PENDAHULUAN
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari
24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun
infeksi.
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh
iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh
darah otak yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami
oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh
penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau
tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah
percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa
perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid
Pada 1053 kasus stroke di 5 rumah sakit di Yogyakarta angka kematian
tercatat sebesar 28.3%; sedangkan pada 780 kasus stroke iskemik adalah 20,4%, lebih
banyak pada laki-laki. Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta
menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker, 51,58%
akibat stroke hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan 1,05% akibat perdarahan
subaraknoid .
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi stroke di Indonesia 12,1
per 1.000 penduduk. Angka itu naik dibandingkan Riskesdas 2007 yang sebesar 8,3
persen. Stroke telah jadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit di
Indonesia, yakni 14,5 persen.2
1
Dilihat dari karakteristiknya, stroke banyak dialami orang lanjut usia,
berpendidikan rendah, dan tinggal di perkotaan. Perubahan gaya hidup; pola makan
terlalu banyak gula, garam, dan lemak; serta kurang beraktivitas adalah faktor risiko
stroke.
Riskesdas 2013 menunjukkan, prevalensi hipertensi orang Indonesia berusia
lebih dari 18 tahun 25,8 persen. Seseorang kena hipertensi jika tekanan darah sistolik
lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.Tekanan
sistolik menunjukkan tekanan darah saat otot jantung berkontraksi dan tekanan
diastolik saat otot jantung tak berkontraksi.
2
BAB II
TNJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Menurut WHO definisi stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan
fungsi serebral baik lokal maupun menyeluruh (global), berlangsung cepat,
lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukan
penyebabnya selain gangguan vaskuler.1
Sroke adalah Kumpulan gejala akibat gangguan fungsi otak akut baik
fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh berkurang atau
hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina atau medula spinalis yang
dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah arteri
maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak dan/atau
patologi.2
III. KLASIFIKASI
A. Berdasarkan patologi anatomi
1. Stroke nonhemoragik (iskemik)
a. Trombosis serebri
b. Emboli serebri
2. Stroke hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
4
b. Perdarahan subarakhnoid
B. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu
1. TIA ( Transient Ischemic Attack )
2. Stroke in evolution
3. Complete stroke
IV. PATOFISIOLOGI
Stroke Iskemik
Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Pada iskemik global, aliran
otak secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi, misalnya karena syok
irreversible akibat henti jantung. sedangkan iskemik fokal terjadi akibat
menurunnya tekanan perfusi otak regional. Keadaan ini disebabkan oleh
sumbatan atau pecahnya salah satu pembuluh darah otak di daerah sumbatan atau
tertutupnya aliran darah sebagian atau seluruh lumen pembuluh darah otak.
Akibat penutupan aliran darah ke bagian otak tertentu, maka terjadi
serangkaian proses patologis pada daerah iskemik. Perubahan ini dimulai di
tingkat seluler, berupa perubahan fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan
pada fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel, selanjutnya akan
berakhir dengan kematian neuron.
Di samping itu terjadi perubahan mili ekstraseluler, karena peningkatan pH
jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat neurotransmitter (glutamat) serta
metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai kerusakan sawar darah otak (blood
brain barrier). Seluruh proses ini merupakan perubahan yang terjadi pada stroke
iskemik.
5
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain,
akan menyebabkan iskemik di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini:
Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis
gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul dapat
berupa hemiparesis yang menghilang sebelum 24 jam atau amnesia umum
sepintas.
1. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF
regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih
mampu memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari
sampai dengan 2 minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik ada sedikit
gangguan. Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic
Neurologic Deficit).
2. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas
sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya.
Dalam keadaan ini timbul defisit neurologis yang berlanjut.
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat
perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari:
a. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat
pucat karena CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron,
pelebaran pembuluh darah tanpa aliran darah. Kadar asam laktat
disini tinggi dengan pO2 yang rendah. Daerah ini mengalami
nekrosis.
b. Daerah di sekitar inti ischemic core yang CBF-nya juga rendah,
tetapi masih lebih tinggi daripada CBF di ischemic core. Pada
daerah ini pO2 rendah, pCO2 tinggi, dan asam laktat meningkat.
6
Edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi pembuluh darah
dan jaringan berwarna pucat. Astrup menyebutnya sebagai ischemic
penumbra.
c. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan
edema. Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, pCO2 dan
pO2 tinggi dan kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat
meninggi sehingga disebut sebagai daerah dengan perfusi
berlebihan.
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah
iskemia, sehingga respons arteriol terhadap perubahan tekanan darah dan
oksigen atau karbondioksida menghilang.
Perdarahan Intraserebral
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain
adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa,
alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid.
Perdarahan Subarakhnoid
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada
percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arteri – vena
atau tumor.2,3
V. DIAGNOSIS
Dasar diagnosis dari stroke dapat ditegakkan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Brain Imaging : MRI (bila diperlukan) atau CT-Scan
b. Vascular Imaging : MRA, CTA, atau carotid ultrasound (bila diperlukan)
7
c. Laboratorium : Pemeriksaan kimia darah lengkap, elektrolit, ureum,
kreatinin, asam urat, fungsi hati (SGOT/SGPT/CPK), aPTT, profil lipid
(kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL, gula darah sewaktu, HbA1c,
troponin).
d. EKG
e. Echocardiography (bila curiga terdapat kardioemboli)
Tetapi tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat yang canggih, maka
untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain,
misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada
pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan
antara lain:
8
Penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan refleks babinski adalah variabel-
variabel yang telah diuji reliabilitas dan validitasnya untuk menyusun
Algoritma stroke Gadjah Mada sebagai suatu strategi klinik untuk
membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik akut
atau stroke infark.2
9
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
- Pemantauan status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan
saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam pada pasien dengan status
neurologis yang nyata.
- Perbaiki jalan nafas. Berikan oksigen bila saturasi oksigen < 95%.
- Intubasi ETT diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 < 60 mmHg
atau pCO2 50 mmHg) atau syok atau pasien yang beresiko untuk terjadi
aspirasi.
b. Stabilisasi hemodinamik
- Berikan cairan kristaloid atau koloid IV (hindari pemberian cairan
hipotonis seperti glukosa).
- Lakukan pemasangan CVC (Central Venous Catheter) untuk memantau
kecukupan cairan dan sarana untuk memasukkan cairan dan nutrisi.
- Optimalisasi tekanan darah.
- Pemantauan jantung harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah
awitan serangan stroke iskemik.
- Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, konsul kardiolog.
- Atasi hipovolemia dengan larutan salin normal.
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
- Tekanan darah
- Pemeriksaan jantung
- Pemeriksaan neurologi
I. Derajat kesadaran
II. Pemeriksaan pupil dan okulomotor
III. Keparahan hemiparesis
10
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan penderita
yang mengalami penurunan kesadaran karena TIK. Sasaran terapi adalah
TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.
- Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi:
i. Tinggikan posisi kepala 20o – 30o
ii. Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv. Hindari hipertemia
v. Jaga normovolemia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0.25 – 0.50 gr/kgBB, selama > 20 menit, diulangi
setiap 4 – 6 jam dengan target ≤ 310 mOsm/L. Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
Berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi. Hiperventilasi mungkin
diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
viii. Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar.
ix. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar
yang menimbulkan efek massa, merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke
perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan
mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
11
f. Pengendalian Kejang
- Berikan diazepam bolus lambat IV 5 – 20 mg dan fenitoin dose 15 – 20
mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
- Bila belum teratasi, maka perlu dirawat.
- Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa
kejang tidak dianjurkan.
- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat
diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak
ada kejang selama pengobatan.
g. Pengendalian Suhu Tubuh
- Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya.
- Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, lakukan kultur dan
hapusan (trakea, darah, dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter, ventrikuler, analisa cairan serebrospinal untuk mendeteksi
meningitis, lalu terapi dengan antibiotik.
h. Pemeriksaan Penunjang
- EKG
- Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostatis,
kadar gula darah, analisis urin, analisis gas darah, dan elektrolit)
- Bila curiga adanya perdarahan subarachnoid, lakukan punksi lumbal.
- Lakukan pemeriksaan radiologi:
a. Foto rontgen dada
b. CT – Scan
Terapi Khusus
Penatalaksanaan Stroke Iskemik
1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
12
o Tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolik) dalam
24 jam pertama setelah awitan apabila TDS > 220 mmHg atau TDD >
120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberikan terapi
trombolitik, tekanan darah diturunkan hingga TDS < 185 mmHg dan
TDD < 110 mmHg. Lalu tekanan darah dipantau hingga TDS < 180
mmHg dan TDD < 105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA.
Obat yang digunakan adalah labetolol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin,
atau diltiazem IV.
2. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
3. Pemberian terapi trombolisis
4. Pemberian antikoagulan
Pemberian heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik akut dengan
risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis berat arteri
karotis sebelum pembedahan.
5. Pemberian antiplatelet
Pemberian aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untu setiap stroke iskemik akut. Tetapi
jangan diberikan bila diberikan obat trombolitik dalam 24 jam
sebelumnya.1,2
VIII. EPILEPSI
DEFINISI
13
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi
sebelumnya. 4
ETIOLOGI
KLASIFIKASI
14
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan
kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum
(tonik-klonik, tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. lena/ absens
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan.5
PATOFISIOLOGI
15
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan
seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah 5
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.4
GEJALA
16
Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya. 6
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks Serangan yang mengenai bagian otak
yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya
sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
17
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.4,5
DIAGNOSIS
18
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi
dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah
gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika
didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.4,5
19
PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:
• OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat
minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
• Terapi dimulai dengan monoterapi
• Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
• Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
• Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
20
lamotrigin, okskarbazepin, valproat.
2) Obat-obat yang meningkatkan transmisi
inhibitori GABAnergik:
Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dg
mengaktifkan kerja reseptor GABA, contoh: benzodiazepin,
barbiturat. Menghambat GABA transaminase, konsentrasi
GABA meningkat, contoh: Vigabatrin. Menghambat GABA
transporter, memperlama aksi GABA, contoh: Tiagabin.
Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal
pasien mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-
vesikular pool contoh: Gabapentin.4,5
21
BAB III
STATUS PASIEN
Nama : Tn. N
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 73 tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Kristen
Tgl. Masuk : 28-01-2019
Anamnesis
Autoanamnesis Tgl : 28 Januari 2019
Keluhan utama : Kejang
Keluhan Tambahan : Lemah separuh badan
22
Riwayat Penyakit Terdahulu
1. Pasien mempunyai riwayat stroke non hemoragik pada tahun 2016
2. Pasien mempunyai riwayat kejang terakhir pada tahun 2017
3. Pasien memounyai riwayat hipertensi kurang lebih 5 tahun yang lalu
terkontrol dengan Amlodipine 10 mg
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis:
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis (E3M6V5)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 77 x/menit
Pernafasan : 27 x/menit
Suhu : 36,4° C
Status Regional
Kepala : Normocephali
Wajah : Simetris
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Bentuk biasa, Lapang +/+, Sekret -/-
23
Mulut : Mukosa bibir baik, faring tidak hiperemis
Telinga : Normotia, Liang lapang +/+, Serumen Membran
timpani intak
Leher : KGB tidak teraba membesar
Toraks : Pergerakan dinding dada simetris kanan kiri
Paru-paru : Bunyi nafas dasar vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Tampak datar, BU (+) 4x/menit, nyeri tekan (-), nyeri
Ketok (-)
Hepar : Tidak teraba membesar
Lien : Tidak teraba membesar
Genitalia externa : Tidak Dilakukan pemeriksaan
Extremitas : Akral hangat, Edema - - / - -
Status Neurologi
1. Rangsang meningeal
Kaku kuduk :-
Brudzinski I : -/-
Brudzinski II : -/-
Kernig : >135 º />135 º
Laseque :>70º / >70º
2. Syaraf Kranial
N.I (Olfaktorius):
Cavum nasi : lapang/lapang
Tes penghidu : normosmia/normosmia
N.II (Optikus):
Visus :>3/60 // >3/60
Lihat warna : Normal
24
Lapang pandang : Sama dengan pemeriksa
Funduscopy : tidak dilakukan
N.V (Trigeminus) :
Motorik :
Buka tutup mulut : baik/baik
Gerakan rahang : baik/baik
Sensorik :
Rasa nyeri : kanan>kiri
Rasa raba : kanan>kiri
Rasa suhu : kanan>kiri
Refleks :
Refleks kornea : +/+
Refleks maseter : +
25
N.VII (Fasialis) :
Sikap wajah : Simetris
Mimik : Biasa
Angkat alis : +/+
Kerut dahi : +/+
Kembung pipi : +/+
Lagoftalmus : -/-
Menyeringai : Sulcus Naso Labialis kiri mendatar
Rasa Kecap : Tidak Dilakukan
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Nistagmus : -/-
Vertigo :-
Suara berbisik : Tidak dilakukan
Gesekan jari : +/+
Tes rinne : Tidak dilakukan
Tes weber : Tidak dilakukan
Tes swabach : Tidak dilakukan
26
Refleks okulokardiak : +
Refleks sinus caroticus: +
N. XI (Aksesorius)
Angkat bahu : -/baik
Menoleh : baik/baik
N. XII (Hipoglossus)
Sikap lidah : Di tengah
Julur lidah : Deviasi ke kiri
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Tenaga otot lidah : Tidak dilakukan
3. Motorik
Derajat kekuatan otot :
4444 2222
4444 2222
Tonus Otot : Normotonus/normotonus
Trofi otot : Eutrofi/eutrofi
Gerakan spontan abnormal :-
4. Refleks
Fisiologis :
Biceps ++/++
Triceps ++/++
KPR ++/++
APR ++/++
Patologis:
27
Hoffmann tromner: -/-
Babinski -/-
Chaddock -/-
Gordon -/-
Oppenheim -/-
Schaefer -/-
Rossolimo -/-
Mendel bechtrew -/-
Klonus lutut -/-
Klonus kaki -/-
5. Koordinasi :
Statis
Duduk : Tidak dapat dilakukan
Berdiri : Tidak dapat dilakukan
Test romberg : Tidak dapat dilakukan
Test romberg dipertajam : Tidak dapat dilakukan
Dinamis:
Telunjuk telunjuk : tidak dapat dilakukan
Telunjuk hidung : tidak dapat dilakukan
6. Sensibilitas :
28
Eksteroseptif :
Rasa Raba : kiri<kanan
Rasa Nyeri : kiri<kanan
Rasa Suhu : Tidak Dilakukan
Propioseptif :
Rasa Getar : baik
Rasa Sikap : baik
7. Vegetatif :
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik
Salivasi : baik
Fungsi seks : Tidak Dilakukan
8. Fungsi Luhur :
Memori : Baik
Bahasa : dapat dimengerti
Kognitif : baik
Afek dan Emosi : baik
Visuospasial : baik
9. Tanda-tanda regresi
Refleks mengisap : tidak ada
Refleks menggigit : tidak ada
Refleks memegang : tidak ada
Snout refleks : tidak ada
29
10. Palpasi saraf tepi
Nervus ulnaris : tidak teraba membesar
Nervus aurikularis magnus : tidak teraba membesar
Resume
Pasien datang dengan keluhan kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit.
Kejang tiba-tiba muncul saat pasien sedang duduk. Sebelum kejang pasien tidak
mengeluhkan apa-apa. Kejang pertama dimulai dari kepala yang dilanjutkan pada
tangan dan kaki. Setiap kejang, mata pasien melihat ke atas. Pasien menyangkal
menggigit lidah selama kejang. Kejang terjadi selama 7 kali dalam 30 menit. Durasi
setiap kejang diantara 1-2 menit. Durasi terpanjang kejang adalah selama 5 menit.
Pasien selalu sadar setiap periode kejang atau setelah kejang terjadi. Pasien juga
mengeluh lemah separuh badan sebelah kanan dan mempunyai riwayat stroke pada
tahun 2016, riwayat kejang terakhir tahun 2017 dan riwayat hipertensi terkontrol
dengan amlodipine.
Status Generalis:
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 77 x/menit
Pernafasan : 27 x/menit
Suhu : 36,4° C
Status Neurologis
N.VII (Fasialis) :
Sikap wajah : Simetris
30
Mimik : Biasa
Angkat alis : +/+
Kerut dahi : +/+
Kembung pipi : +/+
Lagoftalmus : -/-
Menyeringai : Sulcus Naso Labialis kiri mendatar
N. X dan XII
Disartria :+
Disfagia :+
N. XII
Sikap lidah : Di tengah
Julur lidah : Deviasi ke kiri
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Motorik
Derajat kekuatan otot :
4444 2222
4444 2222
Tonus Otot : Normotonus/normotonus
Trofi otot : Eutrofi/eutrofi
Gerakan spontan abnormal :-
Refleks
Fisiologis :
Biceps ++/++
Triceps ++/++
KPR ++/++
APR ++/++
Patologis:
31
Hoffmann tromner: -/-
Babinski -/-
Chaddock -/-
Gordon -/-
Oppenheim -/-
Schaefer -/-
Rossolimo -/-
Mendel bechtrew -/-
Klonus lutut -/-
Klonus kaki -/-
Siriraj Skor
Diagnosa
32
33
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah (28/01/2019)
Hasil Normal
Elektrolit
Darah
Hematokrit 41,7% 37 – 43 %
Kimia Klinik
Terapi
a. Non-medikamentosa
Rawat inap
Tirah baring & posisikan kepala 30 derajat
Diet rendah lemak dan garam
b. Medikamentosa
IVFD : II NS/24 jam
Mm/
O Amlodipin 1x10mg (PO)
O Candesartan 1x8mg (PO)
O Clopidogrel 1x75mg (PO)
O Asitect 1x10mg (PO)
34
O Concor 1x1.25mg (PO)
O Phenytoin 3x100mg (IV)
Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Sanationum : Dubia ad malam
Ad Fungsionum : Dubia ad bonam
35
Follow UpTanggal 28/01/19 (PH :1)
Kejang 30 menit yang lalu KU : Tampak sakit sedang Epilepsi pasca CVD P/ IVFD II RL / 24 hours
Medication:
TD: 130/80mmHg; non Haemorrhagic dd/
Amlodipin 1x10mg (PO)
GCS : E4M6V4 Haemorrhagic
Candesartan 1x8mg (PO)
Nadi : 77x/menit
Clopidogrel 1x75mg (PO)
RR : 27x/menit
Asitect 1x10mg (PO)
Suhu : 36,40 Concor 1x1.25mg (PO)
SaO2 : 98% Phenytoin 3x100mg (IV)
VII, IX,X
Motorik : hemiparese
Otot :
Lengan kanan :5
Tungkai kanan: 5
Lengan kiri : 2
Tungkai kiri : 2
Sensorik : Hemihipestesia
sinistra
36
Follow UpTanggal 29/01 2019 (PH :2)
37
GDS : 122 mg/dl
38
Follow UpTanggal 30/01/19 (PH :3)
39
Follow UpTanggal 31/01/19 (PH :4)
40
DAFTAR PUSTAKA
41