MATERI M6 - TEORI BASIS EKONOMI FIX Yeyay

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 22

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................. 1

1.3 Tujuan dan Sasaran ................................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN TEORI......................................................................................................... 2

2.1 Pengertian .............................................................................................................................. 2

2.2 Jenis-Jenis .............................................................................................................................. 3

2.3 Metode ................................................................................................................................... 4

2.3.1 Metode Langsung ............................................................................................................ 4

2.3.2 Metode Tidak Langsung.................................................................................................. 4

2.4 Analisis Shift – Share ....................................................................................................... 5

2.5 Analisis Multiplier Effect ................................................................................................. 8

2.6 Sektor Unggulan ............................................................................................................. 10

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................... 12

3.1 Studi Kasus ...........................................................................Error! Bookmark not defined.

3.2 Hasil dan Analisis .................................................................Error! Bookmark not defined.

BAB IV KESIMPULAN ..............................................................Error! Bookmark not defined.

4.1 Kesimpulan ...........................................................................Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 21

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah proses dimana perekonomian suatu wilayah
berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan perekonomian daerah tergantung dari kondisi
dan potensi sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan kondisi dan potensi yang
dimiliki, setiap daerah menjadikannya sebagai modal awal untuk pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah yang selanjutnya harus terus dikembangkan. Semakin
berkembangnya ekonomi suatu daerah juga akan berpeluang untuk menjangkau pasar ekonomi
ke daerah lainnya.
Teori Ekonomi Basis mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Teori Ekonomi
Basis merupakan salah satu metode analisis regional yang membedakan antara aktivitas/sektor
basis dan aktivitas/sektor non-basis. Studi basis ekonomi regional umumnya berupaya untuk
menemu-kenali aktivitas-aktivitas ekspor wilayah, untuk meramalkan pertumbuhan diaktivitas-
aktivitas itu dan untuk mengevaluasi dampak dari kenaikan aktivitas ekspor atas aktivitas-
aktivitas lain pada suatu wiayah. Dengan demikian, penerapan Teori Ekonomi Basis dapat
memberikan arahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari suatu daerah.

1.2 Rumusan Masalah


Bedasarkan pada latar belakang diatas, adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar teori ekonomi basis?
2. Bagaimana metode identifikasi sektor basis dan non basis?
3. Bagaimana penerapan konsep teori ekonomi basis di suatu daerah?

1.3 Tujuan dan Sasaran


Adapun tujuan dari laporan ini adalah untuk memahami bagaimana konsep dari salah satu
Teori Ekonomi Regional yaitu Teori Ekonomi Basis. Adapun sasaran yang ingin dicapai yaitu
1. Memahami konsep dasar teori ekonomi basis.
2. Memahami metode identifikasi sektor basis dan non basis.
3. Memahami penerapan konsep teori ekonomi basis di suatu daerah.

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson (1973) yang menyatakan
bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad, 2010). Dalam penjelasan
selanjutnya dijelaskan bahwa pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya
lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan
daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Asumsi ini memberikan pengertian bahwa
suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan
persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor
(Suyatno, 2000).
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Tingkat pertumbuhan
ekonomi tidak hanya bisa dilihat dari kondisi perekonomian secara keseluruhan akan tetapi harus
juga dilihat pengaruh dari sektor-sektor ekonomi yang ada di daerah tersebut yang dimana sektor
yang berpengaruh dominan disebut sektor unggulan. Pandangan dari teori basis ini menyatakan
bahwa ekspor adalah salah satu cara dalam meningkatkan pembangunan daerah (Tarigan, 2005).
Dalam teori basis ekonomi (economic base) dikemukakan bahwa sebuah wilayah merupakan
sebuah sistem sosio-ekonomi yang terpadu. Teori inilah yang mendasari pemikiran teknik
Location Quotient (LQ), yaitu teknik yang membantu dalam menentukan kapasitas ekspor
perekonomian daerah dan derajat keswasembadaan (Self-sufficiency) suatu sektor. Ada dua
kerangka konseptual pembangunan daerah yang dipergunakan secara luas (Azis, 1994): konsep
basis ekonomi, teori basis ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya akan
meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis
(ekspor) dan sektor non basis (lokal). Konsep kedua beranggapan bahwa perbedaan tingkat
imbalan (rate of return) diakibatkan oleh perbedaan dalam lingkungan atau prasarana, dari pada
diakibatkan adanya ketidakseimbangan rasio modal-tenaga. Dalam konsep ini, daerah
terbelakang bukan karena tidak beruntung atau kegagalan pasar, tetapi karena produktivitasnya
rendah. Namun tak banyak studi empirik yang mempergunakan konsep kedua ini, disebabkan

2
kelangkaan data. Data yang lazim dipergunakan dalam studi empirik adalah metode Location
Quotient (LQ).

2.2 Jenis-Jenis
Adapun menurut John Glasson (1990), perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua
sektor yaitu kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan bukan basis. Kegiatan-kegiatan basis
(basic activities) adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, dan
menjualnya atau memasarkan produk-produknya ke luar daerah. Sedangkan kegiatan-kegiatan
ekonomi bukan basis (non basic activities) adalah usaha ekonomi yang menyediakan barang-
barang dan jasa-jasa untuk kebutuhan masyarakat dalam wilayah ekonomi daerah yang
bersangkutan saja. Artinya, kegiatan-kegiatan ekonomi bukan basis tidak menghasilkan produk
untuk diekspor ke luar daerahnya. Oleh karena itu, luas lingkup produksi mereka itu dan daerah
pemasarannya masih bersifat lokal.
Menurut teori ini, meningkatnya jumlah kegiatan ekonomi basis di dalam suatu daerah akan
meningkatkan jumlah pendapatan daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, akan meningkatkan
permintaan terhadap barang dan jasa di daerah itu dan akan mendorong kenaikan volume
kegiatan ekonomi bukan basis (effect multiplier). Sebaliknya, apabila terjadi penurunan jumlah
kegiatan basis akan berakibat berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah
yang bersangkutan, sehingga akan terjadi penurunan permintaan terhadap barang-barang yang
diproduksi oleh kegiatan bukan basis.
Dalam hubungan ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi dalam dua golongan, yaitu,
(Kadariah, 1985):
1. Kegiatan ekonomi (industri) yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun pasar di
luar daerah itu, industri ini disebut industri basis.
2. Kegiatan ekonomi (industri) yang hanya melayani pasar di daerah itu sendiri, industri
ini disebut industri non basis atau industri lokal.

Teori basis ekonomi digunakan sebagai dasar pemikiran teknik Location Quotient (LQ) pada
intinya adalah industri basis menghasilkan barang dan jasa baik untuk pasar di daerah maupun
untuk pasar di luar daerah yang bersangkutan, maka penjualan hasil ke luar daerah itu
mendatangkan arus pendapatan ke dalam daerah tersebut. Arus pendapatan menyebabkan
kenaikan konsumsi maupun kenaikan investasi, dan pada akhirnya akan meningkatkan

3
pendapatan dan kesempatan kerja. Kenaikan pendapatan di daerah tidak hanya menaikkan
permintaan terhadap hasil industri basis melainkan juga akan meningkatkan permintaan terhadap
hasil industri lokal (non basic), sehingga pada akhirnya akan menaikkan investasi di daerah
tersebut. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penting
dalam pembangunan daerah, (Azis, 1994). Berdasarkan gagasan ini maka orang berpendapat
bahwa industri-industri basislah yang patut dikembangkan di daerah.

2.3 Metode
Ada beberapa metode yang digunakan untuk membagi daerah ke dalam kegiatan basis dan
bukan basis yaitu metode langsung dan tidak langsung.
2.3.1 Metode Langsung
Metode langsung yaitu metode yang mengukur basis dengan menggunakan survei standar
dan kuesioner. Cara ini dapat menghindarkan digunakannya kesempatan kerja sebagai indikator.
Tetapi metode ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar.
2.3.2 Metode Tidak Langsung
Metode tidak langsung Yang termasuk metode ini adalah Location Quotient (LQ). Metode
LQ yang paling lazim digunakan dalam studi-studi basis empirik. LQ digunakan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan dengan cara
membanding perannya dalam perekonomian daerah tersebut dengan peranan kegiatan atau
industri sejenis dalam perekonomian regional (Emilia, 2006). Secara umum metode analisis LQ
dapat diformulasikan sebagai berikut, (Widodo, 2006) yaitu sebagai berikut :

Keterangan:
Si = Nilai sektor i di daerah
S = Total nilai seluruh sektor ekonomi di daerah tersebut
Ni = Nilai sektor i di regional (provinsi/nasional)
N = Total nilai seluruh sektor ekonomi di regional (provinsi/nasional)
Penggunaan LQ sangat sederhana serta dapat digunakan untuk menganalisis tentang
ekspor impor (perdagangan suatu daerah). Namun teknik analisis ini mempunyai kelemahan,
yaitu : selera atau pola konsumsi dari anggota masyarakat adalah berlainan baik antar daerah

4
maupun dalam suatu daerah, tingkat konsumsi rata-rata untuk suatu jenis barang tidak sama di
setiap daerah. Keperluan untuk produksi dan produktivitas buruh berbeda antar daerah. Dengan
adanya kelemahan-kelemahan tersebut maka dalam hal ini perlu diasumsikan bahwa penduduk
di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama dengan pola permintaan pada daerah
yang lebih luas, tingkat konsumsi akan suatu jenis barang rata-rata sama antara daerah,
produktivitas dan juga keperluan untuk produksi sama antar daerah, serta sistem ekonomi negara
adalah tertutup. Walaupun teori ini mengandung kelemahan, namun sudah banyak studi empirik
yang dilakukan dalam rangka usaha memisahkan sektor basis dan non basis. Disamping
mempunyai kelemahan, metode ini juga mempunyai dua kebaikan penting. Pertama, ia
memperhitungkan ekspor tidak langsung dan ekspor langsung. Kedua, metode ini tidak mahal
dan dapat diterapkan pada data historis untuk mengetahui trend. Kriteria yang digunakan adalah
(Bendavid Val, 1991) :
a. LQ > 1 menunjukkan bahwa sektor tersebut basis, artinya sektor tersebut memiliki prospek
yang menguntungkan untuk dikembangkan, karena mampu mengalokasikan ke daerah lain.
b. LQ < 1 menunjukkan bahwa sektor tersebut non basis dan kurang menguntungkan untuk
dikembangkan serta belum mampu memenuhi semua permintaan dari dalam daerah
sehingga harus didatangkan dari daerah lain.
c. LQ = 1 menunjukkan bahwa tingkat spesialisasi suatu sektor tertentu di suatu wilayah sama
dengan sektor yang sama pada tingkat wilayah yang lebih besar.
Adapun keunggulan dan kelemahan menggunakan metode Locational Qoutinent (LQ)
yaitu keunggunalan metode LQ memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung.
Metode LQ juga lebih mudah diterapkan pada data historis untuk mengetahui perkembangan tiap
tahunnya. Sedangkan, untuk kelemahannya penggunaan metode LQ berasumsi bahwa semua
daerah homogen mengikuti nasional.

2.4 Analisis Shift – Share


Analisis shift share umumnya dipakai untuk menganalisis peranan suatu sektor ataupun
pergeseran suatu sektor di daerah terhadap sektor yang sama dalam perekonomian nasional. Data
yang sering dianalisis adalah data yang terkait kegiatan ekonomi ataupun ketenagakerjaan (Putra,
2011). Analisis shift-share untuk membandingkan perbedaan laju pertumbuhan sektor (industri)
di wilayah yang sempit disebut daerah dengan wilayah yang lebih luas disebut nasional (Tarigan,
2005).

5
Suatu daerah yang memiliki banyak sektor yang tingkat pertumbuhannya lamban maka
sektor tersebut pertumbuhannya secara nasional juga akan lamban. Hal ini terjadi karena daerah-
daerah lain tumbuh lebih cepat (Putra, 2011). Keunggulan dalam penggunaan analisis shift-share
dapat memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi dan
memberikan gambarak pertumbuhan ekonomi. Sedangkan kelemahan analisis shift-share aka
sulit untuk memprediksi struktur ekonomi pada masa yang akan datang karena kondisi wilayah
yang tidak konstan dari suatu periode ke periode lainnya dan tidak dapat melihat keterkaitan
antar sektor. Selain itu juga, Analisis shift share berdasarkan (Tarigan, 2005) memiliki tiga
komponen yaitu:
a) National share untuk mengetahui pergeseran struktur perekonomian suatu daerah yang
dipengaruhi oleh pergeseran perekonomian nasional. Peranan National share adalah
seandainya pertambahan PDRB regional sektor i tersebut sama dengan proporsi
pertambahan PDRB nasional secara rata – rata. Adapun rumus perhitungannya sebagai
berikut:

Dimana;
E r,i,t-n merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun dasar
(t-n) atau tahun awal.
E N,t merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah yang lebih tinggi jenjangnya
dalam hal ini nilai total PDRB provinsi yang dihasilkan pada tahun akhir (t).
E N,t-n merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah analisis dalam hal ini nilai
total PDRB kabupaten yang dihasilkan pada tahun dasar (t-n).
b) Proportional shift adalah pertumbuhan nilai tambah bruto suatu sektor dibandingkan
total sektor di tingkat nasional. Proportional Share adalah melihat pengaruh sektor i
secara nasional terhadap pertumbuhan PDRB sektor i pada region yang dianalisis,
sehingga dapat diketahui pertumbuhan ekonomi pada sektor tersebut lebih cepat (+)
atau lebih lambat (-) daripada aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Adapun rumus
perhitungannya sebagai berikut.

6
Dimana:
E N,i,t merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih tinggi
jenjangnya pada tahun dasar atau tahun tahun akhit (t).
E N,i,t-n merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih
tinggi jenjangnya pada tahun dasar (t-n) atau tahun awal.
E r,i,t-n merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun dasar
(t-n) atau tahun awal.
E N,t merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah yang lebih tinggi jenjangnya
dalam hal ini nilai total PDRB provinsi yang dihasilkan pada tahun akhir (t).
E N,t-n merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah analisis dalam hal ini nilai
total PDRB kabupaten yang dihasilkan pada tahun dasar (t-n).
c) Differential shift atau competitive position adalah perbedaan pertumbuhan
perekonomian satu daerah dengan nilai tambah bruto sektor yang sama di tingkat
nasional. Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi suatu aktivitas/sektor
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam
wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketidakunggulan)
suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub
wilayah lain. Atau untuk membandingkan posisi aktivitas ekonomi lokal/wilayah
(kabupaten/kota) terhadap aktivitas ekonomi wilayah yang lebih luas (provinsi) pada
sektor yang sama. Differential shift positif menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi
pada sektor tersebut adalah kompetitif. Adapun rumusnya sebagai berikut.

Dimana:
E r,i,t merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun akhir (t).
E N,i,t merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih tinggi
jenjangnya pada tahun dasar atau tahun tahun akhit (t).

7
E N,i,t-n merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih
tinggi jenjangnya pada tahun dasar (t-n) atau tahun awal.
E r,i,t-n merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun dasar
(t-n) atau tahun awal.
Hasil dari analisis shift-share akan menghasilkan empat indikator sebagagai berikut:

Gambar 2.1 Kuadran Klasifikasi Analisis Shift-Share


Sumber: Tarigan,2005
Dari kuadran diatas adapun penjelasan masing – masing kuadran sebagai berikut:
a) K I = Bila nilai proportional share dan differential shift bernilai positif diartikan bahwa
sektor ini mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian kota (kontribusinya
cenderung naik) dan naik terhadap sistem perekonomian yang lebih luas (provinsi).
b) K II = Bila nilai proportional share bernilai negatif dan differential shift bernilai
positif, artinya sektor ini hanya dapat meningkatkan peranannya dalam lingkup
internal (kota) saja.
c) K III = Bila nilai proportional share bernilai dan differential shift bernilai negatif,
artinya sektor tersebut tidak mempunyai peranan dalam memajukan perekonomian
internal (kota) maupun eksternal (provinsi).
d) K IV = Bila nilai proportional share bernilai positif dan differential shift negatif,
berarti sektor tersebut hanya dapat meningkatkan peranannya dalam wilayah yang
lebih luas (provinsi), tetapi tidak dapat meningkatkan perekonomian internal (kota).

2.5 Analisis Multiplier Effect


Teori multiplier regional yang dikemukakan oleh John Glasson (1990) menerangkan
saling berkaitan antara sektor-sektor ekonomi dalam suatu wilayah serta kekuatan-kekuatan
pendorong salah satu sektor ke sektor yang lainnya secara langsung maupun tidak langsung

8
adalah teori basis ekonomi (economic base theory). Meningkatnya jumlah kegiatan ekonomi
basis di dalam suatu daerah, akan meningkatkan jumlah pendapatan daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa di daerah itu dan akan
mendorong kenaikan volume kegiatan ekonomi bukan basis (effect multiplier). Sebaliknya
apabila terjadi penurunan jumlah kegiatan basis, akan berakibat berkurangnya pendapatan yang
mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan, dan selanjutnya akan terjadi penurunan
permintaan terhadap barang-barang yang diproduksi oleh kegiatan bukan basis. (Glasson,1990).
Kenggunalan dari analisis multiplier effect dapat mengetahui faktor apa saja yang
terpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi. Sedangkan, kelemahannya tidak bisa memprediksikan
faktor yang akan terpengaruh pada waktu yang akan datang. Adapun dampak pengganda suatu
sektor dirumuskan sebagai berikut:

Dimana r merupakan efek pengganda (multiplier effect), Esi adalah aktivitas sektor non basis,
dan Ebi merupakan aktivitas sektor basis. Aktivitas sektor basis dirumuskan sebagai berikut:

Sedangkan untuk menghitung aktivitas non basis digunakan rumus sebagai berikut:

Dimana :
EiR : Produksi sektor i di daerah yang diselidiki
ER : Produksi seluruhnya (Total Produksi) di daerah yang diselidiki
EiN : Produksi sektor i di seluruh daerah yang lebih luas dimana daerah yang diselidiki menjadi
bagiannya
EiR : Produksi seluruhnya (Total Produksi) di seluruh daerah yang lebih luas dimana daerah
yang diselidiki menjadi bagiannya.

9
2.6 Sektor Unggulan
Darmawansyah (2003) mendefinisikan sektor ekonomi unggulan sebagai sektor yang
dapat menunjang dan mempercepat pembangunan dan pertumbuhan perekonomian daerah yang
berdasarkan pada kriteria tingkat kemampuan sektor dalam memberi kontribusi terhadap
penerimaan PDRB daerah, tingkat kemampuan menyerap tenaga kerja, potensi dalam
menghasilkan komoditas eksport dan tingkt keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya. Selain
itu juga, sektor ekonomi unggulan sebagai sektor ekonomi yang unggul atau mempunyai daya
saing dalam beberapa periode tahun terakhir dan kemungkinan prospek sektor ekonomi dimasa
yang akan datang dengan kriteria yang sama Darmawansyah. Dalam hal ini, sektor ekonomi
unggulan lebih ditekankan pada aspek ekonomi semata, alangkah baiknya jika diperhatikan pula
dampak yang akan timbul dari pengembangan sektor ekonomi yang dianggap unggul tersebut
baik terhadap persoalan sosial maupun lingkungan (Widodo,2005).
Menurut (Mulyanto,1999) dalam mengidentifikasi sektor-sektor yang dapat
dikembangkan untuk mendukung kontribusinya terhadap pendapatan daerah dapat dilakukan
melalui pendekatan yang menggunakan kriteria sebagai berikut:
1. Pertumbuhan PDRB meningkat di suatu wilayah dilihat dari laju pertumbuhan dan
kontribusi sektor.
2. Kesejahteraan penduduk meningkat, hal ini berpengaruh pada perkembangan sektor.
3. Memiliki potensi pasar yang prospektif, baik pasar lokal, regional maupun pasar
internasional.
4. Efisiensi investasi, yaitu dengan investasi yang kecil dapat menghasilkan output yang
sebesar-besarnya.
5. Memiliki skala ekonomi yang besar sehingga potensial untuk dikembangkan.
6. Mempunyai kontribusi yang besar terhadap kegiatan ekonomi pada wilayah tersebut.
7. Menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar.
8. Memiliki dampak spasial yang besar dalam mendorong pengembangan wilayah, baik
dalam lingkup provinsi maupun nasional.
Kemudian kriteria prioritas sektor unggulan dapat didasarkan pada kriteria sebagai
berikut:
1. Sektor usaha tersebut telah dikenal oleh masyarakat.
2. Memiliki sumbangan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

10
3. Sesuai dengan agroekologi lokasi yang akan dijadikan wilayah pengembangan.
4. Memiliki potensi pasar dan peluang pasar ekspor.
5. Mempunyai dukungan kebijakan pemerintah dalam sektor – sektor teknologi, prasarana,
infrastruktur, kelembagaan permodalan, pemasaran dan lainnya.
6. Sesuai dengan arah dan perencanaan pembangunan daerah (visi dan misi pembangunan
daerah).
7. Memiliki kelayakan investasi dan finansial yang baik.
Pertumbuhan ekonomi wilayah disebabkan oleh adanya berbagai kegiatan industri dalam
suatu daerah, perkembangan yang terjadi pada kutub-kutub pertumbuhan akan menyebar
sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dengan efek yang beragam pula terhadap
keseluruhan kegiatan perekonomian (Glasson, 1990). Peran sektor unggulan dalam usaha
pengembangan dan pembangunan ekonomi wilayah ditujukan guna mengatasi keterbatasan dana
dan sumber daya serta meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
dapat melaksanakan pembangunan dan pengembangan kota yang optimal dan dalam rangka
optimasi dan efisiensi pembangunan perekonomian daerah sebagai landasan dalam perencanaan
pembangunan. Dalam lingkup pengarahan pembangunan diperlukan adanya suatu prioritas.
Penentuan prioritas pembangunan dapat didasarkan kepada suatu pendapat yang menyangkut
bahwa pertumbuhan dari suatu wilayah akan dapat dioptimalkan apabila kegiatan pembangunan
dapat dikonsentrasikan pada aktivitas-aktivitas sektor ekonomi yang dapat memanfaatkan
kekuatan atau kelebihan yang secara alamiah dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan.
proses pembangunan bukan hanya ditentukan oleh aspek ekonomi saja, namun pertumbuhan
ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah. Wilayah yang
dimaksudkan disini dapat berbentuk provinsi, kabupaten atau kota. Pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi sampai saat ini masih merupakan target utama pembangunan dalam rencana
pembangunan wlayah disamping pembangunan sosial. Sedangkan target pertumbuhan ekonomi
tersebut ternyata sangat bervariasi sesuai dengan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-
masing daerah. Melalui pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup tinggi tersebut diharapkan
kesejahteraan masyarakat secara bertahap akan ditingkatkan (Sjafrizal, 2008).

11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus

Kota Bandung merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat yang memberikan pengaruh
terhadap pembangunan Jawa Barat. Hal ini disebabkan karena Kota Bandung memiliki sumber
daya alam yang beragam dan sumber daya manusia yang unggul. Jika di lihat secara geografis
Kota Bandung memiliki wilayah yang sangat strategis karena berdekatan dengan Kota Jakarta
yang menjadi pusat perekonomian Indonesia.

Pembangunan merupakan proses berkesinambungan dengan tujuan akhir untuk


meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Pembangunan selalu menimbulkan dampak positif
maupun negatif, oleh karena itu sangat diperlukan suatu acuan untuk menilai keberhasilan
pembangunan suatu wilayah. Pembangunan suatu wilayah dikatakan berhasil bila pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah relatif tinggi, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan berdampak
terhadap wilayah lainnya yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan wilayah tersebut.

Perkembangan ekonomi suatu wilayah harus di lihat dari sektor- sektor yang menjadi
unggulan wilayah tersebut. Sektor uggulan tersebut harus bisa dikembangkan semaksimal
mungkin agar dapat menjadi pemicu pembangunan perekonomian wilayah tersebut. Sektor
unggulan tersebut dapat diketahui salah satunya dengan menggunakan data PDRB.

3.2 Hasil dan Analisis

Berdasarkan data yang berasal dari BPS Provinsi Jawa Barat dan BPS Kota Bandung
2011 adapun hasil produksi sektor di Kota Bandung adalah sebagai berikut :

3.2.1 Nilai PDRB Jawa Barat Tahun 2008-2011

Indikator ekonomi yang sering dijadikan acuan untuk mengevaluasi kinerja


pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan faktor
penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu daerah. Secara umum seluruh sektor
perekonomian di Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berikut
merupakan tabel nilai produk domestik regional bruto Provinsi Jawa Barat atas dasar harga
berlaku menurut lapangan usaha, dengan minyak dan gas bumi tahun 2008 – 2011 (Juta rupiah).

Tabel 3.1 Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga
Berlaku Menurut Lapangan Usaha, dengan Minyak dan Gas Bumi Tahun 2008 – 2011.

No LAPANGAN 2008 2009 2010 2011


USAHA

12
1 PERTANIAN 6.784.946.302 8.514.926.325 9.719.439.311 10.313.144.41
3

2 PERTAMBANGA 1.432.438.384 1.327.818.635 1.554.625.898 1.736.281.918


N DAN
PENGGALIAN

3 INDUSTRI 27.055.185.29 28.127.508.23 29.168.807.98 31.998.363.24


PENGOLAHAN 7 4 6 7

4 LISTRIK, GAS 1.691.361.594 1.954.918.647 2.129.446.028 2.194.328.472


DAN AIR BERSIH

5 BANGUNAN / 1.944.024.766 2.422.318.528 2.904.778.613 3.435.893.539


KONTRUKSI

6 PERDAGANGAN 11.513.907.22 14.905.600.28 17.271.319.69 19.443.178.61


HOTEL DAN 5 6 9 2
RESTORAN

7 PENGANGKUTAN 3.640.147.637 4.182.098.992 5.463.568.427 6.633.649.101


DAN
KOMUNIKASI

8 KEUANGAN, 1.722.805.670 1.880.285.716 2.115.531.487 2.447.991.555


PERSEWAAN
DAN JASA
PERUSAHAAN

9 JASA – JASA 4.444.323.535 5.668.656.071 6.831.868.597 7.897.803.921

13
PDRB 60.229.140.41 68.984.131.43 77.159.386.04 86.100.634.77
0 4 6 8

Dari tabel diatas dapat dilihat PDRB Provinsi Jawa Barat yang meningkat setiap
tahunnya. Tiga sektor perekonomian yang memiliki nilai PDRB tertinggi pada tahun 2008- 2011
adalah sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran. Total nilai PDRB
pada tahun 2011 berdasarkan harga berlaku ke tiga sektor tersebut berturut- turut adalah :
10.313.144.413 juta rupiah, 31.998.363.247 juta rupiah, dan 19.443.178.612 juta rupiah. Hal ini
tentu berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dalam meningkatkan laju
pertumbuhan perekonomian.

3.2.2 Nilai PDRB Kota Bandung 2008 – 2011.

Nilai produk domestik regional bruto Kota Bandung atas dasar harga berlaku menurut
langan usaha, dengan minyak dan gas bumi tahun 2008- 2011 mengalami peningkatan nilai pada
semua sektor terkecuali sektor pertambangan dan penggalian karena sektor ini tidak terdapat di
wilayah Kota Bandung. Berikut merupakan nilai PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku
menurut lapangan usahan, dengan minyak dan gas bumi tahun 2008- 2011 (Juta rupiah).

Tabel 3.2 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandung Atas Dasar Harga Berlaku Menurut
Lapangan Usaha, dengan Minyak dan Gas Bumi Tahun 2008 – 2011 (Juta Rupiah).

No LAPANGAN 2008 2009 2010 2011


USAHA

1 PERTANIAN 156.030 168.080 161.743 192.743

2 PERTAMBANGAN - - - -
DAN
PENGGALIAN

3 INDUSTRI 15.548.704 17.208.403 19.990.518 22.482.061


PENGOLAHAN

4 LISTRIK, GAS 1.363.365 1.616.732 1.892.657 2.201.593

14
DAN AIR BERSIH

5 BANGUNAN / 2.604.004 3.223.944 3.826.745 4.425.332


KONTRUKSI

6 PERDAGANGAN 24.231.805 28.781.328 33.301.560 39.436.088


HOTEL DAN
RESTORAN

7 PENGANGKUTAN 7.091.588 8.272.059 9.813.959 11.841.320


DAN
KOMUNIKASI

8 KEUANGAN, 3.876.664 4.402.111 5.110.879 6.094.630


PERSEWAAN
DAN JASA
PERUSAHAAN

9 JASA – JASA 5.572.326 6.608.505 7.904.116 8.939.096

PDRB 60.446.494 70.281.162 82.002.177 95.612.863

Sumber : BPS Kota Bandung (2011).

Nilai PDRB Kota Bandung dari tabel di atas menunjukan bahwa adanya peningkatan
nilai dari semua sektor kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Lima sektor perekonomian
yang memiliki nilai PDRB tertinggi pada tahun 2008- 2011 adalah sektor industri pengolahan,
perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan dan jasa- jasa. Total nilai PDRB pada tahun 2011 berdasarkan harga berlaku secara
berturut- turun dari kelima sektor adalah sebagai berikut: 22.482.061 juta rupiah, 39.436.088 juta
rupiah, 11.841.320 juta rupiah, 6.094.630 juta rupiah, dan 8.939.096 juta rupiah.

3.2.3 Hasil Identifikasi Sektor Unggulan Kota Bandung dengan Menggunakan Metode
Location Quotient secara time series.

15
Identifikasi sektor unggulan yang dilihat dari nilai PDRB secara time series bertujuan
untuk melihat sektor mana sajakah yang menjadi sektor unggulan atau basis dan non basis di
Kota Bandung. Berikut merupakan hasil identifikasi nilai PDRB Kota Bandung secara time
series dengan menggunakan analisis Location Quotient.

Tabel 3.3 Hasil analisis LQ Kota Bandung secara time series .

No LAPANGAN 2008 2009 2010 2011 Rata-


USAHA rata

1 PERTANIAN 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02

2 PERTAMBANGAN 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00


DAN
PENGGALIAN

3 INDUSTRI 0,57 0,60 0,64 0,63 0,61


PENGOLAHAN

4 LISTRIK, GAS 0,80 0,81 0,84 0,90 0,84


DAN AIR BERSIH

5 BANGUNAN / 1,33 1,31 1,24 1,16 1,26


KONTRUKSI

6 PERDAGANGAN 2,10 1,90 1,81 1,83 1,91


HOTEL DAN
RESTORAN

7 PENGANGKUTAN 1,94 1,94 1,69 1,61 1,80


DAN

16
KOMUNIKASI

8 KEUANGAN, 2,24 2,30 2,27 2,24 2,26


PERSEWAAN
DAN JASA
PERUSAHAAN

9 JASA – JASA 1,25 1,14 1,09 1,02 1,13

Sumber : Analisis Penulis, 2019

Berdasarkan hasil analisis LQ pada tabel 3 maka dapat disimpulkan bahwa di Kota
Bandung terdapat 5 sektor ekonomi yang mempunyai nilai LQ lebih dari 1 dan 3 sektor ekonomi
yang mempunyai nilai LQ kurang dari 1. Sektor bangunan/ kontruksi, perdanganan hotel dan
restoran, pengangkutan dan komunikasi, keungan, persewaan dan jasa perusahaan dan jasa – jasa
dapat di kategorikan sebagai sektor basis sedangkan sektor pertanian, pertambangan dan
penggalian, industri pengolah dan listrik, gas dan air bersih merupakan sektor non basis.

Pemaparan masing- masing sektor ekonomi di Kota Bandung sebagai berikut :

1. Sektor pertanian

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode Location Quotient bahwa sektor


pertanian di Kota Bandung bukan merupakan sektor basis. Dapat dilihat dari hasil perhitungan
yaitu stabil di angka 0,02.

Jika di lihat dari kondisi geografisnya Kota Bandung merupakan suatu daerah perkotaan yang di
dominasi oleh daerah terbangun, bukan halnya daerah pedesaan yang di dominasi oleh pertanian,
untuk itu maka sektor pertanian di Kota Bandung tidak terlalu dominan dan merupakan sektor
non basis.

2. Sektor Pertambangan dan Penggalian

Sektor ini tidak dapat dilakukan perhitungan disebabkan karena di Kota Bandung sendiri
tidak terdapat sektor pertambangan dan pengglian. Oleh karena itu sektor tersebut tidak dapat
dilakukan perhitungan lebih lanjut.

3. Sektor Industri Pengolahan

17
Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode LQ, bahwa sektor Industri pengolah merupakan
sektor non basis atau bukan sektor unggulan. Nilai yang ditunjukan 0,57 meskipun selalu
mengalami kenaiakan yaitu pada tahun 2008 nilai LQ 0,57 dan pada tahun akhir analisis nilai
0,63 akan tetapi nilai LQ yang didapat kurang dari 1, sehingga sektor ini bukan menjadi andalan
bagi perekonomian Kota Bandung.

4. Sektor listrik dan Air Bersih

Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode LQ, bahwa potensi sektor listrik dan air
bersih dalam perekonomian Kota Bandung selama tahun analisis 2008 sampai tahun 2011
mempunyai nilai LQ<1, sehingga secara umum sektor ini belum dapat digolongkan sebagai
sektor basis atau bukan sektor unggulan. Hal ini ditunjukan dengan nilai di tahun 2008 sebesar
0,80 dan pada akhir tahun analisis 0,90. Dari hasil analisis ini menunjukan bahwa ketersediaan
sarana listrik dan air bersih sudah mencukupi dan untuk perkembangan ekonomi Kota Bandung,
sektor ini perlu di kembangkan secara intensif agar kedepannya menjadi sektor unggulan Kota
Bandung.

5. Sektor Bangunan

Sektor bangunan dalam perekonomian Kota Bandung dapat dikategorikan kedalam sektor
basis atau sektor unggulan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode LQ,
pada tahun 2008 sampai dengan 2011 nilai LQ lebih dari 1 (LQ>1) yaitu dengan rata – rata nilai
1,26. Dengan demikian sektor bangunan dapat dikategrokan sebagai sektor basis Kota Bandung
yang dapat menjadi andalan dalam mengembangkan perekonomian Kota Bandung.

6. Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode LQ, sektor perdagangan,


hotel dan restoran termasuk sektor yang berpotensi atau sektor basis untuk mendukung
perekonomian. Nilai LQ yang ditunjukan mengalami kenaiakan yang cukup besar yaitu pada
tahun 2008 nilai LQ 2,10 dan dengan nilai rata- rata 1,91. Dari hasil analisis yang digunakan
bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dijadikan sektor andalan bagi perekonomian
Kota Bandung.

7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode LQ sektor ini dapat dikategorikan
kedalam sektor unggulan atau sektor Basis. Nilai LQ lebih dari 1. Nilai tertinggi yaitu pada tahun
2008 yaitu sebesar 1,94 dengan rata – rata nilai keseluruhan dari tahun 2008 – 2011 yaitu 1,80.
Berdasarkan hasil analisis, sektor pengangkutan dan komunikasi dapat dijadikan sektor andalan
bagi perkembangan perekonomian Kota Bandung.

8. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode LQ sektor keuangan,


persewaan dan jasa perusahaan pada tahun 2008 memiliki nilai LQ 2,24 dan rata – rata nilai LQ
2,26. Dari hasil ini bahwa sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dapat dijadikan
sektor andalan bagi perkembangan perekonomian Kota Bandung. Hal ini terjadi karena Kota

18
bandung merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat yang mampunyai sarana bisnis yang terkelola
dengan sangat baik.

9. Sektor Jasa- jasa

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode LQ sektor jasa di Kota


Bandung dapat dikelompokan ke dalam sektor unggulan atau sektor basis yang dapat dijadikan
sebagai acuan untuk pertumbuhan perekonomian Kota Bandung karena dilihat dari misi Kota
Bandung sendiri sebagai Kota jasa. Nilai LQ yang ditunjukan mengalami kenaikan yang cukup
besar yaitu pada tahun 2008 dengan nilai LQ 1,25 dengan rata – rata LQ 1,13. Dari hasil analisis
yang digunakan bahwa sektor Jasa- jasa ini dapat dijadikan sektor andalan bagi pertumbuhan
perekonomian Kota Bandung.

19
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis location quotient secara time series ada lima sektor yang
menjadi sektor unggulan Kota Bandung. Sektor tersebut meliputi sektor keuangan, sektor
persewaan dan jasa perusahaan, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan
komunikasi, sektor bangunan/kontruksi dan sektor jasa- jasa. Dari lima sektor yang menjadi
sektor unggulan Kota Bandung tersebut struktur perekonomian yang paling tinggi adalah sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai rata- rata LQ sebesar 2,26 dan yang
paling rendah adalah sektor jasa – jasa dengan nilai rata- rata LQ sebesar 1,13.

Dalam meningkatkan perekonomian dan pembangunan Kota Bandung kebijakan yang


akan diambil harus diarahkan untuk lebih terkonsentrasi pada sektor- sektor unggulan dalam hal
ini terdapat lima sektor (basis) yang pada dasarnya secara proporsional tumbuh lebih cepat.
Peningkatan perekonomian dan pembangunan Kota Bandung sebaiknya dilakukan dengan
mensinergiskan antara sektor unggulan (basis) dan sektor non unggulan (non basis) agar
pembangunan perekonomian Kota Bandung berjalan dengan semua sektor yang ada saling
berperan aktif.

20
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan, edisi 5. UPP STIM YKPN : Yogakarta.
Azis, Iwan Jaya. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. FEUI :
Jakarta.
BPS. Kota Bandung 2011. PDRB menurut lapangan usaha Kota Bandung. Bandung: Badan

Pusat Statistik Kota Bandung.

BPS. Provinsi Jawa Barat 2011. PDRB menurut lapangan usaha Provinsi Jawa Barat. Bandung:

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

Bendavid. 1991. Regional And Local Economic Analysis For Practitioners. Praeger Publisher :
Westport USA.
Darmawansyah. 2003. Pengembangan Komoditi Unggulan Sebagai Basis Ekonomi Daerah.
Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Emilia, dkk. 2006. Modul Ekonomi Regional. FE Universitas Jambi : Jambi.
Glasson, John. 1990. Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Oleh Paul Sitohang. LPFEUI
: Jakarta.
Kadariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia : Jakarta.
Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Jakarta:CV
Rajawali Citra Press.
Putra, Nusa. 2011. Research and development Penelitian dan pengembangan:suatu pengantar.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Suyatno. 2000. Teori Basis Ekonomi. BPFE : Yogyakarta.
Syafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian
Barat, Prisma No.3.
Tarigan, Robinson 2005. Ekonomi Regional-Teori Dan Aplikasi Edisi Revisi. Bumi Aksara :
Jakarta.
Widodo, Tri. 2006. Perencanaan Pembangunan, Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah). UPP
STIM YKPN : Yogyakarta

21

Anda mungkin juga menyukai