Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN ANAK II

SYNDROME NEFROTIC

DOSEN PENGAMPUH :
Ns.Julita Legi S.Kep,M.Kep

OLEH :
KELOMPOK 6

PEBRIANA DAMISI
GRACIELA N KOLONDAM
APRILANI HIDUPA
REGITA MAABUAT

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


MANADO
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif,
hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di
Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per
tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan
perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak
yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein
(khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini.
Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati
primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-
Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan,
terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya
herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik sebagai lesi
minimal, sebagian besar memberikan respons terhadap pengobatan steroid (sensitif steroid).
Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian besar tidak memberikan respons terhadap
pengobatan steroid (resisten steroid).1-4 International Study of Kidney Disease in Children
(ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan laboratorium untuk memperkirakan jenis
lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran klinis dan laboratorium tersebut adalah usia
saat serangan pertama, jenis kelamin, hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin,
komplemen C3, dan kolesterol serum. Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik
memberikan gambaran terhadap respons pengobatan steroid, seperti jenis glomerulonefritis
mesangial proliferatif (GNMP) sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai saat ini,
belum terdapat data gambaran histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan memberikan
gambaran klinis yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein
nonalbumin diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena belum pernah diteliti
sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara berbagai gambaran
klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan respons terhadap pengobatan steroid
(SNRS dan SNSS). (Behrman, 2000) .

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Mengetahui apa itu Syndrome Nefrotic
2. Mengetahui Anatomi dan Fisiologi Syndrome Nefrotic
3. Mengetahui Etiologi Syndrome Nefrotic
4. Mengetahui Patofisiologi dari Syndrome Nefrotic
5. Mengetahui Manifestasi Klinik Syndrome Nefrotic
6. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang
7. Penatalaksanaan
8. Komplikasi Syndrome Nefrotic
9. Asuhan Keperawatan Syndrome Nefrotic
BAB II

A.Pengertian Syndrome Nefrotic

Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas
membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang
massif (Donna L. Wong, 2004).

Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular yang
terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih
dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau
tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).

Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-


gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan: –
proteinuria (protein di dalam air kemih) – menurunnya kadar albumin dalam darah –
penimbunan garam dan air yang berlebihan – meningkatnya kadar lemak dalam darah.

Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering timbul pada usia 18
bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.

B. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi

Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal
dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal
kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah
tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal
setinggi batas bawah vertebra lumbalis III. Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin
bertambah umur, lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang. Parenkim ginjal
terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-
18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid ini
ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor.
Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal.
Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli.
Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus,
tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus
koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2
juta glomeruli.

Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini filtrat dimulai,
filtrat adalah isoosmotic dengan plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal
80 % filtrat telah di absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat
infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak
ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi
hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat
menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic dengan plasma darah pada ujung duktus
pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat
meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar
1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price,2001 : 785).

2. Fisiologi

Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat
penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat
dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.

1. Faal glomerolus

Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke
tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra
kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh
disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas
pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.

2. Faal Tubulus

Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada
dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120
ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya 100 ml/menit, sehingga yang diekskresi
hanya 1 ml/menit dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa).

Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur :

a) 1-2 hari : 30-60 ml

b) 3-10 hari : 100-300 ml

c) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml

d) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml

e) 1-3 tahun : 500-600 ml

f) 3-5 tahun : 600-700 ml

g) 5-8 tahun : 650-800 ml

h) 8-14 tahun : 800-1400 ml

3. Faal Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi
yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah
protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na,
K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat
yang diekskresi asam dan basa organik.

4. Faal loop of henle

Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb
itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
5. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes

Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi
Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 : 4-5).

C. Etiologi

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Menurut Ngastiyah (2005),
umumnya etiologi dibagi menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan


Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap
semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
Gejala : Edema pada masa neonatus

2. Sindrom nefrotik sekunder


Disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana (malaria kuartana yang disebabkan plasmodium malariae, memiliki
masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala
pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi.
Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari) atau parasit lainnya.
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
c. Glumerulonefritis akut atau kronik,
d. Trombosis vena renalis.
e. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
f. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik. (Ngastiyah, 2005)

3. Sindrom nefrotik idiopatik


Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis
yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop
elektron, Churk membaginya menjadi :

a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat imunoglublin G (IgG) pada dinding kapiler glomerulus.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel.
Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
1. Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan
infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan
kapiler tersumbat.
2. Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
3. Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan
viseral. Prognosis buruk.
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di
mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
5. Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.

4. Glomerulosklerosis fokal segmental


Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis
buruk.

D. Patofisiologi

a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya


protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga
cairan intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan
volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal
karena hypovolemi.

b. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang
produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi
aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan
menyebabkan edema.

c. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi
produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma

d. Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein dalam hati
yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin
(lipiduria)

e. Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)
E. Manifestasi Klinik

1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk
ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting),
dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah
genitalia dan ekstermitas bawah.

2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa

3. Pucat

4. Hematuri
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat
dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.

5. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.

6. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya
terjadi.

7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 )

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Urin
Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom nefrotik.
Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick bacaan, atau dengan pengujian
semi kuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah 3 + merupakan 300 mg / dL dari protein urin
atau lebih, yaitu 3 g / L atau lebih dan dengan demikian dalam kisaran nefrotik. Pemeriksaan
dipsticks kimia albumin adalah protein utama yang diuji.
a. Protein urin > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari
b. Urinalisa cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin positif untuk protein dan darah
d. Berat jenis urin meningkat (normal : 285 mOsmol)
2. Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
a. Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)
b. Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100 ml). Hal ini disebut sebagai
hipoalbuminemia (nilai kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/100 ml). Pada SN
ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein yang terjadi di
tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme in merupakan factor tambahan terjadinya
hipoalbuminemia selain dari proteinuria (albuminuria). Pada SN sering pula
dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang
pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema
anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2 gram/100 ml, dan syok hipovolemia
terjadi biasanya pada kadar < 1 gram/100 ml. (Betz, 2002)
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.
b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal.
c. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau
pembentukkan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli. (Betz, 2002)

G. Penatalaksanaan

a. Terapi nonfarmakologis

1) Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari


karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk
memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai
jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan
kadar fibrinogen menurun.

2) Istirahat sampai oedema tinggal sedikit

b. Terapi farmakologis

Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit
penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki
hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati
membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.
Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien
memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawak
menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi
simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan.
Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada
nefropati jenis ini. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya
prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan
dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa
adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg
berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi
diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada kemajuan
dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai
proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada
manfaatnya. Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg
berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4
minggu.Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :

a. Remisi lengkap

 proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)


 albumin serum >3 g/dl
 kolesterol serum < 300 mg/dl
 diuresis lancar dan edema hilang

b. Remisi parsial

 proteinuri <3,5 g/harI


 albumin serum >2,5 g/dl
 kolesterol serum <350 mg/dl
 diuresis kurang lancar dan masih edema

c. Resisten

 klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan
4 bulan dengan kortikosteroid.

Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi
minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid
jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus.
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri
digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal
kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat
antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3×50mg.

Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein glomerulus dengan


menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus.
Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat dihentikan).
Angiotensin receptor blocker (ARB)(ARB) ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena
menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor
pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal.
Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada
glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi non-
steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal,
penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria
sampai 75%.

Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah
agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan
progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin
< 50 ml/menit.

Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid
dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi
remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg
bb/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi,
alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil
adalah azoospermia dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada
nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan
menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan
metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun
perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari
intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1
bulan berselang seling.

Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30


mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol suatu obat
cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada anak-anak dengan dosis
2,5mg/kg bb tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah
netropeni, trombositopeni dan skin rash.

Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk
memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6
bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat
juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan
kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis,
hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah
azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan.

Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat diberikan
suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat
proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B dan ekspresi
molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada
46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan
remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.
Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik
(furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium
sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500
mg furosemid dan 200 mg spironolakton).

Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi


menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh
protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat
diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume
plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian
infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin,
selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.

Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini.


Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme
A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini
dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat
menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol.
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat
menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total
dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat
menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan
kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak
dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi
vitamin D pada SN.

Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada


kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol
(3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi
fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi
ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami
proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan
heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau
setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan pantauan activated partial
thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan
prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3
kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis)
diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk
mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.

Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak dan


herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal
akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini
pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan
transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal segmental
yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin
disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan
permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin
pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN
sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang
mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.

H. Komplikasi

a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat


hipoalbuminemia.

b. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang


menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.

c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi


peninggian fibrinogen plasma.

d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.


(Rauf, .2002 : .27-28).
BAB III

Asuhan keperawatan

Konsep Dasar Keperawatan


Asuhan Keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan untuk
meningkatkan, mencegah dan memulihkan kesehatan. Proses Keperawatan merupakan susunan
metode pemecahan masalah yang meliputi pengkajian keperawatan, identifikasi/analisa maslah
(diagnosa Keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi yang masing-masing
berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan profesional tenaga keperawatan
(Hidayat,2004)

1. Pengkajian.
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam mengkaji,
harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung
pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian.
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom nefrotik (Donna L. Wong,200
: 550) sebagai berikut :

a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema

b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan


penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.

c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :

1) Penambahan berat badan

2) Edema

3) Wajah sembab :

a) Khususnya di sekitar mata

b) Timbul pada saat bangun pagi

c) Berkurang di siang hari

4) Pembengkakan abdomen (asites)

5) Kesulitan pernafasan (efusi pleura)

6) Pembengkakan labial (scrotal)

7) Edema mukosa usus yang menyebabkan :


a) Diare

b) Anoreksia

c) Absorbsi usus buruk

d) Pucat kulit ekstrim (sering)

8) Peka rangsang

9) Mudah lelah

10) Letargi

11) Tekanan darah normal atau sedikit menurun

12) Kerentanan terhadap infeksi

13) Perubahan urin :

a) Penurunan volume

b) Gelap

c) Berbau buah

d) Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa urine


akan adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa darah untuk protein
serum (total, perbandingan albumin/globulin, kolesterol), jumlah darah merah,
natrium serum.

2. Diagnosa keperawatan

a. Resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan kehilangan


protein dan cairan, edema.

1) Tujuan
Klien tidak menunjukkan kehilangan cairan intravaskuler atau shock hipovolemik yang
ditunjukkan pasien minimum atau tidak ada

2) Kriteria hasil

a) Penurunan oedema, ascites.


b) Kadar protein darah meningkat/cukup

c) Berat badan kembali dalam batas normal

d) Output urine adekuat (450 – 900 cc/hr)

e) Tekanan darah dalam batas normal (D < 54 S > 90)

3) Intervensi

a) Catat intake dan output secara akurat

R/ Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan

b) Kaji dan catat TD, Pembesaran abdomen, BJ Urine, nilai laboratorik setiap 4 jam.

R/ TD dan BJ Urine dapat menjadi indikator regimen terapi

c) Timbang BB tiap hari dalam skala yang sama

R/ Estimasi penurunan oedema tubuh

d) Pegang daerah oedema secara hati-hati, laki-laki mungkin perlu menggunakan penyangga
scrotum

R/ Mengurangi cidera yang mungkin timbul, mengurangi oedema

e) Berikan steroid (prednison) sesuai jadwal. Kaji efektifitas dan efek samping (retensi
Natrium, Kehilangan Potasium)

R/ Peningkatan ekses cairan tubuh

f) Sesuai indikasi, berikan diuretik dan antasid (untuk mencegah perdarahan GI akibat terapi
steroid)

R/ Pengurangan cairan ekstravaskuler sangat diperlukan dalam mengurangi oedema


b. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema.

1) Tujuan
Kulit tidak menunjukkan adanya kerusakan integritas : kemerahan atau iritasi

2) Ktiteria hasil

a) Integritas kulit baik

b) Memperlihatkan prilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit.

3) Intervensi

a) Berikan perawatan kulit

R/ Memberikan kenyamanandan mencegah kerusakan kulit

b) Hindari pakaian ketat

R/ Dapat mengakibatkan area yang menonjol tertekan

c) Bersihkan dan bedaki permukaan kulit beberapa kali sehari

R/ Untuk mencegah terjadinya iritasi pada kulit karena gesekan dengan alat tenun

d) Topang organ edema, seperti skrotum

R/ Untuk menghilangkan aea tekanan

e) Ubah posisi dengan sering ; pertahankan kesejajaran tubuh dengan baik

R/ Karena anak dengan edema massif selalu letargis, mudah lelah dan diam saja

f) Gunakan penghilang tekanan atau matras atau tempat tidur penurun tekanan sesuai
kebutuhan

R/ Untuk mencegah terjadinya ulkus

c. Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi cairan dalam
jaringan dan ruang ketiga (Interstitial).
1) Tujuan
Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien mendapatkan volume cairan
yang tepat).

2) Kriteria hasil

a) Penurunan edema, ascites.

b) Tidak mengalami peningkatan edema

c) Berat badan kembali dalam batas normal

d) Output urine adekuat (450 – 900 cc/hr)

3) Intervensi

a) Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat.

R/ Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan


penurunan resiko kelebihan cairan.

b) Timbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika diindikasikan).

R/ Mengkaji retensi cairan

c) Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus serta pantau edema
sekitar mata.

R/ Untuk mengkaji ascites dan karena merupakan sisi umum edema.

d) Atur masukan cairan dengan cermat.

R/ Agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan

e) Pantau infus intra vena

R/ Untuk mempertahankan masukan yang diresepkan

f) Berikan kortikosteroid sesuai ketentuan.

R/ Untuk menurunkan ekskresi proteinuria

g) Berikan diuretik bila diinstruksikan.

R/ untuk memberikan penghilangan sementara dari edema.


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya
injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hypoproteinuria,
hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. (Suriadi, 2006)

Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria,


hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor
yang menyebabkan premeabilitas glomerulus. (Hidayat, A.Aziz, 2006)

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi
menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan

2. Sindrom nefrotik sekunder

3. Sindrom nefrotik idiopatik

4. Glomerulosklerosis fokal segmental


DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC

Betz, Cecily Lynn. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta

Marilynn, E. Dongoes Dkk, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC : Jakarta

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC

Rauf, Syarifuddin. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UH :
Makassar

Smeltzer, Suzanne C, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, edisi 8, Volume
2, EGC : Jakarta

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/27/askep-sindrom-nefrotik/

idmgarut.wordpress.com/…/28/sindroma-nefrotik

http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/03/askep-sindroma-nefrotik.html

Anda mungkin juga menyukai