Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai

oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan

Suddarth, 2011). Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) tahun 2010,

diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau kedua-duanya (Priantoro & Sulistianingsih, 2014:777).

Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis merupakan suatu penyakit

menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi nilai

normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar

gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly, 2006:9).

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi

yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas

insulin atau keduanya yang menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler,

makrovaskuler, dan neuropati (Nanda, 2015:188).

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat

penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin

(Suyono, 2011:12).

6
7

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ada dua bentuk yaitu:

1) Diabetes Mellitus Tipe I

Diabetes mellitus tergantung insulin (Insulin-Dependent Diabetes Mellitus

[IDDM]). Tubuh perlu pasokan insulin dari luar, karena sel-sel beta dari pulau

Langerhans telah mengalami kerusakan, sehingga pankreas berhenti memproduksi

insulin. Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak kecil ataupun setelah

dewasa. Penderitanya harus mendapatkan suntikan insulin setiap hari selama

hidupnya (Sustrani, 2006:16-17).

2) Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus [NIDDM]). Terjadi jika insulin hasil produksi pankreas tidak cukup atau

sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin, sehingga terjadilah

gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Banyak penderita yang tidak mengalami

gejala apa pun atau hanya berupa gejala ringan, yang kemudian berkembang secara

perlahan. Penemuannya sering pada waktu pemeriksaan kesehatan. Diabetes tipe 2

tidak dapat diobati hingga sembuh, hanya dapat dikelola atau dikontrol (Sustrani,

2006:18-19).

2.1.3 Etiologi Diabetes Mellitus

1) Diabetes tipe I

Diabetes Tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Komplikasi

faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus)

diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta (Smeltzer & Bare, 2002:1224).
8

2) Diabetes tipe II

Menurut Noviyanti (2015:35-36) dan Sustrani (2006:34-36), etiologi dari

diabetes mellitus adalah:

a. Kelainan genetik. Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang

mengidap diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tidak dapat

menghasilkan insulin dengan baik.

b. Usia. Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis

menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah

seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun pada

mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap

insulin.

c. Stres berat. Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang

manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak.

Serotonin memiliki efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi

lemak dan gula itulah yang berbahaya bagi mereka yang beresiko terkena diabetes.

d. Pola makan yang salah. Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama

meningkatkan resiko kena diabetes. Kurang gizi (malnutrisi) dapat merusak

pankreas, sedangkan obesitas (gemuk berlebih) mengakibatkan gangguan kerja

insulin (retensi insulin)

e. Mengkonsumsi makanan yang terlalu banyak mengandung karbohidrat. Kadang

tubuh tidak sanggup memproses karbohidrat yang terlalu banyak menjadi energi

dengan cepat sehingga tingkat gula darah bisa meningkat hanya dalam hitungan

jam.
9

f. Kurang olah raga. Berolahraga setiap hari bisa membantu mengatur tingkat gula

dalam darah. Sebaliknya kurang berolahraga bisa membuat gula darah meningkat.

g. Infeksi, penyakit dan operasi. Biasanya kadar gula darah naik lebih cepat

dibandingkan pada orang yang tidak sakit atau mengalami infeksi.

h. Obat – obatan. Mengkonsumsi beberapa jenis obat juga bisa meningkatkan kadar

gula. Penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin-Receptor Blockers/ARBs) dan

penghambat enxim pengubah angiotensin (Angiotensin-Converting Enzyme/ACE)

(Fitria, 2009:35).

i. Kontrol insulin. Naiknya gula darah juga bisa disebabkan oleh kurangnya

produksi insulin dalam tubuh.

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang

rusak. Tubuh juga memerlukan energi supaya sel dapat berfungsi dengan baik.

Energi itu berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari

karbohidrat, protein, dan lemak. Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat

makanan itu harus masuk dulu kedalam sel supaya dapat diolah.

Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang

hasil akhirnya adalah timbulnya energi yang disebut metabolisme. Dalam proses

metabolisme, insulin memegang peran yang sangat penting yaitu bertugas

memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai

bahan bakar. Insulin dikeluarkan oleh sel beta pankreas. Pada diabetes, jumlah

insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulinnya tidak baik (resistensi

insulin), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di

dalam sel itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka hingga glukosa tidak
10

dapat masuk sel untuk dimetabolisme. Akibatnya glukosa tetap berada di luar sel,

hingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Suyono, 2011:12-13).

2.1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

1) Gejala akut

a. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba banyak, yaitu:

Pertama, banyak minum (polidipsia). Rasa haus amat sering dialami oleh

penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru

sering disalahtafsirkan. Dikiranya sebab rasa haus ialah udara yang panas atau

beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum

banyak. Kondisi polidipsia sangat berkaitan erat dengan poliuria, karena banyaknya

pengeluaran cairan tubuh melalui ginjal ditambah kondisi tubuh mengalami

hiperosmolar akibat peningkatan tubuh akan mengalami penurunan cairan intrasel.

Selanjutnya kondisi tersebut menyebabkan stimulasi osmoreseptor pusat haus di

otak sehingga penderita diabetes mellitus sering merasa haus.

Kedua, banyak makan (polifagia). Kalori dari makanan yang dimakan, setelah

dimetabolisasikan menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat

dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar. Kondisi ini disebabkan penurunan

insulin mengakibatkan penggunaan glukosa oleh sel darah menurun, sehingga

menimbulkan pembentukan glukosa dari non-karbohidrat, yaitu dari protein dan

lemak (lipolisis). Peningkatan lipolisis dan katabolisme

Ketiga, banyak kencing (poliuria). Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang

tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah

yang banyak akan sangat menganggu penderita, terutama pada waktu malam hari

(Subekti, 2011:276).
11

2) Gejala kronik

Gejala kronik ini paling sering membawa penderita berobat pertama kali.

Gejala kronik yang paling sering timbul adalah gangguan saraf tepi atau kesemutan,

kulit terasa panas, atau tertusuk-tusuk jarum, terasa tebal dikulit, sehingga jika

berjalan seperti di atas bantal atau kasur, kram, lelah, mudah mengantuk, mata

kabur, kemampuan seksual menurun bahkan impoten dan pada ibu hamil sering

mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau berat badan bayi

lebih dari 4 kg.

2.1.6 Komplikasi Diabetes Mellitus

2.1.6.1 Komplikasi Akut Diabetes

Menurut Smeltzer & Bare (2002:1256-1262), ada 3 komplikasi yaitu:

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal rendah) terjadi kalau kadar

glukosa darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/L)

Boedisantoso (2011:165-164).

2) Diabetes Ketoasidosis

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak

cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Ada tiga gambaran klinis yang

penting yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan asidosis. Gangguan pada sekresi

hormon insulin, kerja insulin atau oleh keduanya pada pasien diabetes mellitus tipe

II dan kerusakan sel beta pulau langerhans pada tipe I, pasien diabetes mellitus akan

mengalami kondisi hiperglikemia akibat penurunan uptake glukosa ke dalam sel

yang diikuti peningkatan lipolisis, glukoneogenesis di hepar dan pemecahan


12

protein. Peningkatan lipolisis dapat mengakibatkan peningkatan oksidasi asam

lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan

aseton), benda keton keluar melalui urine (ketonuria), peningkatan aseton dalam

tubuh akan menyebabkan bau napas seperti buah (aseton).

3) Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik

HHNK merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan

hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (self of awareness).

2.1.6.2 Komplikasi Kronis

Menurut Smeltzer & Bare (2002:1267) kategori komplikasi kronis diabetes

yaitu:

1) Komplikasi makrovaskuler

Meliputi penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit

vaskuler perifer (Smeltzer & Bare, 2002:1268).

2) Komplikasi mikrovaskuler

Penyakit mikrovaskuler diabetik (atau mikroangiopati) ditandai oleh penebalan

membran basalis pembuluh kapiler. Membran basalis mengelilingi sel-sel endotel

kapiler. Ada dua tempat yaitu retina mata dan ginjal, komplikasi mikrovaskular

antara lain:

a. Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik adalah sebuah kondisi komplikasi diabetes akibat rusaknya

pembuluh darah pada jaringan sensitif mata bagian belakang (retina), yang

memengaruhi retina dan dapat berakibat hingga menyebabkan kebutaan. Jika kadar

gula darah terlalu tinggi, maka lensa alami mata akan membengkak sehingga

pandangan menjadi kabur (Fitria, 2009:49).


13

b. Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput

penyaring darah. Kadar gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput

penyaring. Gangguan ginjal menyebabkan fungsi ekskresi, filtrasi, terganggunya

hormon ginjal. Gejala nefropati diabetes baru terasa saat kerusakan ginjal telah

parah berupa bengkak pada kaki dan wajah, mual, muntah, lesu, sakit kepala, gatal,

mengalami penurunan berat badan (Fitria, 2009:53).

c. Neuropati Diabetik

Kondisi dimana kadar gula darah tinggi dan berlangsung dalam waktu yang

lama dapat merusak pembuluh darah dan sistem saraf. Komplikasi keruskan saraf,

membuat fungsi sistem saraf dalam mengirrim pesan-pesan ke otak atau ke bagian

tubuh lainnya mengalami kesulitan. Jika penderita diabetes mempunyai komplikasi

kerusakan saraf, mungkin mereka akan merasakan kehilangan rasa pada bagian

tubuhnya (Holistic Health Solution, 2011:31-32).

Berdasarkan kerusakan pada jenis saraf neuropati dibedakan menjadi:

Pertama, kerusakan saraf motorik (neuropati motorik), saraf motorik

merupakan saraf yang bertugas membawa pesan dari otak ke otot, dan merangsang

otot untuk bergerak, mengakibatkan hilangnya aktivitas otot pada kaki atau tangan.

Jari-jari tangan maupun kaki dapat melengkung dan menonjol keluar, serta jari-jari

melemah.

Kedua, kerusakan saraf sensorik (neuropati sensorik), saraf sensorik bertugas

menghantarkan rangsangan dari tubuh ke otak. Saraf ini yang dapat membuat orang

dapat merasakan sakit, panas, maupun rasa lain. Kerusakan pada saraf ini akibat
14

diabetes melitus awalnya membuat kaki menjadi sakit dan sensitif. Namun lama-

kelamaan kaki menjadi kebal dan mati rasa (tidak dapat merasakan apa-apa).

Ketiga, kerusakan saraf otonom (retinopati otonom), ada enam akibat utama

neuropati otonom yaitu:

1. Kardiovaskuler, yang terdiri dari 3 manifestasi yaitu frekuensi jantung yang

meningkat (takikardia) tetapi menetap, hipotensi ortostatik, dan infark miokard

tanpa nyeri atau silent.

2. Gastrointestinal. Kelambatan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala

khas seperti perasaan cepat kenyang, kembung, mual dan muntah.

3. Urinarius. Retensi urin, penurunan kemampuan untuk merasakan kandung

kemih yang penuh dan gejala neurogenic bladder yang memiliki predisposisi untuk

mengalami infeksi saluran kemih.

4. Kelenjar adrenal (hipoglycemic unawareness), menyebabkan tidak adanya atau

kurangnya gejala hipoglikemia.

5. Neuropati sudomotorik, yaitu tidak adanya atau berkurangnya pengeluaran

keringat “anhidrosis” pada ekstremitas yang disertai dengan peningkatan

kompensatorik perspirasi di bagian tubuh lain. Kekeringan pada kaki membawa

resiko timbulnya ulkus kaki.

6. Disfungsi seksual, khusunya impotensi laki-laki.

Neuropati sering sekali memengaruhi bagian tungkai dan kaki dan mungkin

penderita tidak bisa merasakan adanya lepuh atau luka pada kakinya. Kemudian

luka dapat menjadi infeksi dan beberapa kasus yang serius mungkin harus

dilakukan amputasi. Hal ini dapat dicegah dan dihindari dengan cara dilakukan
15

pemeriksaan setiap hari pada kaki, periksa adanya bengkak, kemerahan, dan rasa

panas pada kaki (Holistic Health Solution, 2011:32).

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah,

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Untuk diagnosis ada indek tambahan yaitu indeks penentuan derajat kerusakan sel

beta (Soegondo, 2011:20). Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan,

pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) diperlukan untuk memastikan

diagnosis DM. Glukosa darah diperiksa 2 jam setelah beban glukosa. (Mansjoer,

2011:581).

2.2 Luka Diabetik

2.2.1 Pengertian Luka Diabetik

Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik yang

melibatkan gangguan pada saraf periferal dan autonomik. Luka mula mula

tergolong biasa dan seperti pada umumnya, tetapi luka pada penderita DM ini jika

salah penanganan dapat menjadi luka gangren dan berakibat fatal serta berujung

amputasi (Suriadi, 2007:110).

2.2.2 Etiologi Luka Diabetik

Luka diabetik disebabkan oleh diabetes neuropati, diabetes neuropati

merupakan kerusakan pada saraf sensori akan menyebabkan klien kehilangan

sensasi nyeri dapat sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlihat. (Suriadi,

2007)
16

2.2.3 Patofisiologi Luka Diabetik

Umumnya patogenesis ulkus kaki diabets disebabkan oleh kombinasi dari

infsufisiensi arteri pada tungkai bawah, neuropati tungkai bawah yang memicu

terjadinya perubahan bentuk kaki, dan pembentukan kalus karena hipohidrosis atau

anhidrosis. Abnormalitas stres biomekanik pada kaki lebih lanjut akan menjadi

faktor yang berperan pada timbulnya ulkus kaki diabetes dan trauma lokal. Dari

20% pasien dengan ulkus kaki diabetes yang diakibatkan oleh aliran darah arteri

yang tidak adekuat, 50%-nya mempunyai diabetes neuropati dan 30%-nya

ditimbulkan oleh keduanya (Handaya, 2017).

Penyakit neuropati dan vaskular adalah faktor utama yang mengkontribusi

terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik kaitannya

dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal

dengan neuropati perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami

gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah berhubungan dengan

pheripheral vascular disease. Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan kerusakan

pada saraf. Diaberik neuropati berdampak pada saraf autonomi, yang mengontrol

fungsi otot-otot halus, kelenjar dan organ viseral. Dengan adanya gangguan pada

saraf autonomi, pengaruhnya adalah terjadi perubahan tonus otot yang

menyebabkan perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran

pembuluh darah.

Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian

antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencari jaringan perifer, dan atau untuk

kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonomi neuropati ini

akan menimbulkan kulit menjadi kering, anhidrosis; yang memudahkan kulit


17

menjadi rusak dan luka yang sukar sembuh, dan dapat menimbulkan infeksi dan

mengkontribusi untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah karena adanya

neuropati perifer yang mempengaruhi pada saraf sensori dan sistem motor yang

mengakibatkan hilangnya sensasi rasa nyeri, tekanan dan perubahan temperatur

(Suriadi, 2007).

2.2.4 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik

Menurut Wagner dalam Handaya 2017, ulkus kaki pada penderita diabetes

melitus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Tingkat 0, yaitu tidak ada luka terbuka di kaki.

2) Tingkat 1, yaitu dijumpai ulkus superfisial (sebagian atau seluruh lapisan kulit)

3) Tingkat 2, yaitu ulkus dijumpai pada ligamen, tendon, pembungkus sendi, atau

fasia dalam (deep fascial) tanpa abses atau osteomielitis.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Menurut Suriadi 2007, manifestasi luka kaki diabetik antara lain:

1) Umumnya pada daerah plantar kaki

2) Kelainan bentuk pada kaki; deformitas kaki.

3) Berjalam yang kurang seimbang

4) Adanya fisura dan kering pada kulit

5) Pembentukan kalus pada area yang tertekan

6) Tekanan nadi pada area kaki yang mungkin normal

7) Ankle Branchial Index normal

8) Luka biasanya dalam dan berlubang

9) Sekeliling kulit; dapat terjadi selulitis.

10) Hilang atau berkurangnya sensasi nyeri.


18

11) Xerosis ( keringnya kulit kronik )

12) Hyperkeratosis pada sekeliling luka dan anhidrosis

13) Eksudat yang tidak begitu banyak.

14) Biasanya luka tampak merah.

2.2.6 Fase Penyembuhan Luka Diabetik

Fase penyembuhan dibagi menjadi empat fase yang saling berkaitan, yaitu fase

hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Karakteristik dari setiap fase

adalah sebagai berikut :

1) Hemostasis

Fase hemostasis terjadi segera setelah injury. Tujuan dari fase ini adalah untuk

menghentikan perdarahan. Keping darah (platelet) adalah kunci utama dalam

proses hemostasis ini. Keping darah akan membentuk agregat dan mengalami

degranulasi, sehingga terjadi formasi bekuan darah. Keping darah juga akan

mensekresi beberapa macam sitokin dan faktor pertumbuhan seperti Platelet

Derived Growth Factor, Transforming Growth Factor, dan Epidermal Growth

Factor. Sitokin dan faktor pertumbuhan memiliki banyak fungsi, diantaranya

adalah menarik leukosit dan firoblas kearah injury. Selama koagulasi, terbentuk

gumpalan fibrin. Gumpalan fibrin kemudian mengalami lisis yang akan

memudahkan sel-sel untuk migrasi kearah luka. Setelah hemostasis, fase inflamasi

dimulai.

2) Inflamasi

Fase inflamasi disebut juga sebagai fase pertahanan atau fase reaksi. Fase ini

dimulai segera pada saat terjadi injuri dan biasanya berlangsung 4 sampai 6 hari.

Karakteristik dari fase inflamasi adalah sakit,panas, kemerahan, dan bengkak.


19

Tujuan utama fase inflamasi adalah untuk menghilangkan debris patogen dan

menyiapkan daerah yang luka untuk membentuk jaringan baru. Pada fase

hemostasis, keping darah yang mengalami degranulasi akan mengeluarkan sitokin

dan faktor pertumbuhan. Sitokin dan faktor pertumbuhan akan menginisiasi respon

inflamasi dengan cara menarik sel inflamasi ke daerah injuri, yaitu neutrofil dan

makrofag. Segera setelah injuri neutrofil akan datang ke daerah luka melawan

bakteri dan membersihkan benda asing dari luka. Jumlah neutrofil mencapai

puncaknya pada waktu 24-48 jam setelah injuri dan turun pada hari ketiga setelah

injuri. Pada hari kedua setelah injuri, monosit akan masuk ke dalam luka, diikuti

dengan limfosit. Monosit akan berubah menjadi makrofag. Seperti neutrofil,

makrofag akan menarik fibroblas, dan juga mensekresikan protease, faktor-faktor

pertumbuhan, dan sitokin yang penting untuk proses penyembuhan luka.

3) Proliferasi

Fase proliferasi biasanya dimulai pada hari ketiga setelah injuri dan

berlangsung sampai beberapa minggu (sekitar tiga minggu). Fase proliferasi juga

disebut fase fibroblastik, regeneratif, atau fase jaringan ikat. Tujuan dari fase ini

adalah untuk mengisi luka dengan jaringan yang baru (jaringan granulasi) dan

memperbaiki integritas dari kulit. Fase ini meliputi angiogenesis (pertumbuhan

pembuluh darah baru), sintesis kolagen, kontraksi luka (tepi-tepi luka saling

menarik), dan re-epitelisasi. Fase proliferasi biasanya berlangsung beberapa

minggu. Fase angiogenesis ditandai dengan tumbuhnya pembuluh-pembuluh darah

baru oleh sel-sel endotelial. Pada fase proliferasi, fibroblas berperan untuk

memproduksi kolagen. Ketika luka sudah terisi jaringan granulasi tepi-tepi luka

akan saling menarik (kontraksi), sehingga ukuran luka menjadi kecil. Fase terakhir
20

dalam proses proliferasi adalah epitelisasi. Selama fase ini, keratinosit akan

bermigrasi dari tepi luka, kemudian sel ini akan membelah dan akhirnya mampu

menutup luka.

4) Fase Maturasi

Fase ini disebut sebagai fase maturasi atau remodelling. Fase ini berlangsung

sekitar 3 minggu setelah injuri sampai beberapa bulan atau tahun. Fase ini

melibatkan keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasinya. Pada fase ini

serat kolagen mengalami maturasi. Tiga minggu setelah injuri, kekuatan kulit

(tensile strength) adalah sekitar 20% dibanding sebelum terjadi luka. Pada akhir

fase maturasi, kulit bekas luka hanya mempunyai 80% dari kekuatan kulit sebelum

terjadi luka. Karena kekuatan kulit ini lebih sedikit dari kekuatan kulit sebelum

luka, oleh karena itu jaringan kulit yang menyembuh ini berisiko mengalami

kerusakan.

2.2.7 Manajemen Luka Diabetik

1) Pengkajian

Untuk menentukan secara pasti bahwa klien mengalami luka diabetik, perlu

dilakukan pengkajian yang meliputi; status diabetik, status nutrisi, status vascular

pada ekstrimitas, status neurologi; rasa sensasi, dapat menggunakan test dengan alat

monofilament, status luka; ukuran, lokasi, tahap luka, dasar luka, jumlah dan tipe

eksudat, sekeliling luka, adanya fistula dan kedalaman sampai ke tulang,

penggunaan alas kaki.

2) Pemeriksaan Fisik

Secara umum pemeriksaan fisik mencakup muskuloskeletal, neurologik,

vaskuler, dan integumen. Hal yang perlu diperiksa pada aspek muskuloskeletal
21

adalah postur, cara berjalan, kekuatan, fleksibilitas, dan ketahanan. Pada aspek

neurologik; keseimbangan, refleks, dan fungsi sensori. Pada sistem vaskular;

denyut nadi tibial dan nadi dorsalis pedis, dan ABI. Pemeriksaan integumen

mencakup; tekstur, suhu, warna, rambut, kelenjar keringat, sebasea dan kuku.

Pemeriksaan pada kaki; permukaan plantar dan jari-jari kaki, antara jari-jari,

bagian lateral kaki. Perhatikan sekeliling luka; kalus, blister dan perdarahan,

eritema yang mengindikasikan inflamasi atau infeksi, indurasi (pinggiran luka

keras), fisura pada kulit (akan menjadi pintu gerbang masuknya kuman), kulit

kering, dan bersisik.

Pemeriksaan palpasi; melakukan pemeriksaan pada bagian tungkai mencakup;

palpasi dorsalis pedis, posterior tebial; popliteal, dan nadi femoral. Intervensi

dengan tujuan meningkatkan integritas kulit dan mencegah infeksi. Kaji area lokasi

luka, lakukan penilaian pada daerah luka; kedalamannya, adanya benda asing,

osteomilitis, gas pada subkutaneus. Ini dapat dilihat dengan pemeriksaan X-ray.

Lakukan pemeriksaan vaskular, bila luka terdapat kalus lakukan debridement

pada sekeliling luka, sebelum melakukan debridement area luka didisinfeksi

terlebih dahulu dengan larutan betadin atau antiseptik lainnya yang sesuai,

kemudian bersihkan dengan normal salin, pemberian obat dan ditutup dengan kasa

steril. Balutan dapat diberikan pada area luka yang terutama sifatnya menyerap.

Balutan dapat menggunakan; alginate, transfaran dressing, foam dressing,

hidrokoloid, hidrogel, dressing kolagen, intrasite gel, dan kombinasi. Penggunaan

dressing juga akan tergantung pada karakteristik luka. Bila luka dalam keadaan

kering maka harus menggunakan dressing yang sifatnya basah, dan sebaliknya.
22

Pemberian antimikrobial tergantung pada hasil pemeriksaan. Dapat pula dikompres

dengan madu pada area luka dan kasa steril.

3) Wound-bed preparation dan dressing

Tujuan dari wound-bed preparation adalah untuk mengoptimalkan

vaskularisasi jaringan granulasi dengan baik tanpa adanya tanda-tanda infeksi lokal

seperti; drainase, selulitis dan bau (Brem H dkk, 2004). Pengangkatan skar adalah

suatu hal yang esensial. Debridement yang tepat akan mempersiapkan perangkat

jaringan luka dan menstimulasi proses penyembuhan. Optimalisasi perangkat

jaringan luka mencakup stimulasi jaringan granulasi (kolagen baru dan

angiogenesis) dan mengurangi bakteri sebagai beban bagi luka. Dalam

mempersiapkan perangkat jaringan luka salah satunya harus ada upaya

menciptakan lingkungan untuk penyembuhan luka tetap basah dan fasilitasi

pembentukan jaringan granulasi, kemudian pengobatan luka dengan didasarkan

pada patofisiologi. Setelah luka dilakukan debridement, antibiotik topikal

barangkali akan baik.

Kemudian jaringan harus dipertahankan cepat basah atau lembab atau dapat

memperdalam luka. Pada kondisi luka yang kurang basah pada keadaan tertentu

jaringan yang bergranulasi akan masuk ke dalam karena akan mencari lingkungan

yang basah. Lingkungan luka yang basah setelah bergranulasi akan mefasilitasi

megrasi sel-sel epidermal ke dalam perangkat jaringan luka, memperluas migrasi

sel epidermal, dan memperbaiki angiogenesis dan sintesis jaringan penghubung.

Dalam mempersiapkan perangkat jaringan luka yang terkait dengan penggunaan

dressing, akan tergantung pula pada tipe jaringan luka. Oleh karena itu perlu sekali

memahami jenis dressing yang digunakan dan fungsinya. Dressing yang digunakan
23

untuk menutup luka akan disesuaikan dengan lokasi luka, kedalaman, jumlah esker

atau adanya slof, jumlah eksudat, kondisi marjin luka, adanya infeksi, perlunya

Modern dressing menurut Suriadi (2007), adalah sebagai berikut:

Tipe luka Dressing


Luka kering Hydrogel
Luka basah Alginate, foam, kolagen.
Luka nekrotik Hydrogel, hydrocolloid.
Luka dangkal Transfaran film dressing
Luka yang terdapat rongga Alginate (luka basah), hydrogel
(luka kering)
Luka dan terdapat perdarahan Alginate
Tabel 2.1 Modern Dressing (Suriadi, 2007).

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Luka Kaki Diabetik

2.3.1 Pengkajian Keperawatan Secara Umum

1) Identitas penderita

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,

status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan

diagnosa medis.

2) Keluhan Utama

Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun,

adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.

3) Riwayat kesehatan

a. Riwayat Kesehatan sekarang

Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya

yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.


24

b. Riwayat kesehatan dahulu

Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada

kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat

penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di

dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.

c. Riwayat kesehatan keluarga

Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang

juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya

defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.

d. Riwayat psikososial

Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami

penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap

penyakit penderita.

4) Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum

Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan

dan tanda – tanda vital.

b. Kepala dan leher

Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga

kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa

tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan

berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.


25

c. Sistem integumen

Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,

kelembaban dan suhu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada

kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.

d. Sistem pernafasan

Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah

terjadi infeksi.

e. Sistem kardiovaskuler

Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,

takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi, aritmia, kardiomegalis.

f. Sistem gastrointestinal

Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase,

perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.

g. Sistem urinary

Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.

h. Sistem musculoskeletal

Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah,

lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.

i. Sistem neurologis

Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek

lambat, kacau mental, disorientasi.

2.3.2 Pengkajian Khusus dan Pendokumentasian Luka

Ketika melakukan perawatan luka dan penggantian balutan, perawat

seharusnya melakukan pengkajian tentang luka, yang meliputi:


26

1) Ukuran Luka

Menentukan ukuran luka dapat ditentukan dengan beberapa metode. Metode

yang paling umum digunakan adalah:

a. Pengukuran Linier

Ada 2 cara yang paling sering digunakan untuk pengukuran linier (sussman, &

Bates Jensen, 2012), yaitu:

Pertama, pengukuran sisi terpanjang dan sisi terlebar dimana pengukuran luas

luka ini dapat dilakukan dengan cara mengukur diameter terpanjang dan terlebar

dari luka, kemudian hasilnya dikalikan. Metode ini sederhana, mudah dan sering

digunakan pada pasien namun apabila bentuk luka tidak teratur, dapat

mengakibatkan hasil pengukuran yang kurang akurat.

Kedua, pengukuran dengan metode jam, pilihlah posisi jam 12 pada luka (arah

kepala pasien), kemudian ukurlah dari arah jam 12 ke jam 6, dan dari arah jam 9 ke

jam 3. Tahapan mengukurnya adalah sebagai berikut: tentukan posisi jam 12

(kearah kepala), tandai jam 12 dengan anak panah, kemudian tentukan posisi jam

6, 3, dan 9, ukurlah dari tepi luka di jam 12, ke tepi luka di jam 6, ukurlah dari tepi

luka jam 3 ke tepi luka jam 9.

b. Pengukuran Luka dengan Cara Menjiplak

Pengukuran luka ini menggunakan plastik yang bergambar kotak-kotak dengan luas

0.5 cm. Jumlah kotak didalam jiplakan kemudian dihitung untuk memperkirakan

area. Prosedurnya adalah dengan menempatkan plastik diatas luka, kemudian

daerah tepi lukanya dijiplak dengan menggunakan pena. Hasil jiplakan dapat di

scan ke dalam komputer dan kemudian diukur luas lukanya. Saat ini sudah terbiasa

alat untuk menentukan luas luka berdasarkan hasik jiplakan luka.


27

c. Pengukuran Luka Melalui Foto

Setiap luka harus difoto pada saat penggantian balutan, agar perkembangan luka

dapat termonitor dan dapat dilihat kembali apabila diperlukan. Foto digital dapat

diunggah dan dianalisis menggunakan software komputer

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata

maupun potensial bedasarkan data yang telah di kumpulkan. Menurut Wijaya &

Putri (2013) diagnosa aktual pasien diabetes mellitus dengan ulkus kaki diabetik

adalah kerusakan integritas kulit.

Berdasarkan Diagnosis NANDA (2015) kerusakan integritas kulit memiliki

penjabaran sebagai berikut:

1) Definisi: Kerusakan pada epidermis dan/ atau dermis.

2) Batasan karakteristik: Benda asing menusuk permukaan kulit dan kerusakan

integritas kulit.

3) Faktor yang berhubungan:

a. Eksternal: agens farmausetikal, cedera kimiawi kulit (mis, luka bakar,

kapsaisin, metilen klorida, agens mustard), faktor mekanik (mis., daya gesek,

tekanan, imobilitas fisik), hipertremia, hipotremia, kelembapan, lembap, terapi

radiasi, usia ekstrem.

b. Internal: gangguan metabolisme, gangguan pigmentasi, gangguan sensasi

(akibat cedera medula spinalis, diabetes mellitus, dll), gangguan sirkulasi,

gangguan turgor kulit, gangguan volume cairan, imunodefisiensi, nutrisi tidak

adekuat, perubahan hormonal, tekanan pada tonjolan tulang.


28

2.3.2 Intervensi Keperawatan

Menurut panduan intervensi NIC-NOC (2015) diagnosa kerusakan integritas


kulit memiliki kriteria hasil dan intervensi sebagai berikut:
1) Kriteria Hasil (NOC)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan penyembuhan luka pasien
menjadi adekuat dengan kriteria hasil:
a. Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membran mukosa, yang dibuktikan
oleh indikator berikut (suhu, elastisitas, hidrasi, sensasi, perfusi jaringan,
keutuhan kulit).
b. Menunjukkan penyembuhan luka: primer, yang dibuktikan oleh indikator
berikut (penyatuan kulit, penyatuan ujung luka, pembentukan jaringan parut,
eritema kulit sekitar, dan bau).
c. Menunjukkan penyembuhan luka: sekunder, yang dibuktikan oleh indikator
berikut (granulasi, pembentukan jaringan parut, penyusutan luka)
2) Intervensi (NIC)
a. Pemeliharaan akses dialisis: memelihara area akses pembuluh darah (arteri-
vena)
b. Kewaspadaan lateks: menurunkan risiko reaksi sistemik terhadap lateks
c. Pemberian obat: mempersiapkan, memberikan, dan mengevaluasi keefektifan
obat resep dan obat non resep.
d. Perawatan area insisi: membersihkan, memantau, dan meningkatkan proses
penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan, klip, atau steples.
e. Manajemen area penekanan: meminimalkan penekanan bagian tubuh.
f. Perawatan ulkus dekubitus: Memfasilitasi penyembuhan ulkus dekubitus.
g. Manajemen pruritus: Mencegah dan mengobati gatal.
h. Surveilans kulit: mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa.
i. Perawatan luka: mencegah komplikasi luka dan meningkatkan penyembuhan
luka.
3) Aktivitas Keperawatan
a. Perawatan Luka (NIC): inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
29

b. Kaji luka terhadap karakteristik berikut: lokasi, luas, dan kedalaman, adanya

dan karakter eksudat, termasuk kekentalan, warna, dan bau, ada atau tidaknya

jaringan nekrotik (deskripsikan warna, bau, dan banyaknya), ada atau tidaknya

tanda-tanda infeksi luka setempat (misalnya, nyeri, saat palpasi, edema,

pruritus, indurasi, hangat, bau busuk, eskar, dan eksudat), ada atau tidaknya

perluasan luka ke jaringan di bawah kulit dan pembentukan saluran sinus.

c. Penyuluhan untuk pasien /keluarga: ajarkan perawatan luka insisi pembedahan,

termasuk tanda dan gejala infeksi, cara mempertahankan luka insisi teto kering

saat mandi, dan mengurangi penekanan pada insisi tersebut

d. Aktivitas Kolaboratif: Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi

protein, mineral, kalori, dan vitamin dan konsultasikan pada dokter tentang

implementas pemberian makanan dari nutrisi enteral atau parenteral untuk

meningkatkan potensi penyembuhan luka.

2.3.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai

tujuan yang spesifik (Iyer et al., 1996 dalam Nursalam 2008:127). Tahap

implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada

nursing order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh

karena itu, rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi

faktor-faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2008:127).

Tujuan implementasi membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Rencana asuhan keperawatan akan

dapat dilaksanakan dengan baik, jika klien mempunyai keinginan untuk


30

berpatisipasi dalam implementasi asuhan keperawatan. Selama tahap implementasi

perawat terus melakukan pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang

paling sesuai dengan kebutuhan klien. Semua intervensi keperawatan

didokumentasikan ke dalam format yang telah ditetapkan oleh instansi (Nursalam,

2008:127).

Berikut adalah beberapa standar operasional prosedur perawatan luka kaki

diabetes:

1) Standar Operasioanal Merawat Luka (Sepdianto, 2017)

a. Cuci tangan

b. Memakai handscoon

c. Balutan lama dibuka dan dibuang pada bengkok

d. Luka dibersihkan dengan kapas sublimat/savlon satu arah sampai bersih

e. Kapas kotor dibuang pada bengkok

f. Luka diberikan obat yang sudah ditentukan

g. Luka ditutup dengan kain kassa steril secukupnya dengan menggunakan pinset

steril dan usahakan serat kassa melekat pada luka

h. Luka dibalut dengan rapi

i. Setelah selesai pasien dirapikan dan alat-alat dibereskan

j. Melepas handscoon

k. Cuci tangan
31

2) Standar Operasioanal Irigasi Luka (Sepdianto, 2017).

a. Cuci tangan

b. Memakai handscoon

c. Balutan lama dibuka dan dibuang pada bengkok

d. Luka dibersihkan dengan kapas sublimat/savlon satu arah sampai bersih

e. Kapas kotor dibuang pada bengkok

f. Luka diberikan obat yang sudah ditentukan

g. Luka ditutup dengan kain kassa steril secukupnya dengan menggunakan pinset

steril dan usahakan serat kassa melekat pada luka

h. Luka dibalut dengan rapi

i. Setelah selesai pasien dirapikan dan alat-alat dibereskan

j. Melepas handscoon

k. Cuci tangan

3) Standar Operasioanal Memasang Balutan dan Perawatan Luka (Sepdianto,

2017).

a. Mencuci tangan

b. Luka dibersihkan sampai bersih (termasuk benda-benda asing) dengan

memakai pinset dan kapas desinfektan dari arah dalam keluar dan lakukan

nekrotomi jika diperlukan

c. Kapas kotor dan jaringan mati dibuang pada bengkok

d. Pinset yang sudah dipakai diletakkan di bengkok

e. Luka diberi obat yang sudah ditentukan

f. Luka ditutup dengan kassa steril secukupnya dengan menggunakan pinset

steril dan usahakan serat kassa jangan sampai menempel pada luka
32

g. Luka dibalut dengan rapi

h. Membersihkan alat dan mengembalikan pada tempatnya

i. Mencuci tangan

2.3.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan

implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor

“kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan

implementasi intervensi (Ignatavicius dan Bayne, 1994 dalam Nursalam 2008:135).

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai

tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon klien terhadap asuhan

keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat menggambil keputusan:

1) Mengakhiri asuhan keperawatan (jika klien telah mencapai tujuan yang telah

ditetapkan).

2) Memodifikasi asuhan keperawatan (jika klien mengalami kesulitan untuk

mencapai tujuan).

Berdasarkan panduan intervensi NIC-NOC (2015) diagnosa kerusakan integritas


kulit memiliki kriteria hasil sebagai berikut:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan penyembuhan luka pasien
menjadi adekuat dengan kriteria hasil:
a. Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membran mukosa, yang dibuktikan
oleh indikator berikut (suhu, elastisitas, hidrasi, sensasi, perfusi jaringan,
keutuhan kulit).
b. Menunjukkan penyembuhan luka: primer, yang dibuktikan oleh indikator
berikut (penyatuan kulit, penyatuan ujung luka, pembentukan jaringan parut,
eritema kulit sekitar, dan bau).
33

c. Menunjukkan penyembuhan luka: sekunder, yang dibuktikan oleh indikator


berikut (granulasi, pembentukan jaringan parut, penyusutan luka)

Anda mungkin juga menyukai