Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS INTERNA

Sindrom Koroner Akut

Disusun oleh
Amelia Kumalasari
Ananda Liza Putri Sarah

Pembimbing
dr. H. A. Fariz Malvi Zamzam Zein Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WALED
CIREBON
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan


manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infact myocard acute
(IMA) yang disertai elevasi segmen St dan penderita dengan infark miokardium
tanpa elevasi ST.
SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner.
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses
aterosklerosis.
Yaitu suatu fase akut dari Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) yang disertai IMA
gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang
Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis
akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable).
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas
tinggi. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak)
koroner, namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari
50–70% yang tidak stabil, yakni fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’ yang
tipis dan mudah erosi atau ruptur. Terminologi sindrom koroner akut
berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini
berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan
kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard: baik Angina tidak
stabil, infark miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard gelombang Q
mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri
koroner.
Terminologi yang akan sering dipakai pada penderita Angina Pectoris
adalah perasaan “berat”, “sesak”, “ditekan”, “didorong” atau “diremas”. Angina
Pectoris yang khas biasanya akan terasa di tengah dada/belakang sternum
(retrosternal) dan akan menjalar ke dagu dan/atau ke lengan. Angina bisa rasanya

2
dari nyeri ringan sampai ke paling nyeri dan timbul keringatan dingin dan
perasaan cemas. Kadang kala akan berserta dengan sesak nafas.

Gambar 1. Angina Pektoris pada SKA

Angina sering dipicu dengan aktivitas fisik terutama setelah makan dan
pada cuaca yang dingin, dan kebanyakan dicetus oleh perasaan marah atau
gembira. Nyeri akan hilang cepat (biasanya berapa menit) dengan istirahat.
Kadang kala perasaan itu akan hilang sendiri dengan teruskan aktivitas.
Istilah ACS banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian
yang gawat pada pembuluh darah koroner.ACSmerupakan satu sindrom yang
terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, unstable angina, Acute Myocardial
Infarction dengan segmen ST elevasi (STEMI) dan Acute Myocardial Infarction
tanpa segmen ST elevasi (NSTEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau
pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Alasan rasional menyatukan semua
penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme patofisiologi yang
sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya
agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan
stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. Sedangkan

3
letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi
ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan
trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan
pada elevasi ST adalah trombus komplet/oklusif.
Proses terjadinya thrombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari
Trias Virchow; kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran
darah terganggu. Selanjutnya proses aterosklerosis mulai berlaku, inflamasi, dan
formasi plak di pembuluh darah. Pada suatu saat, terjadi rupture/fissure pada plak
dan akhirnya menimbulkan thrombus yang akan menghambat pembuluh darah.
Apabila pembuluh darah tersumbat 100% maka terjadi STEMI.Namun bila
sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya UAatauNSTEMI.

4
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
• Nama pasien : Tn. K
• Usia : 63 tahun
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Tidak Bekerja
• Alamat : Losari
• Tanggal MRS : 12 Januari 2019
• Tanggal pemeriksaan : 15 Januari 2019
Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri dada

b. Riwayat penyakit sekarang


Nyeri dada sebelah kiri sejak ± 1 hari SMRS dan memberat sejak 3
jam SMRS. Nyeri dirasakan di dada bagian tengah dan menjalar ke
punggung dan lengan kiri. Nyeri seperti tertindih beban berat. Nyeri
berlangsung ± 30 menit. Nyeri disertai keringat dingin. Nyeri diraskan saat
istirahat dan semakin memberat jika melakukan aktivitas
Keluhan lain seperti sesak nafas (+), pusing (+), batuk (+) dahak (-
), badan terasa lemas (+), nyeri ulu hati (+), mual (+), demam (-),
penggunaan bantal tinggi untuk tidur (-), riwayat bengkak pada kedua kaki
(-).
c. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan asma.
d. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan asma
di keluarga

Pemeriksaan Fisik

5
• Keadaan umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Compos mentis
• Tekanan darah : 100/60 mmHg
• Laju nadi : 80x/menit, lemah, reguler
• Laju napas (RR) : 26x/menit
• Suhu : 36,0oC (axilla)
• SpO2 : 93% tanpa O2, 96% dengan O2 3-4 lpm NK

Status Interna
1. Kepala dan Leher
a. Kepala : Normochepal
b. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
c. Hidung : Epistaksis -/-
d. Telinga : Darah -/-, serumen -/-
e. Mulut : Sianosis -/-
f. Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal
2. Thorax
Paru

a. Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada -/-


b. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
c. Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
d. Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung

a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


b. Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS 5 midclavicula sinistra
c. Perkusi : Batas kanan jantung ICS 4 linea parasternalis dextra, batas
kiri jantung linea midclavicularis sinistra
d. Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
3. Abdomen
a. Inspeksi : normal
b. Auskultasi : BU (+) normal
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
4. Ekstremitas
a. Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edeme (-)
b. Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, edeme (-)

Diagnosa banding
• STEMI
• Unstable Angina Pektoris

6
Pemeriksaan penunjang

Foto Rontgen Thorax

EKG

7
Irama sinus, reguler, gelombang p normal, gelombang QRS normal, elevasi
segmen ST pada V1, V2, V3,V4.

Diagnosa Kerja
• Sindrom Koroner Akut (SKA) STEMI Anteroseptal
Tatalaksana
• O2 3-4 lpm nasal canule
• IVFD NaCl 0,9% loading tetes cepat 400 cc selanjutnya NaCl 0,9% 14
tpm
• Clopidogrel 1 x 75 mg = 75 mg-0-0 PO
• Aspilet 1x75 mg p.o
• ISDN 2,5 mg sublingual
• Ranitidin 50 mg 2 x 1 IV

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan
iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark
miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial
infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris
= UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya berbeda dalam derajat
beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang mengalami nekrosis.
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil
(UAP) dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah
apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan miokardium, sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat
diperiksa. Bila ditemukan peningkatan enzim-enzim jantung, maka diagnosis
adalah NSTEMI; sedangkan bila enzim-enzim jantung tidak meninggi, maka
diagnosis adalah UA.

Unstable Angina

Sindrom Koroner Akut (SKA) STEMI

UNSTEMI
Bagan 1. Pembagian SKA

Pada UAP dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi
total sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, thrombisis
dan vasokonstriksi. Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling sensitive dan

9
specific untuk nekrosis miosit dan penentuan pathogenesis dan alur
pengobatan.UAP dan NSTEMI merupakan ACS yang ditandai oleh
ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokardium.
Penyebab utama ACS adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak
ateroscklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat
pada pumbuluh darah yang sudah mengalami penyempitan oleh aterosklerosis.UA
dan NSTEMI adalah bagian dari sindrom koroner akut kontinum, di mana plak
pecah dan terbentuk thrombosis koroner aliran darah ke daerah miokardium.UA
dan NSTEMI juga disebutkan sindrom koroner akut non-ST elevasi. Untuk
membedakan mereka dari STEMI, pemakaian EKG dibutuhkan. Dalam UA dan
NSTEMI, tidak ditemukan ST Elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG,
pada pasien dengan STEMI, alasan mengapa ST elevasi dan gelombang Q
patologis ditemukan, kerana ada hubungan iskemic dari miokardium. Durasi
oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi,
serta letak pembuluh darah yang menentukan infark ada hubungan dengan
munculnya ST elevasi dan gelombang Q.

Etiologi & Faktor Resiko


Sindroma koroner akut ditandai oleh adanya ketidakseimbangan
antara pasokan dengan kebutuhan oksigen miokard.

Etiologi SKA antara lain:


1. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada
pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang rupture mengakibatkan infark kecil di distal.
2. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen
arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas
otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel.
3. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus  terjadi
pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).

10
4. Inflamasi  penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur, trombogenesis.
Makrofag, limfosit T  ↑ metalloproteinase  penipisan dan ruptur plak
5. Keadaan/factor pencetus:
a. ↑ kebutuhan oksigen miokard  demam, takikardi, tirotoksikosis
b. ↓ aliran darah koroner
c. ↓ pasokan oksigen miokard  anemia, hipoksemia

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi


1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi
hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya
mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktor-faktor
aterogenik.
2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai
menopause, setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria.
Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita sebelum menopause.
3. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu
saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur.
Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa bentuk aterosklerosis
yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada gangguan
lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan
komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan
stres atau obesitas.

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


1. Merokok

11
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung
terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan
hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin
yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan
pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat
mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas)
berasal dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen.Kolesterol dan
trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis
yang penting sehubungan dengan aterogenesis.Lipid terikat pada protein,
karena lipid tidak larut dalam plasma.Ikatan ini menghasilkan empat kelas
utama lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling
tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan
trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL.
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko
penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL
yang rendah ternyata bersifat aterogenik.
3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung
bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk
menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk
mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya
terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin
terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen
miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,
akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi
infark.

12
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel
pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi
akan di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di
hepar menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan
meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.7
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.7
Faktor Predisposisi
1. Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak
pada pembuluh darah.
2. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan,
termasuk ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen,
jantung dipacu untuk meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan
kebutuhan oksigen di jantung meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan
dan suplai oksigen mengakibatkan gangguan pada jantung.
3. Kerja fisik/olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan
dan miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai
oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau
berlangsung lama bisa terjadi infark.

13
Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik
dari plak arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi
platelet, trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal.
Keberadaan kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik,
menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri koronaria. Pembentukan trombus
dan terjadinya vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan serotonin dan
tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan iskemik miokardium yang disebabkan
oleh penurunan aliran darah koroner.
Aterosklerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan
pengerasan dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi
makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang
disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan
proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh
sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi
klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit
arteri koroner.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis.
Inflamasi dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme
primer. Diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan
peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin
II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-
reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif,
infeksi dan penyakit periodontal.
LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan
proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi.LDL teroksidasi
masuk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag.
Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam
jumlah yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan
lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian orang
termasuk anak-anak.Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal oksigen

14
toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan imunologis
sehingga terjadi kerusakan yang lebih progresif.Kemudian terjadi proliferasi sel
otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot
polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi
termasuk growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen
pembuluh darah dan menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat
olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan
gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur.Ruptur plak terjadi akibat
aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan
cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi.Plak atherosklerosis dapat
diklasifikasikan berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan
kerentanan terhadap ruptur.Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks.
Plak yang unstable dan cenderung menjadi rupture adalah plak yang intinya
banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps
yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces,
inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple, sekresi
macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika
rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade
pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus
tersebut dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan
infark.

15
Atherosclerotic plaque with
a lipid-rich core and thin
fibrous cap

Shear forces, inflammation,


apoptosis, macrophage-
derived degradative enzymes

Rupture of plaque

Increased inflammation with


release of multiple cytokines,
platelet activation and
adherence, production of
thrombin and vasoconstrictors Thrombus formation over lesion
plus vasoconstriction of vessel

Acute decrease in coronary


blood flow

Unstable angina or
myocardial infarction

Gambar 1: Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus

Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan.
Namun, apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus
akibat plak aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi
sindrom koroner akut.
- Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat
mencetuskan terjadinya infark.
- Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan
kerusakan ireversibel dari otot jantung.

16
Atherosclerotic plaque partially obstructs coronary
blood flow

Stable plaque Unstable plaque with ulceration or rupture


and thrombosis

Stable angina Acute coronary syndromes

Trancient Sustained
ischemia ischemia

Unstable angina
Myocardial
infarction
Stunned myocytes

Hibernating myocytes Myocardial


inflammation and
necrosis
Myocardial remodeling

Gambar 2 :Patofisiologi Sindrom Koroner Akut


Unstable angina
Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan
kebutuhan oksigen jantung (cth karena takikardi atau hipertensi).Berkurangnya
suplai oksigen terjadi karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh
darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus.Pada banyak
pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih banyak
terjadi dibandingkan peningkatan oksigen demand.Tetapi pada beberapa kasus,
keduanya dapat terjadi secara bersamaan.

Ruptur Plak
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari
pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua
pertiga dari pembuluh yang mengalami rutur sebelumnya mempunyai

17
penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil
mempunyai penyempitan kurang dari 70 %.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak.Kadang-kadang keretakan timbul
pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang
dihasilkan makrofage dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous
cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat
akan terjadi angina tak stabil.

Trombosis dan Agregasi Trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena integrasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus
yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada
dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan
berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang
menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut
berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan
dalam memulai trombosis yang intermitten, pada angina tak stabil.

Vasospasme

18
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir seperti pada angina Prinzmetal
juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm seringkali terjadi pada
plak yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.

Erosi pada Plak tanpa Ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi
dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya
perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan
penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.

Infark miokard
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi
nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas
plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti
yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI
trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang
lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan
kematian miosit.Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal
yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada
langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka
infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi
jantung yang parah (transmural MI).Secara klinis, MI transmural harus
diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus
mendapat terapi yang segera.

Jejas Selular

19
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit
sebelum mengalami kematian.Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik
setelah hipoksia.Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non
fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit.Penelitian
menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai
oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik
penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih
dingin.
Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari
kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada
metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi
sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang
rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah.
Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan
lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi kontraktilitas dan fungsi
konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan oksigen juga
disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium berespon
terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada
sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin
sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia
dan gagal jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan
cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam
lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut.
Kadar FFA (Free Fatty Acid) yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap
membran sel. NE meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan
terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas
sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia.
Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi
dalam patogenesis MI, dengan cara yaitu:

20
1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga
meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan
kontraktilitas jantung.
2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot polos
pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang
peningkatan kadar katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.

Kematian selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas
hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan.
Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim
intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang
intersisisal.Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe
ke pembuluh darah.Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.

Perubahan fungsional dan structural


Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural
jantung.Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini.

Waktu Perubahan Jaringan Tahapan Proses


setelah Pemulihan
MI
6-12 jam Tidak ada perubahan Belum dimulai
makroskopis; sianosis subseluler
dengan penurunan temperatur
18-24 jam Pucat sampai abu-kecoklatan; Respon inflamasi;
slight pallor pelepasan enzim
intraseluler

21
2-4 hari Tampak nekrosis; kuning-coklat Enzim proteolitik
di tengah dan hiperemis di dipindahkan oleh debris;
sekitar tepi katekolamin, lipolisis,
dan glikogenolisis
meningkatkan glukosa
plasma dan FFA untuk
membantu miokard
keluar dari anaerobic
state
4-10 hari Area soft, dengan degenerasi Debris telah dibersihkan;
lemak di tengah, daerah collagen matrix laid
perdarahan pada area infark down
10-14 hari Weak, fibrotic scar tissue Penyembuhan berlanjut
dengan awal revaskularisasi namun area sangat lunak,
mudah dipengaruhi stress
6 minggu Jaringan parut biasanya telah Jaringan parut kuat yang
komplit tidak elastis
menggantikan
miokardium yg nekrosis

Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam


beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium
yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi
nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau menjadi normal kembali. Jaringan
jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami perubahan yang dapat
dikategorikan ke dalam:
1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang
berlangsung selama beberapa jam – beberapa hari setelah perfusi kembali
normal.
2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan
telah mengalami adaptasi metabolik.

22
3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II,
aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan
hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang
jauh dari lokasi infark.
Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari
aliran koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI.
Tingkat keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi
infark. Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas jantung
dengan gerak dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari ventrikel
kiri, (3). Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia
yang mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.

Fase Perbaikan
Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri
dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi
fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat
nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam
24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan
nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger.
Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel
yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak bebas.Pada
minggu kedua, terjadi sekresi insulin yang meningkatkan pergerakan glukosa dan
menurunkan kadar gula darah.
Pada 10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan
rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa
sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan
terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut
yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium yang
sehat.

23
Diagnosis
Diagnosis ACS dapat diitegakkan dengan riwayat dan gejala, namun bisa
juga dengan bantuan EKG dan pemeriksaan laboratorium. Langkah pertama
dalam pengelolaan ACS ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, karana bila diagnosis ACS telah dibuat
di dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan
akandapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang
salah sering menpunyai konsekuensi buruk terhadap kuaitas hidup penderita. Pada
orang – orang muda, pembatasan kegiatan jasmami yang tidak pada tempatnya
mungkin akan dinasihatkan. Bila hal ini terjadi pada orang – orang tua, maka
mereka mungkin harus mengalami pensium yang terlalu dini, harus berulang kali
dirawat di rumah sakit secara berlebihan atau harus makan obat – obatan yang
potensial toksin untuk jangka waktu lama. Di pihak lain, konsekuensis fatal dapat
terjadi bila adanya penyakit jantung koroner yang tidak diketahui atau bila adanya
penyakit-penyakit jantung lain yang menyebabkan angina pectoris terlewat dan
tidak terdeteksi.
Cara – cara diagnostic yang dipakaikan ada di table 2, tapi yang harus
dokter lakukan buat diagnosis ACS adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dengan mempunyai anamnesis dan pemeriksaan fisik yang bener dan lengkap,
sudah cukup mengarahkan kita ke arah ACS.

Cara – Cara Diagnositik


1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Laboratium
4. Foto Dada
5. Pemeriksaan Jantung Non – Invasif
- EKG istirehat
- Uji Latihan Jasmani (treadmill)
- Uji latih Jasmani Kombinasi Pencitraan:

24
- Uji Latih Ekokardiagrafi (Stress Eko)
- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
- Ekokardiografi Istirehat
- Monitoring EKG ambulatory
- Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner :
- computed tomography
-Magnetic resonance arteriography
6. Pemerikasaan invasive menentukan anatomi koroner
- arteriografi koroner
- ultrasound intravascular (IVUS)

Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti,
penentuan faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan
gejala angina pectoris ringan,cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila
pasien dengan keluhan yang berat dan kemungkinan diperlukan tindakan
revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah merupakan indikasi.
Pada keadaan yang meragukan dapat melakukan Treadmill test. Treadmill
test lebih sensitive dan specific dibandingkan dengan EKG isitrahat dan
merupakan tes pilihan untuk mendeteksi pasien yang kemungkinan Angina
Pectoris dan pemeriksaan ini sarannya yang mudah dan biayanya terjangkau.
Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi
dan teknik non – invasive penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner,
Computed Tomography, Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensifitas
dan specifitas yang lebih tinggi.
Dari anamnesis kita harus menanyakan beberapa soalan yang
mengarahkan kita ke ACS.Pertanyaan seperti berikut :
a. Sakit dada berterusan berapa lama?
b. Ada 15 menit? atau lebih lama?
c. Sakit dada di sebelah mana? Sila ditunjukkan!
d. Sakit itu rasa seperti apa? Terbakar? Tertekan? Ditindih?

25
e. Sakit waktu lakukan apa? Aktivitas? Apakah waktu istirahat?
f. Apakah sakit itu dengan rasa sesak? Lemas?
g. Apakah rasa sakit itu radiasi ke tangan kiri?
h. Apakah rasa sakit itu terasosiasi dengan keringatan dingin?
i. Sakit itu membaik dengan istirehat?
j. Apakah pasien perokok? Konsumsi alcohol?
k. Apakah pasien punya riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia?
l. Dalam keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung?
Stroke? Mati mendadak?

Dari pemeriksaan fisik, kita harus mempunyai tanda-tanda yang harus kita
curiga ke arah ACS. Tanda – tanda seperti berikut :
1. Tachycardia > 100x/min
2. Tachypnea >24/min.
3. Tampak Cemas
4. Tekanan Darah tinggi > 140/90 atau rendah <100/70.
5. Pulsasi arrhythmia.
6. Kedengaran murmurmungkin adalah komplikasi dari ACS.
Diteruskan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG istirahat dan
pemeriksaan darah; periksa darah rutin dan enzim jantung (CK, CK-MB,
Troponin T dan Troponin I). Pasien dengan STEMI dan NSTEMI akan kita lihat
kelainan di EKG seperti ST elevasi, ST depresi, Tall T wave, T inversi.UA tiada
kelainan di EKG, karana di thrombus itu menyumbat tidak total dan tidak lama di
arteri koroner dan tidak akan menyebabkan perubahan di EKG. Pemeriksaan
darah rutin dibutuhkan karana dari keputusannya akan mengarahkan apakah
pasien ini anemis dan apakah pasien ini ada infeksi. Pemeriksaan enzim jantung
juga mengarahkan kita ke ACS, di keadaan fisiologis enzim jantung Troponin I
dan T tidak akan meningkat, tapi enzim CK dan CK-MB akan meningkat jika
melakukan aktivitas yang berat, kerusakan otot-otot atau mengalami febris yang

26
tinggi. Pemeriksaan Enzim dapat membedakan antara NSTEMI dan Unstable
Angina.
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan
iskemi sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun
tanpa perubahan EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun
elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan
enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina
pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.
Penderita penyakit jantung koroner akan kita mengevaluasikan risiko
mortalitas, ACS yang baru atau recurrent atau butuh revascularisasi yang darurat.
Setiap pasien datang dengan diagnosis ACS harus dilakukan score ini, namanya
TIMI Risk Score

Table: TIMI score di UA dan NSTEMI

Table: TIMI Score di STEMI

27
Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang
dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan
disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki
terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan
perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan
dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan
adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada atipik dan gejala tidak
khas, penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala khas karena
gangguan saraf otonom.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan,
diremas, ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang
sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak
dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu,

28
punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang
setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.

Keluhan pasien umumnya berupa


- Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit
- New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari,
aktifitas ringan/ istirahat
- Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri
atau dicetuskan aktivitas lebih ringan.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah
epigastrium yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala
otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.

Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi
risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan
kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang
nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T
negatif kurang dari 2mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan
karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada
NSTEMI 1-6% ECG juga normal.

Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak
stabil secara lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri,
adanya mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung,
menandakan prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu
menegakkan adanya iskemi miokardium.

Pemeriksaan laboratorium

29
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society
of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau
I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu.Risiko kematian
bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi
berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan
kembali normal dalam 48jam.

Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST


(NSTEMI)
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium
dengan ciri khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa
penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada
NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki
gejala dengan onset baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik
berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat.Gejala tidak khas seperti
dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau
leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama pasien lebih dari 65
tahun.

Elektrokardiogram (ECG)
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal
penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial
Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak
0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk.Outocme yang buruk
meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST dan baik
depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan
tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.

Biomarker Kerusakan Miokard

30
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang
lebih disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan
CKMB.Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer
setelah 3-4jam dan dapat menetap sampai 3-4minggu.
Diagnosis dan Gambaran KlinisInfark Miokard Akut Dengan Elevasi ST
(STEMI)
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri
dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua
sadapan prekordial yang berdampingan atau  1mm pada dua sadapan ektremitas.
Pmeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat
diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu
menunggu hasil pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip
utama penatalaksanaan adalah time is muscle.

Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari
jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung
perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-
faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok,
stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah.
Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus
mampu mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada
lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien
IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut2 :
 Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.

31
 Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
sperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
 Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
 Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
 Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.

Gambar 3 : Pola nyeri dada pada iskemia miokard


Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal
>30menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung
kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat

32
sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub.
Peningkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI .

Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam
10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-
10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan unutk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa
infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara
atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST
dan biasanya megalami UA atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST
berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya
istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q
atau menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG
hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST atau gelombang T. Namun
tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural
atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q
menggantikan infark mural atau nontransmural.

33
Gambar 5 : STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL

Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan
Cardiac Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan
segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung (infark miokard)
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut
meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

34
 Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
 Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam
3-4 hari.
 Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Gambar : Diagnosis banding nyeri dada

TATALAKSANA
Sekiranya pasien sudah mempunyai tanda-tanda ACS, kita harus segera
bertindak supaya tidak menyebabkan konsekuensi yang lebih
parah.Penatalaksanaan dapat menggunakan akrronim MONACO. Dapat dimulai
dengan memberikan oksigen 4L/mnt, Aspirin 300mg, Clopidogrel 300mg,
Nitroglycerin 0.6mg SL ulang setiap 5 minute sebanyak tiga kali, jika pasien
mengeluhkan nyeri dada yang berat sekali, morphine IV 0.5mg/ml sebanyak 5 ml
dimasukin. Seterusnya, EKG harus dipantau dan mengetahui apakah ini UA,
NSTEMI atau STEMI.Jika pasien mengalami UA, kita harus memastikan dengan
pemeriksaan enzim jantung, dan melanjutkan ke arah edukasi dan terapi rawat
jalan. Jika pasien mengalami STEMI/NSTEMI, kita harus memikirkan apakah

35
rencana reperfusi dengan Percutaneus Coronary Intervention (PCI) boleh
dilakukan apa tidak? Jika tidak boleh, kita harus rencanakan fibrinolysis.
Tujuan pengobatan pada ACS adalah untuk memperbaiki prognosis
dengan cara mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan
adalah bagaimana mengurangi terjadinya thrombotic akut dan disfungsi ventrikel
kiri. Tujuan ini dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi
farmakologik yang akan
(i) mengurang progresif plak
(ii) menstabilkan plak, dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki
fungsi endotel, dan akhirnya,
(iii) mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya
plak. Selain itu, obat juga dipakai untuk memperbaiki simtom dan
iskemi yaitu nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta –
Blocker, CCB.
Kepada pasien yang menderita ACS maupun keluarganya perlu kita
terangkan tentang perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien harus
diyakinkan bahwa kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan
pengobatan dan modifikasi gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik.
Kelainan penyerta seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dll, perlu
ditangani secara baik.
Cara pengobatan ACS yaitu,
(i) pengobatan farmakologis,
(ii) revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di
atas sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain tetap diperlukan
modifikasi gaya hidup dan mengatasi factor-factor risiko.
Di pengobatan farmakologik, ada banyak jenis obat yang boleh dipakai
dan ada tertentu yang sering dipakaikan dan akan dibahaskan nanti. Yang pertama
adalah Aspirin dosis rendah, dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa
aspirin masih merupakan obat utama untuk mencegahan thrombosis. Meta-
analysis menunjukkan bahwa dosis 75 – 150 mg sama efektivitasna dibandingkan
dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan diberi pada semua

36
pasien ACS kecuali ditemukan kontraindikasi.Selain itu, efek samping seperti
iritasi gastrointestinal dan perdarahan, alergi harus diperhatiin.Cardioaspirin
memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan Aspirin.Selain itu,
Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan
menghambat agregasi Thrombosit.Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita
dengan resistensi atau intoleransi terhadap Aspirin. AHA/ACC guidelines update
2007 memasukkan kombinasi Aspirin dan Clopidogrel pada pasien dengan ACS
menunjukkan lebih rendah mortality rate.
Obat penurun kolesterol juga dipakai di pasien ACS, pengobatan dengan
statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun
pervensi sekunder.Berbagai studi membuktikan bahwa statin dapat menurunkan
komplikasi sebesar 39%. Selain menurunkan kolesterol, statin juga mempunyai
mekanisme lain yang dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti thrombotic dll
(pleiotropic effect). Target penurunan LDL kolesterol adalah < 100mg/dl dan
pada pasien risiko tinggi, Diabetes Mellitus, penderita penyakit jantung koroner
dianjurkan menurunkan LDL kolesterol < 70mg/dl.

37
Pengunaan Angiotensin Converter Enzyme – Inhibitor (ACEI)/
Aldosterone Receptor Blocker (ARB) sebagai kardioproteksi untuk prevensi
infark sekunder pada pasien dengan penyakit jantung koroner telah dibuktikan
dari studi.
Nitrat pada umumnya disarankan pada pasien ACS karena nitrat memiliki
efek venodilator sehingga preload miokard dan afterload ventrikel kiri dapat
menurun sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan
menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh darah normal dan yang mengalami
aterosklerotik, menaikkan aliran darah kolateral dan menghambat agregasi

38
thombosit.Bila serangan Angina tidak respons dengan Nitrat jangka pendek
seperti Nitroglycerin, maka harus diwaspadai adanya STEMI.Efek samping dari
obat ini adalah sakit kepala dan flushing.
β blocker juga merupakan obat standar yang diberikan pada pasien ACS, β
blocker menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor β-1 yang dapat
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokardium. Pemberian β blocker
dilakukan dengan target denyut jantung sekitar 60 kali per menit. Kontraindikasi
terpenting pemberian β blocker adalah riwayat asma bronchial serta disfungsi
ventrikel kiri akut.
Kalsium channel blocker juga diberikan, dia mempunyai efek vasodilatasi.
Kalsium channel blocker dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah
mendapat nitrat atau β blocker; terutama pada pasien yang mempunyai
kontraindikasi penggunaan β blocker. Kalsium channel blocker tidak disarankan
bila terdapat penurunan fungsi ventrikel kiri atau gangguan konduksi
atrioventrikel.
Selain obat di atas, obat anticoagulant juga dipakai untuk coba membuka
pembuluh darah yang teroklusi. Unfractionated Heparin (UFH) adalah obat yang
memicu aktivitas antithrombin III dan mencegah converse fibrinogen ke fibrin.
Obat ini tidak melysiskan thrombusnya tapi mencegeh lanjutan thrombogenesis.
Selain UFH, terdapat Low Molecular Weight Heparins (LMWH) yang dapat
dipakai juga. LMWH adalah indikasi untuk terapi STEMI dan adalah
prophylaksis pada UA dan NSTEMI.LMWH ada kelebihan dari UFH, karena
LMWH tidak harus dimonitor International Normalized Ratio (INR).Di UFH
harus melakukan INR berterusan supaya tidak sampai tahap yang mungkinkan
perdarahan.
Setelah obat farmakologi, sekarang masuk ke revaskularisasi miokard.
Ada dua cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada ACS stabil yang
disebabkan aterosklerotik koroner yaitu tindakan revaskularisasi pembedahan,
bedah pintas koroner (coronary artery bypass graft = CABG) dan tindakan
intervensi perkutan (percutaneous coronary intervention = PCI). Akhir – akhir ini
kedua cara tersebut telah mengalami kemajuan pesat yaitu diperkenalkannya

39
tindakan, off pump surgery dengan invasive minimal dan drug eluting stent
(DES). Revaskularisai dengan 1 tujuan adalah meningkatkan survival ataupun
mencegah infark ataupun menghilangkan gejala.
Secara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan
arteriography koroner dan tindakan kateterisasi menunjukkan penyempitan arteri
koroner adalah kandidat yang potensial untuk dilakukan ravaskularisasi
miokard.selain itu, tindakaan revaskularisasi dilakukan pada pasien jika; 1.
Pengobatan tidak berhasil mengontrol keluhan pasien 2.Hasil uji non-invasif
menunjukan adanya risiko miokard 3.Dijumpai risiko tinggi untuk kejadian dan
kematian 4. Pasien lebih memiilihkan tindakan intervensi disbanding dengan
pengobatan biasa dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari pengobatan yang
diberikan kepada mereka.
Dari gambar 1, menunjukkan goal reperfusi adalah PCI atau terapi
thrombolitic, jika PCI tidak dapat diakses dalam jangka waktu 90 menit, terapi
thrombolitic disarankan. Thrombolitic terapi dapat menurunkan mortalitas dan
kurangkan saiz infark di patient dengan STEMI. Terapi ini dilakukan dalam 3 jam
pertama dari angina berlaku dan dapat menurunkan 50% mortalitas pada pasien
ACS.

Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina)

Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner,
dan diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin
atau petidin perlu ada pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun
sudah mendapat nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa
a. Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall
stress dan kebutuhan oksigen.Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan

40
vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral.Yang ada
di Indonesia terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena
dengan dosis 1-4mg/jam.Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti
isosorbid dinitrat per oral.

b. Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium.Meta-analisis dari
4700 pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko
infark sebesar 13% (p<0.04).Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali
ada kontraindikasi seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia.Beta-
bloker seperti propanolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang
menunjukkan effektivitas yang serupa.

c. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan
dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem
dan verapamil. Kedua golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik
negatif juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi
normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan
keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal
jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang ada
kontraindikasi dengan beta-bloker.

d. Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu

41
aspirin dianjurkan seumur hidup dengan dosis awal 160mgper hari dan dosis
selanjutnya 80-325 mg per hari.

e. Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi
platelet. Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA
menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan
sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg
per hari.

f. Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja
menghambat trombin dan faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap
trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.

g. Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)


LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida
heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja
pada faktor Xa.LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan
enoksaparin.2

Stratifikasi Risiko
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah2:
- pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah
tidak ada serangan
- sebelumnya tidak memakai obat anti angina
- ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.

42
- Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya
usia lebih muda.
Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah2:
- Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada
waktu istirahat
- Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus
- Tidak ada perubahan ST segmen
- Enzim jantung tidak meningkat.
Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah2:
- Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya
mendapat terapi yang intensif
- Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau ”rales” pada
pemeriksaan fisik
- Terdapat perubahan segmen ST yang baru
- Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu
pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil
dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya
pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan
kemungkinan tindakan revaskularisasi.2

Infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI)


Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG
untuk deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang
harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
 Terapi antiiskemia
 Terapi antiplatelet/antikoagulan
 Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)
 Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

Terapi antiiskemia

43
Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk
menghilangkan nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena
dan penyekat beta oral antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien
dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.2

a. Nitrat
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat
sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin
intravena (mulai 5-10ug/menit).

b.Penyekat Beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-
60kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantungseperti
diltiazem dan verapamil pada pasien dengan nyeri dada persisten.

c. Terapi antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam
patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan
thrombin-activated fibrin bertanggungjawab atas klot.

d. Terapi antiplatelet

Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah
dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga
aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI. Sindrom
”resistensi aspirin” muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi dengan
bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet
dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu pendarahan, atau perkembangan

44
kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien dengan resisitensi aspirin
mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara
acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk
memberikan terapi klopidogrel, wlaaupun aspirin sebaiknya juga tidak
dihentikan.2

Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada
permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet.
Penggunaanya pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in
Unstable Angina To Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel
for The reduction of Events During Observation (CREDO). Efek bermanfaat
ditemukan unutk semua subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen
ST dan kelompok yang memiliki skor risiko TIMI rendah. Namun, klopidogrel
dikaitkan dengan peningkatan pendarahan mayor dan minor, sejalan dengan
kecenderungan peningkatan pendarahan yang mengancam jiwa (life-threatening
bleeding).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi
sebagai obat lini pertama (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka
dengan risiko tinggi pendarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera.
Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi:
 Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini
 Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi
 Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

e. Terapi antikoagulan

UFH (Unfractionated heparin)


Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh tahun
penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana

45
UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Namun demikian terdapat kerugian pada
penggunaan UFH.Produksi antbodi antiheparin mungkin berhubungan dengan
heparin-induced thrombositopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan
yang tidak menentu, memerlukan monitor lebih sering terhadap activated
partialthromboplastin time (aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus
intravena kontinu.

LMWH (Low Molecular Weight Heparin)


Kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi dengan
penggunaan LMWH.Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan
dan kejadian trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang.LMWH adalh
inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga faktor Xa sehingga obat ini
mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti factor IIa),
tapi juga mengurangi pembentukan trombin (efek anti factor Xa).

Infark Miokard Dengan Elevasi ST


Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan
dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA 2004.
Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat
masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang
kardiologi intervensi).
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
 Mengurangi / menghilangkan nyeri dada
 Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
 Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit
 Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

46
Tatalaksana Umum
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jm pertama.

b. Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan
dapat diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlansungdapat diberikan NTG
intravena (iv). NTG juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema
paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien
yang menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.

c. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada


Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
 Morfin
Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-
4mg dan dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total
320mg.
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal

47
dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG. Selanjutnya aspirin diberikan
oral dengan dosis 75-162mg.
 Penyekat Beta
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval
PR<0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg
tiap 6 jam selama 48jam, dan dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.
 Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna.
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif
bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang
teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
panjang yang lebih baik.
b.Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan
dalam 30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu:
- Streptokinase (SK)
- tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase)
- Reteplase (Retavase)

48
Terapi Farmakologis
a. Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa trombosis mempunyai peran
penting dalam patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan
dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder
adalah menurunkan tedensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan
antiplatelet standar pada STEMI.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractinated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi
regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK)
membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang
terkait infark.

b. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi
segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv
membaiki kebutuhan suplai serta kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel
yang khusus.

c. ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor
ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian
inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal
jantung, pada pasien dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel
kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien
hipertensi

49
KOMPLIKASI
Banyak komplikasi akan berlaku jika ACS tidak ditanganin dengan segera
dan membiarin proses iskemic berterusan. Yang paling sering kelihat di pasien
ACS adalah congestive heart failure (CHF). CHF post STEMI adalah suatu
feature prognostic yang buruk dan membutuhkan terapi obat supaya mortalitas
rate diturunkan. Klasifikasi Killip digunakan untuk assess pasien yang CHF post
STEMI. 1) Killip 1 – tiada ronchi dan tiada suara jantung ke-3. 2) Killip 2 –
ronchi di < 50% paru – paru atau ada suara jantung ke – 3. 3) Killip 3 – ronchi >
50% paru – paru. 4) Killip 4 – Syok Cardiogenic.
Untuk penderita CHF yang ringan biasanya akan respon terhadap
Intravenous Furosemide 40-80mg dan Nitroglycerin administrasi kalau tekanan
darah dalam batas normal. Oksigen adalah mandatory dan regular tahap oksigen
monitor. ACE-I boleh diberikan dalam < 24-48 jam jika tekanan darah dalam
batas normal.Penderita dengan CHF yang berat butuh melakukan Swan-Ganz
katetherisasi untuk memeriksa tekanan pulmonary.Intravenous inotropic seperti
dopamine dan dobutamine dibutuhkan pada penderita CHF yang berat.Jika pasien
menderita syok kardiogenic, revaskularisasi dan/atau intra-aortic ballon pump
insersi dibutuhkan.
Selain gagal jantung, penderita juga mungkin mengalami rupture
miokardium dan dilatasi aneurism.Ruptur di dinding ventrikel kiri biasanya adalah
tanda – tanda awal dan yang fatal. Penderita akan mengalami kollaps
haemodynamic dan mengikuti cardiac arrest. Ruptur subakut masih boleh lakukan
pericardiocentesis dan pembaikan ruptur dengan operasi.Dilatasi aneurism pada
miokardium yang infark adalah komplikasi yang lambat dan butuhkan operasi.
Ventricular Septal Defect juga mungkin berlaku pada 1 – 2% pasien
STEMI dan biasanya disebabkan keterlambatan dan gagal fibrinolisis.
Mortalitasnya sangat tinggi dengan tanpa operasi langsung, mortalitas akan
mencapai 92%. Mitral regurgitasi mungkin berlaku pada pasien STEMI juga.
Sever mitral regurgitasi mungkin berlaku pada awal proses STEMI. Tiga
mechanism mungkin menyebabkan mitral regurgitasi di STEMI, dengan bantuan
Transoesophageal Echocardiogram (TOE) akan konfirmasikan causanya, 1)

50
disfungsi ventricular kiri yang sever dan dilatasi menyebabkan annular dilatasi
pada katup dan menyebabkan regugitasi. 2) miokardium infark di dinding inferior
yang menyebabkan disfungsi otot papillary yang control buka dan tutup katupnya.
3) miokardium infark pada otot papilari dan menyebabkan akut sever oedem
pulmo dan syok kardiogenic.
Irama jantung juga akan terganggu pada penderita ACS. Ventrikular
takikardi dan ventricular fibrilasi adalah gejala yang sering ketemu di pasien
STEMI terutama dengan reperfusi.Ventrikular takikardi harus di terapi dengan
Intravenous Beta – blockers, lidocain atau amiodarone. Kalau pasien adalah
hipotensi, synchronized kardioversi dilakukan, dan memastikan kalium adalah di
atas 4.5 mmol/L. Refractori ventricular takikardi atau fibrilasi akan ada respon
terhadap magnesium 8 mmol/L dalam 15 menit IV. Atrial fibrillasi sering ketemu
juga dan diterapikan beta – blocker atau digoxin. Bradyarrthimia boleh diterapi
dengan IV Atripine 0.5mg dan diulangkan 6 kali dalam 4 jam. Kadang kala,
gangguan konduksi aliran listrik jantung juga mungkin berlaku. AV blok adalah
yang paling sering ketemu pada AMI, terutama kalau adalah dinding inferior yang
infark, karena arteri koroner yang kanan supply ke SA dan AV node. Gangguan
konduksi boleh temporary dan permenant.Jika temporary, hanya dilakukan
Atropine atau pacemaker yang temporary.Tapi kalau adalah permanent,
pacemaker yang permanent dibutuhkan.

a. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk,
ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses
ini disebut remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera
setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi.Secara akut hasil ini berasal dari
ekspansi infark.Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark,
mengakibatan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri

51
yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dengan prognosis yang buruk.

b. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
karena STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan
bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru.

c. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan
90% ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi
syok kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.

d. Infark ventrikel kanan


Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan
sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan
infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis
menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis,
tanda Kussmaul’s, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST
pada sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24
jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume
untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk
meningkatkan tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.

e. Aritmia pasien pasca STEMI


Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset
gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona
iskemia miokard.

52
f. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada
hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif
dalam mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan
fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi.
Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada
pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan
magnesium 2 mmol/liter.
g. Takikardi dan fibrilasi ventrikel.
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat
terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.

h. Komplikasi mekanik
- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventikel.
- Penatalaksaan : operasi.

53
DAFTAR PUSTAKA

Rani A. et al., 2006, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,


halaman 63
Fauci A. et al., 2005, Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition,
p1425
Kumar P and Clark M, 2006, Clinical Medicine 7th Edition, page 743
Brady W. et al. 2012, Acute Coronary Syndrome : 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care, AHA
Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary
syndromes 2006, National Heart Foundation of Australia.
Acute Coronary Syndromes : a national clinical guidelines, 2007, Scottish
Intercollegiate Guidelines Network.
Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill,
2000,1387–97.
Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?.
Majalah Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 54
Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
dengan Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143,
2004
R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT)
PENDERITA SINDROM KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006:
123-126

54

Anda mungkin juga menyukai