Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Parkinson disease pertama kali dideskripsikan oleh James Parkinson pada
tahun 1817. Ia mendefinisikan gangguan ini sebagai penyakit neurodegeneratif
spesifik ditandai dengan bradikinesia, resting tremor, rigiditas cogwheel, dan
gangguan refleks postural. Parkinson disease adalah salah satu gangguan
neurologis yang paling umum di seluruh dunia dan mempengaruhi setidaknya
1.500.000 orang di Amerika Serikat. Insidennya biasanya memuncak pada dekade
keenam. Biasanya status klinis pasien berkembang dari batasan yang relatif
sederhana saat diagnosis hingga kecacatan yang terus meningkat selama 10
hingga 20 tahun.1
Gambaran neuropatologis primer adalah hilangnya neuron dopaminergik
berpigmen terutama di substantia nigra dan keberadaan Lewy bodies eosinofilik,
inklusi sitoplasma yang ditemukan dalam neuron berpigmen. Proyeksi utama
neuron ini adalah ke striatum, misalnya putamen dan caudatus. Dopamin
dilepaskan terutama dari sel-sel striatal ini. Dari sini neurotransmisi dopamin
secara berurutan diarahkan melalui globus pallidus, nukleus subthalamic, ke
talamus, dan kemudian ke korteks motorik primer.1
Tatalaksana PD didasarkan pada mengatasi gejalanya. Manajemen pada
setiap pasien membutuhkan pertimbangan yang cermat terhadap tanda dan gejala
pada pasien, tahap penyakit, tingkat kecacatan fungsional, dan tingkat aktivitas
dan produktivitas sehari-hari. Selain aspek tersebut, pemilihan terapi juga
mempertimbangkan efek samping yang sering timbul akibat pengobatan tersebut.1

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parkinson Disease


2.1.1 Definisi
Parkinson Disease (PD) adalah bentuk paling umum dari kelompok gangguan
neurodegeneratif progresif yang dicirikan oleh gambaran klinis parkinsonisme,
termasuk bradikinesia (kurangnya dan kelambatan gerakan), resting tremor,
rigiditas otot, shuffling gait, dan postur tubuh yang tertekuk. Meskipun
didefinisikan secara klinis sebagai gangguan gerakan, sekarang secara luas
disebutkan bahwa PD dapat disertai oleh berbagai gejala non-motorik, termasuk
gangguan otonom, sensorik, tidur, kognitif, dan psikiatri. Hampir semua bentuk
parkinsonisme hasil dari pengurangan transmisi dopaminergik dalam ganglia
basal.2

2.1.2 Epidemiologi
PD menimpa kurang lebih sebanyak 1 juta orang di Amerika Serikat (sekitar 1%
berusia lebih dari 55 tahun). Puncak usia onsetnya adalah pada awal 60-an
(kisaran 35-85 tahun), dan perjalanan penyakit berkisar antara 10 dan 25 tahun.
PD terjadi pada sekitar 75% dari semua kasus parkinsonisme; sisanya merupakan
kasus dari gangguan neurodegeneratif lainnya seperti penyakit serebrovaskular,
dan obat-obatan.2 Prevalensi PD berdasarkan usia dan lokasi geografis, individu
berusia 70 hingga 79 tahun di Asia memiliki prevalensi PD yang secara signifikan
lebih rendah (646 per 100.000) dibandingkan dengan individu dengan usia yang
sama di Eropa, Amerika Utara, dan Australia.3 Meskipun sebagian besar pasien
dengan PD tampaknya tidak memiliki determinan genetik yang kuat, bukti
epidemiologi menunjukkan interaksi kompleks antara kerentanan genetik dan
faktor lingkungan. Faktor risiko termasuk riwayat keluarga yang positif, jenis
kelamin laki-laki, cedera kepala, paparan pestisida, konsumsi air sumur, dan
kehidupan pedesaan. Faktor yang terkait dengan penurunan insidensi PD termasuk
minum kopi, merokok, penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid, dan
penggantian estrogen pada wanita pascamenopause.2

2
2.1.3 Etiologi
Meskipun telah dilakukan penelitian intensif, etiologi PD yang tepat masih sulit
dipahami. Salah satu konseptualisasi adalah bahwa toksin lingkungan yang tidak
diketahui bertindak pada individu yang rentan secara genetik terhadap PD.
Hubungan utama antara PD dan toksin lingkungan adalah zat kimia MPTP (1-
metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiridin). Zat kimia ini awalnya digunakan oleh
pengguna narkoba dengan harapan meniru di laboratorium zat seperti narkotika
sintetis. Ketika dicerna oleh manusia, model narkotika ini secara kebetulan
mengarah ke entitas klinis yang langsung menyerupai PD. MPTP mengganggu
fungsi mitokondria sel saraf, peneliti berikutnya menduga bahwa bahan kimia ini
merusak DNA mitokondria yang menjadi salah satu mekanisme patofisiologis
utama yang mendasari PD.1
Sebanyak 15% pasien parkinson memiliki riwayat keluarga dengan PD;
sebagian kecil dari individu-individu ini memiliki setidaknya tiga generasi yang
terpengaruh. Saat ini ada beberapa gen penyebab yang diidentifikasi dapat
menyebabkan onset dini dari PD seperti: alpha-synuclein, Parkin, UCHL1,
PINK1, DJ-1, dll. Meskipun gen PD yang teridentifikasi bersifat patogenik hanya
pada sebagian kecil individu, namun efek biokimianya berperan penting dalam
patologi molekuler penyakit ini.1

Gambar 2.1 Gen yang berperan dalam PD4

3
2.1.4 Patofisiologi
Temuan yang paling konstan dan relevan pada PD adalah hilangnya sel berpigmen
di substansia nigra dan inti berpigmen lainnya (lokus seruleus, inti motor dorsal
vagus). Substantia nigra tampak pucat saat inspeksi langsung; secara mikroskopis,
inti berpigmen menunjukkan penipisan sel dan penggantian gliosis, dan beberapa
sel yang tersisa telah mengurangi jumlah melanin, temuan ini adalah diagnosis
definitif bahwa pasien pasti menderita PD. Namun, banyak sel yang tersisa dari
inti berpigmen mengandung inklusi sitoplasma eosinofilik, dikelilingi oleh halo
samar, yang disebut Lewy bodies. Hal ini terlihat pada hampir semua kasus PD
idiopatik dan kadang-kadang muncul di substansia nigra pada individu usia lanjut
non-parkinson. Pasien yang memiliki Lewy bodies mungkin akan berkembang
menjadi PD jika mereka hidup beberapa tahun lagi. Banyak bentuk PD yang
bersifat herediter juga tidak memiliki Lewy bodies.4

Gambar 2.2 Neuropatologi pada PD1

4
Situs patologis yang bertanggung jawab dalam gangguan parkinsonian
berada dalam kelompok struktur gray matter otak yang dikenal sebagai sistem
ekstrapiramidal atau ganglia basalis yang meliputi striatum (nukleus caudatus dan
putamen), globus pallidus interna dan eksterna, nukleus subthalamic, substansia
nigra pars retikulat dan pars compacta, dan nukleus ventral thalamus.1
Degenerasi substansia nigra pars compacta adalah ciri patologis dari PD.
Neuron dalam substansia nigra mensintesis neurotransmitter dopamin. Sel-sel ini
mengandung pigmen gelap yang disebut neuromelanin. Gejala parkinson
berkembang ketika sekitar 60% sel-sel ini mati. Bersamaan dengan itu,
pemeriksaan langsung substansia nigra pada PD menunjukkan adanya pucat
abnormal bila dibandingkan dengan sel-sel yang mengandung hiperpigmentasi
melanin normal.1
Proyeksi dopaminergik langsung dari substansia nigra mempengaruhi
proses motorik dalam basal ganglia dengan memfasilitasi pelaksanaan gerakan
dan secara bersamaan membantu menekan aktivitas motorik yang tidak
diinginkan. Ketika kematian sel neuron dopaminrgik intra-substansia nigra terjadi
di dalam substansia nigra, jumlah terminal saraf dopamin spesifik di striatum
menurun. Temuan ini dikaitkan dengan temuan klinis klasik PD yaitu rigiditas dan
akinesia. Selain itu, fungsi ganglia basal tampaknya melampaui konsep kontrol
motorik sederhana. Siklus cortico-striato-pallido-thalamo-kortikal terdiri dari
beberapa loop yang terpisah, masing-masing memiliki fungsi agonistik motorik
yang berbeda. Dalam setiap loop mempunyai jalur paralel yang memiliki efek
antagonis pada arus keluar siklus ini. Hilangnya dopamin memprovokasi sedikit
jalur langsung dan lebih banyak memprovokasi jalur tidak langsung. Disinhibisi
dari inti output utama dan peningkatan penghambatan sistem talamokortikal
menghasilkan classic pill rolling tremor.1
Penurunan neuron dopaminergik di PD mempengaruhi jalur langsung
dengan mengurangi aktivitas pada globus pallidum internum dan substansia nigra
pars reticularis yang mengarah ke peningkatan keluaran penghambatan globus
pallidum internum dan substansia nigra pars reticularis. Dalam jalur tidak
langsung, defisiensi dopamin pada PD menyebabkan neuron striatopallidal
bersinaps di globus pallidum eksternum, mengurangi aktivitas di neuron

5
pallidosubthalamic inhibisi. Kehilangan dopamin akan meningkatkan aktivitas
striatal melalui proyeksi ke neuron GABAergic yang meningkatkan aksi pada
globus pallidum eksternum. Selanjutnya, kehilangan dopamin menyebabkan
disinhibisi nukleus subthalmic melalui jalur tidak langsung.1

2.1.5 Manifestasi Klinis


Empat gejala utama dari PD adalah bradikinesia, tremor, rigiditas dan gangguan
gait. Kriteria utama untuk diagnosis PD mengharuskan pemeriksaan neurologis
pasien menunjukkan setidaknya dua dari empat gejala tersebut.1,4
Bradikinesia adalah gejala PD yang paling melumpuhkan, yaitu penurunan
kemampuan untuk memulai gerakan (akinesia adalah manifestasi ekstrim). Hal ini
dapat mempengaruhi beberapa fungsi, terutama fungsi motorik halus seperti
mengancingkan baju atau tulisan tangan, hingga menjadi mikrografi. Beberapa
pasien dapat menunjukkan gejala wajah seperti topeng nonemosional, kosong, dan
tanpa ekspresi, yang kemudian terkait dengan penurunan frekuensi berkedip, tidak
bisa bicara, dan perlambatan menelan. Biasanya, gaya berjalan seperti menyeret
dengan ayunan lengan yang menurun, postur membungkuk, dan gerakan
memutar. Tanda Myerson atau tanda ketuk glabella, diperiksa dengan meminta
pasien melihat ke depan sementara pemeriksa mengetuk dengan ujung jari
telunjuk secara lembut di antara ujung medial dari alis mata. Pada pasien normal,
pasien akan berkedip pada beberapa ketukan pertama dan kemudian berhenti.
Sebaliknya, pada pasien PD akan berkedip terus-menerus selama pemeriksaan dan
demikian dianggap tes positif.1,4
Rigiditas adalah resistensi terhadap gerakan pasif di seluruh rentang gerak
yang terjadi pada otot-otot fleksor dan ekstensor. Hal ini berbeda dengan
spastisitas, dimana ada resistensi pada awal gerakan pasif dan kemudian pelepasan
tiba-tiba. Tanda klasik cogwheel (stop-and-go effect) berasal dari tremor yang
disertai dengan perubahan tonus otot. Pada awalnya, pasien sering khawatir
tentang kekakuan, "kelemahan," atau kelelahan, dan pasien hanya akan menyadari
adanya keterbatasan dalam kegiatan sehari-hari atau dalam aktivitas fisik.1,4
Tremor terjadi pada 75% pasien. Biasanya, tremor menonjol saat istirahat
(resting tremor), memiliki frekuensi 3-7 Hz. Tremor juga dapat dilihat ketika

6
pasien berjalan; tidak hanya lengan ayun yang menghilang tetapi tremor kecil
yang berputar dapat menjadi semakin kuat ketika tangan menjauh dari tubuh.1,4
Gangguan gait, ketidakstabilan postural, atau keduanya biasanya hadir
pada tahap lanjut dari PD ditandai dengan perubahan pusat gravitasi yang ditandai
dengan jatuh ke depan (propulsi) atau mundur (retropulsi) dan festinating
(menyeret, mendorong perlahan) gait petit pas (langkah kecil).1,4

Gambar 2.3 Manifestasi klinis PD1

Gejala lain yang kurang umum, yaitu, dermatitis seboroik dan hyposmia
(fungsi penciuman yang menurun), pasien mungkin mengalami kesulitan dalam
memulai tidur dan mempertahankan tidur. Sekitar 30% pasien PD juga mengalami
gerakan kaki secara berkala saat tidur.1,4
Disfungsi otonom terlihat umum pada PD, dimanifestasikan sebagai
hipotensi ortostatik, gangguan motilitas gastrointestinal, disfungsi kandung kemih,
gangguan termoregulasi, dan disfungsi seksual. Disfagia biasanya muncul pada
tahap akhir PD, hal ini berhubungan dengan perkembangan gangguan motilitas
orofaringeal dan esofagus.1,4
Psikiatri dan gejala kognitif juga sering menyertai atau bahkan mendahului
diagnosis PD pada beberapa pasien: sekitar 40% menderita depresi mayor yang

7
mungkin mendahului diagnosis gangguan gerakan; ansietas juga terjadi pada
hingga 40% pasien. Pada tahap akhir PD, halusinasi (visual, kemungkinan besar
tidak mengancam), psikosis, dan mimpi buruk sering ditemukan. Disfungsi
kognitif biasanya merupakan manifestasi selanjutnya.1,4

2.1.6 Diagnosis
Kunci diagnostik utama adalah adanya dua dari empat tanda kardinal:
bradikinesia, tremor, rigiditas, dan gangguan gait. Seringkali, pasien mungkin
pertama kali menyadari keletihan yang tidak spesifik dalam aktivitas sehari-hari
yang sebelumnya dilakukan dengan baik yang terutama mempengaruhi fungsi
motorik. Pemeriksaan ulang klinis dalam interval beberapa bulan sering
diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis PD. Tanda-tanda proses degeneratif
lain kadang-kadang menjadi jelas, menghalangi kecurigaan diagnostik
sebelumnya.1
PD merupakan diagnosis klinis. Tidak ada biomarker laboratorium yang
ada untuk kondisi ini, dan temuan pada pencitraan seperti magnetic resonance
imaging (MRI) dan computed tomography (CT) scan tidak menunjukkan
patologis yang spesifik. Positron emission tomography (PET) dan single-photon
emission CT (SPECT) mungkin menunjukkan temuan yang konsisten dengan PD,
dan pemeriksaan fungsi penciuman dapat memberikan bukti mengarah ke PD,
tetapi pemeriksaan ini tidak secara rutin diperlukan.5
Penggunaan CT dan MRI terkadang membantu membedakan PD idiopatik
dari bentuk parkinsonisme lain. Hal ini sangat relevan ketika temuan klinis murni
unilateral. Studi pencitraan mungkin menunjukkan penyakit otak aterosklerotik
atau hidrosefalus tekanan normal dan jarang menunjukkan lesi struktural. MRI
kadang-kadang menunjukkan tanda-tanda khas untuk atrofi multipel-sistem (atrofi
putaminal, hot cross bun sign, lekuk putaminal hiperintens, dan perubahan sinyal
infratentorial).1
Temuan patologis klasik pada PD termasuk degenerasi neuron yang
mengandung neuromelanin, terutama pada substansia nigra dan lokus seruleus.
Neuron yang bertahan hidup sering mengandung inklusi sitoplasma eosinofilik
yang disebut Lewy bodies. Kelainan biokimia utama adalah hilangnya dopamin

8
striatal, yang dihasilkan dari degenerasi sel-sel yang memproduksi dopamin di
substansia nigra, serta hiperaktivitas neuron kolinergik di nukleus kaudatus.5
Alpha-synuclein adalah komponen struktural utama dari Lewy bodies.
Lewy bodies tampak konsentris, eosinofilik, inklusi sitoplasma dengan lingkaran
cahaya perifer dan padat. Kehadiran Lewy bodies dalam neuron berpigmen dari
substansia nigra adalah karakteristik, tetapi tidak patognomonik PD. Lewy bodies
juga dapat ditemukan di korteks, nukleus basalis, lokus seruleus, kolom
intermediolateral dari sumsum tulang belakang, dan area lainnya.5
Salah satu alat diagnostik paling spesifik yang tersedia saat ini adalah
respons klinis positif terhadap uji terapi obat parkinson. Hal ini sangat relevan
dengan levodopa, terutama pada pasien dengan gejala unilateral, termasuk
bradikinesia, rigiditas, dan gait petit pas.1
Setelah diagnosis PD dikonfirmasi, perlu dilakukan pengukuran keparahan
penyakit secara kuantitatif dengan menggunakan Hoehn and Yahr Scale atau
Unified Parkinson Disease Rating Scale (UPDRS). Hal ini memungkinkan dokter
yang merawat untuk menetapkan baseline klinis sebelum terapi dan berfungsi
sebagai referensi untuk perbandingan di masa mendatang.1

Gambar 2.4 Parkinson Disease Rating Scales1

9
2.1.7 Tatalaksana
Tatalaksana PD terbatas pada mengatasi gejala; tidak ada terapi neuroprotektif
yang tersedia untuk mencegah evolusi berkelanjutan dari gangguan
neurodegeneratif ini. Manajemen pada setiap pasien membutuhkan pertimbangan
yang cermat terhadap tanda dan gejala pada pasien, tahap penyakit, tingkat
kecacatan fungsional, dan tingkat aktivitas dan produktivitas sehari-hari.
Tatalaksana dapat dibagi menjadi (1) nonfarmakologik, (2) farmakologis, dan (3)
bedah. Mayoritas pasien dengan PD idiopatik memiliki respons terapeutik yang
signifikan terhadap levodopa. Apabila tidak terdapat respon klinis sama sekali
terhadap dosis 25/100 mg carbidopa / levodopa dengan pemberian 6–10 kali
sehari menunjukkan bahwa terjadi misdiagnosis dan harus segera mencari
penyebab lain parkinsonisme.1
Terapi farmakologis untuk PD terdiri dari lima jenis regimen, yaitu1:
1. Dopaminergik
a. Levodopa
b. Agonis dopamine
2. Antikolinergik
3. Inhibitor MAO (monoamine oxidase inhibitor)
4. Inhibitor COMT (Catechol-O-methyltransferase)
5. Amantadin
Tidak ada pendekatan sederhana dalam tatalaksana PD; pedoman
tergantung pada gangguan fungsional dan respons pasien terhadap terapi.1
Tatalaksana PD dapat dibagi menjadi terapi tahap awal dan tahap lanjut
(dengan fluktuasi motorik dan diskinesia). Untuk pasien yang memerlukan inisiasi
terapi simtomatik, ada tiga pilihan utama: levodopa, agonis dopaminergik, atau
inhibitor MAO-B. Levodopa (LD) memberikan manfaat motorik superior tetapi
berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan diskinesia dan
komplikasi motorik. Dopaminergic agonists (DA) menghasilkan komplikasi
motorik yang lebih sedikit (wearing off, dyskinesia, fluktuasi motorik on-off)
dibandingkan dengan tatalaksana menggunakan levodopa setelah dilakukan follow
up terhadap pemberian obat selama 2,5 tahun. Namun, terapi DA primer dikaitkan
dengan efek samping lainnya, termasuk halusinasi, somnolen, dan edema, yang

10
lebih sering terjadi dibandingkan terapi dengan menggunakan levodopa. Pilihan
LD atau DA, ketika memulai terapi, tergantung pada dampak relatif dari
peningkatan disabilitas motorik (lebih baik pada levodopa) dibandingkan dengan
berkurangnya komplikasi motorik (lebih baik pada agonis dopamin) untuk setiap
pasien dengan PD.1,6

Gambar 2.5 Skema tatalaksana PD idiopatik yang baru terdiagnosis2

Prinsip penting untuk pengobatan dini PD adalah bahwa pengenalan dan


penggunaan obat harus disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien. Usia 70
tahun digunakan sebagai patokan dalam hal mengembangkan strategi untuk
memulai pengobatan, meskipun selalu ada penekanan pada karakteristik masing-
masing individu pasien. Sebagai aturan umum, untuk pasien yang lebih muda dari
usia 70 tahun dan tidak memiliki disfungsi kognitif, pilihan obat awal yang
disarankan antara inhibitor MAO-B atau agonis dopamin. Carbidopa / levodopa
dimulai pada pasien Parkinson berusia 70 tahun atau lebih yang memiliki
disabilitas motorik yang signifikan, seperti bradikinesia, rigiditas, tremor, atau
masalah gait. Lansia yang menderita PD juga dapat dipertimbangkan untuk
diberikan inhibitor MAO-B atau DA jika fungsi kognitifnya masih baik dan tidak
memiliki komorbiditas yang signifikan.1

11
Seiring berkembangnya PD, pemberian obat yang efektif untuk
mengontrol gejala menjadi lebih menantang, dan obat lainnya mungkin perlu
ditambahkan. Untuk tahap selanjutnya dari penyakit ini, pedoman American
Academy of Neurology menyarankan memulai Entacapone, inhibitor COMT, dan
rasagiline (inhibitor MAO) sebagai pilihan pertama untuk mengurangi waktu
“off” (level A). DA (pramipexole, ropinirole) dan tolcapone dipertimbangkan
untuk mengurangi waktu “off” sebagai pilihan kedua (level B). Tolcapone
(hepatotoksisitas) dan pergolide (fibrosis katup) harus digunakan dengan hati-hati
dan memerlukan pemantauan. Apomorphine, cabergoline, dan selegiline dapat
dianggap mengurangi waktu “off” sebagai pilihan ketiga (level C). Amantadin
dianggap mengurangi diskinesia (level C). DBS STN dapat dianggap
meningkatkan fluktuasi motorik dan mengurangi waktu istirahat, diskinesia dan
penggunaan obat (level C).1

2.1.7.1 Dopaminergik
Levodopa
Levodopa (LD) dengan carbidopa adalah regimen yang paling umum digunakan,
obat antiparkinson yang paling poten dan sama-sama bermanfaat untuk semua
gejala. Levodopa adalah prekursor alami langsung dopamin dan diubah menjadi
dopamin oleh enzim dekarboksilase asam amino aromatik (AAAD). Awalnya,
levodopa dikaitkan dengan tingkat efek samping yang tinggi, terutama mual dan
muntah, karena kemampuannya untuk merangsang reseptor dopamin sistem saraf
perifer. Penambahan inhibitor carbidopa dekarboksilase menurunkan insiden efek
samping perifer, memungkinkan lebih banyak levodopa untuk melewati sawar
darah otak, dan akibatnya memungkinkan pengurangan total dosis levodopa.
Carbidopa-levodopa tersedia dalam bentuk immediate-release sebagai tablet
(Sinemet) atau pil sublingual (Parcopa) dan formulasi controlled-release (Sinemet
CR).1
Efek samping dini, termasuk mual dan hipotensi ortostatik, lebih mudah
dikelola daripada komplikasi motorik lanjut. Efek samping lanjut, termasuk
gerakan tak terkendali, fluktuasi motorik, vivid dreams dan mimpi buruk,
kebingungan, serta psikosis, yaitu halusinasi dan delusi, mania, atau paranoia.

12
Pada populasi geriatri, terutama mereka yang mulai menunjukkan keterbatasan
kognitif awal, efek samping levodopa ini lebih mungkin terjadi. Pengobatan efek
samping ini juga menghadirkan tantangan yang signifikan karena kadang-kadang
obat antipsikotik yang umum digunakan dapat memperburuk parkinsonisme.1
Dengan meningkatnya durasi penggunaan, ada respons yang lebih lambat
atau tertunda terhadap efek terapi levodopa. LD juga tampaknya memiliki durasi
kerja yang lebih pendek, “wearing off” dosis. Gejala PD klasik pasien yang
menghilang dengan sangat baik di awal pengobatan menjadi timbul kembali.
Spasme otot yang menyakitkan terjadi pada beberapa pasien.1

Gambar 2.6 Sintesis Katekolamin1

Efek samping terapeutik LD jangka panjang adalah munculnya berbagai


diskinesia dan fluktuasi motorik yang terjadi pada sejumlah kecil individu PD.
Gerakan-gerakan yang tidak disadari ini sering bersifat choreiformis; mereka
dapat menyebabkan disabilitas, mempengaruhi berbagai bagian tubuh; kadang-
kadang postur yang agak aneh ini juga dapat menyebabkan gangguan secara
emosional. Perawatan komplikasi ini paling sulit. Amantadine dan DA dapat
digunakan sebagai terapi tambahan.1

13
Gambar 2.7 Perbandingan antara levodopa dan agonis dopamin2

Agonis Dopamin
DA secara langsung merangsang reseptor dopaminergik. DA terutama
diindikasikan untuk monoterapi pada pasien yang lebih muda, yang lebih rentan
terhadap fluktuasi klinis terkait levodopa dan yang membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Terdapat setidaknya dua kelas umum agonis dopamin, yaitu D1
(berikatan dengan adenylate cyclase) dan D2. Antiparkinson dari golongan agonis
dopamin yang paling efektif bekerja merangsang reseptor D2.1

14
DA digunakan terutama di awal penyakit karena dapat mengurangi
kebutuhan levodopa. Meskipun tidak seefektif levodopa, DA sering memberikan
berkurangnya gejala ringan secara cukup memuaskan. Dalam keadaan ketika
gejala berat mengganggu aktivitas sosial atau pekerjaan pasien, dapat diberikan
pengobatan simtomatik dini dengan carbidopa-levodopa, yang kemudian
dikombinasikan dengan DA. Preparat yang biasa digunakan meliputi pramipexole,
ropinirole, bromokriptin, dan pergolide. Namun, Pergolide ditarik dari pasar
karena potensi kerusakan katup jantung. Gangguan kontrol impuls atau
disfungsional perilaku adalah masalah yang semakin dikenal akibat agonis
dopaminergik yang terjadi jauh lebih jarang pada pemberian levodopa. Gangguan
ini termasuk hiperseksualitas, kompulsif, aktivitas yang tidak berarti dan berulang,
keadaan hipomanik, dan penggunaan adiktif levodopa.1

2.1.7.2 Antikolinergik
Agen antikolinergik adalah kelas obat tertua yang digunakan untuk PD.
Antikolinergik bertindak sebagai blocker reseptor muskarinik dengan menembus
SSP sebagai antagonis transmisi asetilkolin oleh interneuron striatal.
Antikolinergik merupakan regimen paling efektif untuk mengatasi tremor, tetapi
karena efek sampingnya, obat-obatan ini harus digunakan dengan perhatian yang
signifikan pada orang tua. Biasanya digunakan sebagai monoterapi atau tambahan
untuk terapi dopaminergik, agen antikolinergik yang paling sering digunakan
termasuk benztropin, procyclidine, dan trihexyphenidyl. Efek samping, yang
dihasilkan dari blokade kolinergik perifer dan sentral, termasuk mulut kering,
glaukoma sudut sempit, konstipasi, retensi urin, gangguan memori, dan
kebingungan dengan halusinasi.1

2.1.7.3 Inhibitor COMT


Penghambatan enzim catechol-O-methyltransferase (COMT) menghalangi
metabolisme dopamin. Inhibitor COMT memperpanjang manfaat levodopa
dengan memperpanjang masa hidup dopamin yang dikonversi. Ada dua inhibitor
COMT utama. Entacapone umumnya digunakan secara ajuvan untuk levodopa.
Tolcapone dapat menyebabkan hepatotoksisitas yang parah, membutuhkan

15
pemantauan laboratorium secara teratur, dan dengan demikian lebih jarang
digunakan.1

2.1.7.4 Inhibitor Monoamine Oxidase B


Selegiline adalah inhibitor selektif dari monoamine oxidase B. Mekanisme kerja
utamanya adalah blokade metabolisme dopamin sentral. Ini tersedia sebagai pil
yang ditelan (Eldepryl dan generik) dan sebagai tablet disintegrasi secara oral
(Zelapar ODT). Penggunaan inhibitor MAO-B dapat meningkatkan respon
terhadap levodopa, terutama pada pasien dengan fluktuasi terkait dosis ringan.
Selegiline telah dipelajari sebagai agen neuroprotektif karena dapat memblokir
pembentukan radikal bebas dari metabolisme oksidatif dopamin. Sebuah studi
multisenter besar yang membandingkan dengan plasebo, double-blind, dan
terkontrol (DATATOP) menemukan bahwa Selegiline menunda perkembangan
tanda parkinson pada pasien yang sebelumnya tidak diobati hingga 9 bulan.
Namun, telah dibuktikan bahwa tidak ada manfaat jangka panjang dan persisten
dalam memperlambat perkembangan PD.1
Rasagiline adalah inhibitor MAO-B yang lebih baru juga tersedia sebagai
Azilect. Rasagiline telah menerima persetujuan FDA mengenai pengobatan
terhadap tanda dan gejala penyakit Parkinson, sebagai monoterapi awal dan
sebagai terapi tambahan untuk levodopa. Sebagai monoterapi, Rasagiline dapat
mengurangi disabilitas akibat parkinson. Sebagai terapi tambahan, Rasagiline
dapat mengurangi waktu “off” dan meningkatkan waktu bebas diskinesia. Efek
samping termasuk insomnia, halusinasi, dan hipotensi ortostatik.1

2.1.7.5 Amantadine
Amantadine adalah agen antiviral yang secara kebetulan ditemukan memiliki efek
antiparkinson. Mekanisme kerjanya, termasuk memblokir reseptor N-methyl-D-
aspartate, masih menjadi kontroversial. Amantadine memiliki efek
menguntungkan ringan pada tremor, bradikinesia, dan kekakuan. Amantadine
merupakan satu-satunya regimen antiparkinson yang dapat menurunkan tingkat
keparahan dyskinesia yang diinduksi levodopa. Efek samping yang umum
termasuk livedo reticularis dan edema ekstremitas bawah.1

16
2.1.7.6 Terapi Gejala Non-Motorik
Pasien yang sering terbangun di malam hari akibat akinesia nokturnal atau tremor
dapat diobati dengan dosis tambahan carbidopa / levodopa pada malam hari.
Dosis bedtime dari agonis dopamine membantu gejala restless leg dan urgensi
berkemih. Pengobatan gejala kandung kemih akan meningkatkan kualitas tidur
pada banyak pasien lansia dengan PD.2
Depresi berespon terhadap antidepresan (baik TCA atau SSRI). Kombinasi
SSRI dan selegiline memiliki risiko yang sangat rendah untuk terjadinya sindrom
hiperserotonergik (delirium dengan mioklonus dan hiperpireksia). Terapi
Electroconvulsive (ECT) sangat efektif dalam kasus-kasus refrakter obat atau
pada pasien yang tidak toleran terhadap antidepresan oral. Terdapat beberapa
laporan yang menunjukkan bahwa ECT juga memiliki manfaat jangka pendek
untuk gejala motorik parkinson.2
Pada pasien dengan gejala psikotik atau kebingungan, antikolinergik dan
amantadin harus dieliminasi terlebih dahulu. Setelah ini, inhibitor MAO-B dan
agonis dopamin harus dikurangi atau dihentikan sesuai kebutuhan untuk
mengontrol gejala. Hal ini harus diikuti dengan pengurangan bertahap sesuai
kebutuhan pada dosis Sinemet CR pada malam hari dan kemudian dosis siang
hari, dan akhirnya carbidopa / levodopa.2
Apabila pasien membaik setelah hanya diberikan sedikit terapi
antiparkinson, dampak keseluruhan pada gejala motorik parkinson dapat
diabaikan. Jika dalam proses gejala parkinson memburuk, sebagian besar spesialis
memulai pengobatan dengan antipsikotik atipikal yang memiliki insiden efek
samping ekstrapiramidal yang rendah daripada melanjutkan ke terapi
dopaminomimetik yang lebih rendah. Clozapine (12,5-100 mg / hari) adalah agen
terbaik yang direkomendasikan untuk pengobatan gejala psikotik di PD.
Quetiapine (12,5-100 mg) dapat digunakan karena tidak memiliki risiko
agranulositosis yang terkait dengan clozapine. Keduanya diberikan pada malam
hari untuk memperbaiki kualitas tidur dan meminimalkan sedasi siang hari dan
orthostasis. Penggunaan kombinasi tersebut dan semua antipsikotik pada PD
dibatasi akibat kejadian sedasi, hipotensi ortostatik, pusing, dan kebingungan.
Antipsikotik atipikal lainnya seperti risperidone, olanzapine, dan, baru-baru ini,
aripiprazole tidak ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien dengan PD
karena insiden yang lebih tinggi dari parkinsonism yang dipicu obat (DIP) dan
akathisia.2
Inhibitor acetylcholinesterase dapat memperbaiki gejala demensia pada
PD, menyediakan stabilisasi yang sama dari penurunan kognitif yang tercatat pada
Demensia Alzheimer (AD). Rivastigmine disetujui oleh FDA untuk pengobatan
demensia pada PD, dan donepezil juga tampaknya efektif. Keduanya tampaknya
ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dengan PD dan mungkin dapat
bermanfaat untuk pengobatan gejala psikotik seperti halusinasi dan delusi.
Mengingat kompleksitas polifarmasi, manajemen gejala non-motorik paling baik
dilakukan dalam pengaturan interdisipliner, dikoordinasikan oleh ahli saraf yang
berspesialisasi dalam PD bersama dengan psikiater dan dokter pelayanan primer
yang melayani pasien.2
Berikut merupakan tabel ringkasan manfaat dan efek samping dari agonis
dopamin, levodopa, MAO-B inhibitor, COMT inihibitor, dan amantadine
berdasarkan pedoman oleh National Institute for Health and Care Excellence
(NICE) pada tahun 2017.7

18
Tabel 2.1 Potensi manfaat dan bahaya agonis dopamin, levodopa dan MAO-B
inhibitor7
Levodopa Dopamin MAO-B COMT Amantadin
Antagonis inhibitor inhibitor e

Gejala Perbaikan Perbaikan Perbaikan Perbaikan Tidak ada


motorik yang pada gejala pada gejala pada gejala bukti
sangat motorik motorik motorik perbaikan
baik pada gejala
gejala motorik
motorik

Aktivitas Perbaikan Perbaikan Perbaikan Perbaikan Tidak ada


sehari-hari terhadap terhadap terhadap terhadap bukti
aktivitas aktivitas aktivitas aktivitas perbaikan
sehari-hari sehari-hari sehari-hari sehari-hari terhadap
yang aktivitas
cukup sehari-hari
signifikan

Komplikas Banyak Komplikasi Komplikas Komplikas Tidak ada


i motorik komplikas motorik i motorik i motorik studi
i motorik minimal minimal minimal

Efek Efek Risiko Efek Efek Tidak ada


samping samping intermediat samping samping studi
lainnya e untuk lainya lainnya
minimal terjadi efek minimal cukup
samping besar
lainnya

Halusinasi Minimal Berisiko Minimal Minimal Tidak ada


tinggi studi
mengalami
halusinasi

2.1.7.7 Neuroprotektif
Memperlambat progresivitas PD melalui agen neuroprotektif atau terapi restoratif
adalah fokus utama penelitian. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa
penggunaan kronis agen anti-inflamasi nonsteroid atau penggunaan penggantian
estrogen pada wanita pascamenopause dapat menunda atau mencegah timbulnya
PD melalui mekanisme yang belum jelas. Demikian pula, dalam populasi besar,
penggunaan nikotin dan kafein jangka panjang dikaitkan dengan rendahnya risiko
PD. Dari sudut pandang farmakologis, strategi saat ini melibatkan perubahan
kaskade peristiwa biokimia yang menyebabkan kematian sel dopaminergik.2
Percobaan klinis yang pertama pada pasien PD adalah studi DATATOP
multisenter besar di mana monoterapi selegiline dapat menunda perlunya terapi
levodopa selama 9-12 bulan pada pasien yang baru didiagnosis. Sebagian besar
bukti menunjukkan bahwa penundaan ini disebabkan selegilin. Vitamin E
antioksidan tidak berpengaruh. Tindak lanjut jangka panjang dari kohort
DATATOP mengungkapkan bahwa pasien yang tetap mengonsumsi selegiline
selama 7 tahun mengalami penurunan motorik yang lebih lambat dibandingkan
dengan mereka yang berubah menjadi plasebo setelah 5 tahun.2
Coenzyme Q10, antioksidan dan kofaktor kompleks I rantai oksidatif
mitokondria, telah terbukti memiliki efek neuroprotektif terhadap beberapa agen
beracun secara in vitro dan pada model hewan PD. Dalam uji coba fase 2
terkontrol yang besar, dosis 1200 mg/hari tampaknya menunda perkembangan
kecacatan pada pasien PD yang tidak diobati. Coenzyme Q10 ditoleransi dengan
baik dan tanpa toksisitas. Percobaan fase 3 akan memeriksa efek disease-
modifying dari senyawa ini pada pasien yang tidak diobati hingga yang menerima
dosis 2400 mg/hari. Agen neuroprotektif potensial lainnya yang sedang diselidiki
adalah creatine monohydrate dan acetyllevo-carnitine. Percobaan fase 2 creatine
pada awal PD menunjukkan hasil yang menjanjikan, dan percobaan fase 3
sekarang sedang berjalan.2

20
Agonis dopamin juga sedang diselidiki sebagai agen untuk memperlambat
perkembangan penyakit di PD, berdasarkan sifat antioksidan yang dimiliki, agonis
dopamin diteliti dapat mengurangi turnover dopamine, melawan radikal bebas,
dan mengganggu sinyal sel proapoptotic pada in vitro. Agen menjanjikan lainnya
termasuk inhibitor sintetase oksida nitrat dan agen antiapoptotic seperti inhibitor
kinase Jun N-terminal dan desmethylselegiline. Yang terakhir, metabolit
selegiline, telah ditunjukkan secara eksperimental memiliki efek neuroprotektif
pada neuron dopamin, melalui modulasi mekanisme antiapoptotic seluler,
termasuk Bcl-2, gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase (GAPDH); aktivasi
kompleks proteasome-ubiquitin; dan pencegahan aktivasi caspase 3. Uji klinis
untuk menguji efek baru dari agonis dopamin sekarang sedang berlangsung.2
Berdasarkan pedoman dari NICE (2017) mengenai tatalaksana PD, agen
neuroprotektif tidak direkomendasikan diberikan pada pasien PD, dengan
pernyataan, sebagai berikut:7
 Tidak diperbolehkan menggunakan vitamin E sebagai terapi neuroprotektif
pada pasien PD.
 Tidak diperbolehkan menggunakan koenzim Q10 sebagai terapi
neuroprotektif pada pasien PD, kecuali dalam konteks uji klinis.
 Tidak diperbolehkan menggunakan agonis dopamin sebagai terapi
neuroprotektif pada pasien dengan PD, kecuali dalam konteks uji klinis
 Tidak diperbolehkan menggunakan inhibitor MAO-B sebagai terapi
neuroprotektif pada pasien dengan PD, kecuali dalam konteks uji klinis.

2.1.7.8 Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi pada pasien PD dengan gejala motorik dan non-motorik
yang direkomendasikan oleh pedoman NICE (2017), meliputi: menggunakan jasa
perawat yang ahli menangani pasien dengan PD, fisioterapi, terapi okupasional,
terapi berbicara, terapi nutrisi (rekomendasi kecukupan asupan protein dan
rekomendasi pemberian Vitamin D untuk mencegah komplikasi fraktur akibat
jatuh), Deep Brain Stimulating (DBS) (injeksi / infus apomorphine), serta
manajemen paliatif.7

21
2.1.7.9 Terapi Bedah
Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam perawatan bedah terhadap
PD dan gangguan pergerakan lainnya. Meskipun kedua pallidotomy dan
thalamotomy telah dilakukan secara luas pada tahun 1950, pengenalan levodopa
pada tahun 1960 menyebabkan operasi ditinggalkan. Peningkatan dalam
penggunaan operasi telah dimotivasi oleh fakta bahwa setelah 5 tahun atau lebih
pengobatan, banyak pasien mengalami fluktuasi motorik yang diinduksi obat yang
signifikan dan diskinesia. Kemajuan dalam memahami organisasi fungsional
ganglia basalis dan patofisiologi parkinsonisme penting untuk menargetkan
struktur tertentu dalam prosedur bedah.2
Indikasi paling umum untuk operasi pada PD adalah tremor intractable
dan fluktuasi motorik yang diinduksi oleh obat atau diskinesia. Kandidat terbaik
adalah pasien dengan parkinsonisme levodopa-responsif yang jelas yang bebas
dari demensia signifikan atau komorbid psikiatri. Secara umum, prosedur operatif
bermanfaat hanya sedikit atau tidak sama sekali pada pasien dengan
parkinsonisme atipikal atau demensia. Saat ini, inti subthalamic merupakan target
yang sering dituju, tetapi uji klinis terkontrol yang membandingkan target pallidal
dan subthalamic hampir selesai.2
Deep brain stimulation (DBS) paling sering dilakukan secara bilateral dan
simultan, tetapi DBS unilateral dapat sangat efektif untuk kasus asimetris. DBS di
daerah ini mengurangi tanda-tanda motorik parkinson, terutama selama periode
"off", dan mengurangi diskinesia, distonia, dan fluktuasi motorik yang
diakibatkan oleh pemberian obat. Kedua prosedur telah terbukti sangat
meningkatkan kualitas hidup pasien, dan keduanya lebih efektif daripada
manajemen medis pada populasi target pasien dengan PD lanjut.2
Tanda dan gejala yang tidak berespon terhadap levodopa, seperti
ketidakstabilan postural, jatuh, hypophonia, mikrografia, meneteskan air liur, dan
disfungsi otonom, tidak mungkin mendapat manfaat dari operasi. Sebagai aturan
praktis, manfaat dari operasi tidak akan melebihi hasil terbaik dari obat
antiparkinson tetapi memberikan bantuan dari fluktuasi motorik, diskinesia, dan
dystonia. Secara umum, keputusan untuk pembedahan harus dibuat oleh ahli saraf

22
gangguan gerakan yang merupakan bagian dari tim, termasuk ahli bedah saraf,
neuropsikolog, dan programmer.2
Mekanisme aksi DBS masih kontroversial. Karena secara klinis tampak
bahwa ablasi dan stimulasi dari target yang diberikan memiliki efek yang sama,
diasumsikan bahwa rangsangan menyebabkan blokade fungsional. Sangat
mungkin, bagaimanapun, bahwa banyak faktor yang terlibat. Dasar untuk
perbaikan tampaknya adalah penggantian aktivitas saraf yang abnormal dengan
pola yang lebih dapat ditolerir. Apapun mekanismenya, jelas bahwa pendekatan
ini dapat memberikan hasil yang mengesankan dan bertahan lama pada pasien
yang tepat.2

2.1.8 Prognosis
Sebelum levodopa diperkenalkan, PD menyebabkan cacat berat atau kematian
pada 25% pasien dalam onset 5 tahun, 65% dalam 10 tahun, dan 89% dalam 15
tahun. Angka kematian dari PD adalah 3 kali lipat dari populasi umum yang
sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan asal ras pasien PD. Dengan
diperkenalkannya levodopa, tingkat kematian menurun sekitar 50%, dan angka
kehidupan usia pasien PD bertambah drastis. Hal ini dianggap karena efek
simptomatis dari levodopa, karena tidak ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa
levodopa memiliki sifat progresif dari penyakit ini.5
Menurut American Academy of Neurology bahwa tanda klinis berikut
dapat membantu memprediksi tingkat perkembangan PD:5
 Usia yang lebih tua saat onset dan rigiditas / hipokinesia awal dapat
digunakan untuk memprediksi: (1) tingkat perburukan motorik yang lebih
cepat pada pasien dengan PD yang baru didiagnosis dan (2) perkembangan
awal penurunan kognitif dan demensia; namun, pada yang awalnya
muncul dengan gejala tremor dapat diprediksi perjalanan penyakit yang
lebih tidak berbahaya dan manfaat terapeutik dengan levadopa yang lebih
lama
 Tingkat perburukan motorik yang lebih cepat juga dapat diprediksi jika
pasien adalah laki-laki, memiliki komorbiditas terkait, dan memiliki
ketidakstabilan postural / kesulitan jalan

23
 Usia yang lebih tua saat onset, demensia, dan penurunan respon terhadap
terapi dopaminergik dapat memprediksi penempatan panti jompo lebih
awal dan penurunan tingkat kelangsungan hidup

24
BAB 3
KESIMPULAN

Parkinson Disease (PD) adalah bentuk paling umum dari kelompok gangguan
neurodegeneratif progresif yang dicirikan oleh gambaran klinis parkinsonisme,
termasuk bradikinesia (kurangnya dan kelambatan gerakan), resting tremor,
rigiditas otot, shuffling gait, dan postur tubuh yang tertekuk. Meskipun
didefinisikan secara klinis sebagai gangguan gerakan, sekarang secara luas
disebutkan bahwa PD dapat disertai oleh berbagai gejala non-motorik, termasuk
gangguan otonom, sensorik, tidur, kognitif, dan psikiatri.
Etiologi PD yang tepat masih sulit dipahami, meskipun telah dilakukan
penelitian yang intensif. Salah satu konseptualisasi adalah bahwa toksin
lingkungan yang tidak diketahui bertindak pada individu yang rentan secara
genetik terhadap PD dan ada beberapa gen penyebab yang diidentifikasi dapat
menyebabkan onset dini dari PD seperti: alpha-synuclein, Parkin, UCHL1,
PINK1, DJ-1, dll..
Patofisiologi utama dari PD adalah hilangnya sel berpigmen di substansia
nigra dan inti berpigmen lainnya (lokus seruleus, inti motor dorsal vagus) dan
banyak sel yang tersisa dari inti berpigmen mengandung inklusi sitoplasma
eosinofilik, dikelilingi oleh halo samar, yang disebut Lewy bodies.
Diagnosis PD merupakan diagnosis klinis. Tidak ada biomarker
laboratorium yang ada untuk kondisi ini, dan temuan pada pencitraan seperti
magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography (CT) scan tidak
menunjukkan patologis yang spesifik
Tatalaksana PD terbatas pada mengatasi gejala; tidak ada terapi
neuroprotektif yang tersedia untuk mencegah evolusi berkelanjutan dari gangguan
neurodegeneratif ini. Terapi farmakologis untuk PD terdiri dari lima jenis
regimen, yaitu: dopaminergik (Levodopa, Agonis dopamine), antikolinergik,
inhibitor MAO (monoamine oxidase inhibitor), inhibitor COMT (Catechol-O-
methyltransferase) dan amantadin.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter F, Jones H, Srinivasan J, Allam G, Baker R. Netter's neurology. 2nd


ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2012. p. 287-298
2. Hauser S, Josephson S. Harrison's Neurology in Clinical Medicine. 2nd ed.
New York: McGraw-Hill Publishing; 2010. p. 320-336
3. Pringsheim T, Jette N, Frolkis A, Steeves T. The prevalence of Parkinson's
disease: A systematic review and meta-analysis. Movement Disorders.
2014;29(13):1583-1590.
4. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of
Neurology. 10th ed. US: McGraw-Hill Education; 2014.
5. Hauser R. Parkinson Disease: Practice Essentials, Background, Anatomy
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 6 November 2018].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1831191-overview
6. Connolly B, Lang A. Pharmacological Treatment of Parkinson Disease.
JAMA. 2014;311(16):1670.
7. National Institute for Health and Care Excellence. Parkinson’s disease in
adults | Guidance and guidelines | NICE [Internet]. Nice.org.uk. 2007 [cited 6
November 2018]. Available from: https://www.nice.org.uk/guidance/ng71

26

Anda mungkin juga menyukai