Anda di halaman 1dari 23

BISNIS INTERNASIONAL

DOSEN PENGAMPU: GEDE BAYU RAHANATHA, SE, MM

OLEH:

Ketut Anjani Dharmayanti

1607521093

26

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
1. PENDAPATAN NASIONAL
1. Pengertian Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional merupakan seluruh pendapatan yang diterima oleh seluruh
anggota masyarakat atau seluruh rumah tangga keluarga (RTK) dalam suatu negara dengan
kurun waktu tertentu, biasanya dalam waktu satu tahun. Pendapatan nasional dapat juga
diartikan sebagai hasil produksi nasional, yang berarti nilai hasil produksi yang dihasilkan
oleh seluruh anggota masyarakat suatu negara dalam waktu tertentu, biasanya satu tahun.
Pendapatan nasional memiliki peran yang sangat vital bagi sebuah negara, karena
pendapatan nasional merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu
negara. Dengan pendapatan nasional, akan terlihat tingkat kemakmuran suatu negara,
semakin tinggi pendapatan nasional suatu negara maka dapat dikatakan semakin tinggi juga
tingkat kesejahteraan rakyatnya. Namun, sesungguhnya pendapatan nasional suatu negara
tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai indikator naiknya tingkat kesejahteraan rakyat di
suatu negara.
2. Konsep Pendapatan Nasional
Produk Domestik Bruto (GDP)
GDP merupakan salah satu instrumen penting untuk dapat menghitung pendapatan
nasional. Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa
barang dan jasa yang dihasikan oleh unit – unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara
selama satu tahun. Termasuk yang dihasilkan oleh perusahaan asing, asalkan wilayahnya
masih dalam wilayah suatu negara. Barang – barang yang dihasilkan termasuk barang modal
yang belum diperhitungkan penyusutannya, karena jumlah yang didapatkan dari GDP
dianggap bersifat bruto/ kotor. Contohnya terdapat perusahaan A dari Korea yang
mempunyai cabang di Indonesia, hasil produksinya juga harus dihitung ke dalam GDP.
Rumus untuk menghitung GDP yaitu:
GDP = Pendapatan WNI di Dalam Negeri + Pendapatan WNA di Dalam Negeri
Penghitungan nilai GDP dapat dilakukan atas dua macam dasar harga yaitu:
 GDP atas dasar harga berlaku, merupakan GDP yang dihitung dengan dasar harga
yang berlaku pada tahun tersebut. GDP atas dasar harga berlaku berfungsi untuk
melihat dinamika / perkembangan struktur ekonomi yang rill pada tahun tersebut.
 GDP atas dasar harga konstan, merupakan GDP yang dihitung dengan dasar harga
yang berlaku pada tahun tertentu. GDP atas dasar harga konstan berfungsi untuk
melihat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Contohnya, jika kita ingin
mengetahui berapa persen kenaikan GDP dari tahun 1998, 1999 dan tahun 2000,
karena nilai/ harga suatu produk tiap tahun berubah – ubah maka kita harus mengubah
nilai GDP tahun 1998 dan 1999 dengan dasar harga tahun 2000 sehingga akan terlihat
dengan jelas besaran kenaikan dari tiap tahunnya
Produk Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product) merupakan nilai produk berupa
barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun,
termasuk yang dihasilkan oleh warga negara tersebut yang dihasilkan di luar negeri.
Contohnya seperti seorang pria dari Indonesia yang menjual pakaian di Singapura, hasilnya
berupa barang dan jasanya dalam GNP. Jadi GNP menekankan pada aspek kewarganegaraan
(nationality).
Rumus perhitungan GNP:
GNP = Pendapatan WNI di Dalam Negeri + Pendapatan WNI di Luar Negeri
Atau
GNP = GDP +Pendapatan WNI di Luar Negeri – Pendapatan WNA di Dalam Negeri
Atau
GNP = GDP – Pendapatan NETO atas faktor dari Luar Negeri
Produk Nasional Netto (NNP)
Produk Nasional Netto (Net National Product) merupakan hasil dari GNP yang telah
dikurangi dengan penyusutan modal dalam proses produksi. Inti dari NNP merupakan konsep
pendapatan nasional yang dilihat hanya dari laba yang diperoleh. Karena tujuan dari NNP
adalah untuk mencari netto atau nilai bersih dari suatu produksi.
Rumus perhitungan NNP:
NNP = GNP - Penyusutan
Pendapatan Nasional Netto (NNI)
Pendapatan Nasional Netto (Net National Income) adalah pendapatan nasional
berdasarkan jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor
produksi.
Rumus perhitungan NNI:
NNI = NNP – Pajak tidak langsung + subsidi
- Pajak tidak langsung harus dikurangkan, karena tida mencerminkan balas jasa atas faktor
produksi. Uang pajak memang diterima oleh penjual/produsen bersama harga pasar
barang yang dijualnya, tetapi uang pajak itu wajib diserahkan kepada pemerintah.
- Subsidi harus ditambahkan karena harga- harga tertentu yang dibuat lebih murah daripada
biaya produksi sesungguhnya, misalnya untuk subsidi harga pupuk, BBM, atau beras.
Pendapatan Perseorangan (PI)
Pendapatan perseorangan (Personal Income) adalah jumlah pendapatan yang diterima
oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan
kegiatan apapun. Tetapi harus dikurangi dengan laba yang ditahan, iuran asuransi, iuran
jaminan social, dan ditambah pembayaran pindahan/transfer (transfer payment).
Rumus perhitungan PI:
PI = NNI + transfer payment – (laba ditahan+iuran asuransi+iuran jaminan
social+pajak perseroan)
Pendapatan yang Siap Dibelanjakan / Disposable Income
DI merupakan pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan untuk membeli barang dan
jasa beserta tabungan yang disalurkan menjadi investasi tetapi dikurangi pajak langsung.
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan kepada orang lain,
contohnya pajak pendapatan.
Rumus perhitungan DI:
DI = PI – Pajak langsung

3. Tiga Pendekatan Pendapatan Nasional


Pendekatan Produksi
Melalui pendekatan ini pendapatan nasional diartikan sebagai penjumlahan nilai tambah dari
setiap barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu.
Pendekatan Pendapatan
Pendekatan pendapatan yang menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh pemilik
faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa suatu negara dalam satu
periode tertentu.
Pendekatan Pengeluaran
Pendekatan ini menghitung pendapatan nasional dari jumlah pengeluaran seluruh pelaku
ekonomi, baik di dala negeri maupun luar negeri selama satu periode tertentu.

2. PURCHASING POWER PARITY (PPP)


Konsep Purchasing Power Parity pertama kali diperkenalkan oleh the Salamancxa
School pada abad ke-16, di SPanyol; serta pada tulisan Gerrad de Malynes (1601) di Inggris.
Gustav Cassel (1918) menyatakan PPP sebagai alat untuk menyesuaikan tingkat nilai
tukar (echange rate) bagi negara-negara yang berniat kembali menganut system emas (gold
standard), mengingat bahwa negara yang meninggalkan system emas telah mengalami
perubahan signifikan dalam penentuan tingkat inflasi, baik selama maupun setelah perang
dunia pertama (Dornbusch, Rudiger. Purchasing Power Parity, NBER Working Paper Series
No. 1591, 1985).
PPP merupakan teori yang menjelaskan bahwa nilai tukar anatara dua mata uang akan
berubah sesuai dengan perubahan tingkat harga relative pada dua negara yang bertransaksi
dengan menggunakan mata uang tersebut; atau dengan kata lain, nilai tukar nominal dari dua
mata uang seharusnya setara dengan rasio tingkat harga agregat dianatara dua negara
tersebut.
Absolute Purchasing Power Parity
Paritas daya beli yang absolut (absolute purchasing power parity) adalah dimana
harga suatu komoditas sama dalam mata uang apa pun yang dipakai untuk membeli atau
dimanapun komoditas itu dijual. Sebagai contoh satu botol anggur dijual dengan harga £2 di
London, dan nilai tukar $1 = £0,60, maka harga satu botol anggur di New York adalah
£2/0,60 = $3,33. Konsep ini sering disebut dengan hukum satu harga (the law of one price).
Misalkan So adalah kurs spot antara British pound dan US dollar pada hari ini
(dimana penentuan nilai tukar didasarkan pada direct quotation), yaitu jumlah mata uang
asing per US dollar (£0,60). Jika harga suatu barang di Amerika adalah PUS dan harga di
British PUK, maka berdasarkan absolute PPP dapat dirumuskan sebagai berikut:
PUK = So x PUS

Hal ini berarti suatu barang di British sama dengan harga barang tersebut di Amerika
dikalikan dengan nilai tukar dipsar spot. Jika absolute PPP tidak berlaku, maka akan terjadi
proses arbitrase.

Absolute PPP dapat berlaku dengan syarat harus memenuhi asumsi sebagai berikut:

1. Tidak ada biaya transaksi seperti, biaya pengiriman, asurasnsi dan lain-lain
2. Tidak ada hambatan perdagangan, seperti tarif, kuota, pajak, dan lain-lain.
3. Barang yang diperdagangkan sama.

Dalam praktek bisnis asumsi-asumsi tersebut sangat sulit untuk dipenuhi, maka
dikembangkan konsep paritas daya beli relatif (relative purchasing power parity)

The Law of One Price (LOP)


Hukum satu harga merupakan dasar Absolute Purchasing Power Parity
Misalnya harga produk A dijual di Amerika Serikat seharga US$ 10/unit sementara
produk yang sama di jual di Jepang dengan harga ¥ 600 (dengan asumsi bahwa nilai tukar per
US$ 1 setara dengan ¥ 100)
Apabila dihitung dengan hokum satu harga, maka nilai produk A yang ada di Jepang
hanya setara dengan US$ 6/unit (jika US$ 1 = ¥ 100). Keadaan ini disebut dengan Good
Arbitrage atau International Arbitrage. Dalam kondisi seperti ini, ada keuntungan ketika
membeli produk A di Jepang dan menjualnya di Amerika dengan harga yang lebih tinggi,
dengan asumsi tidak ada biaya-biaya lain (transportasi, bea cukai, dan sebagainya).
Pada periode tertentu, karena permintaan produk A di Jepang meningkat (akibat harga
yang lebih kompetitif, US$ 6/unit), sementara disaat yang sama permintaan produk A di
Amerika Serikat menurun (karena harga yang lebih mahal, US$ 10/unit), maka akan terjadi
kenaikan harga di Jepang (akibat kelebihan permintaan); sebaliknya karena terjadi penurunan
permintaan di Amerika Serikat, maka harga juga akan turun.
Kondisi ini pada suatu saat akan menemui titik keseimbangan, katakan harga produk
A di Amerika Serikat menjadi US$ 8/unit dan di Jepang menjadi ¥ 800/unit.
Jadi kesimpulannya, PPP mengkondisikan bahwa pasar yang identik harus menjual
produk dengan harga yang identik, meski berada di lokasi/negara lain, tanpa memperhatikan
biaya-biaya yang terkait dengan produk tersebut (Sarno, Lucio, and Mark P. Taylor.
Purchasing Power Parity and the Real Exchange Rate. IMF Staff Papers Vol. 49, No. 1,
2002).
Relative Purchasing Power Parity
Berbeda dengan absolute PPP, relative PPP mensyaratkan bahwa nilai tukar mata
uang antar dua negara harus selalu disesuaikan seturut dengan perbedaan tingkat inflasi
dimasing-masing negara. Konsep relative PPP yang lebih sering digunakan karena dianggap
lebih realistis.
Teori ini menyatakan bahwa perubahan nilai tukar selama satu periode tertentu
proporsional terhadap perubahan relatif tingkat harga di kedua negara dalam periode yang
sama. Contoh: Jika tingkat harga-harga umum di negara B dari tahun dasar ke-tahun 1 tidak
mengalami perubahan, sementara itu tingkat harga-harga umum di negara A meningkat 50%,
maka menurut PPP relatif, nilai tukarantara mata uang negara A dan negara B (B/A) naik
menjadi 50% (atau mata uang negara A mengalami depresiasi sebesar 50%) pada periode 1
dibandingkan pada periode dasar.

Teori ini tidak menjelaskan apa yang menentukan tingkat nilai tukar absolute, tetapi
menjelaskan apa yang menentukan perubahan nilai tukar dari waktu ke waktu.

Perubahan nilai tukar ditentukan oleh perbedaan tingkat inflasi antar dua negara.
Dengan kata lain, apresiasi atau depresiasi kurs spot yang diharapkan ditentukan oleh
perbedaan tingkat inflasi yang diharapkan. Perubahan nilai tukar yang diharapkan pada tahun
yang akan datang [E(S1) – S0]/S0 adalah: [E(S1) – S0]/S0 ≡ IFC – IUS

Keterangan:

S0 = nilai tukar (kurs) spot (mata uang asing per dollar)


E(St) = nilai tukar yang diperkirakan pada periode t
IUS = tingkat inflasi di Amerika Serikat
IFC = tingkat inflasi di negara asing

Dengan kata lain, relative PPP menyatakan bahwa persentase perubahan nilai tukar
yang diharapkan sama dengan perbedaan tingkat inflasi yang diharapkan antar-kedua negara.

E(S1) ≡ S0 x [1 + ( IFC – IUS)].

Kelemahan dari Relative Purchasing Power Parity:

- Rasio antara harga barang dan jasa non-traded terhadap harga barang dan jasa traded
lebih tinggi di negara-negara maju daripada di negara-negara berkembang. Salah satu
alasannya, adalah bahwa teknik produksi barang dan jasa non-traded di negara
berkembang dan negara maju relatif hampirsama, namun para pekerja di bidang ini di
negara maju menerima gaji yang lebih besar dibandingkan dengan para pekerja pada
produksi barang dan jasa traded.
- Selama indeks harga umum termasuk didalamnya barang dan jasa traded dan non-
traded, dan harga-harga barangdan jasa non-traded tidak sama dalam perdagangan
internasional tetapi lebih tinggi di negara maju, maka pendekatan PPP relatif akan
cenderung memberikan hasil bahwa mata uang negara berkembang dinilai terlalu
rendah atau nilai tukar di negara berkembang mengalami undervalued.

Overvalued dan Undervalued


Pada umumnya harga sekumpulan komoditas dan jasa dinyatakan dalam indeks harga.
Contoh Aplikasi Perhitungan Jika harga satu bungkus rokok Malboro di Amerika adalah satu
Dollar dan di Jepang adalah 80,0 Yen, maka nilai tukar Dollar terhadap Yen adalah: PJPY =
¥ 80,0 PUSD = $ 1,0 Dengan menggunakan persamaan 1, maka kurs USD/JPY adalah:
USD/JPY = ¥ 80,0/$ 1,0 atau USD/JPY = JPY 80,0/USD 1,0, delapan puluh Yen per satu
Dollar. Atau USD/JPY = JPY 80,0/USD kurs ini biasa ditulis menjadi satu Dollar per delapan
puluh Yen sehingga: USD/JPY = USD/JPY 80,0 Berdasarkan PPP absolut, maka kurs Dollar
Amerika terhadap Yen Jepang seharusnya adalah USD/JPY 80,0. Jika kurs spot atau kurs
aktual di pasar valuta asing nilainya adalah USD/JPY 70,0 maka dikatakan nilai Yen Jepang
overvaluation, sedangkan Dollar Amerika undervaluation. Sebaliknya jika kurs spot atau
aktual di pasar valuta asing nilainya adalah USD/JPY 90,0, maka dikatakan nilai Yen Jepang
undervaluation, sedangkan Dollar Amerika overvaluation. Konsep paritas daya beli dalam
bentuk absolut mampu menjelaskan mekanisme terbentuknya kurs valuta asing secara
sederhana.
Misalnya harga 1 kg buah apel-USA pada dua tempat sebagai berikut:
Ini berarti bahwa harga 1 kg apel-USA = Rp. 8.000 = USD 1. Dengan demikian, kurs
valas atau forex rate berdasarkan paritas daya beli dari masing-masing mata uang adalah
sebesar
Namun, dalam kenyataanya sering terbukti bahwa kurs valas atau forex rate yang
diperhitungkan berdasarkan teori PPP absolut tersebut tidak sesuai dengan kurs valas yang
ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal demikian, terjadi over valuation atau under valuation
sebagaimana ditunjukan oleh grafik berikut.
Kurs Rp/$
S$
Rp.
8.300/$

Rp.
8.000/$

Rp.
7.700/$ D$

0 $1 $2 $3
Apabila pemerintah menetapkan atau mempertahankan kurs valas sebesar maka
dikatakan bahwa Rp dianggap atau dinilai overvaluation, tetapi USD dinilai undervaluation.
Sebaliknya, apabila pemerintah menetapkan atau mempertahankan kurs valas sebesar, maka
diakatakan bahwa Rp dianggap atau dinilai undervaluation, tetapi USD di nilai overvaluation.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penilaian over dan undervaluation suatu mata uang
atau valas harus dilihat dari aspek domestic currency (Rp) atau foreign currency (USD).

Teori Paritas Tingkat Bunga

Teori Paritas Tingkat Bunga adalah salah satu teori yang penting mengenai penentuan
tingkat bunga dalam sistem devisa bebas (apabila penduduk masing-masing negara bebas
memperjualbelikan devisa). Teori ini pada pokoknya menyatakan: Dalam sistem devisa bebas
tingkat bunga di negara satu akan cenderung sama dengan tingkat bunga dinegara lain,
setelah diperhitungkan perkiraan mengenai laju depresiasi mata uang negara yang satu
terhadap negara yang lain. atau secara aljabar

Rn= Rf + E*

Keterangan:

Rn =Tingkat bunga (nominal) di dalam negeri

Rf = Tingkat bunga (nominal) di luar negeri

E* = Laju depresiasi mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing yang diperkirakan
akan terjadi.

Jadi, apabila tingkat bunga di AS untuk katakan pinjaman jangka 6 bulan adalah 10%
pertahun, dan selama 6 bulan mendatang kurs dollar AS terhadap rupiah diperkirakan
meningkat dengan 4% (atau 8% apabila dinyatakan dalam laju pertahun), maka tingkat bunga
untuk pinjaman jangka 6 bulan di indonesia akan cenderung sama dengan 10% + 8% = 18%
pertahun.

Apabila tingkat bunga yang berlaku di dalam negeri (untuk pinjaman 6 bulan tersebut)
lebih rendah daripada 18% per tahun, maka akan lebih menguntungkan bagi pemilik dana
untuk meminjamkan uangnya di AS dan menerima imbalan 10% per tahun tanpa harus
menanggung kerugian kapital berupa penurunan nilai mata uang rupiah sebesar 8% per tahun.
Dana akan mengalir ke AS dan ini akan mengurangi tersedianya dana rupiah di dalam negeri,
dan selanjutnya akan mendorong tingkat bunga di dalam negeri untuk naik mendekati 18%
per tahun. Sebaliknya apabila tingkat bunga di dalam negeri ternyata lebih tinggi dari 18%
per tahun (katakan 20%), maka akan lebih menguntungkan bagi orang AS untuk menukarkan
dollarnya menjadi rupiah dan selanjutnya meminjamkannya di indonesia dengan bunga 20 %
per tahun. Meskipun seandainya perkiraan bahwa nilai rupiah akan turun 8% per tahun benar-
benar terjadi, ia masih menerima imbalan 20% - 8% = 12% per tahun (dinyatakan dalam
dollar). Jadi akan ada aliran dana (dollar) masuk ke indonesia, sehingga suplai dana (rupiah)
di indonesia meningkat dan ini cenderung akan menurunkan tingkat bunga di dalam negeri
sampai mendekati 18% per tahun.
Fisher Effect

The Fisher effet mengatakan bahwa tingkat bunga nominal di negara manapun akan
sama dengan real rate of return yang diinginkan oleh para investor (tingkat bunga yang akan
mengkompensasi para investor untuk penundaan konsumsi saat ini/sekarang) plus/ditambah
tingkat inflasi yang diperkirakan (premium untuk menyeimbangkan/offset kenyataan bahwa
inflasi akan menurunkan daya beli dari dana yang diinvestasikan; premium ini harus
menyamakan tingkat inflasi selama periode investasi). Atau dengan kata lain bahwa tingkat
bunga nominal merupakan fungsi dari tingkat bunga riil dan premium ekspektasi inflasi.

Contoh jika return riil yang diinginkan adalah 2 % dan tingkat inflasi diperkirakan
akan menjadi sebesar 5 % maka tingkat bunga nominal + 7 %.

(1 + nominal rate) = (1 + real rate) (1 + expected inflation rate) (1 + r) = (1 + a)(1 + i)


atau r = a + i + ai atau sering disederhanakan dengan r = a + I

Dengan diketahui kemampuan untuk mengakses pasar-pasar keuangan dunia, real


rates of return seharusnya sama di seluruh dunia (di dunia dimana para investor dapat
membeli setiap interest bearing securities, return riil akan cenderung kearah paritas (equality)
dimanapun melalui arbitrage).

Dalam keadaan equilibrium maka dengan tidak adanya intervensi pemerintah


seharusnya bahwa perbedaan tingkat bunga nominal akan + sama dengan antisipasi
perbedaan tingkat inflasi atau

(1 + ph)/(1 + pf) = (1 + ih)/(1 + if).

Oleh karena itu perbedaan tingkat inflasi antara dua negara akan sama
dengan/menyamakan perbedaan tingkat bunga. Sebagaimana ditunjukan oleh persamaan
yang disederhanakan berikut ini:

if – ih = pf – ph.

Persamaan ini merupakan konversi dari persamaan (1 + ph)/(1 + pf) = (1 + ih)/(1 + if)
dengan mengurangi kedua sisinya dan asumsi bahwa nilai pf dan i secara relatif kecil.

Efek Fisher internasional:


E(e) = i$ - i£
Jika Efek Fisher internasional dikombinasikan dengan IRP, yaitu:
(F-S)/S = i$ - i£ maka diperoleh: (F-S)/S = E(e)
Kombinasi tersebut disebut paritas forward. Translation exposure Merupakan
eksposur laporan rugi/laba dan Neraca MNC terhadap perubahan-perubahan nilai tukar
nominal. MNC harus mengkonsolidasi rekeningnya ke dalam mata uang lokal melalui cash
flow-nya yang didenominasi mata uang asing ke dalam mata uang lokal. Sebagai contoh jika
perusahaan memiliki rekening dalam mata uang asing pada bank luar negeri, ukuran/jumlah
deposit dalam mata uang asing tidak terpengaruh, tetapi jumlah deposit yang dilaporkan
dalam laporan keuangan (dalam mata uang domestic) akan berpengaruh pada statements
konsolidasi dari subsidiary asing kepada perusahaan induknya, nilai dari beberapa pos-
posnya akan bervariasi dari waktu ke waktu terhadap kurs valas. Translaction exposure
secara sederhananya merupakan perbedaan antar exposed assets dan exposed liabilities.
P($) - E(p£) = i£ - ρ£
Dengan E(e) = E(p$) = i$ - ρ$ ; E(p$).
Efek Fisher mengimplikasikan bahwa tingkat inflasi yang diharapkan adalah
perbedaan antara tingkat bunga nominal dan riel pada masing-masing negara: E(p)Versi
umum Fisher Effect mengatakan bahwa negara-negara dengan tingkat inflasi yang lebih
tinggi mempunyai tingkat bunga yang lebih tinggi daripada negara-negara dengan tingkat
inflasi yang lebih rendah.
Contoh: jika tingkat inflasi di A.S dan di Inggris adalah 4 % dan 7 %, FE mengatakan
bahwa tingkat bunga nominal seharusnya + 3 % lebih tinggi di Inggris dari pada di A.S. Efek
Fisher: suatu kenaikan (penurunan) dalam tingkat inflasi yang diharapkan dalam suatu negara
akan menyebabkan kenaikan (penurunan) yang proporsional di negara tersebut.
Efek Fisher: i$ = ρ$ + E(p$)
Exposed berarti bahwa nilai dari aset yang dihitung dalam reporting currency (mata uang
negara asal) turun akibat devaluasi functional currency. Misalnya suatu perusahaan
multinasional Jepang memiliki anak perusahaan di Indonesia, berikut neraca anak perusahaan
pada awal tahun:
Dalam Rp. Awal tahun (¥) Kurs = Rp. 80/¥ Akhir tahun (¥) Kurs = Rp.100/¥ Kas
1.000.000 12.500 10.000 Piutang Dagang 2.000.000 25.000 20.000 Persediaan 2.000.000
25.000 20.000 Aktiva tetap 5.000.000 62.500 50.000 Total Aset 10.000.000 125.000 100.000
Hutang dagang 2.000.000 25.000 20.000 Hutang jangka panjang 2.000.000 25.000 20.000
Modal saham 6.000.000 75.000 60.000 Total pasiva 10.000.000 125.000 100.000 Total aset
adalah Rp.10.000.000.
Karena perusahaan ini adalah perusahaan Jepang, maka harus dikonversikan ke dalam
¥ jepang. Misalkan pada awal tahun kurs adalah Rp 80/¥. Maka akan terlihat bahwa total aset
¥125.000 dan modal saham ¥ 75.000. Sedangkan kurs pada akhir tahun adalah Rp.100/¥,
maka akan terlihat bahwa total aset turun menjadi ¥ 10.000 dan modal saham juga turun
menjadi ¥ 60.000. penurunan modal saham menunjukan perusahaan mengalami kerugian
sehingga modal sahamnya berkurang nilainya. Namun nilai ekonomis perusahaan tetap sama
antara awal tahun dan akhir tahun karena kerugian ini semata-mata disebabkan oleh
perubahan kurs bukan karena perubahan nilai ekonomis.
Transaction exposure Adalah eksposur valas perusahaan dalam transaksi-transaksinya
dengan negara lain dimana transaksi tersebut terjadi pada saat ini namun pembayarannya
dilakukan pada masa datang, pada saat jatuh tempo/penyelesaian transaksi-transaksi tersebut
menaikkan keuntungan-keuntungan atau kerugian mata uang. Dengan kata lain, selama
periode komitmen-komitmen pembayaran atau penerimaan tersebut belum jatuh tempo, kurs
nominal dapat berubah dan membuat nilai transaksi ada dalam risiko.
Contohnya adalah piutang dan hutang dalam valas. Contoh seorang importir
Indonesia membeli barang dari Amerika Serikat senilai $1 juta dan pembayarannya dilakukan
3 bulan mendatang. Pada saat ini kurs Rp/$ adalah Rp. 10.000/$ namun kurs Rp/$ 3 bulan
mendatang adalah Rp. 12.000/$. Maka importir harus menyediakan rupiah lebih banyak.
Sebaliknya jika kurs Rp/$ menguat pada 3 bulan mendatang, maka importir tersebut akan
memperoleh keuntungan.
Economic exposure adalah eksposur valas cash flows perusahaan terhadap perubahan-
perubahan nilai tukar riil (mengukur perubahan-perubahan nilai tukar yang mempengaruhi
nilai perusahaan yang diukur dalam ekspektasi cash flows masa datang). Eksposur yang
didasarkan pada nilai-nilai pasar mengasumsikan bahwa tujuan finansial perusahaan adalah
untuk memaksimumkan kekayaan pemegang saham

3. HUMAN DEVELOPMENT INDEX


Pengertian Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Secara khusus Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development


Index (HDI) adalah untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan manusia berbasis
sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM dihitung berdasarkan data yang dapat
menggambarkan keempat komponen yaitu angka harapan hidup yang mewakili bidang
kesehatan; angka melek huruf dan rata- rata lama sekolah mengukur capaian pembangunan di
bidang pendidikan; dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan
pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan yang
mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

 Variabel yang Digunakan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan tanggapan UNDP terhadap tuntutan


perlunya indikator yang mampu menggambarkan sejauh mana suatu negara (wilayah) telah
menggunakan sumber daya penduduknya untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia
negara atau wilayah tersebut. Isu yang kemudian berkembang adalah bahwa keberhasilan
meningkatkan prestasi ekonomi suatu negara atau wilayah ke tingkat yang lebih tinggi tidak
selalu diikuti oleh meningkatnya mutu kehidupan warga masyarakatnya. Dengan alasan
itulah muncul pemikiran bahwa mutu kehidupan individu/perorangan menjadi prasyarat guna
meningkatkan mutu kehidupan bangsanya. Apabila peningkatan mutu kehidupan setiap
bangsa bisa dicapai diharapkan rasa aman dan damai menjadi kenyataan. Untuk itu setiap
pembangunan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Berdasarkan dari hal
diatas mengenai peran mutu manusia dan kehidupan masyarakat maka dirasa perlu untuk
menetapkan parameternya. Parameter tersebut diharapkan bisa digunakan sebagai alat (tools)
untuk mengukur mutu pembangunan manusia berikut bagaimana cara mengukurnya.

 Formulasi Umum IPM/ Penyusunan Indeks


Seperti dikemukakan sebelumnya komponen IPM adalah angka harapan hidup (e0),
angka melek huruf (Lit), rata-rata lama sekolah (MYS), dan daya beli atau Purchasing Power
Parity (PPP). Dipilihnya ke-empat komponen tersebut mengikuti pembakuan komponen yang
dilakukan oleh UNDP. Dengan demikan sejauh mungkin hasilnya terbandingkan secara
internasional, nasional dan daerah. Rasionalitas pemilihan komponen tersebut dibahas dalam
laporan HDR (UNDP) yang dipublikasikan setiap tahun sejak 1990 yang mempertimbangkan
antara lain

a. Makna dari masing-masing indikator dalam kaitannya dengan konsep pembangunan


manusia versi UNDP.
b. Ketersediaan data secara internasional.

Masing-masing komponen tersebut terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga


bernilai antara 0 (keadaan terburuk) dan 1 (keadaan terbaik). Lebih lanjut komponen angka
melek huruf dan rata-rata lama sekolah digabung menjadi satu sebagai indikator pendidikan
(pengetahuan) dangan perbandingan 2:1. Dalam penyajiannya indeks tersebut dikalikan 100
untuk mempermudah penafsiran. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya
mengikuti formulasi sebagai berikut:

X(i,j) = Nilai komponen IPM ke i

X(i –min) = Nilai komponen IPM ke i yang terendah

X( i- max) = Nilai komponen IPM ke I yang tertinggi

Untuk tujuan penghitungan indeks, dapat ditempuh berbagai cara untuk menetapkan
nilai maksimum dan minimum X(ij). Sebagai ilustrasi, jika tujuannya hanya sekedar
membandingkan kinerja propinsi/ kabupaten/ kota dalam satu tahun tertentu maka nilai
tertinggi dan terendah X(ij) pada tahun tersebut dapat dipilih sebagai nilai maksimum dan
minimum (nilai ekstrim).

Indikator IPM

Pendekatan konseptual pembangunan manusia mencakup empat elemen pokok


yaitu; produktifitas, pemerataan, keberlanjutan dan pemberdayaan masyarakat. Peningkatan
kualitas hidup akan menjadi lebih luas dan terjamin jika kemampuan dasar yang mencakup
hidup panjang dan sehat, berpangetahuan (serta menguasai IPTEK) dan mempunyai akses
terhadap sumbar daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak (berdaya beli) dimiliki
oleh panduduk. Produktivitas berarti manusia harus dapat meningkatkan produktivitasnya
dalam artian ekonomi, yaitu untuk memperoleh pendapatan dan berpartisipasi dalam pasar
kerja. Pemerataan berarti semua mempunyai kesempatan yang sama berpartisipasi dalam
seluruh kegiatan, termasuk ekonomi, sosial dan politik. Makna berkelanjutan adalah bahwa
semua kegiatan dalam rangka pembangunan manusia dilakukan terus menerus, sedangkan
pemberdayaan berarti semua lapisan masyarakat ikut berpartisipasi penuh dalam proses
pembangunan. Sehingga pada akhirnya, sasaran pembangunan manusia diprioritaskan pada
tiga tujuan dasar, yaitu:
a) Pendidikan
Melek Huruf (Lit) dan Lama Sekolah (MYS)
Harkat dan martabat manusia akan meningkat apabila yang bersangkutan
mempunyai kecerdasan yang memadai. Tingkat kecerdasan (intilligence) seseorang
pada titik waktu tertentu merupakan produk gabungan dari keturunan (heredity),
pendidikan dan pengalamannya.
Prestasi pembangunan masyarakat akan diukur dengan melihat seberapa jauh
masyarakat di kawasan tersebut telah memanfaatkan sumber dayanya untuk
memberikan fasilitas kepada warganya agar menjadi lebih cerdas. Hidup sehat dan
cerdas diyakini akan meningkatkan kemampuan produktivitas seseorang, sedang
hidup yang panjang dalam keadaan tetap sehat dan cerdas juga akan memperpanjang
masa produktif tersebut sehingga pada gilirannya akan meningkatkan mutu peran
warga tersebut sebagai pelaku (agent) pembangunan.
Dalam kaitannya dengan IPM ini, tersebut dua jenis indikator pendidkan, yaitu
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Kedua indikator pendidikan ini
diharapkan mencerminkan tingkat pengetahuan dan keterampilan penduduk.
Pentingnya angka melek huruf (Lit) sebagai kompenen IPM tidak banyak
diperdebatkan. Permasalahannya adalah Lit yang digunakan UNDP bervariasi antar
negara dalam hal konsep operasional dan kualitas data. Sebagai ilustrasi, konsep Lit
yang didefinisikan sebagai “mampu membaca dan menulis” diperkirakan akan
menghasilkan angka yang berbeda jika misalnya, didefinisikan sebagai “mampu
membaca pesan tertulis yang sederhana”.
Datanya diperkirakan juga berbeda jika pengumpulannya datanya
menggunakan suatu alat peraga. Dalam publikasi ini masalah tersebut dapat dihindari
karena konsep “mampu membaca dan menulis” dan cara menanyakannya (tanpa alat
peraga) di Indonesia diberlakukan secara seragam.
b) Kesehatan
Angka harapan hidup merupakan indikator penting dalam
mengukur longevity (panjang umur). Panjang umur seseorang tidak hanya merupakan
produk dari upaya yang bersangkutan melainkan juga seberapa jauh masyarakat atau
negara dengan penggunaan sumber daya yang tersedia berusaha untuk
memperpanjang hidup atau umur penduduknya. Secara teori, seseorang dapat
bertahan hidup lebih lama apabila dia sehat dan bilamana menderita sakit dia harus
mengatur untuk membantu mempercepat kesembuhannya sehingga dia dapat bertahan
hidup lebih lama (datang kefasilitas/petugas kesehatan). Oleh karena itu,
pembangunan masyarakat dikatakan belum berhasil apabila pemanfaatan sumber daya
masyarakat tidak diarahkan pada pembinaan kesehatan agar dapat tercegah „warga
meninggal lebih awal dari yang seharusnya‟.
Dengan demikian, variabel harapan hidup (e0) ini diharapkan mencerminkan
“lama hidup” sekaligus “hidup sehat” suatu masyarakat. Hal ini sebenarya
“berlebihan”, mengingat angka morbiditas (angka kesakitan) akan lebih valid dalam
mengukur “hidup sehat”. Walaupun demikian, karena hanya sedikit negara yang
memliliki data morbiditas yang dapat dipercaya maka variabel tersebut tidak
digunakan untuk tujuan perbandingan. Sebenarnya dalam Susenas (Survei Sosial
Ekonomi Nasional), setiap tahun variabel morbiditas telah dikumpulkan datanya
sehingga dapat digunakan untuk tujuan perbandingan antar propinsi kabupaten/kota,
namun sejauh ini belum diketahui tingkat kecermatannya sehingga belum digunakan
dalam publikasi ini. Estimasi angka e0 yang digunakan dalam publikasi ini diperoleh
dari Susenas. Angka ini diperoleh dengan menggunakan metode tidak langsung
dengan menggunakan 2 data dasar yaitu rata–rata anak lahir dan rata -rata anak masih
hidup. Prosedur penghitungan angka harapan hidup sejak lahir (AHH0) dilakukan
dengan menggunakan Sofware Mortpack Life. Setelah mendapatkan angka harapan
hidup sejak lahir selanjutnya dilakukan penghitungan indeks dengan cara
membandingkan angka tersebut terhadap angka yang telah distandarkan (dalam hal ini
UNDP).
c) Ekonomi
Purchasing Power Parity / Paritas Daya Beli (PPP) merupakan indicator
ekonomi yang digunakan untuk melakukan perbandingan harga-harga riil antar
wilayah. Untuk mengukur dimensi standar hidup layak (daya beli), UNDP
menggunakan indikator yang dikenal dengan real per kapita GDP adjusted.
Untuk perhitungan IPM ub nasional (provinsi atau kabupaten/kota) tidak
memakai PDRB per kapita karena PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu
wilayah dan tidak mencerminkan aya beli riil masyarakat yang merupakan concern
IPM. Untuk mengukur daya beli penduduk antar provinsi di Indonesia, BPS
menggunakan data rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia dan telah distandarkan agar bisa dibandingkan antar daerah dan
antar waktu yang disesuaikan dengan indeks PPP dengan tahapan sebagai berikut
(berdasarkan ketentuan UNDP):
 Menghitung rata-rata pengeluaran konsumsi perkapita per tahun untuk 27 komoditi
dari SUSENAS Kor yang telah disesuaikan (=A).
 Menghitung nilai pengeluaran riil (=B) yaitu dengan membagi rata-rata pengeluaran
(A) dengan IHK tahun yang bersangkutan.
 Agar indikator yang diperoleh nantinya dapat menjamin keterbandingan antar daerah,
diperlukan indeks “Kemahalan” wilayah yang biasa disebut dengan daya beli per unit
(= PPP/ Unit). Metode penghitungannya disesuaikan dengan metode yang dipakai
International Comparsion Project (ICP) dalam menstandarkan GNP per kapita suatu
negara. Data yang digunakan adalah data kuantum per kapita per tahun dari suatu
basket komoditi yang terdiri dari 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul
sesuai ketetapan UNDP.

Rumus Penghitungan Paritas Daya Beli (PPP)

Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui pengelompokkan IPM
ke dalam beberapa kategori, yaitu:
IPM < 60 : IPM rendah
60 < IPM < 70 : IPM sedang
70 < IPM < 80 : IPM tinggi
IPM < 80 : IPM sangat tinggi

4. KEUNGGULAN ABSOLUT (ABSOLUTE ADVANTAGE)

Teori keunggulan absolut dari Adam Smith sering disebut teori murni perdagangan
internasional. Dasar pemikiran teori ini adalah suatu negara akan melakukan perdagangan
atau pertukaran apabila setiapnegara memperoleh keuntungan mutlak dari perdagangan.
Suatu negara dikatakan mempunyaikeuntungan mutlak dalam memproduksi suatu jenis
barang apabila negara tersebut dapat memproduksibarang dengan biaya yang lebih murah
dibandingkan jika barang itu diproduksi di negara lain. Dengan demikian, suatu negara akan
mengekspor suatu barang jika negara tersebut dapat membuatnya secaralebih murah
dibandingkan negara lain.

Keunggulan absolut adalah situasi ekonomi di mana penjual mampu menghasilkan


jumlah yang lebih tinggi dari produk yang diberikan, saat menggunakan jumlah yang sama
sumber daya yang digunakan oleh pesaing untuk menghasilkan jumlah yang lebih kecil. Hal
ini dimungkinkan bagi individu, perusahaan, dan bahkan negara memiliki keuntungan absolut
di pasar. Kemampuan untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dengan lebih efisien
juga memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan lebih, dengan asumsi bahwa semua unit
yang diproduksi dijual.

Biaya juga merupakan faktor yang terlibat dalam menentukan apakah keuntungan
absolut ada. Ketika itu adalah mungkin untuk memproduksi lebih banyak produk dengan
menggunakan sumber daya yang lebih sedikit, ini biasanya diterjemahkan ke dalam biaya
produksi yang lebih rendah per unit. Bahkan dengan asumsi bahwa produsen menjual setiap
unit dengan biaya sedikit di bawah kompetisi, hasil akhir masih harus keuntungan yang lebih
tinggi pada setiap unit yang dijual.

Ada beberapa asumsi dari keunggulan Absolut ini:

 Faktor produksi yang digunakan hanya tenaga kerja


 Kualitas barang yang diproduksi kedua Negara sama
 Pertukaran dilakukan secara barter tanpa mengeluarkan uang
 Biaya ditanspor ditiadakan.

Contoh: Indonesia dan India memproduksi dua jenis komoditi yaitu pakaian dan tas
dengan asumsi (anggapan) masing-masing negara menggunakan 100 tenaga kerja untuk
memproduksi kedua komoditi tersebut. 50 tenaga kerja untuk memproduksi pakaian dan 50
tenaga kerja untuk memproduksi tas. Hasil total produksi kedua negara tersebut yaitu:

Produk Indonesia India

Pakaian 40 unit 20 unit


Tas 20 unit 30 unit

Berdasarkan informasi di atas, Indonesia memiliki keunggulan mutlak dalam produksi


pakaian dibandingkan dengan India, karena 50 tenaga kerja di Indonesia mampu
memproduksi 40 tenaga kerja dan India hanya bisa memproduksi 20 unit. Sedangkan India
memiliki keunggulan mutlak dalam memproduksi tas karena India bisa membuat 30 tas,
Indonesia hanya 20 tas. Jadi Indonesia memiliki keunggulan mutlak dalam produksi pakaian
dan India memiliki keunggulan mutlak dalam produksi tas. Apabila Indonesia dan India
melakukan spesialisasi produksi, hasilnya akan sebagai berikut:

Produk Indonesia India

Pakaian 40 unit 20 unit

Tas 20 unit 30 unit

Dengan melakukan spesialisasi hasil produksi semakin meningkat. Karena Indonesia


dan India memindahkan tenaga kerja dalam produksi komoditi yang menjadi spesialisasi.
Sebelum spesialisasi, jumlah produksi sebanyak 60 unit pakain dan 40 unit tas. Tetapi setelah
spesialisasi, jumlah produksi meningkat menjadi 80 unit pakaian dan 60 unit tas. Jadi
keunggulan mutlak terjadi apabila suatu negara dapat menghasilkan komoditi-komoditi
tertentu dengan lebih efisien, dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan negara
lain.

Contoh lain:

Secara matematis, teori absolute advantage dari adam smith dapat diilustrasikan
dengan data hipotesis sebagai berikut.

Tabel. Data Hipotesis Teori Absolute Advantage dari Adam Smith

Produk per satuan DTDN (Dasar Tukar


The Sutra
tenaga kerja/hari Dalam Negeri)

4kg = 1m
Indonesia 12 kg 3m
1kg = 1/4m

Cina 4 kg 8m 1/2kg = 1m
1kg = 2m

Berdasarkan ilustrasi di atas dapat diketahui bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki
keunggulan absolute dalam produksi teh (12 kg), sedangkan Cina memiliki keunggulan
absolute dalam produksi sutra (8m). Berdasarkan DTDN dapat dilihat bahwa harga 1 kg teh
di Indonesia lebih murah (hanya ¼ sutra) dibandingkan dengan di Cina yang lebih mahal
(yaitu 2 m sutra). Sebaliknya, harga 1 m sutra di Cina lebih murah (hanya ½ kg teh)
dibandingkan dengan di Indonesia yang lebih mahal (yaitu 4 kg teh).

Berdasarkan perbandingan DTDn pada kedua negara di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Indonesia memiliki keunggulan absolute dalam produksi teh sehingga akan melakukan
spesialisasi produksi dan ekspor teh ke Cina. Sebaliknya, Indonesia akan mengimpor sutra ke
Cina. Sedangkan Cina memiliki keunggulan absolute dalam produksi sutra sehingga akan
melakukan spesialisasi produksi dan ekspor sutra ke Indonesia. Sebaliknya, Cina akan
mengekspor teh dari Indonesia.

5. KEUNGGULAN KOMPARATIF (COMPARATIVE ADVANTAGE)

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa keunggulan kompetitif bersifat


kompetisi dan bersifat persaingan. Keunggulan kompetitif adalah merujuk pada kemampuan
sebuah organisasi untuk memformulasikan strategi yang menempatkannya pada suatu posisi
yang menguntungkan berkaitan dengan perusahaan lainnya. Keunggulan kompetitif muncul
bila pelanggan merasa bahwa mereka menerima nilai lebih dari transaksi yang dilakukan
dengan sebuah organisasi pesaingnya

Keunggulan Komperatif menurut David Ricardo merupakan perdagangan


internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat
bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu
memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara
lainnya. Dalam teori keunggulan komparatif yang dikemukan oleh David Ricardo,
suatu bangsa dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut
melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi
tinggi.

Teori keunggulan komparatif David Ricardo berdasarkan atas beberapa asumsi, antara
lain sebagaiberikut:

- Perdagangan internasional hanya terjadi antardua negara.


- Perdagangan dilakukan secara sukarela (bebas).
- Barang yang dipertukarkan hanya dua macam.
- Tenaga kerja bersifat homogen satu negara.
- Tenaga kerja bergerak bebas di dalam negeri, tetapi tidak bebas dalam hubungan
antarnegara.
- Biaya-biaya produksi dianggap tetap.
- Kualitas barang adalah sama.
- Biaya transportasi tidak ada (nol).
- Teknologi tidak berubah.

Ia menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh keuntungan jika ia


menspesialisasikan pada produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada biaya yang
relatif lebih murah, dan mengimpor apa yang dapat diprosuksinya pada biaya yang relatif
lebih mahal.

Ilustrasinya dapat dilihat pada tabel berikut:

Kebutuhan Jam Kerja untuk Produksi

Produk Amerika Eropa

Pizza 1 3

Pakaian 2 4

Agar terlihat sederhana, diasumsikan ada dua negara (Amerika dan Eropa) dan dua
output (pizza dan pakaian). Keduanya memiliki sumber daya masing-masing 120 jam tenaga
kerja (TK) untuk memproduksi pizza dan pakaian. Namun Amerika mampu memproduksi i
unit pizza dengan 1 jam TK dan 1 unit pakaian dengan 2 jam TK. Sedangkan Eropa
membutuhkan 3 jam TK untuk memproduksi 1 unit pizza dan 4 jam TK untuk
pakaian. Sekedar keterangan, Amerika mampu memproduksi keduanya dengan jam TK
(input) yang lebih sedikit daripada Eropa. Menurut Teori Keuntungan Absolut (Absolute
Advantage), Amerika seharusnya memproduksi keduanya sendiri. Namun tidak demikian
menurut teori keuntungan komparatif.

 Sebelum melakukan perdagangan

Produksi di kedua negara menghasilkan upah riil yang berbeda bagi TK. Upah riil
bagi TK di Amerika adalah 1 pizza atau 1/2 pakaian. Sementara di Eropa, upah riil TK hanya
1/3 pizza atau 1/4 pakaian. Artinya upah di Eropa lebih rendah dibandingkan di Amerika dan
TK di Eropa memiliki daya beli yang relatif lebih kecil. Ini tentunya juga menimbulkan
perbedaan biaya produksi, dan jika pasar adalah persaingan sempurna, harga pizza dan
pakaian akan berbeda di kedua negara.

Sementara itu, mari kita lihat berapa total output yang mampu diproduksi kedua
negara tanpa melakukan perdagangan. Jika diasumsikan dari total 120 jam TK (input) yang
tersedia di tiap negara separuhnya dialokasikan untuk produksi pizza dan separuhnya lagi
dialokasikan untuk produksi pakaian, maka total produksi kedua negara adalah sebagai
berikut:
Kebutuhan jam Tenaga Kerja untuk Produksi

Produk Amerika Eropa

Pizza 60 20

Pakaian 30 15

Total 90 + 35 = 125

Dengan input 120 jam TK yang dimiliki masing-masing negara, jika dialokasikan
separuh-separuh, Amerika mampu memproduksi 60 pizza (60 jam TK / 1) dan 30 pakaian (60
jam TK / 2). Sedangkan Eropa mampu memproduksi 20 pizza (60 jam TK / 3) dan 15
pakaian (60 jam TK / 4). Dengan demikian, total produksi yang dihasilkan kedua negara
adalah 125 unit, yang terdiri dari pizza dan pakaian.

Menurut teori keuntungan komparatif, Amerika seharusnya hanya memproduksi pizza


dan Eropa memproduksi pakaian. Ini karena produksi pakaian relatif lebih mahal bagi
Amerika, dengan rasio harga produksi 2 dibandingkan dengan 4/3 yang mampu diproduksi
Eropa (lihat gambar 1). Sedangkan pizza relatif lebih mahal bagi Eropa karena rasio harga
produksinya adalah 3/4 dibandingkan dengan 1/2 yang mampu diproduksi Amerika (lihat
gambar 1). jadi, perbandingan dalam teori ini adalah berdasarkan harga relatif di kedua
negara, bukan hanya di satu negara.

Dengan asumsi biaya transpotasi tidak ada atau relatif sangat kecil, Amerika
kemudian akan mengekspor pizza ke Eropa dan Eropa akan mengekspor pakaian ke Amerika.
Karena biaya produksi yang lebih murah, harga pizza Amerika yang diekspor juga akan lebih
murah dan ini mendorong harga pizza di Eropa turun. JIka harga pizza di eropa terlalu rendah
bagi produsen Eropa, mereka akan menutup produksinya karena tidak menguntungkan lagi.
Akhirnya mereka akan beralih ke produksi yang lebih menguntungkan, yaitu pakaian.
Sedangkan kebutuhan pizza di Eropa akan dipenuhi dengan impor. Hal yang sama juga
terjadi terhadap pakaian di Amerika. Pada akhirnya, perbedaan harga akan membuat Amerika
hanya memproduksi Pizza dan Eropa hanya memproduksi pakaian.

 Setelah melakukan perdagangan

Total output kedua negara adalah sebagai berikut:

Kebutuhan jam Tenaga Kerja untuk Produksi

Produk Amerika Eropa

Pizza 120 0

Pakaian 0 30

Total 120+ 30 = 150


Pada gambar diatas, Amerika menggunakan semua inputnya (120 jam TK) untuk
memproduksi pizza saja, sehingga menghasilkan 120 pizza (120 jam TK / 1). Sedangkan
Eropa menggunakan semua inputnya untuk memproduksi pakaian saja, sehingga
menghasilkan 30 pakaian (120 jam TK / 4). Ternyata total output kedua negara meningkat
dengan melakukan spesialisasi produksi ini, yaitu menjadi 150 unit.

Contoh lain:

Berdasarkan hipotesis teori comparative advantage dari David Ricardo adalah cost
comparative advantage.

Negara Produksi

1 kg gula 1 m kain

Indonesia 3 hari kerja 4 hari kerja

Cina 6 hari kerja 5 hari kerja

Perhitungan Cost Comparative

Perbandingan Cost 1 kg gula 1m kain

Indonesia/Cina 3/6 HK 4/5 HK

Cina/Indonesia 6/3 HK 5/4 HK

Berdasarkan perbandingan cost comparative advantage dapat dilihat bahwa tenaga


kerja Indonesia lebih efisien dibandingkan tenaga kerja Cina dalam produksi 1 kg gula (3/6
atau ½ hari kerja) daripada produksi 1 meter kain (4/5 hari kerja). Hal ini akan mendorong
Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula.

Sebaliknya, tenaga kerja Cina ternyata lebih efisien dibandingkan tenaga kerja
Indonesia dalam produksi 1 meter kain (3/6 hari kerja) daripada produksi 1 kg gula (6/3 atau
2/1 hari kerja). Hal ini mendorong Cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.
6. PORTER’S DIAMOND THEORY

Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa teori
ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau
bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing /
competitive advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif.
Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan
meningkatkan kemampuannya. Perusahaan memperoleh (CA) karena tekanan dan tantangan.
Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik
yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai
nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada
keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat
meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk.
Selanjutnya Porter mengajukan Diamond Model (DM) yang terdiri dari empat
determinan (faktor – faktor yang menentukan) National Competitive Advantage (NCA).
Empat atribut ini adalah: factor conditions, demand conditions, related and supporting
industries, dan firm strategy, structure, and rivalry.
Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi,
seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Argumen Poter, kunci utama
faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan
sumber daya (factor disadvantage) seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu
banyak (sumber daya) memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong
inovasi.
Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan
menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan
kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan
barang-dan jasa berkualitas serta adanya kedekatana hubungan antara perusahan dan
pelanggan.
Related and Supporting Industries, mengacu pada tersedianya serangkaian dan
adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan
ini bersifat positif yang berujung pada penngkatan daya saing perusahaan. Porter
mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau
agglomeration, yang memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover,
kedekatan dengan dengan konsumer sehingga semakin meningkatkan market power.
Firm strategy, Structure and Rivalry, mengacu pada strategi dan struktur yang ada
pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pad aindustri tertentu. Faktor
Strategy dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan pilihan karir individu. Pasar
modal domestik mempengaruhi strategi perusahaan, sementara individu seringkali membuat
keputusan karir berdasarkan peluan dan prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada
suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi.
Struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan (rivalry) yang tinggi
mendorong inovasi.
Porter juga menambahkan faktor lain: peran pemerintah dan chance, yang
dikatakan memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan sebagai
pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan fasilitasi, katalis,
dan tantanan bagi industri. Pemerintah menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai
level daya saing tertentu. Hal – hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan
insentif berupa subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor
conditions, serta menegakkan standar industri.
Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitpaan daya saing yang self-
reinforcing, di mana persaingan domestik men-stimulasi tumbuhnya industri dan secara
bersamaan membentuk konsumer yang maju (sophisticated) yang selalu menghendaki
peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga mempromosikan industrial cluster. Kontribusi
Porter menjelaskan hubungan antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini
dapat mendukung negara dan sebaliknya.
Menurut Porter jika perusahaan ingin meningkatkan usahanya dalam persaingan yang
ketat perusahaan harus memiliki prinsip bisnis, Harga yang tinggi, Produk dengan biaya yang
rendah, dan bukan kedua - duanya. Berdasarkan prinsip tersebut maka Porter Menyatakan ada
tiga Strategi Generik yaitu: Differentiation, Overall Cost Leadership dan Fokus. Menurut
Porter strategi perusahaan untuk bersaing dalam suatu industri dapat berbeda - beda dan
dalam berbagai dimensi, Porter mengemukakan tiga belas dimensi yang biasanya digunakan
oleh perusahaan dalam bersaing, yaitu: Spesialisasi, Identifikasi Merk, Dorongan Versus
Tarikan, Seleksi Saluran, Mutu Produk, Kepeloporan Teknologis, Integrasi Vertikal, Posisi
Biaya, Layanan, Kebijakan Harga, Leverage, Hubungan dengan Perusahaan Induk,
Hubungan dengan Pemerintah.
Didalam teori persaingan kita mengenal ada suatu teori dari Michael Porter yang
sangat terkenal pada saat menganalisis persaingan atau competition analysis. Teori tersebut
sangat terkenal dengan istilah Porter Five Forces Model. Intinya sebenarnya Porter menilai
bahwa perusahaan secara nyata tidak hanya bersaing dengan perusahaan yang ada dalam
industri saat ini. Analisis yang biasa digunakan sebuah perusahaan adalah siapa pesaing
langsung perusahaan tersebut dan akhirnya mereka terjebak dalam “competitor oriented”,
sehingga tidak mempunyai visi pasar yang jelas. Dalam five forces model digambarkan
bahwa kita juga bersaing dengan pesaing potensial kita, yaitu mereka yang akan masuk, para
pemasok atau suplier, para pembeli atau konsumen, dan produsen produk-produk pengganti.
Dengan demikian, kita harus mengetahui bahwa ada lima kekuatan yg menentukan
karakteristik suatu industri, yaitu:
1. Intensitas persaingan antar pemain yg ada saat ini,
2. Ancaman masuk pendatang baru,
3. Kekuatan tawar menawar pemasok,
4. Kekuatan tawar pembeli, dan
5. Ancaman produk pengganti.
Kekuatan pertama yang biasanya menjadi fokus para pemasar adalah masalah
intensitas rivalitas atau persaingan antar pemain dalam industri. Biasanya intensitas
persaingan itu dipengaruhi banyak faktor, misalnya struktur biaya produk. Misalkan semakin
besar porsi biaya tetap dalam struktur biaya, maka semakin tinggi intensitas persaingan. Hal
ini disebabkan, setiap penjual memiliki tingkat break even point yang tinggi sehingga pada
umumnya harus menjual produk dalam jumlah yang besar, dan bila perlu dilakukan “banting
harga” agar bisa mencapai tingkat break even tersebut.
Kedua, ancaman masuk dari pendatang baru, kekuatan ini biasanya dipengaruhi oleh
besar kecilnya hambatan masuk ke dalam industri. Hambatan masuk kedalam industri itu
contohnya antara lain: besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, perijinan ,akses terhadap
bahan mentah, akses terhadap saluran distribusi, ekuitas merek dan masih banyak lagi.
Biasanya semakin tinggi hambatan masuk, semakin rendah ancaman yg masuk dari
pendatang baru.
Ketiga adalah kekuatan tawar pemasok atau supplier. Biasanya sedikit jumlah
pemasok, semakin penting produk yang dipasok, dan semakin kuat posisi tawarnya.
Demikian juga dengan kekuatan keempat yaitu kekuatan tawar pembeli, dimana kita bisa
melihat bahwa semakin besar pembelian, semakin banyak pilihan yang tersedia bagi pembeli
dan pada umumnya akan membuat posisi pembeli semakin kuat. Kekuatan yang terakhir
adalah soal produk –produk substitusi, seberapa banyak produk substitusi di pasar.
Ketersedian produk substitusi yg banyak akan membatasi keleluasaan pemain dalam industri
untuk menentukan harga jual produk.
Faktor Eksternal
Kelima kekuatan bersaing menurut Porter diatas dapat dikategorikan sebagai faktor
eksternal. Definisi dari faktor eksternal perusahaan itu sendiri adalah lingkungan bisnis yang
melengkapi operasi perusahaan yang memunculkan peluang dan ancaman. Faktor ini
mencakup lingkungan industri dan lingkungan bisnis makro, yang membentuk keadaan
dalam organisasi dimana organisasi ini hidup. Elemen-elemen dari Faktor eksternal tersebut
adalah pemegang saham, pemerintah, pemasok, komunitas lokal, pesaing, pelanggan,
kreditur, serikat buruh, kelompok kepentingan khusus, dan asosiasi
perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan umumnya adalah industri dimana perusahaan
dioperasikan.
Lingkungan bisnis makro atau lingkungan sosial terdiri dari kekuatan umum yang
tidak berhubungan langsung dengan aktivitas-aktivitas jangka pendek organisasi tetapi dapat
dan sering mempengaruhi keputusan-keputusan jangka panjang. Perusahaan-perusahaan
besar membagi membagi lingkungan sosial dalam satu wilayah geografis menjadi empat
kategori, terdiri dari faktor ekonomi, sosiokultural, teknologi dan politik-hukum dalam
hubungannya dengan lingkungan perusahaan secara keseluruhan.
Sehingga apabila dilihat dari penjelasan mengenai definisi Faktor Eksternal
perusahaan dikaitkan dengan 5 kekuatan bersaing M. Porter, maka 5 kekuatan bersaing
Porter merupakan Faktor Eksternal. Penjelasan lebih lanjut menganai analisis Faktor
Eksternal adalah faktor ini dibagi menjadi dua, yakni Peluang (opportunities) dan Ancaman
(threats). Ancaman adalah suatu kondisi dalam lingkungan umum yang dapat menghambat
usaha-usaha perusahaan untuk mencapai daya saing strategis. Sedangkan peluang adalah
kondisi dalam lingkungan umum yang dapat membantu perusahaan mencapai daya saing
strategis.

Anda mungkin juga menyukai