Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
( RESIKO BUNUH DIRI )

KELOMPOK 8

Apsari tampamuma

Chrisya karuh

Rani ambitan

Leonardo

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO

FAKULTAS KEPERAWATAN

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikiatri dipenuhi oleh fenomenologi dan penelitian fenomena mental.
Dokter psikiatri harus belajar untuk menguasai observasi yang teliti dan
penjelasan yang mengungkapkan keterampilan termasuk belajar bahasa baru.
Bagian bahasa didalam psikiatri termasuk pengenalan dan definisi tanda dan
gejala perilaku dan emosional.
Kondisi pada keadaan kegawat daruratan psikiatrik meliputi percobaan
bunuh diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya
delusi, kekerasan, serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan
signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul
dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
Kegawat daruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada
kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan
bunuh diri, penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau
perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu perawatan,
psikologi dan pekerja sosial. Konsep dasar askep gadar psikiatri
Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat
meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawat daruratan psikiatrik sangat kompleks.
Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental
pasien mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka,
dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja.
Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya
meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala
atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
BAB II

KONSEP DASAR KEDARURATAN PSIKIATRI

A. Pengertian
Rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan
oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang
gawat darurat. Keperawatan Kegawat Daruratan (emergency Nursing) Adalah
bagian dari keperawatan dimana perawat memberikan asuhan kepada klien
yang sedang mengalami keadaan yang mengancam kehidupan karena sakit
atau kecelakaan. Unit Gawat Darurat Adalah tempat/unit di RS yang memiliki
tim kerja dengan kemampuan khusus & peralatan yang memberikan pelayan
pasien gawat darurat, merupakan rangkaian dari upaya penanggulangan pasien
dengan gawat darurat yang terorganisir. Kondisi pada keadaan kegawat
daruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri, ketergantungan obat,
intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik,
dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi
medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum.
Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani
kondisi ini. Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani
kondisi ini sangatlah penting. Konsep dasar askep gadar psikiatri Keperawatan
Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu
keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk
pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua
kelompok usia yang sedang mengalami masalah kesehatan yang bersifat
urgen,akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun bencana.

B. Faktor Penyebab Gadar Psikiatri


Kondisi Kedaruratan Adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan
integritas fisiologis atau psikologis secara mendadak. Semua masyarakat
berhak mendapat perawatan kesehatan gawat darurat, pencegahan, primer,
spesialistik serta kronik. Perawatan GD harus dilakukan tanpa memikirkan
kemampuan pasien untuk membayar. Semua petugas medis harus diberi
kompensasi yang adekuat, adil dan tulus atas pelayanan kesehatan yang
diberikannya. Diperlukan mekanisme pembayaran penggantian atas pelayanan
gratis, hingga tenaga dan sarana tetap tejaga untuk setiap pelayanan. Ini
termasuk mekanisme kompensasi atas penderita yang tidak memiliki asuransi,
bukan penduduk setempat atau orang asing. Semua pasien harus mendapat
pengobatan, tindakan medis dan pelayanan memadai yang diperlukan agar
didapat pemulihan yang baik dari penyakit atau cedera akut yang ditindak
secara gawat darurat. Tempat rujukan layanan kegawatdaruratan psikiatrik
biasanya dikenal sebagai Psychiatric Emergency Service, Psychiatric
Emergency Care Centres, atau Comprehensive Psychiatric Emergency
Programs. Tenaga kesehatan terdiri dari Konsep dasar askep gadar psikiatri
berbagai disiplin, mencakup kedokteran, ilmu perawatan, psikologi, dan
karya sosial di samping psikiater. Untuk fasilitas, kadang dirawat inap di
rumah sakit jiwa, bangsal jiwa, atau unit gawat darurat, yang menyediakan
perawatan segera bagi pasien selama 24 jam. Di dalam lingkungan yang
terlindungi, pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik diberikan untuk
memperoleh suatu kejelasan diagnostik, menemukan solusi alternatif yang
sesuai untuk pasien, dan untuk memberikan penanganan pada pasien dalam
jangka waktu tertentu. Bahkan diagnosis tepatnya merupakan suatu prioritas
sekunder dibandingkan dengan intervensi pada keadaan kritis.

C. Tanda dan Gejala Awal


1. Bunuh diri
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping
yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993). Perilaku bunuh
diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada
diri seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan
verbal ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).
Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah
tanda-tanda bunuh diri yang mungkin terjadi:
1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang,
melompat, menembak diri sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau
kehilangan pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh
diri atau percobaan bunuh diri. Kehilangan lainnya yang bisa
menandakan bunuh diri termasuk hilangnya keyakinan beragama dan
hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada aktivitas yang
sebelumnya dinikmati.
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-
tanda kelelahan, keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah
atau kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga.
5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan
tidur lainnya bisa menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.
6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau
bertambahnya nafsu makan. Perubahan lain bisa termasuk penambahan
atau penurunan berat badan. seseorang. Perilaku yang tampak adalah
berlebihan, gejala atau ucapan verbal ingin bunuh diri, luka atau nyeri
(Rawlin dan Heacock, 1993). Dikutip dari situs kesehatan mental
epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri yang mungkin
terjadi: Konsep dasar askep gadar psikiatri | 8
7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa
mencakup impotensi, keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.
8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui
emosi seperti malu, minder atau membenci diri sendiri.
9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan
kehilangan jiwanya dan khawatir membahayakan dirinya atau orang
lain.
10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah
seseorang merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan
segala hal tidak akan pernah bertambah baik.
Beberapa tanda bunuh diri lainnya meliputi pernah mencoba bunuh
diri, memiliki riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, belanja
berlebihan, hiperaktivitas, kegelisahan dan kelesuan.
2. Perilaku kekerasan
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa ke
Rumah sakit Jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi
disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan
polisi. Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat
membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau
sexua litas ( Nanda, 2005 ). Perilaku kekerasan atau agresif merupakan
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000). Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul Konsep dasar askep gadar
psikiatri sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Pengertian Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi
kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-
tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain
bahkan dapat merusak lingkungan.
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien masuk
kerumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Dapat dilakukan
pengkajian dengan cara:
 Observasi:
a. Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang
tinggi,berdebat.
b. Sering pula tampak klien memaksakan kehendak : merampas
makanan, memukul jika tidak senang
 Wawancara
a. Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda
tanda marah yang dirasakan klien. Keliat (2002) mengemukakan bahwa
tanda -tanda marah adalah sebagai berikut :
1. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),
jengkel.
2. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat,sakitfisik,
penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
3. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
4. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan,tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
5. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
humor.

3. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III
(Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia)
memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang
Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia” (“culture bound
phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan
penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi
agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia
malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan
menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok
sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain,
karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin
sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).
Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al,
2007):
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak
kekerasan.
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu
Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):
a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24
tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk,
penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri
sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting
sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan,
meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien
maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai
keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia
tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang,
kita berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu
ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara
etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).Suntikan
intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat
berguna untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak
terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik
rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat
neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka
suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg),
disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan
suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya
mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan
Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai
dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien
dengan susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk
mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung
berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu
menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia
jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain
atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai
kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral
(bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan
juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum
diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis
(Maramis dan Maramis, 2009).
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami gaduh gelisah diantaranya juga:

1. Gelisah
2. Mondar-mandir
3. Berteriak-teriak
4. Loncat-loncat
5. Marah-marah
6. Curiga +++
7. Agresif
8. Beringas
9. Agitasi
10. Gembira +++
11. Bernyanyi +++
12. Bicara kacau
13. Mengganggu orang lain
14. Tidak tidur beberapa hari
15. Sulit berkomunikasi

D. Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri


Penaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat
darurat adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan
Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat
berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik
khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan
pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum
yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah
tegas diatur dalam pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di
mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara
tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya merupakan hak
setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4)
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir
miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut
pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin
rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk
meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-
rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk
fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan
kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
selama 24 jam per hari
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara
umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7
UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan
yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit Bentuk
peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena
menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992
tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.
Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan
kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan
mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa
“pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran
dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu “. Ketentuan tersebut
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang
tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan
pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau
membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya
tindakan medis yang memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan
medik diatur dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang
merumuskan bahwa “tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di atas
menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada
dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai
tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat.
Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang
bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar profesi sesuai dengan
situasi (gawat darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan
pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih
maupun yang teriatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal
kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam undang-undang
kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan
hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak
dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di
bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang
telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan
yang memang tugasnya di bidang ini (misainya petugas 118), maka
tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah
sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan
keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa. Hal-hal yang disoroti
hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam
pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena
secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege
tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat
darurat. Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian
gawat darurat adalah. An emergency is any condition that in the opinion of the
patient, his family, or whoever assumes the responsibility of bringing the
patient to the hospital-remelakukanquires immediate medical attention. This
condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patient’s life or well-being is not threatened. Adakalanya
pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian
terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah
yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan
kelalaian tersebut dilamelakukankukan dalam situasi gawat darurat maka perlu
dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi,
tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan
tenaga kesehatan yang berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan
kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan
persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak
pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam
keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada
pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perLu persetujuan
dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam
hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar
persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

E. Data Tentang Psikosis


Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan
mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan
oleh kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri.
Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan
1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita
skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan
dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh
stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting
karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering
dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami
gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog. Pasien
dengan gejala psikosis sering ditemukan di bagian kegawatdaruratan
psikiatrik. Menentukan sumber psikosis dapat menjadi sulit. Kadang pasien
masuk ke dalam status psikosis setelah sebelumnya putus dari perawatan yang
direncanakan. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik tidak akan mampu
menyediakan penanganan jangka panjang untuk pasien jenis ini, cukup dengan
istirahat ringkas dan mengembalikan pasien kepada orang yang menangani
kasus mereka dan/atau memberikan lagi pengobatan psikiatrik yang
diperlukan. Suatu kunjungan pasien yang menderita suatu gangguan mental
yang kronis dapat menandakan perubahan dalam lifestyle dari individu atau
suatu pergeseran kondisi medis.
Pertimbangan ini dapat berperan dalam perencanaan perawatan. Seseorang
dapat juga sedang menderita psikosis akut. Kondisi seperti itu dapat disiapkan
untuk diagnosis dengan memperoleh riwayat psikopatologi pasien, melakukan
suatu pengujian status mental, pelaksanaan pengujian psikologis, perolehan
neuroimages, dan memperoleh pengujian neurofisiologi lain. Berdasarkan ini,
tenaga kesehatan dapat memperoleh suatu diagnosa diferensial dan
menyiapkan pasien untuk perawatan. Seperti pertimbangan penanganan pasien
lainnya, asal psikosis akut dapat sukar ditentukan karena keadaan mental dari
pasien.
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

TEORITIS

A. Pengkajian

a. Identitas Klien
Nama Lengkap :
Usia :
Jenis Kelamin :
Status :
Alamat :
b. Kaji Alasan masuk ke Rumah Sakit
c. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.
1) Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri.
2) Riwayat keluarga terhadap bunuh diri.
3) Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia.
4) Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
5) Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline,
paranoid, antisosial.
6) Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka.
d. Konsep diri
(Umumnya pasien mengatakan hal yang negatif tentang dirinya, yang
menunjukkan harga diri yang rendah)
e. Alam perasaan.
( ) sedih ( ) putus asa
( ) ketakutan ( ) gembira berlebihan
(pasien pada umumnya merasakan kesedihan dan keputusasaan yang
sangat mendalam).
f. Interaksi selama wawancara
( ) bermusuhan ( ) Tidak kooperatif
( ) Defensi ( ) Kontak mata kurang
( ) mudah tersinggung ( ) curiga
(pasien biasanya menunjukkan kontak mata yang kurang).
g. Afek
( ) Datar ( ) Labi
) Tumpul ( ) Tidak sesuai
(pasien biasanya menunjukkan afek yang datar atau tumpul).
h. Mekanisme koping maladaptive.
( ) minum alkohol ( ) bekerja berlebihan
( ) reaksi lambat ( ) mencederai diri
( ) menghindar ( ) lainnya
(pasien biasanya menyelesaikan masalahnya dengan cara menghindar dan
mencederai diri).
i. Masalah psikososial dan lingkungan.
( ) masalah dengan dukungan keluarga
( ) masalah dengan perumahan.
B. Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri.
C. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan pada pasien bunuh diri dan keluarga terdiri
dari 3 macam yaitu:
1. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif klien
telah memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai
denganpercobaan bunuh diri.
2. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan :”Tolong jaga anak-anak
karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya.”
Pada kondisi ini klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya, namun tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.
Klien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/
marah/ putus asa/ tidak berdaya. Klien juga mengungkapkan hal-hal
negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
Walaupun dalam kondisi ini klien belum pernah mencoba bunuh diri,
pengawasan ketat harus dilaksanakan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan klien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.

1. Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan


positif.
2. Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting.
3. Mendiskusikan keadaan yang seharusnya disyukuri oleh pasien.
4. Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.
a. Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :
1. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan
masaalahnya.
2. Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah.
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN RESIKO BUNUH DIRI

1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama Lengkap : Tn. R
Usia : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum kawin
Alamat : Sumatera Utara, Medan
b. Alasan Masuk
Klien dibawa kerumah sakit jiwa karena mencoba gantung diri di kamar
mandi rumah pasien
c. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.
Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri.
d. Konsep diri
(paien merasa selalu di kucilkan karena keluarga dan teman teman kurang
peduli terhadap pasien, dan pasien sering di anggap rendah)
e. Alam perasaan
Putus asa
f. Interaksi selama wawancara
Kontak mata kurang
g. Afek
Tumpul
h. Mekanisme koping maladaptive.
Mencederai diri
i. Masalah psikososial dan lingkungan.
Masalah lingkungan dan ketidakpedulian keluarga terhadap pasien

2. Masalah keperawatan
a. Resiko Perilaku bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuhdiri.
b. Koping maladaptive
DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada
harapan.
DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls.
3. Diagnosa keperawatan
1. Diagnosa 1 : Resiko bunuh diri
2. Tujuan umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
3. Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
1) Perkenalkan diri dengan klien
2) Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal.
3) Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.
4) Bersifat hangat dan bersahabat.
5) Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat
b. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
Tindakan :
1) Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau,
silet, gunting, tali, kaca, dan lain lain).
2) Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh
perawat.
3) Awasi klien secara ketat setiap saat.
c. Klien dapat mengekspresikan perasaannya
Tindakan:
1) Dengarkan keluhan yang dirasakan.
2) Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan
dan keputusasaan.
3) Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana
harapannya.
4) Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,
kematian, dan lain lain.
5) Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan
keinginan untuk hidup.

d. Klien dapat meningkatkan harga diri


Tindakan:
1) Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi
keputusasaannya.
2) Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.
3) Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan
antar sesama, keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).
e. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
Tindakan:
1) Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang
menyenangkan setiap hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku favorit,
menulis surat dll.)
2) Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang,
dan pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang
kegagalan dalam kesehatan.
3) Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang
mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah
mempunyai pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut dengan
koping yang efektif
1. Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri: harga diri rendah
2. Tujuan umum : Klien tidak melakukan kekerasan
3. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang


dimiliki.
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
c. Utamakan pemberian pujian yang realitas
3. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk diri
sendiri dan keluarga
Tindakan:
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang
ke rumah
4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang bermanfaat sesuai
kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan.
b. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
c. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
a. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

1. Diagnosa 1 : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan


2. Tujuan umum :
- Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Tujuan khusu :
- Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya
- Pasien mampu mengungkapkan perasaannya
- Pasien mampu meningkatkan harga dirinya
- Pasien mampu menggunakan cara penyelesaiaan masalah yang baik
4. Tindakan :
- Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri, orang
lain dan lingkungan
- Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
o Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya
o Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan yang positif
o Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting
o Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
o Merencanakan yang dapat pasien lakukan
- Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
o Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara
penyelesian masalah
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik

POHON MASALAH

Resiko kekerasan ( mencidrai diri sendiri dan orang lain )


AKIBAT

Resiko bunuh diri CORE PROBLEM

PENYEBAB
Harga diri rendah

RENCANA TINDAKAN KPERAWATAN

a. Ancaman atau percobaan bunuh diri


1. Intervensi pada pasien
a) Tujuan keperawatan:
asien tetap aman dan selamat.
b) Tindakan keperawatan
Melindubgi pasien dengan cara:
· Temani pasien terus-menerus sampai pasein dapat dipindahkan ke
tempat yang aman
· Jauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau, silet, gelas,
dan tali pinggang)
· Periksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya jika
pasien mendapatkan obatnya.
· Dengan lembut, jelaskan pada pasien bahwa anda akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

STRATEGI PELAKSANAAN RESIKO BUNUH DIRI

A. Kondisi Klien
Sedih, marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun
non verbal
B. Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
C. Tujuan
1) Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya
2) Pasien dapat mengungkapkan perasaanya
3) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
4) Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
D. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
b) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
c) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
e) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah
c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik

E. Strategi Pelaksanaan
SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh
diri
Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.
· Orientasi:
”Selamat pagi Pak, kenalkan saya Agung Nugroho, biasa di pangil Agung,
saya mahasiswa Keperawatan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
yang bertugas di ruang ini, saya dinas pagi dari jam 7 pagi – 2 siang .”
”Bagaimana perasaan pak K hari ini? ”
” Bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang apa yang pak K rasakan
selama ini. Dimana dan berapa lama kita bicara?”
· Kerja
”Bagaimana perasaan setelah ini terjadi? Apakah dengan bencana ini pak
K paling merasa menderita di dunia ini? Apakah pak K pernah kehilangan
kepercayaan diri? Apakah pak K merasa tidak berharga atau bahkan lebih
rendah dari pada orang lain? Apakah K merasa bersalah atau
mempersalahkan diri sendiri? Apakah K sering mengalami kesulitan
berkonsentrasi? Apakah K berniat unutuk menyakiti diri sendiri? Ingin
bunuh diri atau berharap K mati? Apakah K pernah mencoba bunuh diri?
Apa sebabnya, bagaimana caranya? Apa yang K rasakan?”
”Baiklah, tampaknya pak K membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi
kamar K ini untuk memastikan tidak ada benda – benda yang
membahayakan K)””Karena pak K tampaknya mash memilikikeinginan
yang kuat untuk mengakhiri hidup K , saya tidak akan membiarkan K
sendiri”
”Apa yang K lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”
”Kalau keninginan itu muncul, maka akan mengatasinya K harus langsung
minta bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga atau teman
yang sedang besuk. Jadi K jangan sendirian ya, katakan kepada teman
perawat, keluarga atau teman jika ada dorongan untuk mengakhiri
kehidupan.”
”Saya percaya pak K dapat mengatasi masalah.”
· Terminasi :
”Bagaimana perasaan K sekarang setelah mengetahui cara mengatasi
perasaan ingin bunuh diri?”
” Coba pak K sebutkan lagi cara tersebut!”
”Saya akan menemani K terus sampapi keinginan bunuh diri hilang.”
(jangan meninggalkan pasien)
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

2. Maramis. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga


University Press.

4. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi
2. Surabaya: Airlangga University Press.

5. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.

6. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai