Anda di halaman 1dari 9

KASUS HUTAN JATI DAN DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL

Problematika Rekayasa Budidaya Tanaman

Oleh:

Dimas Setya Surya N. (20170210064)


Izaz Hadaya A. (20170210082)
Fetty Nur Cahyati W. (20170210105)
Gustav Ibrahim Adam (20170210115)
Zana Yoshi Yolanda (20170210103)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2018
I. KASUS
Daerah Playen dikenal sebagai daerah kering, dengan sumber air tergantung curah
hujan. Wilayah tersebut yang berada dalam pengelolaan dinas kehutanan dan
perkebunan kabupaten Gunung Kidul, dimanfaatkan untuk penanaman tanaman
hutan jati dan mahoni, yang umur panennya cukup lama. Dengan tingkat
pertumbuhan tanaman yang cukup lambat, lahan yang baru dibuka potensial
mengalami kerusakan akibat faktor lingkungan. Berbekal pengalaman didaerah
lain lahan hutan yang berada dilingkungan masyarakat umum seringkali
mengalami kerusakan akibat ulah masyarakat setempat yang tidak sesuai dengan
kaidah. Bagaimana sebaiknya pengolahan tersebut agar tetap produktif, namun
juga konservatif?

II. IDENTIFIKASI MASALAH


1. Pemanfaatan lahan hutan jati dan mahoni yang kurang produktif;
2. Kerusakan lingkungan akibat ulah masyarakat setempat.

III. TINJAUAN PUSTAKA


A. Kondisi Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul
Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 2 1.485,36 km yang meliputi
18 kecamatan, 144 desa/kelurahan. Dari 144 desa/kelurahan, 16 desa masuk
klasifikasi swasembada dan 128 desa masih swadaya. Lahan dan kawasan hutan
umumnya merupakan lahan milik negara. Keadaan lahan ini banyak yang gundul,
tandus, kering dan terjal. Gundulnya kawasan hutan negara ini disebabkan oleh
berbagai hal, baik penebangan maupun belum berhasilnya penanaman kembali
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2013).
Hutan rakyat merupakan aset penghidupan bagi petani di Kabupaten
Gunungkidul. Perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul tidak
terlepas dari program pemerintah Belanda pada tahun 1930-an dan dilanjutkan
oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri”.
Secara nasional pengembangan hutan rakyat selanjutnya berada dibawah payung
program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an melalui pekan
penghijauan (Awang dkk., 2002; Simon, 2004; Utari, 2012). Perkembangan hutan
rakyat juga didorong oleh motivasi petani untuk terlepas dari permasalahan
lingkungan. Daerah Gunungkidul adalah daerah yang berlahan kritis, tanahnya
tandus dengan solum tipis berkapur, berbatu dan beriklim tropis kering serta
dikenal sebagai daerah yang sulit air (Awang dkk., 2002). Kondisi inilah yang
memotivasi petani untuk menanam pohon dan mengatasi masalah kekritisan
lahan.
Daerah Playen, Gunungkidul, berada di daerah zona tengah. Daerah Playen
disebut wilayah pengembangan ledok Wonosari. Ketinggiannya 150-200 meter
diatas laut. Jenis tanah di dominasi oleh asosiasi Mediteran merah dan Grumusol
hitam, dengan bahan induk batu kapur. Topografi di daerah Playen adalah datar.
Daerah Playen memiliki suhu udara rata-rata sekitar 27,7°C. Suhu maksimum
adalah 32,4°C dan suhu minimum 23,2°C. Kondisi umum rata-rata curah hujan di
daerah Playen dari tahun 2012 sampai 2016 berjumlah 1860 mm per tahun
(BMKG, 2017).

B. Pohon Mahoni
1. Klasifikasi pohon mahoni
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Swietenia
Spesies : Swietenia mahagoni (L.)
Tanaman mahoni merupakan pohon penghasil kayu keras yang biasanya
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk dibuat perabot rumah tangga serta
barang ukiran. Pohon mahoni dapat tuumbuh liar di hutan jati atau tempat-tempat
lain yang dekat dengan pantai dan biasanya ditanam di pinggir jalan sebagai
pohon pelindung (Prasetyono, 2012). Tanaman ini berasal dari Hindia Barat ini
dapat tumbuh subur bila ditanam di pasir payau dekat dengan pantai.Pohon
tahunan ini memiliki tinggi 5-25m, memiliki akar tunggang, berbatang bulat,
banyak cabang dan kayunya bergetah. Daun pohon mahoni termasuk daun
majemuk menyirip genap, helaian daun berbentuk bulat telur, ujung dan
pangkalnya runcing, tepi daun rata, bentuk tulang daun menyirip yang dapat
mencapai panjang 3-15cm. Daun yang masih muda akan berwarna merah dan
lama-kelamaan akan berwarna hijau.
2. Syarat tumbuh
Mahoni dapat tumbuh dengan subur di pasir payau dekat dengan pantai dan
menyukai tempat yang terbuka dan cukup mendapat sinar rnatahari langsung.
Tanaman ini terrnasuk jenis tanaman yang tidak memiliki persyaratan tipe tanah
secara spesifik, mampu bertahan hidup pada berbagai jenis tanah bebas genangan,
dan reaksi tanah sedikit asam - basa tanah, gersang atau marginal, walaupun tidak
hujan selama berbulan-bulan, mahoni masih mampu untuk bertahan hidup.
Namun demikian, pertumbuhan akan optimal pada tanah subur, bersolum dalam
dan aerasi baik pH 6,5 sampai 7,5. Tumbuh baik sampai ketinggian 1000 meter
dari permukaan laut meski masih tumbuh pada ketinggian maksimum 1.500 meter
dpl, banyak terdapat pada daerah iklim tropis basah sampai daerah beriklim
musim (tipe iklim A-C menurut Schmidt - Ferguson). curah hujan 1.500 - 5000
mm/tahun, dan suhu udara rata-rata 11–36oC meski pada daerah kurang hujanpun
(tipe D) jenis mahoni masih dapat tumbuh.

C. Pohon Jati
1. Klasifikasi Pohon Jati
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Verbenaceae
Famili : Verbenaceae
Genus : Tectona
Spesies : Tectona grandis Linn. F
(Sumarna, 2011)
Jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter.
Tinggi bebas cabangnya dapat mencapai 18 - 20 meter dengan kulit batang
berwarna cokelat gradasi dan kuning keabu-abuan. Pohon jati yang baik
merupakan pohon yang memiliki garis diameter yang besar, memiliki batang yang
lurus, dan jumlah cabangnya sedikit. Bentuk daunnya besar dan membulat dengan
ukuran daun pohon jati yang telah tua sekitar 15 x 20 cm. Daun yang muda
berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah jika diremas. Bunga dari pohon jati
terletak di puncak tajuk pohon dengan ukuran sekitar 40 x 40 cm. Sementara
buahnya berbentuk bulat agak gepeng dengan diameter 0,5 – 2,5 cm (Mulyana
dan Asmarahman 2010).
Karakteristik dari pohon jati yaitu memiliki dua jenis akar yaitu akar tunggang
dan akar serabut. Batang pohon jati biasanya memiliki bentuk asimetris (tidak
melingkar). Pohon jati memiliki daun yang lebar berbentuk elips atau bulat telur.
Warna daun bagian atas hijau sedangkan bagian bawah berwarna hijau pucat.
Daun jati memiliki tekstur yang kasar, karena daun dipenuhi dengan bulu-bulu
berkelenjar merah. Daun jati juga memiliki keunikan tersendiri, karena apabila
diremas maka akan menghasilkan warna merah. Bunga jati berukuran kecil
dengan diameter 6-8 mm, berwarna keputih-putihan dan berkelamin ganda (satu
bunga terdapat benang sari dan putik) dengan jumlah kuncup per tandan antara
800--3.800 buah. Bunga mekar dalam waktu 2--4 minggu. Sedangkan buah jati
berwarna hijau muda, keras dan termasuk kategori buah batu dan ukuran buah
antara 5--20 mm (Dahana dan Warisno, 2011).
2. Syarat tumbuh
Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang mendominasi hutan di
Indonesia. Jati dapat ditanam di berbagai kondisi lahan dan lingkungan. Syarat
lokasi yang cocok untuk budi daya jati diantaranya ketinggian lahan maksimum
700 mdpl, suhu udara antara 13 – 43ºC, pH tanah 6, dan kelembaban lingkungan
60 – 80%. Tanah yang cocok untuk pertumbuhan jati adalah tanah lempung,
lempung berpasir, dan liat berpasir. Sementara itu, curah hujan optimum yang
diperlukan untuk pertumbuhan jati sekitar 1.000 – 1.500 mm per tahun (Mulyana
dan Asmarahman, 2010).
IV. ANALISIS MASALAH
1. Penanaman pohon Jati di lahan yang baru dibuka akan mengakibatkan lahan
menjadi mudah erosi. Jarak tanam yang lebar, mengakibatkan permukaan
tanah masih memiliki bagian yang kosong tanpa adanya vegetasi selain bibit
tanaman Jati. Tanpa adanya vegetasi tanah akan mudah erosi karena
kurangnya daerah serapan air. Oleh karena itu dibutuhkan tanaman sela
sebagai penutup permukaan tanah. Penanaman tanaman sela dapat
memberikan produktivitas karena menggunakan pola tanam tumpang sari.
Selain itu, tanaman sela bermanfaat dalam membantu tanaman Jati agar tetap
konservatif. Selain itu, pada saat penanaman pun dibutuhkan waktu, arah,
jarak, cara, pola dan sistem tanam yang tepat agar tanaman dapat tumbuh dan
berkembang dengan optimum.
2. Kurangnya pemahaman masyarakat setempat tentang pengolahan lahan secara
konservatif dikarenakan masyarakat belum mendapatkan pembinaan dari
pmerintah mengenai pengolahan hutan rakyat.

V. PEMBAHASAN
Pada lahan baru dibuka akan ditanam tanaman Jati muda. Tanaman Jati muda
sendiri baru akan siap panen kurang lebih setelah 10 tahun, sehingga lahan baru
tersebut tidak akan produktif apabila menunggu panen Tanaman Jati. Produktif
merupakan bersifat yang mampu menghasilkan, memberi hasil, menguntungan
dan bermanfaat dalam jumlah besar (KBBI, 2016). Jadi, produktif lahan adalah
sebuah lahan yang dapat memberikan hasil dan keuntungan dengan
mengoptimalkan keberadaan lahan. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem
penanaman yang baik agar lahan tetap produktif. Sistem penanaman tersebut
adalah dengan multiple cropping atau sistem penanaman ganda. Keuntungan dari
sistem penanaman ganda adalah mengurangi erosi tanah, memperbaiki tata air
pada tanah, termasuk meningkatkan pasokan (infiltrasi) air ke dalam tanah
sehingga cadangan air untuk pertumbuhan tanaman akan lebih tersedia,
menyuburkan tanah, mempertinggi daya guna lahan, menghindari pengangguran
musiman, dan memperkaya kandungan unsur hara. Pola tanam yang digunakan
adalah Sistem Tumpangsari (Intercropping). Pola tanam tumpangsari, penanaman
jati (tanaman pokok) yang dikombinasikan dengan tanaman pertanian/semusim di
dalam satu area dengan waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, tanaman yang
digunakan sebagai tanaman sela adalah tanaman ubi jalar.
Ubi jalar digunakan sebagai tanaman sela dikarenakan kondisi yang cocok
dengan tanaman Jati, mudah ditanam, adaptif (mudah beradaptasi) disegala
kondisi tanah, dan pertumbuhannya terus menerus. Lahan jika tidak dilakukan
tumpang sari akan banyak ditumbuhi gulma yang akan menutup areal tanam.
Selain itu, apabila vegetasinya kurang maka keteguhan tanah akan lemah sehingga
menyebabkan tanah mudah erosi. Oleh karena itu, Tanaman Jati yang baru dibuka
menggunakan sistem tanam tumpangsari agar permukaan tanah dapat tertutupi
dengan menggunakan Ubi Jalar dan sekaligus dapat mengkonservasi tanah. Aspek
penanaman perlu diperhatikan agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik dan optimum, yaitu dengan waktu penanaman yang tepat, arah
penanaman yang sesuai dengan kondisi atau topografi lahan, jarak tanam yang
memberikan ruang tumbuh bagi akar dan tajuk, dan cara menanam tanaman
dengan sistem tumpangsari.
1. Waktu penanaman. Waktu penanaman sangat diperlukan agar tanaman dapat
tumbuh dengan baik dan optimum. Waktu penanaman yang baik adalah pada pagi
hari atau sore hari, karena pada waktu tersebut suhu dan radiasi matahari tidak
terlalu tinggi sehingga laju transpirasi juga tidak tinggi. Karena apabila dilakukan
pada siang hari, pada saat transpirasi sedang tinggi, tanaman akan layu karena
kurangnya suplai air dan nutrisi yang dibutuhkan yang diakibatkan dari
perpindahan lokasi tanam. Oleh karena itu, penanaman dilakukan pada pagi atau
sore hari.
2. Arah penanaman ditanam dengan searah dan sejajar dikarenakan topografi pada
daerah Playen adalah datar.
3. Jarak tanam bertujuan untuk mendapatkan nutrisi bagi tanaman dengan
optimum dan memberikan ruang tumbuh bagi akar. Pengaturan Jarak Tanam pola
monokultur jarak tanam yang sering digunakan adalah 2,5 x 2,5 m; 3 x 1 m;2 x 3
m; dan 3 x 3 m. Kombinasi yang baik adalah ditanam rapat pada awal penanaman
agar pohon tumbuh tinggi lurus, kemudian dilakukan penjarangan agar batang
tumbuh membesar. Pada sistem tumpangsari, jati dapat ditanam rapat dalam
bentuk larikan. Antar larikan dibuat jarak yang lebih lebar untuk ditanami
tanaman semusim, yaitu tanaman Ubi Jalar (Pramono, dkk 2010).
Penamam dilakukan dengan arah larikan dari timur ke barat, hal tersebut
dilakukan agar sinar matahari dapat menerobos masuk sepanjang hari sesuai
dengan arah peredaran matahari dari timur ke barat. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah bahwa tinggi dari tanaman sela tidak boleh lebih tinggi dari
tanaman pokok karena akan menghambat pertumbuhan tanaman pokok. Tanaman
pokok perlu dilakukan perawatan diantaranya prunning (pemangkasan cabang).
Pemangkasan ini harus rutin dilakukan agar batang tanaman pokok tidak
bercabang.
Dengan sistem ini selain akan memperoleh hasil panen kayu jati, petani
juga akan memperoleh hasil dari tanaman sela sebagai pendapatan jangka pendek
atau sebagai tambahan modal untuk mengelola hutan jati tersebut. Oleh karena
itu, dengan pola tanam tumpang sari dapat membuat hutan Jati tetap produktif dan
juga konservatif. Pada sistem tumpang sari ubi kayu bisa berubah-ubah tidak
selamanya karena untuk tanaman Jati usia pertumbuhannya masih sangat lama
perlu ada rotasi tidak hanya ubi kayu bisa dengan tanaman lain seperti manga,
kelengkeng, dll.

VI. KESIMPULAN
Jadi, pengelolaan lahan baru dibuka yang akan ditanam Tanaman Jati agar tetap
produktif dan juga konservatif adalah dengan menggunakan Sistem Penanaman
Ganda dengan pola tanam tumpang sari. Tanaman sela yang digunakan pada
bagian lahan kosong tanaman Jati adalah tanaman Ubi Jalar.
Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. (2013). Gunungkidul dalam angka


2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul.
Prasetyono. 2012. Serangan penggerek pucuk mahoni (Hypsiphylla robusta
Moore)pada tegakan mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla King)
umur satu tahun di tasikmalaya. Akademi Kehutanan Bandung. Bandung.
Schmidt, F. H dan Ferguson, J. H. A. 1951. Rainfall Types Based On Wet and
Dry Period Rations for Indonesia With Western New Guinea. Jakarta:
Kementrian Perhubungan Meteorologi dan Geofisika.
Sumarna, D. 2011. Kayu Jati Panduan Budidaya dan Prospek Bisnis. Buku.
Penebar Swadaya. Depok. 18--21 p.
Mulyana, D. dan C. Asmarahman. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Buku.
PT Agro Media Pustaka. Jakarta. 133 p.
Dahana, K., dan Warisno, 2011. Investasi Prospektif dengan Mengebunkan Jati
Unggul. Buku. Penerbit Andi. Yogyakarta. 11--20 p.
Utari, A.D. 2012. Penerapan Strategi Hutan Rakyat Opsi Penyelamatan
Kehancuran Hutan Negara. Cakrawala. Yogyakarta.
Awang, S.A., D. Sepsiaji., dan B. Himmah. 2002. Etnoekologi manusia di Hutan
Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta.
Pramono, A.A; M.A Fauzi; N. Widyani; I. Heriansyah dan J.M Roshetko. 2010.
Pengelolaan Hutan Jati Rakyat. Bogor. Panduan Lapangan untuk Petani,
CIFOR (Center for International Forestry Research).

Anda mungkin juga menyukai