6135 8470 1 PB PDF
6135 8470 1 PB PDF
Miftahul Huda*
Abstract
It is very clear that serious problems that happen in domestic space has opened our
eyes about domestic violence. On one hand, family has a role as the source of
affection, happiness, and comfort for everybody who lives in it. On the other hand,
the facts show us a great number of evidences of domestic violence that victimize
wives. The sociological approach helps us to know more about the causes of
domestic violence, such as forced marriage. It brings about some consequences,
i.e., an unhealthy sexual relationship between husband and wife., physical,
psychological and economic violence, depression, isolation from society, and
economic dependence. Another serious implication is abuse of woman's
reproduction rights that can destruct family relationship.
A. Pendahuluan
Fakta dewasa ini telah menggambarkan bahwa banyak terjadi kekerasan
dalam keluarga baik antar pasangan suami istri, anak dengan orang tua ataupun
dengan para pembantu dan orang-orang yang berada dalam rumah tangga.
Munculnya kekerasan dalam rumah tangga digunakan di banyak negara di dunia
untuk merujuk pada pengertian kekerasan terhadap perempuan oleh pasangan
intimnya yang sekarang atau mantan pasangan intimnya ( Nohnson, 1995).
Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia
terparah. Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah yang serius
dalam bidang kesehatan karena melemahkan energi perempuan, mengikis
kesehatan fisik dan harga dirinya.
* Miftahul Huda, M.Ag. adalah Penggiat PSW dan Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Ponorogo.
93
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
Fakta yang biasa muncul dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti
pemukulan, melukai menganiaya bahkan sampai membunuh. Begitu juga data dari
Rifka Annisa yang menunjukkan bahwa mayoritas besar adalah adanya kekerasan
dalam rumah tangga akibat pasangan yang melakukan kekerasan khususnya pada
istri (Nur Hayati, 2002).
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Yang
dimaksud dengan lingkup rumah tangga adalah suami, istri dan anak, orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Adapun bentuk bentuk kekerasan dalam rumah tangga ada berbagai macam,
seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran
rumah tangga (UU PKDRT, 2004).
Adapun secara lebih gamblang kekerasan fisik ini berupa perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan psikis bisa berupa
perbuatan yang dapat mengakibatkan ketakutan, hilang rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan lain-lain. Bentuk
kekerasan seksual yang hampir sebagian perempuan mengalaminya adalah
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut; dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan atau tujuan tertentu. Penelantaran dalam rumah tangga juga sering dialami
oleh perempuan. Misalnya penelantaran kehidupan, perawatan atau pemeliharaan.
Juga termasuk dalam penelantaran adalah membuat orang tergantung secara
ekonomi, misalnya dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban di bawah kendalinya (UU
PKDRT, 2004).
Faktor penyebab di atas tentunya akan semakin kentara bila dihubungkan
dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, minimal karena aspek budaya patriarkhi, hukum yang selama ini masih
menganggap rumah tangga sebagai wilayah domestik yang sangat pribadi dan
penafsiran agama yang sangat keliru (UU PKDRT, 2004).
94
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
95
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
96
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan dari aspek usia bahwa asumsi kekerasan dalam
rumah tangga biasanya terjadi pada perempuan yang belum dewasa, ternyata tidak
otomatis bahkan perempuan yang pantas menikah pun juga menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Artinya bahwa kekerasan dalam rumah tangga
sebagai akibat relasi yang tidak seimbang antara suami dan istri ternyata tidak
97
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
selamanya benar. Pasangan yang setara tingkat usianya juga masih terjadi
kekerasan. Adapun kekerasan dalam pernikahan dilakukan ketika masih dini,
bahkan data responden itu pada umur yang agak terlambat misalnya untuk
menikah masih ada juga unsur kekerasan. Dari sinilah dapat dijelaskan bahwa
faktor usia tidak serta-merta berhubungan dengan adanya kekerasan dalam
menikah atau tidak. Artinya praktek kekerasan itu tidak hanya berlaku bagi
perempuan usia dini yang tidak tahu menahu akan masa depannya dan hanya diatur
dan diusahakan oleh orang tua, tapi pada usia pantas nikah pun masih berlaku
adanya kekerasan.
Adapun dari aspek pendidikan, ketidakmampuan orang tua untuk
menyekolahkan anaknya tidak terlepas dari pendidikan orang tua dan pekerjaanya
selama ini seperti petani, buruh maupun karyawan atau usaha kecil-kecilan yang
tentu pendapatnya kurang untuk membiayai sekolah anaknya. Dari data di atas
mengindikasikan pendidikan yang ia peroleh tidaklah menggembirakan walaupun
itu hanya merupakan batas dasarnya (wajib belajar 9 tahun) dan dari pendidikan
yang ia peroleh sedikit sudah mampu untuk memberikan kemampuan berpikir atas
dirinya sendiri seperti mempunyai teman pergaulan dan wadahnya. Apalagi hal ini
diwujudkan dalam apresiasi mereka dari pendidikannya untuk memperoleh kerja
yang ia inginkan dengan sungguh-sungguh.
Dari aspek pekerjaan responden ternyata sangat berkait erat dengan
pendidikan yang ia peroleh. Kalau pun lulusan SLTA rata-rata adalah sebagai
karyawati di hotel dan swalayan namun banyak juga yang melanjutkan pekerjaan
orang tua seperti berdagang dan petani. Hanya sedikit yang mengikuti teman
kerabat dan tetangga untuk ikut bekerja di swasta. Dari data seperti ini, yang
sebagian besar bekerja di luar rumah tangga telah mempengaruhi pemikirannya
dalam mengarungi bahtera pernikahannya karena itu dengan sering berhubungan
dan berkomunikasi serta bergaul dengan teman kerja dan kenalan telah mendorong
usaha dalam berdiskusi tentang problematika kehidupan berkeluarga. Bahkan di
antara mereka sudah saling berkomunikasi dengan teman dekatnya.
Tentang status ekonomi dari keluarga perempuan korban kekerasan ini sangat
penting, mengingat adanya salah satu faktor terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga adalah ketidakmampuan keluarga dalam membiayai hidup sehari-hari. Hal
ini terbukti dengan adanya data semakin ke bawah derajat ekonomi responden
semakin rawan munculnya kekerasan dalam rumah tangga. Tapi hal ini tidak
98
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
berbanding terbalik dengan asumsi bahwa keluarga yang berkecukupan nihil akan
kekerasan ternyata juga tidak.
1. Riwayat Menuju Perkawinan dan Dinamika Berkeluarga
Keberadaan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, ternyata
mempunyai karakteristik dan sifat yang sangat heterogen. Hal ini terbukti dengan
riwayat mereka dalam menuju perkawinan. Asumsi perempuan korban kekerasan
diawali dengan perkawinan yang terpaksa karena desakan orang tua atau wali,
status usia saat perkawinan masih dini atau belia dan mereka belum punya
pekerjaan tetap serta dalam keterbatasan ekonomi dan pengetahuan agama secara
umum, terbukti tidak otomatis. (Huda, 2002)
Hal ini terlihat data bahwa mereka perempuan korban kekerasan ternyata juga
merupakan perkawinan yang pada awalnya saling mencintai pasangannya (suami-
istri), usia perkawinan yang standar dan sebagian masih memiliki kemampuan
menghasilkan uang sendiri.
Memang ada perempuan korban kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
akibat persoalan himpitan ekonomi, perangai yang kejam dan tidak mengetahui
informasi tentang berkeluarga. Akan tetapi hal ini tidak menghapus realitas adanya
perempuan korban kekerasan yang faham hukum, penghasilan besar dan saling
mencinta.
Dalam relasi berkeluarga dari perempuan korban kekerasan dengan
pasangannya, hal ini terlihat adanya kemampuan perempuan yang ragu-ragu dan
merasa terjepit dalam mengambil kebijakan dan keputusan penting dalam keluarga
sehingga suami mendominasinya. Perempuan yang tidak kuasa dalam menolak
dominasi pasangannya sehingga menerima apa adanya pada sisi tertentu tidak
menjadi masalah. Akan tetapi hal ini bisa menjadi persoalan serius di saat
perempuan ingin menyampaikan aspirasi keluarga bila kebijakan pasangan
(suami) dipandang kurang tepat dan terjadilah pertengkaran dan pertentangan
yang mungkin saja diakhiri dengan perilaku kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan yang dialami perempuan bervariasi mulai yang bersifat fisik
seperti tamparan pukulan, psikologis seperti menghina dan mengejek, seksual
seperti perkosaan suami istri dan melacurkan istri, sampai kekerasan terhadap
perempuan dengan cara menelantarkan keluarga tanpa adanya respon, empati dan
tanggung jawab dari pasangan terhadap kebutuhan dan problem keluarga
(Nurhayati, 2002)
99
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
100
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
101
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
bukan sekedart tidak ada penyakit atau berbagai macam gangguan lain yang
berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa kekerasan berdampak negatif bagi
kesehatan perempuan. Berdasarkan data yang didapat selama ini, dampak fisik
kekerasan menyebabkan perempuan mengalami patah tulang, kelainan syaraf,
memar, kulit tersayat dan sebagainya. Secara psikologis menyebabkan gangguan
emosi seperti kecemasan, depresi dan poerasaan rendah diri. Lebih khusus lagi
kekerasan merupakan penyebab serius terjadinya berbagai macam gangguan
reproduksi perempuan seperti keluhan adanya siklus haid yang terganggu, seperti
haid tidak terartur atau haid yang berkepanjangan. Keguguran seringkali juga
merupakan problem yang dialami perempuan karena stress psikologis maupun
insidental fisik akibat kekerasan. Pemukulan dan perlakuan kasar lainnya
seringkali terjadi justru pada saat istri hamil, karena kehamilan mengakibatkan
turunnya aktivitas seksual perempuan, dan secar psikologis kehamilan
mencemaskan suami karena anggota keluarganya akan bertambah (Mufidah,
2003).
Kekerasan merupakan persoalan serius kaum perempuan, karena hak-hak
reproduksi mereka betul-betul terampas. Sejak dari hak untuk menikamti
hubungan seksual, menentukan kehamilan, menjalani masa kehamilan secara
sehat, menjalani masa mentruasi secar teratur dan sebagainya (Mas'udi, 1999).
Berbagai kekerasan yang dialami perempuan seringkali menyebabkan mereka
menderita penyakit kronis, hingga menyebabkan kematian secara perlahan-lahan.
d. Saling Tidak Percaya dan Berujung pada Perceraian
Walaupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Yurisprudensi
Pengadilan Agama tidak disebutkan dengan jelas, bahwa perlakukan kekerasan
dalam keluarga tidak merupakan sebab atau alasan perempuan dapat menggugat
perceraian terhadap suami atau alasan pembatalan perkawinan, akan tetapi sebab
adanya problem ini menimbulkan benih-benih permasalahan yang muncul dalam
kehidupan rumah tangga. Percekcokan, perselisihan dan tidak harmonis lagi
muncul dan biasanya dijadikan alasan karena a terjadi kekerasan dalam rumah
tangga.
Perkawinan di dalamnya terjadi kekerasan ini telah mengkondisikan
perempuan atau istri kepada aktivitas setengah hati dan kurang bersungguh-
sungguh dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hal ini juga berimbas pada laki-
laki atau suaminya. Tetapi suami dalam banyak kasus menganggap tidak ada
102
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
korelasinya paksaan nikah dengan kewajiban istri dalam rumah tangga. Sehingga
perempuan sekali lagi merasa sulit, terpaksa dan tidak percaya pada suami untuk
melakukan aktivitas kewajiban rumah tangganya walaupun dengan setengah hati.
Dalam tatanan seperti ini tak jarang suami menganggap istrinya tidak mampu
berbuat yang terbaik bagi keluarga, sehingga muncullah kekerasan baik fisik atau
mental.
Dampak bergitu hebat menimpa perempuan dalam keluarga akibat
pertengkaran dalam perkawinan, tidak saja merugikan bagi kedua pasangan tapi
juga kedua belah keluarga dan masyarakat. Kekerasan dalam keluarga tak dapat
terelakkan mengingat kebiasaan masyarakat yang mendorong perempuan atau
istri selalu bergantung baik ekonomi maupun non-ekonomi. Ditambah lagi
pemahaman yang keliru bagi masyarakat bahwa kekerasan dalam keluarga
hanyalah persoalan pribadi, orang lain tidak boleh ikut (Ciciek, 1999).
Tak pelak lagi kelanjutan kekerasan dalam keluarga khususnya terhadap
perempuan berimbas pada ketidakmampuan perempuan untuk melakukan apa
yang terbaik bagi dirinya. Sementara laki-laki atau suami melihat istrinya yang
tidak seperti wajarnya semakin berulah. Bisa saja realitas kekerasan dalam rumah
tangga, nikah sirri, aborsi, perselingkuhan bahkan poligami berawal dari
konsekuensi yang berlanjut dari awal adanya pemaksaan perkawinan.
C. Penutup
Realitas praktek kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban perempuan
atau istri dalam masyarakat Ponorogo ternyata tidak bisa dilepaskan prinsip-
prinsip kejawen seperti prinsip perempuan menjadi konco wingking yang sendiko
dawuh yaitu menerima segala titah suami telah memberikan andil besar atas
penafsiran masih adanya kekerasan dalam ruah tangga terhadap perempuan.
Implikasi dari kekerasan dalam perkawinan ternyata telah berdampak negatif
kepada perempuan seperti dalam aspek psikologis membuat perempuan stress dan
nervous serta apatis, dalam aspek ekonomi membuat perempuan bergantung
kepada suami secara mutlak bahkan kadangkala berhenti dari pekerjaannya
semula, dalam aspek sosial kemasyarakatan perempuan menjadi terisolasi karena
terlalu memikirkan beban intern keluarga.
Lebih mengkhawatirkan lagi kekerasan dalam rumah tangga telah
menimbulkan konsekuensi-konsekuesi negatif khususnya dalam aspek Hak-hak
103
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
Daftar Pustaka
Hawari, Dadang,
1995 Al-Qur'an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa
104
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
Ciciek, Farha,
1999 Ihtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: LKAJ,
Geertz, Hildred
1983 Keluarga Jawa, Jakarta: Grafiti Press,
Muhammad, Husein
2001 Fiqih Perempuan Refleksi kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS,
Fakih, Mansour
1996 Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,
105
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
Huda, Miftahul,
2002 Ijbar dan Kebebasan dalam Perkawinan, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta,
Mufidah Ch,
2003 Paradigma Gender Malang: Banyumedia,
Murder, Niels
1997 Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Jakarta: Sinar Harapan,
O'Dea, Thomas F.
1990 Sociology of Religion, Alih bahasa: Tim Penerjemah Yosagama,
Jakarta: Rajawali,
Surakhmad, Winarno
1978 Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito
106