Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun

manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan

anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih di dalam

kandungan sampai anak umur 2 tahun atau yang sekarang lebih dikenal

dengan 1000 hari kehidupan. Seribu hari kehidupan ini terdiri dari, 270

hari selama kehamilan dan 730 hari kehidupan pertama sejak bayi

dilahirkan sampai umur 2 tahun. Periode ini disebut periode emas (golden

periode) atau disebut juga sebagai waktu yang kritis, yang jika tidak

dimanfaatkan dengan baik akan terjadi kerusakan yang bersifat permanen

(window of opportunity). Kualitas anak masa kini merupakan penentu

kualitas sumber daya manusia dimasa yang akan datang. Untuk

mempersiapkan SDM yang berkualitas dimasa yang akan datang, maka

anak perlu dipersiapkan agar dapat tumbuh dan berkembang seoptimal

mungkin sesuai dengan kemampuannya (Narendra, 2008).

Menurut UNICEF tahun 2005 didapat data masih tingginya angka

kejadian gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia

balita khususnya gangguan perkembangan motorik didapatkan (27,5%)/5

juta anak mengalami gangguan.

Keterlambatan perkembangan dapat disebabkan oleh beberapa

faktor antara lain faktor prenatal yaitu gizi, mekanis, toksin/zat kimia,
1
2

endokrin, radiasi, infeksi, kelainan imunologi, psikologis ibu, anoksia

embrio. Faktor perinatal seperti asfiksia, trauma lahir, hipoglikemia,

hiperbilirubinemia, BBLR, infeksi. Faktor pascasalin yaitu gizi, penyakit

kronis/kelainan congenital, lingkungan fisis dan kimia, psikologis,

endokrin, social ekonomi, dan lingkungan pengasuh (Kemenkes RI,

2013).

Persalinan yang berjalan mulus tanpa komplikasi pada bayi akan

memberi dampak yang baik bagi tumbuh kembang anak dikemudian hari,

karena berbagai komplikasi persalinan seperti asfiksia dan trauma lahir

yang dapat mengakibatkan kelainan tumbuh kembang (Soetjiningsih,

2012). Asfiksia atau gagal napas dapat menyebabkan suplai oksigen ke

tubuh menjadi terhambat, jika terlalu lama membuat bayi menjadi koma,

walaupun sadar dari koma bayi akan mengalami cacat otak. Kejadian

asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan

otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang.

Asfiksia juga dapat menimbulkan cacat seumur hidup seperti buta, tuli dan

cacat otak (Safrina, 2011). Manuaba (2010) berpendapat bahwa asfiksia

neonatorum dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang

menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia walaupun masih jauh dari

angka target MDGs yaitu AKB tahun 2015 sebesar 23 per 1000 kelahiran

hidup tetapi tercatat mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1000

kelahiran hidup (SDKI 2002) menjadi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup
3

(SDKI 2007), dan terakhir menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI

2012). Namun angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tetap

tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara Association of

Southeast Asia Nations (ASEAN) yang lain (SDKI, 2012).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB angka

kematian bayi mengalami penurunan dari tahun 2013-2014. Pada tahun

2013 jumlah kematian bayi sebesar 1.299 kasus, dan pada tahun 2014

jumlah kematian bayi menurun menjadi sebesar 1.069 kasus. Adapun

penyebab dari kematian bayi tersebut terdiri dari BBLR 37%, asfiksia

16%, pneumonia 10%, kelainan kongenital 11%, sepsis 2%, diare 2%,

ikterus 1%, tetanus 1%, dan lain-lain 20%.

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti di Rekam Medik RSUD

Provinsi NTB jumlah kelahiran dan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir

pada tahun 2013-2014 mengalami penurunan. Pada tahun 2013 jumlah

kelahiran bayi sebesar 2798 kasus dengan kelahiran asfiksia sebanyak

631 kasus (22%). Dan pada tahun 2014 jumlah kelahiran bayi menurun

menjadi sebanyak 1511 kasus dengan kelahiran asfiksia sebanyak 262

kasus (17%).

Hasil penelitian Mulidah, dkk (2006) di Poli Anak RSMS

Purwokerto pada anak balita mengatakan bahwa perkembangan balita

dengan kelahiran asfiksia pada motorik kasar ditemukan 50% tidak baik

dan 50% baik, perkembangan bahasa balita dengan kelahiran asfiksia

ditemukan 56,7% tidak baik dan 43,3% baik, perkembangan motorik halus
4

balita dengan kelahiran asfiksia ditemukan 16,7% tidak baik dan 83,3%

baik, perkembangan sosial balita dengan kelahiran asfiksia ditemukan

20% tidak baik dan 80% baik dan perkembangan balita dengan kelahiran

tidak asfiksia semua baik. (Soedirman, 2006)

Menurut hasil penelitian Respatiningrum, dkk (2012) di Ruang

Anggrek RSUD Kota Tanjung Pinang pada bayi usia 6-12 bulan

mengatakan bahwa dari 32 kejadian asfiksia neonatorum (kelompok

kasus) terdapat perkembangan bayi “sesuai” sebanyak 3 bayi (9,4%),

“meragukan” sebanyak 10 bayi (31,2%), dan “penyimpangan” sebanyak

19 bayi (59,4%). Sedangkan bayi baru lahir tidak asfiksia neonatorum

(kelompok kontrol) dengan jumlah perkembangan bayi “sesuai”

sebanyak 27 bayi (84,4%), “meragukan” 4 bayi (12,5%) dan

“penyimpangan” sebanyak 1 bayi (3,1%).

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUD Provinsi

NTB tahun 2014 diperoleh data balita yang mengalami gangguan

pertumbuhan dan perkembangan sebanyak 638 kasus yang

mendapatkan okupasiterapi 214 kasus (33,5%), terapi wicara 119 kasus

(18,7%) dan psikologi 305 kasus (47,8%). Pada tahun 2015 dari bulan

Januari–Juni diperoleh data balita yang mengalami gangguan

pertumbuhan dan perkembangan sebanyak 268 kasus yang terdiri dari

terapi wicara sebanyak 110 kasus (41%), psikologi 61 kasus (23%),

sensorik motorik 97 kasus (36%).


5

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk

mengangkat permasalahan ini di dalam penelitian karena penulis ingin

mengetahui “Apakah ada hubungan asfiksia dengan perkembangan anak

usia 9-24 bulan di Klinik Anak RSUD Provinsi NTB tahun 2014”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan

masalah yaitu “Apakah ada Hubungan Asfiksia dengan Perkembangan

Anak Usia 9-24 bulan di Klinik Anak RSUD Provinsi NTB Tahun 2014”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan asfiksia dengan perkembangan anak usia

9-24 bulan di Klinik Anak RSUD Provinsi tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kejadian asfiksia di Klinik Anak RSUD Provinsi NTB

tahun 2014.

b. Mengidentifikasi perkembangan anak usia 9-24 bulan di Klinik Anak

RSUD Provinsi NTB tahun 2014.

c. Menganalisis hubungan asfiksia dengan perkembangan anak usia

9-24 bulan di Klinik Anak RSUD Provinsi NTB tahun 2014.


6

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat memberikan manfaat bagi institusi pendidikan sebagai

masukan dan menambah referensi tentang hubungan asfiksia dengan

perkembangan anak.

2. Bagi Institusi Pelayanan

Dapat memberikan informasi dan masukan kepada lembaga

kesehatan terkait dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam

pemberian pelayanan bagi masyarakat, khususnya dalam mendeteksi

perkembangan anak sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih

baik bagi masyarakat.

3. Bagi Peneliti

Dapat menambah dan meningkatkan pengetahuan dan

pengalaman peneliti sehingga dapat diaplikasikan dalam bidang

pendidikan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan hubungan

asfiksia dengan perkembangan anak.

4. Bagi Masyarakat

Membuka wawasan ibu pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya tentang pentingnya melakukan deteksi dini perkembangan

anak, menjaga kesehatan pada saat hamil dan melahirkan serta akibat

yang ditimbulkan.

Anda mungkin juga menyukai