Anda di halaman 1dari 18

EKONOMI WILAYAH

TEORI
BASIS
EKONOMI
Dosen pengajar :
Ajeng Nugrahaning D.,
S.T., M.T., M.Sc.
Anggit Suko R., S.T., M.T.
Oleh:
Adi Sakti (08161002)
Dea Cahya Edinita (08161018)
Siti Fatimah (08161078)
Romi Alfianor (08161072)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN
BALIKPAPAN
2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................................1

1.3 Tujuan dan Sasaran ............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN TEORI .....................................................................................................2

2.1 Pengertian ..........................................................................................................................2

2.2 Jenis-Jenis ..........................................................................................................................3

2.3 Metode...............................................................................................................................4

2.3.1 Metode Langsung.........................................................................................................4

2.3.2 Metode Tidak Langsung ...............................................................................................4

2.4 Analisis Shift – Share ....................................................................................................5

2.5 Analisis Multiplier Effect ..............................................................................................8

2.6 Sektor Unggulan ......................................................................................................... 10

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................ 12

3.1 Studi Kasus ...................................................................................................................... 12

3.2 Hasil dan Analisis ............................................................................................................ 12

BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................................... 15

4.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah proses dimana perekonomian suatu wilayah
berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan perekonomian daerah tergantung dari kondisi
dan potensi sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan kondisi dan potensi yang
dimiliki, setiap daerah menjadikannya sebagai modal awal untuk pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah yang selanjutnya harus terus dikembangkan. Semakin
berkembangnya ekonomi suatu daerah juga akan berpeluang untuk menjangkau pasar ekonomi
ke daerah lainnya.
Teori Ekonomi Basis mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Teori Ekonomi
Basis merupakan salah satu metode analisis regional yang membedakan antara aktivitas/sektor
basis dan aktivitas/sektor non-basis. Studi basis ekonomi regional umumnya berupaya untuk
menemu-kenali aktivitas-aktivitas ekspor wilayah, untuk meramalkan pertumbuhan diaktivitas-
aktivitas itu dan untuk mengevaluasi dampak dari kenaikan aktivitas ekspor atas aktivitas-
aktivitas lain pada suatu wiayah. Dengan demikian, penerapan Teori Ekonomi Basis dapat
memberikan arahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari suatu daerah.

1.2 Rumusan Masalah


Bedasarkan pada latar belakang diatas, adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar teori ekonomi basis?
2. Bagaimana metode identifikasi sektor basis dan non basis?
3. Bagaimana penerapan konsep teori ekonomi basis di suatu daerah?

1.3 Tujuan dan Sasaran


Adapun tujuan dari laporan ini adalah untuk memahami bagaimana konsep dari salah satu
Teori Ekonomi Regional yaitu Teori Ekonomi Basis. Adapun sasaran yang ingin dicapai yaitu
1. Memahami konsep dasar teori ekonomi basis.
2. Memahami metode identifikasi sektor basis dan non basis.
3. Memahami penerapan konsep teori ekonomi basis di suatu daerah.

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson (1973) yang menyatakan
bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad, 2010). Dalam penjelasan
selanjutnya dijelaskan bahwa pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya
lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan
daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Asumsi ini memberikan pengertian bahwa
suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan
persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor
(Suyatno, 2000).
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Tingkat pertumbuhan
ekonomi tidak hanya bisa dilihat dari kondisi perekonomian secara keseluruhan akan tetapi harus
juga dilihat pengaruh dari sektor-sektor ekonomi yang ada di daerah tersebut yang dimana sektor
yang berpengaruh dominan disebut sektor unggulan. Pandangan dari teori basis ini menyatakan
bahwa ekspor adalah salah satu cara dalam meningkatkan pembangunan daerah (Tarigan, 2005).
Dalam teori basis ekonomi (economic base) dikemukakan bahwa sebuah wilayah merupakan
sebuah sistem sosio-ekonomi yang terpadu. Teori inilah yang mendasari pemikiran teknik
Location Quotient (LQ), yaitu teknik yang membantu dalam menentukan kapasitas ekspor
perekonomian daerah dan derajat keswasembadaan (Self-sufficiency) suatu sektor. Ada dua
kerangka konseptual pembangunan daerah yang dipergunakan secara luas (Azis, 1994): konsep
basis ekonomi, teori basis ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya akan
meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis
(ekspor) dan sektor non basis (lokal). Konsep kedua beranggapan bahwa perbedaan tingkat
imbalan (rate of return) diakibatkan oleh perbedaan dalam lingkungan atau prasarana, dari pada
diakibatkan adanya ketidakseimbangan rasio modal-tenaga. Dalam konsep ini, daerah
terbelakang bukan karena tidak beruntung atau kegagalan pasar, tetapi karena produktivitasnya
rendah. Namun tak banyak studi empirik yang mempergunakan konsep kedua ini, disebabkan

2
kelangkaan data. Data yang lazim dipergunakan dalam studi empirik adalah metode Location
Quotient (LQ).

2.2 Jenis-Jenis
Adapun menurut John Glasson (1990), perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua
sektor yaitu kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan bukan basis. Kegiatan-kegiatan basis
(basic activities) adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, dan
menjualnya atau memasarkan produk-produknya ke luar daerah. Sedangkan kegiatan-kegiatan
ekonomi bukan basis (non basic activities) adalah usaha ekonomi yang menyediakan barang-
barang dan jasa-jasa untuk kebutuhan masyarakat dalam wilayah ekonomi daerah yang
bersangkutan saja. Artinya, kegiatan-kegiatan ekonomi bukan basis tidak menghasilkan produk
untuk diekspor ke luar daerahnya. Oleh karena itu, luas lingkup produksi mereka itu dan daerah
pemasarannya masih bersifat lokal.
Menurut teori ini, meningkatnya jumlah kegiatan ekonomi basis di dalam suatu daerah akan
meningkatkan jumlah pendapatan daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, akan meningkatkan
permintaan terhadap barang dan jasa di daerah itu dan akan mendorong kenaikan volume
kegiatan ekonomi bukan basis (effect multiplier). Sebaliknya, apabila terjadi penurunan jumlah
kegiatan basis akan berakibat berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah
yang bersangkutan, sehingga akan terjadi penurunan permintaan terhadap barang-barang yang
diproduksi oleh kegiatan bukan basis.
Dalam hubungan ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi dalam dua golongan, yaitu,
(Kadariah, 1985):
1. Kegiatan ekonomi (industri) yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun pasar di
luar daerah itu, industri ini disebut industri basis.
2. Kegiatan ekonomi (industri) yang hanya melayani pasar di daerah itu sendiri, industri
ini disebut industri non basis atau industri lokal.

Teori basis ekonomi digunakan sebagai dasar pemikiran teknik Location Quotient (LQ) pada
intinya adalah industri basis menghasilkan barang dan jasa baik untuk pasar di daerah maupun
untuk pasar di luar daerah yang bersangkutan, maka penjualan hasil ke luar daerah itu
mendatangkan arus pendapatan ke dalam daerah tersebut. Arus pendapatan menyebabkan
kenaikan konsumsi maupun kenaikan investasi, dan pada akhirnya akan meningkatkan

3
pendapatan dan kesempatan kerja. Kenaikan pendapatan di daerah tidak hanya menaikkan
permintaan terhadap hasil industri basis melainkan juga akan meningkatkan permintaan terhadap
hasil industri lokal (non basic), sehingga pada akhirnya akan menaikkan investasi di daerah
tersebut. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penting
dalam pembangunan daerah, (Azis, 1994). Berdasarkan gagasan ini maka orang berpendapat
bahwa industri-industri basislah yang patut dikembangkan di daerah.

2.3 Metode
Ada beberapa metode yang digunakan untuk membagi daerah ke dalam kegiatan basis dan
bukan basis yaitu metode langsung dan tidak langsung.
2.3.1 Metode Langsung
Metode langsung yaitu metode yang mengukur basis dengan menggunakan survei standar
dan kuesioner. Cara ini dapat menghindarkan digunakannya kesempatan kerja sebagai indikator.
Tetapi metode ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar.
2.3.2 Metode Tidak Langsung
Metode tidak langsung Yang termasuk metode ini adalah Location Quotient (LQ). Metode
LQ yang paling lazim digunakan dalam studi-studi basis empirik. LQ digunakan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan dengan cara
membanding perannya dalam perekonomian daerah tersebut dengan peranan kegiatan atau
industri sejenis dalam perekonomian regional (Emilia, 2006). Secara umum metode analisis LQ
dapat diformulasikan sebagai berikut, (Widodo, 2006) yaitu sebagai berikut :

Keterangan:
Si = Nilai sektor i di daerah
S = Total nilai seluruh sektor ekonomi di daerah tersebut
Ni = Nilai sektor i di regional (provinsi/nasional)
N = Total nilai seluruh sektor ekonomi di regional (provinsi/nasional)
Penggunaan LQ sangat sederhana serta dapat digunakan untuk menganalisis tentang
ekspor impor (perdagangan suatu daerah). Namun teknik analisis ini mempunyai kelemahan,
yaitu : selera atau pola konsumsi dari anggota masyarakat adalah berlainan baik antar daerah

4
maupun dalam suatu daerah, tingkat konsumsi rata-rata untuk suatu jenis barang tidak sama di
setiap daerah. Keperluan untuk produksi dan produktivitas buruh berbeda antar daerah. Dengan
adanya kelemahan-kelemahan tersebut maka dalam hal ini perlu diasumsikan bahwa penduduk
di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama dengan pola permintaan pada daerah
yang lebih luas, tingkat konsumsi akan suatu jenis barang rata-rata sama antara daerah,
produktivitas dan juga keperluan untuk produksi sama antar daerah, serta sistem ekonomi negara
adalah tertutup. Walaupun teori ini mengandung kelemahan, namun sudah banyak studi empirik
yang dilakukan dalam rangka usaha memisahkan sektor basis dan non basis. Disamping
mempunyai kelemahan, metode ini juga mempunyai dua kebaikan penting. Pertama, ia
memperhitungkan ekspor tidak langsung dan ekspor langsung. Kedua, metode ini tidak mahal
dan dapat diterapkan pada data historis untuk mengetahui trend. Kriteria yang digunakan adalah
(Bendavid Val, 1991) :
a. LQ > 1 menunjukkan bahwa sektor tersebut basis, artinya sektor tersebut memiliki prospek
yang menguntungkan untuk dikembangkan, karena mampu mengalokasikan ke daerah lain.
b. LQ < 1 menunjukkan bahwa sektor tersebut non basis dan kurang menguntungkan untuk
dikembangkan serta belum mampu memenuhi semua permintaan dari dalam daerah
sehingga harus didatangkan dari daerah lain.
c. LQ = 1 menunjukkan bahwa tingkat spesialisasi suatu sektor tertentu di suatu wilayah sama
dengan sektor yang sama pada tingkat wilayah yang lebih besar.
Adapun keunggulan dan kelemahan menggunakan metode Locational Qoutinent (LQ)
yaitu keunggunalan metode LQ memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung.
Metode LQ juga lebih mudah diterapkan pada data historis untuk mengetahui perkembangan tiap
tahunnya. Sedangkan, untuk kelemahannya penggunaan metode LQ berasumsi bahwa semua
daerah homogen mengikuti nasional.

2.4 Analisis Shift – Share


Analisis shift share umumnya dipakai untuk menganalisis peranan suatu sektor ataupun
pergeseran suatu sektor di daerah terhadap sektor yang sama dalam perekonomian nasional. Data
yang sering dianalisis adalah data yang terkait kegiatan ekonomi ataupun ketenagakerjaan (Putra,
2011). Analisis shift-share untuk membandingkan perbedaan laju pertumbuhan sektor (industri)
di wilayah yang sempit disebut daerah dengan wilayah yang lebih luas disebut nasional (Tarigan,
2005).

5
Suatu daerah yang memiliki banyak sektor yang tingkat pertumbuhannya lamban maka
sektor tersebut pertumbuhannya secara nasional juga akan lamban. Hal ini terjadi karena daerah-
daerah lain tumbuh lebih cepat (Putra, 2011). Keunggulan dalam penggunaan analisis shift-share
dapat memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi dan
memberikan gambarak pertumbuhan ekonomi. Sedangkan kelemahan analisis shift-share aka
sulit untuk memprediksi struktur ekonomi pada masa yang akan datang karena kondisi wilayah
yang tidak konstan dari suatu periode ke periode lainnya dan tidak dapat melihat keterkaitan
antar sektor. Selain itu juga, Analisis shift share berdasarkan (Tarigan, 2005) memiliki tiga
komponen yaitu:
a) National share untuk mengetahui pergeseran struktur perekonomian suatu daerah yang
dipengaruhi oleh pergeseran perekonomian nasional. Peranan National share adalah
seandainya pertambahan PDRB regional sektor i tersebut sama dengan proporsi
pertambahan PDRB nasional secara rata – rata. Adapun rumus perhitungannya sebagai
berikut:

Dimana;
E r,i,t-n merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun dasar
(t-n) atau tahun awal.
E N,t merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah yang lebih tinggi jenjangnya
dalam hal ini nilai total PDRB provinsi yang dihasilkan pada tahun akhir (t).
E N,t-n merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah analisis dalam hal ini nilai
total PDRB kabupaten yang dihasilkan pada tahun dasar (t-n).
b) Proportional shift adalah pertumbuhan nilai tambah bruto suatu sektor dibandingkan
total sektor di tingkat nasional. Proportional Share adalah melihat pengaruh sektor i
secara nasional terhadap pertumbuhan PDRB sektor i pada region yang dianalisis,
sehingga dapat diketahui pertumbuhan ekonomi pada sektor tersebut lebih cepat (+)
atau lebih lambat (-) daripada aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Adapun rumus
perhitungannya sebagai berikut.

6
Dimana:
E N,i,t merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih tinggi
jenjangnya pada tahun dasar atau tahun tahun akhit (t).
E N,i,t-n merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih
tinggi jenjangnya pada tahun dasar (t-n) atau tahun awal.
E r,i,t-n merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun dasar
(t-n) atau tahun awal.
E N,t merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah yang lebih tinggi jenjangnya
dalam hal ini nilai total PDRB provinsi yang dihasilkan pada tahun akhir (t).
E N,t-n merupakan total nilai semua PDRB pada wilayah analisis dalam hal ini nilai
total PDRB kabupaten yang dihasilkan pada tahun dasar (t-n).
c) Differential shift atau competitive position adalah perbedaan pertumbuhan
perekonomian satu daerah dengan nilai tambah bruto sektor yang sama di tingkat
nasional. Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi suatu aktivitas/sektor
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam
wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketidakunggulan)
suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub
wilayah lain. Atau untuk membandingkan posisi aktivitas ekonomi lokal/wilayah
(kabupaten/kota) terhadap aktivitas ekonomi wilayah yang lebih luas (provinsi) pada
sektor yang sama. Differential shift positif menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi
pada sektor tersebut adalah kompetitif. Adapun rumusnya sebagai berikut.

Dimana:
E r,i,t merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun akhir (t).
E N,i,t merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih tinggi
jenjangnya pada tahun dasar atau tahun tahun akhit (t).

7
E N,i,t-n merupakan banyaknya nilai PDRB suatu sektor pada wilayah yang lebih
tinggi jenjangnya pada tahun dasar (t-n) atau tahun awal.
E r,i,t-n merupakan nilai PDRB suatu sektor pada wilayah analisis pada tahun dasar
(t-n) atau tahun awal.
Hasil dari analisis shift-share akan menghasilkan empat indikator sebagagai berikut:

Gambar 2.1 Kuadran Klasifikasi Analisis Shift-Share


Sumber: Tarigan,2005
Dari kuadran diatas adapun penjelasan masing – masing kuadran sebagai berikut:
a) K I = Bila nilai proportional share dan differential shift bernilai positif diartikan bahwa
sektor ini mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian kota (kontribusinya
cenderung naik) dan naik terhadap sistem perekonomian yang lebih luas (provinsi).
b) K II = Bila nilai proportional share bernilai negatif dan differential shift bernilai
positif, artinya sektor ini hanya dapat meningkatkan peranannya dalam lingkup
internal (kota) saja.
c) K III = Bila nilai proportional share bernilai dan differential shift bernilai negatif,
artinya sektor tersebut tidak mempunyai peranan dalam memajukan perekonomian
internal (kota) maupun eksternal (provinsi).
d) K IV = Bila nilai proportional share bernilai positif dan differential shift negatif,
berarti sektor tersebut hanya dapat meningkatkan peranannya dalam wilayah yang
lebih luas (provinsi), tetapi tidak dapat meningkatkan perekonomian internal (kota).

2.5 Analisis Multiplier Effect


Teori multiplier regional yang dikemukakan oleh John Glasson (1990) menerangkan
saling berkaitan antara sektor-sektor ekonomi dalam suatu wilayah serta kekuatan-kekuatan
pendorong salah satu sektor ke sektor yang lainnya secara langsung maupun tidak langsung

8
adalah teori basis ekonomi (economic base theory). Meningkatnya jumlah kegiatan ekonomi
basis di dalam suatu daerah, akan meningkatkan jumlah pendapatan daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa di daerah itu dan akan
mendorong kenaikan volume kegiatan ekonomi bukan basis (effect multiplier). Sebaliknya
apabila terjadi penurunan jumlah kegiatan basis, akan berakibat berkurangnya pendapatan yang
mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan, dan selanjutnya akan terjadi penurunan
permintaan terhadap barang-barang yang diproduksi oleh kegiatan bukan basis. (Glasson,1990).
Kenggunalan dari analisis multiplier effect dapat mengetahui faktor apa saja yang
terpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi. Sedangkan, kelemahannya tidak bisa memprediksikan
faktor yang akan terpengaruh pada waktu yang akan datang. Adapun dampak pengganda suatu
sektor dirumuskan sebagai berikut:

Dimana r merupakan efek pengganda (multiplier effect), Esi adalah aktivitas sektor non basis,
dan Ebi merupakan aktivitas sektor basis. Aktivitas sektor basis dirumuskan sebagai berikut:

Sedangkan untuk menghitung aktivitas non basis digunakan rumus sebagai berikut:

Dimana :
EiR : Produksi sektor i di daerah yang diselidiki
ER : Produksi seluruhnya (Total Produksi) di daerah yang diselidiki
EiN : Produksi sektor i di seluruh daerah yang lebih luas dimana daerah yang diselidiki menjadi
bagiannya
EiR : Produksi seluruhnya (Total Produksi) di seluruh daerah yang lebih luas dimana daerah
yang diselidiki menjadi bagiannya.

9
2.6 Sektor Unggulan
Darmawansyah (2003) mendefinisikan sektor ekonomi unggulan sebagai sektor yang
dapat menunjang dan mempercepat pembangunan dan pertumbuhan perekonomian daerah yang
berdasarkan pada kriteria tingkat kemampuan sektor dalam memberi kontribusi terhadap
penerimaan PDRB daerah, tingkat kemampuan menyerap tenaga kerja, potensi dalam
menghasilkan komoditas eksport dan tingkt keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya. Selain
itu juga, sektor ekonomi unggulan sebagai sektor ekonomi yang unggul atau mempunyai daya
saing dalam beberapa periode tahun terakhir dan kemungkinan prospek sektor ekonomi dimasa
yang akan datang dengan kriteria yang sama Darmawansyah. Dalam hal ini, sektor ekonomi
unggulan lebih ditekankan pada aspek ekonomi semata, alangkah baiknya jika diperhatikan pula
dampak yang akan timbul dari pengembangan sektor ekonomi yang dianggap unggul tersebut
baik terhadap persoalan sosial maupun lingkungan (Widodo,2005).
Menurut (Mulyanto,1999) dalam mengidentifikasi sektor-sektor yang dapat
dikembangkan untuk mendukung kontribusinya terhadap pendapatan daerah dapat dilakukan
melalui pendekatan yang menggunakan kriteria sebagai berikut:
1. Pertumbuhan PDRB meningkat di suatu wilayah dilihat dari laju pertumbuhan dan
kontribusi sektor.
2. Kesejahteraan penduduk meningkat, hal ini berpengaruh pada perkembangan sektor.
3. Memiliki potensi pasar yang prospektif, baik pasar lokal, regional maupun pasar
internasional.
4. Efisiensi investasi, yaitu dengan investasi yang kecil dapat menghasilkan output yang
sebesar-besarnya.
5. Memiliki skala ekonomi yang besar sehingga potensial untuk dikembangkan.
6. Mempunyai kontribusi yang besar terhadap kegiatan ekonomi pada wilayah tersebut.
7. Menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar.
8. Memiliki dampak spasial yang besar dalam mendorong pengembangan wilayah, baik
dalam lingkup provinsi maupun nasional.
Kemudian kriteria prioritas sektor unggulan dapat didasarkan pada kriteria sebagai
berikut:
1. Sektor usaha tersebut telah dikenal oleh masyarakat.
2. Memiliki sumbangan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

10
3. Sesuai dengan agroekologi lokasi yang akan dijadikan wilayah pengembangan.
4. Memiliki potensi pasar dan peluang pasar ekspor.
5. Mempunyai dukungan kebijakan pemerintah dalam sektor – sektor teknologi, prasarana,
infrastruktur, kelembagaan permodalan, pemasaran dan lainnya.
6. Sesuai dengan arah dan perencanaan pembangunan daerah (visi dan misi pembangunan
daerah).
7. Memiliki kelayakan investasi dan finansial yang baik.
Pertumbuhan ekonomi wilayah disebabkan oleh adanya berbagai kegiatan industri dalam
suatu daerah, perkembangan yang terjadi pada kutub-kutub pertumbuhan akan menyebar
sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dengan efek yang beragam pula terhadap
keseluruhan kegiatan perekonomian (Glasson, 1990). Peran sektor unggulan dalam usaha
pengembangan dan pembangunan ekonomi wilayah ditujukan guna mengatasi keterbatasan dana
dan sumber daya serta meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
dapat melaksanakan pembangunan dan pengembangan kota yang optimal dan dalam rangka
optimasi dan efisiensi pembangunan perekonomian daerah sebagai landasan dalam perencanaan
pembangunan. Dalam lingkup pengarahan pembangunan diperlukan adanya suatu prioritas.
Penentuan prioritas pembangunan dapat didasarkan kepada suatu pendapat yang menyangkut
bahwa pertumbuhan dari suatu wilayah akan dapat dioptimalkan apabila kegiatan pembangunan
dapat dikonsentrasikan pada aktivitas-aktivitas sektor ekonomi yang dapat memanfaatkan
kekuatan atau kelebihan yang secara alamiah dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan.
proses pembangunan bukan hanya ditentukan oleh aspek ekonomi saja, namun pertumbuhan
ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah. Wilayah yang
dimaksudkan disini dapat berbentuk provinsi, kabupaten atau kota. Pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi sampai saat ini masih merupakan target utama pembangunan dalam rencana
pembangunan wlayah disamping pembangunan sosial. Sedangkan target pertumbuhan ekonomi
tersebut ternyata sangat bervariasi sesuai dengan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-
masing daerah. Melalui pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup tinggi tersebut diharapkan
kesejahteraan masyarakat secara bertahap akan ditingkatkan (Sjafrizal, 2008).

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus


Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang
berlimpah dengan segala kekurangan infrastruktur yang ada. Namun demikian pada tahun 2013,
Provinsi Papua masih mampu menyumbang 1.32 persen terhadap perekonomian nasional.
Artinya, segala aktivitas ekonomi yang terjadi pada semua sektor ekonomi yang digerakkan oleh
pelaku-pelaku ekonomi dengan menggunakan sumber daya yang ada menciptakan kue
pembangunan sebesar 1.32 persen terhadap perekonomian nasional.
Tentu saja nilai andil tersebut merupakan akumulasi dari realisasi peotensi-potensi sumber
daya yang digali dari semua wilayah di Papua. Jika diperhatikan selama periode 2011-2015
struktur ekonomi didominasi oleh sektor penggalian dan pertambangan tetapi dominasinya pun
mengalami penurunan seiring kenaikan andil sektor lainnya seperti pertanian, kosntruksi, dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan mengidentifikasi sektor -
sektor apa saja yang merupakan sektor-sektor yang berperan besar dalam perekonomian Provinsi
Papua sehingga program dan kebijakan ekonomi dapat secara optimal menggali potensi-potensi
yang dimiliki Tanah Papua.
Pada Provinsi Papua terutama Kabupaten Jayawijaya sektor pertanian adalah salah satu
sektor yang berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi wilayah selain wilayah
pertambangan. Peran sektor pertanian tentu saja sangat berpengaruh terhadap pembangunan
infrastruktur dan ekonomi di Provinsi Papua. Hal ini tentu saja mampu menarik perhatian
pemerintah untuk membuka akses berupa jalan untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dari
daerah-daerah tersebut yang berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat papua terutama
masyarakat Kabupaten Jayawijaya.

3.2 Hasil dan Analisis


Berdasarkan data yang berasal dari BPS Provinsi Papua dan Papua dalam angka tahun
2013 adapun hasil produksi sektor pertanian di Kabupaten Jayawijaya dan Provinsi papua adalah
sebagai berikut :
Tabel 3.1 hasil produksi pertanian di Kabupaten Jayawijaya
Sektor Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua

12
Pertanian Hasil Produksi Luas Lahan Hasil Produksi Luas Lahan
(ton) (Ha) (ton) (Ha)
Ubi Jalar 23.924 336 1.066.197 33.071
Padi Sawah 2.042 45 436.393 37.149
Ubi Kayu 13.148 109 178.708 3.020
Kacang Tanah 1.126 76 12.053 1.990
Jumlah 40.240 556 1.693.351 75.230
Sumber : BPS Provinsi Papua dan Papua Dalam Angka 2013
Adapun dalam hitungan untuk mengetahui sektor basis memiliki perhitungan dengan
pendekatan LQ sebagai berikut
Perhitungan LQ
23.924 / 40.240
LQ Ubi Jalar = 1.066.197 / 1.693.351

= 0,91
2.042 / 40.240
LQ Padi Sawah = 436.393 / 1.693.351

= 0,2
13.148 / 40.240
LQ Ubi Kayu = 178.708 / 1.693.351

= 3,09
1.126 / 40.240
LQ Kacang Tanah = 12.053 / 1.693.351

= 3,93

Berikut hasil yang diperoleh dari perhitungan LQ pada masing-masing sektor pertanian di
Kabupaten Jayawijaya
Tabel 3.2 Hasil Perhitungan Local Quotient sektor pertanian di Kabupaten Jayawijaya
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua
Sektor Hasil Luas Hasil Luas Lahan
LQ Ket
Pertanian Produksi Lahan Produksi (Ha)
(ton) (Ha) (ton)
Ubi Jalar 23.924 336 1.066.197 33.071 0,91 Non Basis
Padi Sawah 2.042 45 436.393 37.149 0,2 Non Basis
Ubi Kayu 13.148 109 178.708 3.020 3,09 Basis

13
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua
Sektor Hasil Luas Hasil Luas Lahan
LQ Ket
Pertanian Produksi Lahan Produksi (Ha)
(ton) (Ha) (ton)
Kacang 1.126 76 12.053 1.990 3,93 Basis
Tanah
Jumlah 40.240 556 1.693.351 75.230
Sumber : Analisis Penulis, 2019

Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa ubi kayu dan kacang tanah
merupakan komoditas yang signifikan dapat membantu pertumbuhan ekonomi wilayah di
Kabupaten Jayawijaya karena memiliki Local Quotient (LQ) > 1. Sedangkan untuk ubi jalar dan
padi sawah merupakan komoditas yang tidak terlalu signifikan membantu pertumbuhan ekonomi
wilayah karena memiliki Local Quotient (LQ)< 1.

14
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan pada pembahasan teori ekonomi basis yaitu sebagai
berikut.
1. Teori Ekonomi Basis adalah sebuah teori dimana suatu daerah akan mempunyai sektor
unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama
dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor karena faktor penentu utama
pertumbuhan ekonomi suatu daerah melalui ekspor.
2. Metode identifikasi sektor basis dan non basis terdapat 2 cara yaitu langsung dan tidak
langsung. Metode langsung yaitu dengan mengukur basis menggunakan survei standar
dan kuesioner. Metode tidak langsung dengan Location Quotient (LQ) yang digunakan
untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan dengan
cara membanding perannya dalam perekonomian daerah tersebut.
3. Konsep teori ekonomi basis telah diterapakan di daerah Kabupaten Jayawijaya dimana
memiliki sektor pertanian yang terdiri dari 4 sektor. Dari keempat sektor tersebut yang
termasuk ke dalam sektor basis adalah ubi kayu dan kacang tanah

15
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan, edisi 5. UPP STIM YKPN : Yogakarta.
Azis, Iwan Jaya. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. FEUI :
Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2013. Papua Dalam Angka Tahun 2013. Papua : Badan
Pusat Statistik.
Bendavid. 1991. Regional And Local Economic Analysis For Practitioners. Praeger Publisher :
Westport USA.
Darmawansyah. 2003. Pengembangan Komoditi Unggulan Sebagai Basis Ekonomi Daerah.
Tesis S-2 Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Emilia, dkk. 2006. Modul Ekonomi Regional. FE Universitas Jambi : Jambi.
Glasson, John. 1990. Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Oleh Paul Sitohang. LPFEUI
: Jakarta.
Kadariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia : Jakarta.
Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Jakarta:CV
Rajawali Citra Press.
Putra, Nusa. 2011. Research and development Penelitian dan pengembangan:suatu pengantar.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Suyatno. 2000. Teori Basis Ekonomi. BPFE : Yogyakarta.
Syafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian
Barat, Prisma No.3.
Tarigan, Robinson 2005. Ekonomi Regional-Teori Dan Aplikasi Edisi Revisi. Bumi Aksara :
Jakarta.
Widodo, Tri. 2006. Perencanaan Pembangunan, Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah). UPP
STIM YKPN : Yogyakarta

16

Anda mungkin juga menyukai