Anda di halaman 1dari 10

HIV/AIDS

A. Pengertian HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah penyakit yang menyerangi sistem
kekebalan tubuh,dan AIDS adalah kumpulan gejala akibat kelemahan atau kekurangan sistem
kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir. (Sarwono, IlmuKebidanan).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome. AIDS adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah
diserang oleh penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal seperti infeksi. Selain
penyakit infeksi, penderita AIDS mudah terkena kanker, dengan demikian gejala AIDS
sangat bervariasi. (Sumber: LembaranInformasi Spiritia LI610). Virus yang menyebabkan
penyakit ini adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus).

B. Etiologi
Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan HIV terjadi kalau
ada cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti hubungan seks dengan pasangan yang
mengidap HIV, jarum suntik dan alat-alat penusuk (tato, penindik, dan alat cukur) yang
tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanita yang
mengidap HIV. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV lebih mungkin tertular.
Walaupun janin dalam kandungan dapat terinfeksi, sebagian besar penularan terjadi waktu
melahirkan atau menyusui, bayi lebih mungkin tertular jika persalinan berlanjut lama.

C. Patofisiologi
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Virus ini “senang” hidup dan berkembang biak dalam sel darah putih
manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung banyak sel darah putih, seperti
darah, cairan plasenta, cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu
maupun cairan otak. (Ditulis oleh: Dr. Edi Patmini SS. Desember, 2000).
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.
Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T atau disebut juga sel CD4”.
Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan mengalami gejala yang disebut sindrom HIV
akut. Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus pada umumnya yaitu berupa demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, miagia (pegal-pegal di ekstremitas bawah) pembesaran kelenjar
dan rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi berat dapat disertai kesadaran menurun.
Sindrom ini biasanya akan menghilang dalam beberapa minggu. Dalam waktu 3-
6 bulan kemudian, tes serologi baru akan positif, karena telah terbentuk anti bodi. Masa 3-6
bulan ini disebut window periode, dimana penderita dapat menularkan namun secara
laboratorium hasil tes HIV nya masih negatif. (sumber: LembaranInformasi Spiritia L1610).

D. Cara Penularan
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi
HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan
pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow
(1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada
hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang
berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Yopan, 2012).
2. Transmisi Non Seksual
a. Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat
juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).
b. Transmisi Transplasenta
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah
(Yopan, 2012).
c. Penularan Masa Prenatal
HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus
(lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang
menyusui kira-kira separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan,
sepertiganya melalui menyusui ibu dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi
yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua pertiga dari transmisi terjadi sewaktu atau
dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus (Ayu, 2012).

E. Penularan HIV saat Prenatal, Intranatal, dan Post Natal


Penularan HIV tertinggi umumnya terjadi pada saat persalinan ketika kemungkinan
terjadi percampuran darah ibu dan lendir ibu dengan bayi. Tetapi sebagian besar bayi dari ibu
HIV positif tidak tertular HIV. Jika tidak dilakukan intervensi terhadap ibu hamil HIV positif,
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar antara 25-45%. Di negara-negara maju, risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi telah turun menjadi hanya sekitar 1-2% sehubungan dengan
majunya tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV positif, yaitu layanan konseling dan tes HIV
sukarela, pemberian obat anti retroviral, persalinan seksio sesarea dan pemberian susu
formula untuk bayi.
Hal ini sesuai dengan penelitian ini, bahwa persalinan pervaginam menjadi faktor risiko
penularan HIV. Di negara-negara berkembang dimana intervensi pencegahan penularan HIV
dari ibu ke bayi umumnya belum terlaksana dan tersedia dengan baik, antara 25-45% ibu
hamil HIV positif menularkan HIV ke bayinya selama masa kehamilan, ketika persalinan,
ataupun setelah persalinan melalui pemberian air susu ibu. Ibu yang menyusui bayinya
memiliki risiko penularan HIV lebih besar 10-15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui
bayinya. Hal tersebut semakin menunjukkan adanya kesesuaian dengan penelitian ini, bahwa
pemberian ASI menjadi faktor risiko penularan HIV ke bayi. Penelitian terbaru menyarankan
bahwa ibu diperbolehkan memilih untuk memberikan ASI pada bayinya bila rutin minum
obat ARV. Tidak mudah menegakkan diagnosis infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif. Kesulitan dalam menegakkan diagnosis adalah penularan HIV dapat terjadi
selama kehamilan, terutama trimester ketiga, selama proses persalinan dan selama masa
menyusui. Meskipun diketahui selama kehamilan bayi mungkin tertular HIV, belum ada
penelitian yang memeriksa bayi di dalam kandungan untuk deteksi infeksi HIV. Selain itu
juga terdapat masa jendela (window period) setelah seseorang terinfeksi HIV yang dapat
berlangsung 8 hingga 6 bulan. Pada masa jendela ini, HIV telah ada di dalam tubuh yang
terinfeksi HIV, tetapi karena tubuh belum cukup membentuk antibodi, maka tes HIV
menyebabkan keberadaan antibodi HIV akan memberikan hasil tes negatif palsu.
Oleh karena itu penelitian ini hanya memasukkan bayi yang terinfeksi HIV setelah
berusia 18 bulan, dan jika bayi masih berusia kurang dari 18 bulan, harus terlebih dahulu
mendapatkan pemeriksaan PCR DNA/RNA.
Ada 2 faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi, yaitu
faktor ibu dan bayi serta faktor cara penularan. Faktor ibu yang paling utama mempengaruhi
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu menjelang
ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Ibu
dengan sel CD yang rendah (menurunnya sistem pertahanan tubuh) mempunyai risiko
penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD 4 kurang dari 200. Ada hubungan
langsung antara CD 4 dan kadar HIV, karena semakin tinggi kadar HIV, semakin rendah
CD4. Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan, serta kekurangan vitamin
dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika
ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi lainnya, maka kadar HIV akan meningkat,
sehingga meningkatkan pula risiko penularan HIV ke bayi. Semakin rendah jumlah sel CD,
akan semakin besar risiko penularan HIV dari ibu ke bayi melalui pemberian air susu ibu
(ASI). Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat adanya
masalah pada payudara ibu, seperti mastitis, abses, luka di puting payudara.
Namun pada penelitian ini, kadar CD bukan merupakan faktor risiko penularan HIV. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena pengukuran CD hanya dilakukan 1 kali sebelum
persalinan. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa
kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI.
HIV terdapat dalam ASI, meskipun konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan
HIV di dalam darah. Antara 10-20% bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi
HIV melalui pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu usia bayi, luka di mulut bayi,
tingginya konsentrasi virus, status kekebalan ibu, lamanya menyusui serta adanya abses atau
mastitis pada payudara atau luka pada puting susu. Hasil dari penelitian tersebut memiliki
kesesuaian dengan penelitian ini, bahwa pemberian ASI dari seorang ibu yang terinfeksi HIV
merupakan faktor risiko penularan infeksi HIV ke bayi. Semakin lama pemberian ASI, akan
semakin besar kumulatif risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Pada usia 5 bulan pertama
pemberian ASI diperkirakan risiko penularan sebesar 0,7% per bulan. Antara 6-12 bulan,
risiko sebesar 0,5% per bulan, dan antara 13-24 bulan, risiko bertambah lagi sebesar 0,3%
per bulan. Dengan demikian, memperpendek masa pemberian ASI dapat mengurangi risiko
bayi terinfeksi HIV.
Dilihat dari faktor cara penularan, sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi
pada saat persalinan. Ketika proses persalinan, tekanan pada plasenta meningkat yang bisa
menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi. Hal ini lebih
sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi. Pada saat persalinan, bayi terpapar darah
dan lendir ibu di jalan lahir. Kulit dari bayi yang baru lahir masih sangat lemah dan mudah
terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah
ataupun lendir ibu.
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi juga
semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah
dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko
penularan hingga 2 kali lipat jika dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam
sebelum persalinan.
Faktor lain yang meningkatkan risiko penularan selama proses persalinan adalah
penggunaan vakum atau forseps dan tindakan episiotomi. Hal tersebut semakin mendukung
hasil penelitian ini, dimana persalinan pervaginam menjadi faktor risiko sebesar 46,4%.
Kelemahan penelitian ini adalah desain penelitian retrospektif, tempat penelitian hanya 1
klinik VCT dan ibu yang kontrol tidak teratur. (Jurnal Persalinan Pervaginam dan Menyusui
sebagai Faktor Risiko Kejadian HIV pada Bayi, 2011).
F. Penapisan HIV Pranatal
Centers for Disease Control and Prevention (2006), American College of Obstetricians
and Gynecologists (2008), American Academy of Pediatrics (2006), dan United States
Preventive Services Task Force (2005) menganjurkan penapisan prenatal dengan
menggunakan pendekatan opt-out. Hal ini berarti bahwa wanita yang bersangkutan
diberitahu bahwa pemeriksaan HIV termasuk dalam satu set lengkap tes antenatal (William,
2013).
Wanita yang jarang melaksanakan Antenatal Care atau yang status HIV nya tidak
diketahui saat persalinan sepatutnya menjalani tes HIV “cepat”, mendeteksi antibodi dalam
60 menit.
Tes HIV cepat dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang terinfeksi sehingga
ibu dan bayinya dapat diberi antiretrovirus profilaksis peripartum (Bulterys dkk., 2004).

G. Tatalaksana
1. Tatalaksana Umum
a. Rujuk ibu dengan HIV ke rumah sakit.
b. Periksa hitung CD4 dan viral load untuk menentkan status imunologis dan
mengevaluasi respons terhadap pengobatan.

2. Tatalaksana Khusus
Terapi antiretroviral
 Berikan antiretroviral segera kepada semua ibu dengan HIV, tanpa harus mengetahui
nilai CD4 dan stadium klinisnya terlebih dahulu, dan lanjutkan seumur hidup.

H. Konseling Pra dan Pasca Tes HIV


Konseling pra dan pasca tes bagi perempuan hamil menyangkut beberapa hal yaitu:
1. Konseling Pra Tes Informasi mengenai penularan HIV melalui hubungan seksual
dan bagaimana cara mencegahnya. Informasi mengenai penularan HIV dari ibu ke bayi
dan bagaimana penanggulangannya, informasi mengenai proses dan prosedur tes HIV,
jaminan kerahasiaan dan bagaimana mendiskusikan kerahasian, dan kemungkinan adanya
konseling bagi pasangan, Implikasi dari tes negatif termasuk promosi menyusui bayi
dengan ASI, implikasi dari tes positif: keuntungan dan kerugiannya , intervensi yang
dipilih serta kemungkinan adanya stigma, konseling yang menggali dan mengarah pada
penilaian resiko.
2. Konseling Pasca Tes
a. Jika hasil tes negatif informasi yang diberikan mengenai pencegahan penularan di
masa depan , jika masih dalam masa jendela (window period), maka dianjurkan untuk
melakukan tes kembali, promosi ASI ekslusif kepada ibu hamil yang tidak terdeteksi
HIV.
b. Jika hasil tes positif yang harus dilakukan adalah informasi mengenai pilihan –
pilihan untuk terapi, termasuk pengobatan ARV bagi dirinya dan
atau untuk pencegahan penularan ke bayi. Perlu juga dibahas mengenai kondisi
keuangan dan harga terapi ARV. Konseling yang menyangkut pemberian susu
bayi, resiko menyusui dengan ASI, dukungan finansial untuk susu formula, adanya
stigma dari keluarga dan masyarakat, informasi dan konseling mengenai KB dan
kemungkinan kehamilan di masa depan, konseling pemberitahuan kepada pasangan
dan kerahasiaan, informasi dan layanan rujukan untuk dukungan, perawatan,
pengobatan, dan juga persalinan (Artikel Peran Konseling dan test HIV
bagi ibu hamil, Dra. Siti Chasanah Agoes Machdi, M.Si).
I. Manajemen Asuhan Kebidanan
1. Saat ANC (Ante Natal Care)
a. Membina hubungan baik dengan ibu dan keluarga
b. Menginformasikan keadaan ibu dan janinya berdasarkan hasil pemeriksaan.
c. Menganjurkan kepada ibu untuk istirahat yang cukup dan mengkonsumsi makanan
yang bergizi. Menginformasikan pada ibu tentang tanda bahaya selama kehamilan.
d. Memberi tablet fe dengan dosis 1 tablet sehari.
e. Memberikan ibu obat ARV untuk dikonsumsi selama kehamilan.
f. Penanganan dan pelayanan yang lebih ekstra untuk pasien yang dimaksudkan
g. Menganjurkan ibu untuk kembali apabila ada keluhan.
h. Pendokumentasian tentang data- data pasien.
2. Saat INC (Intra Natal Care)
a. Membina hubungan baik dengan ibu dan keluarga
b. Menginformasikan keadaan ibu dan janinya berdasarkan hasil pemeriksaan
c. Berikan dukungan dan asuhan pada ibu
d. Jelaskan kemajuan persalinan pada ibu dan keluarga
e. Pantau kemajuan persalinan sesuai dengan partograf
f. Lakukan VT setiap setiap 4 jam sekali sesuai indikasi.
g. Menggunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong
persalinan.
h. Menggunakan sarung tangan saat menolong bayi
i. Mencuci tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
j. Menggunakan pelindung mata (kacamata).
k. Memegang plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius.
l. Tidak menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
m. Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap
HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis.
n. Pemantauan 2 jam post partum sesuai prosedur.

Saat membantu persalinan pada seorang ibu yang terinfeksi HIV/AIDS, sebaiknya
menggunakan pencegahan infeksi terhadap perlindungan diri sendiri, sebab jika tubuh
kita sedang dalam keadaan lemah dan terdapat luka, besar kemungkinan kita akan
tertular, oleh sebab itu pada saat membantu persalinan pada pasien dengan riwayat
HIV/AIDS ini, Gunakanlah pencegah infeksi yang aman bagi tubuh kita sendiri karena
darah yang akan keluar setelah ibu melahirkan dapat menular pada tubuh kita yang sistem
kekebalan tubuhnya sedang melemah.
Biasanya pasien dengan riwayat HIV/AIDS ini harus ditolong dengan cara Section
Caesaria (SC) /operasi cesar, karena apabila bayi lahir melalui vagina ibu ditakutkan bayi
akan tertular HIV/AIDS, sebab darah yang keluar dari vagina akan segera menyerang
tubuh bayi yang belum mendapatkan sistem kekebalan tubuh.

J. Pemberian Makanan Bayi


1. Jika bayi, tidak diketahui status HIV nya :
a. Pemilihan makanan bayi harus didahulu konseling terkait risiko penularan HIV sejak sebelum
persalinan.
b. Bila ibu memilih ASI, berikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan. Untuk itu, ibu dengan HIV perlu
mendapat konseling laktasi dengan baik sejak perawatan antenatal pertama
c. Ibu dengan HIV diperbolehkan memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV atau tidak
diketahui status HIV nya jika seluruh syarat AFASS (affordable/terjangkau, feasible/mampu
melaksanakan, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan, safe/aman)
d. Sangat tidak dianjurkan mencampur ASI dengan susu formula
2. Jika bayi telah diketahui HIV positif :
a. Ibu sangat dianjurkan memberikan ASI ekslusif sampai bayi berusia 6 bulan.
b. Setelah berusia 6 bulan, bayi diberikan MP-ASI dan ASI tetapi dlanjutkan sampai anak berusia 2
tahun

K. Tatalaksana Untuk Bayi


1. Mulai pemberian zidovudine (AZT) profilaksis dengan ketentuan :\
a. Jika bayi cukup bulan, berikan (AZT) dengan dosis 4 mg/kgBB/ 12 jam selama 6 minggu
b. Jika bayi premature dengan Usia Kehamilan <30 minggu, berikan (AZT) dengan dosis 2 mg/kgBB/
12 jam selama 4 minggu, kemudian 2 mg/kgBB/ 8 jam selama 2 minggu berikutnya
c. Jika bayi premature dengan usia kehamilan 30-35 minggu, berikan (AZT) dengan dosis 2 mg/kgBB/
12 jam selama 2 minggu pertama, kemudian 2 mg/kgBB/ 8 jam selama 2 minggu kedua, dan diikuti
4 mg/kg/BB/ 12 jam pada 2 minggu ketiga.
2. Selanjutnya dapat diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu dengan dosis 4-6 mg/kgBB
1x1, setiap hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan.
DAFTAR PUSTAKA

Astri, D., Dewantiningrum, J. 2011. Persalinan Pervaginam dan Menyusui sebagai Faktor Risiko
Kejadian HIV pada Bayi. Jurnal Oleh Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ikatan
Dokter Indonesia Wilayah Jawa Tengah, 139-143.

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 2015.
HIV/AIDS. Hal. 164-167.

Williams, …..

Uul, Dian. 2014. HIV AIDS. http://dianuul.blogspot.com/2014/03/hivaids.html diakses pada


tanggal 26 Maret 2014.

Widi, Indah. HIV.


https://www.academia.edu/8224192/MAKALAH_KEHAMILAN_PATOLOGI_SIFILIS_DAN_
HIV dilihat pada tanggal 17 Februari 2019.

http://www.ichrc.org/bab-8-anak-dengan-hivaids dilihat pada tanggal 27 Februari 2019.

Anda mungkin juga menyukai