. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC.
Hal 147-152.
12. .Ganong, William F., and Mcphee, Stephen J. 2011. Patofisiologi Penyakit Edisi 5.
Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 188-189.
13. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurol
Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376.
26
14. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. 2006. Gangguan Neurologis dengan
Simtomatologi Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol
2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 1139-1144.
15. Lingor N. Diagnosis and differential diagnosis of Parkinson. Available at:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/20327.pdf Access on August 15th 2015
16. Lumbantobing SM. Sindrom Parkinson. In: Gangguan gerak. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2005; p.67-110.
17. Jankovic J, Aguilar LG. Current approaches to the treatment of Parkinson’s disease.
USA: Neurophsyciatric disease and treatment; 2008; Vol.4 (4); p.743-57.
18. Muis A, Joesof AA, Agoes A, Sudomo A, Shahab A, Husni A, dkk. Konsensus
tatalaksana penyakit Parkinson. Surabaya: Perhimpunan dokter spesialis saraf
Indonesia (PERDOSSI); 2000; p.8-17.
19. .Sobha S. Rao, M.D., Laura A. Hofmann, M.D., and Amer Shakil, M.D., “Parkinson’s
Disease: Diagnosis and Treatment”, http://www.aafp.org/afp/ 20061215/2046.html,
Access on August 15th 2015
27