Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Alfath Chaniago

Kelas : IB D3-Teknik Kimia

Saya memiliki minat pada pengelolaan limbah. Laporan di bawah ini yang berjudul
“Pembuatan Kitin dan Kitosan” adalah salah satu laporan yang membuat saya tertarik.
Saat saya masih SMA, saya pernah membuat percobaan kecil untuk membuat kitosan
sebagai adsorben logam, khususnya logam Fe. Tetapi saya gagal dalam melakukan
percobaan. Saya ingin Komunitas Nanoteknologi ini dapat memfasilitasi keinginan saya
untuk meneliti lebih lanjut karena nanoteknologi masih jarang di kembangkan di
Indonesia.

PEMBUATAN KITIN DAN KITOSAN

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kitosan dan turunannya merupakan suatu meterial yang memiliki nilai tambah. Kitosan
diproduksi dari kitin, yang merupakan polimer karbohidrat alami yang dapat ditemukan
pada cangkang crustacea, seperti kepiting, udang, dan lobster serta bagian eksoskeleton
zooplankton spp., termasuk koral dan ubur-ubur. Kitin juga terdapat pada bagian sayap
serangga seperti kupu-kupu dan kumbang dan juga terdapat pada dinding sel khamir,
jamur dan dan jenis fungi lainnya yang mengandung kitin. Proses produksi kitosan skala
industri meliputi: demineralisasi, deproteinasi, dekolorasi dan deasetilasi. Meskipun
sumber kitin memiliki cakupan yang luas di alam, tetap saja kepiting dan udang masih
menjadi sumber utama kitin yang komersial (Tajik H et al. 2011).
Dalam pemakaiannya, kitosan perlu dilarutkan terlebih dahulu dalam asam tertentu
(asam lemah organik) sebelum digunakan sebagai bahan baku industri atau sebagai
bahan penolong. Disamping itu, asam juga mempunyai sifat yang dapat menyebabkan
iritasi pada kulit dan menimbulkan efek bau yang menyengat. Untuk meningkatkan nilai
keamanan, luasnya aplikasi serta untuk efisiensi penerapan perlu dibuat kitosan yang
mempunyai sifat larut air. Pemanfaatan kitosan adalah sebagai pembentuk film, moisture
binder, bahan penstabil, pembentukan tekstur, pembentuk gel, pengemulsi, penurun
kolesterol, dan lain-lain. Kitosan mempunyai karakteristik fisik, biologi, dan kimiawi yang
baik diantaranya biodegradable, biocompatible, dan non toksik. Bahan baku pembuatan
khitin dan kitosan adalah cangkang kepiting, kulit udang, cangkang cumi-cumi, cangkang
rajungan, dan lain-lain (Gunawan dan Purwangka 1998 diacu dalam Amalia 2007).
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu jenis organisme laut yang banyak
terdapat di perairan Indonesia Hasil pengolahan rajungan menghasilkan limbah
cangkang yang banyak dan pemanfaatannya hingga saat ini masih kurang. Limbah ini
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kitin dan kitosan. Menurut Tajik H et al.
(2010) cangkang udang dan rajungan merupakan sumber utama polimer kitin, rajungan
merupakan sumber kitin terbesar setelah udang. Selain itu, bahan yang dapat digunakan
dalam pembuatan kitin adalah cangkang udang. udang merupakan salah satu hasil
perikanan yang cukup penting dan memiliki kandungan gizi cukup tinggi dan sangat baik
untuk kesehatan. Pengolahan udang menghasilkan limbah padat berupa cangkang yang
mengandung kalsium cukup tinggi (Gunawan dan Purwangka 1998 diacu dalam Amalia
2007). Dalam cangkang udang, kitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan
dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida
termasuk pigmen-pigmen (Wardaniati dan Setyaningsih 2010).
Oleh karena itu, pembuatan kitosan berkonsep zero waste berbahan baku kulit rajungan
perlu digalakkan agar pemanfaatan rajungan dan cangkang udang sebagai biota yang
potensial dapat teroptimalisasi.

1.2 Tujuan
Praktikum proses pembuatan kitin dan kitosan dilakukan untuk menentukan persentase
kitin yang dihasilkan dan persentase kitosan dengan mengkonversi kitin yang ada.
Praktikum ini juga dilakukan untuk mengetahui kelarutan kitosan pada beberapa
konsentrasi asam asetat.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitosan
Kitosan adalah turunan kitin yang hanya dibedakan oleh gugus radikal CH3, dan CO-
pada struktur polimernya. Kitosan merupakan senyawa kimia yang berasal dari bahan
hayati kitin, umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelompok
Arthopoda sp., Molusca sp., Coelenterata sp., Annelida sp., Nematoda sp., bagian insang
ikan, trachea, dinding usus, kulit cumi-cumi dan beberapa dari kelompok jamur. Namun
sumber utamanya ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan
hewan yang bercangkang lainnya, terutama yang berasal dari laut yang diperoleh dari
hasil deasetilasi dari senyawa kitin (Shofyan 2009).
Kitosan mempunyai sifat antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari kitin. Sifat kitin dan
kitosan dapat mengikat air dan lemak. Karena sifatnya yang dapat bereaksi dengan
asam-asam seperti polifenol, maka kitosan sangat cocok untuk menurunkan kadar asam
pada buah-buahan, sayuran dan ekstrak kopi. Kitosan mempunyai sifat polikationik,
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal (Shofyan 2009).
Bila dikonsumsi di dalam tubuh manusia kitosan bisa berfungsi menyerap lemak.
Kemampuan kitosan untuk menyerap lemak tergantung pada derajat deasetilasinya.
Derajat deasetilasi kitosan paling tinggi adalah 82,98% yang didapat dari proses
deasetilasi menggunakan konsentrasi NaOH 50%, sedangkan kondisi yang efektif proses
penyerapan lemak adalah pada konsentrasi (g/ml) berat kitosan 5 gr di dalam 50 ml lemak
serta waktu penyerapani lemak 60 menit menunjukkan derajad penyerapan kolesterol
sebesar 45,46% (Hargono dkk 2009).

2.2 Mutu Kitosan


Karakteristik kitosan yang paling sering dianalisa adalah viskositas, derajat deasetilasi,
berat molekul, pH, residu protein, kadar air, kadar abu, kandungan lemak. Kadar logam
berat, warna dan lain-lain yang bersangkutan dengan tujuan penggunaan. Menurut
Suhardi(1992), standar mutu kitosan maupun polimernya belum ada, sehingga analisa
kitosan ditujukan untuk menentukan karakterisasi yang berhubungan dengan sumber
bahan kitosan dan tujuan penggunaannya. Secara umum grade kitosan dikelompokkan
atas pemanfaatannya pada berbagai bidang dan sumber bahan, seperti untuk farmasi
dan kosmetika, untuk bahan pangan dan untuk aplikasi teknis lainnya. Kitosan yang
diaplikasikan dibidang farmasi dan medis memiliki kreteria khusus, seperti tidak adanya
cemaran logam berat atau residu protein, sifat-sifat fisik, aktivitas biologi, tingkat
kemurnian kimia dan mikrobiologi (Suhardi 1992).
Semakin tinggi mutu kitosan atau kitin berarti semakin tinggi pula kemurniannya, salah
satu parameter mutu kitin atau kitosan yang cukup penting adalah derajat deasetilasinya.
Semakin tinggi derajat deasetilasinya semakin tinggi kemurniannya artinya kitin dan
kitosan sudah murni dari pengotornya yaitu protein, mineral dan pigmen serta gugus
asetil untuk kitosan yang disertai kelarutannya yang sempurna dalam asam asetat 1%.
Sehubungan dengan kebutuhan setiap industri akan kitosan yang bermutu tertentu maka
perlu didesain kondisi proses pembuatan kitosan yang akan menghasilkan produk
dengan mutu beragam (Suptijah 2004).

2.3 Sumber Kitosan


Kitosan merupakan senyawa kimia yang berasal dari bahan hayati kitin, suatu senyawa
organik yang melimpah di alam ini setelah selulosa. Kitin ini umumnya diperoleh dari
kerangka hewan invertebrata dari kelompok Arthopoda, Molusca, Coelenterata,
Annelida, Nematoda, dan beberapa dari kelompok jamur. Selain dari kerangka hewan
invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian insang ikan, trachea, dinding usus dan
pada kulit cumi-cumi. Sebagai sumber utamanya ialah cangkang Crustaceae, yaitu
udang, lobster, kepiting, dan hewan yang bercangkang lainnya, terutama asal
laut.(Amelia 2010). Dari Tabel 1 dibawah ini bahwa sumber kitin dan kitosan yang banyak
adalah terdapat pada udang-udangan (70%).

Tabel 1 Sumber Kitosan dan Kandungannya


Jenis Kadar Kitosan (%)
Jamur/ Cendawan
Cumi-cumi
Kalajengking
Laba-laba
Kumbang
Ulat sutra
Kepiting
Udang 5-20
3-20
30
38
35
44
69
70
(Manurung M 2005 dalam Amelia 2010)

2.4 Pemanfaatan Kitosan


Dalam industri pangan kitosan bermanfaat sebagai pengawet dan penstabil warna
produk. Secara kimia kitin adalah molekul besar (polimer). Senyawa ini tidak dapat
disintesis secara kimia dan tersusun oleh satuan molekul N-asetil-D-glukosamin. Bagian
asetil ini dibuang, maka akan memperoleh kitosan. Struktur ini memiliki fungsi yang lebih
bervariasi beberapa contoh aplikasi kitin dan kitosan dalam bidang nutrisi (suplemen dan
sumber serat), pangan (nutraceutical, flavor, pembentuk tekstur, emulsifier, penjernih
minuman), medis ( mengobati luka, contact lens, membran untuk dialisis darah,
antitumor), kesehatan kulit dan rambut (krim pelembab, hair care product), lingkungan
dan pertanian (penjernih air, menyimpan benih, fertilizer dan fungisida) lain-lain (proses
finishing kertas, menyerap warna pada produk cat dan sebagainya).

METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat


Praktikum pembuatan kitosan dilakukan pada tanggal 24 Februari 2011 sampai dengan
10 Maret 2011, pukul 15.00 WIB sampai dengan 18.00WIB. Praktikum bertempat di
Laboratorium Biokimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum pembuatan kitosan adalah cangkang udang,
cangkang rajungan, HCl 1N, NaOH 3N, dan akuades. Alat yang dibutuhkan adalah gelas
ukur, thermometer, kompor, timbangan digital, baskom, pengaduk, dan saringan.
3.3 Prosedur Kerja
Proses pembuatan kitosan diawali dengan persiapan bahan baku, pembuatan kitin, dan
yang terakhir adalah pembuatan kitosan. Persiapan bahan baku dimulai dengan udang
dan rajungan ditimbang dan dipreparasi, kemudian pencucian cangkang, penirisan,
penimbangan cangkang, pengeringan selama 1 minggu, dan terakhir penimbangan
bobot kering. Pembuatan kitin diawali dengan melakukan proses demineralisasi dan
deproteinasi. Cangkang udang yang telah kering kemudian ditimbang sesuai kebutuhan,
direndam dan dilakukan demineralisasi dengan HCl 1 N 1:7 selama 1 jam dengan suhu
90 oC kemudian didekantasi, netralisasi sampai pH 7, deproteinasi dengan NaOH 3N
1:10 dengan suhu 90 oC selama 1 jam kemudian didekantasi, netralisasi sampai pH 7
sehingga menjadi kitin. Tahap selanjutnya adalah pembuatan kitosan. Kitin yang telah
dihasilkan dari proses sebelumnya kemudian dideasetilasi dengan NaOH 50% selama 1
jam dengan suhu 140oC kemudian dinetralisasi sehingga menjadi kitosan. Digram alir
pembuatan kitosan dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
Limbah udang yang terdiri dari kepala dan kulit masih mempunyai kandungan nutrisi yang
cukup tinggi, yaitu 25–40 % protein, 45–50 % kalsium karbonat, 15-20 % kitin. Salah satu
alternatif upaya pemanfaatan limbah karapas udang agar memiliki nilai ekonomis tinggi
adalah pengolahan menjadi kitin dan kitosan (Altschul 1976 dalam Abun 2006).
Pemisahan kitin dan protein serta mineral yang terkandung dalam limbah udang dapat
dilakukan melalui dua proses, yaitu deproteinasi kemudian dilanjutkan demineralisasi
atau sebaliknya. Proses deproteinasi adalah proses untuk melepaskan protein yang
terikat pada kitin, adapun demineralisasi adalah proses untuk melepaskan mineral yang
terikat pada kitin. Tahap penghilangan mineral (demineralisasi) dapat dilakukan dengan
menambahkan larutan HCl. Proses penghilangan protein (deproteinasi) dapat dilakukan
dengan menggunakan larutan NaOH (Krissetiana 2004 dalam Abun 2006). Hasil
rendemen proses pembuatn kitin melalui proses demineralisasi dan deproteinasi dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Hasil rendemen kitin melalui proses demineralisasi dan deproteinasi
Kode Kitosan Bobot Rendemen (gram)
NI 8,28
DF 4,83
MA 9,76
IA 3,66
Keterangan : Kel 1 : Deproteinasi demineralisasi udang
Kel 2 : Demineralisasi deproteinasi udang
Kel 3 : Deproteinasi demineralisasi rajungan
Kel 4 : Demineralisasi deproteinasi rajungan

Sementara itu, karakteristik kitosan yang meliputi warna, aroma, kadar air, kadar abu dan
kadar nitrogen sangat penting untuk diketahui sebagai ukuran mutu dari kitosan yang
dihasilkan. Hasil uji karakteristik kitosan yang dihasilkan dari cangkang udang dan
cangkang rajungan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Uji Karakteristik kitosan cangkang udang dan cangkang rajungan


Kode kitosan Organoleptik Kadar Air Kadar abu Kadar nitrogen
NI Warna putih kekuningan
Aroma netral 16.75% 0% 5.25%
DF Warna putih kecoklatan
Aroma netral 16% 0% 5.62%
MA Warna putih kekuningan
Aroma netral 14.43% 9.9% 5.61%
IA Warna putih kekuningan
Aroma agak asam 15.84% 0.5% 5.46%
Keterangan : NI : Deproteinasi demineralisasi udang
DF : Demineralisasi deproteinasi udang
MA : Deproteinasi demineralisasi rajungan
IA : Demineralisasi deproteinasi rajungan

4.2 Pembahasan
Hasil pada Tabel 2 menunjukan bahwa hasil rendemen yang dihasilkan melalui proses
deproteinasi kemudian demineralisasi cangkang rajungan lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lain, akan tetapi di antara keempat perlakuan, udang menghasilkan
rendemen yang lebih baik daripada rajungan. Deproteinasi yang dilakukan lebih dulu
akan lebih menguntungkan, yaitu membentuk efek penstabilan pada limbah cangkang,
memaksimalkan produk dan kualitas protein terlarut. Namun apabila demineralisasi
dilakukan terlebih dahulu dapat terjadi kontaminasi cairan ekstrak mineral (Emmawati
2005). Melalui alasan inilah, maka hasil rendemen udang dan rajungan dengan proses
deproteinasi kemudian demineralisasi lebih besar dan lebih baik.
Hasil pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa karakteristik mutu kitosan yang meliputi warna,
bau, kadar air (%), kadar abu (%) dan kadar nitrogen (%) dapat menjadi faktor
pembanding untuk mendapatkan kitosan dengan kualitas yang baik. Kitosan yang
dihasilkan dari cangkang udang dengan proses demineralisasi kemudian dilanjutkan
dengan proses deproteinasi memiliki warna yang putih kecoklatan, aroma yang netral,
kadar air sebesar 16 %, kadar abu sebesar 0 % dan kadar nitrogen sebesar 5,62 %,
sedangkan untuk kitosan yang dihasilkan dengan proses demineralisasi kemudian
dilanjutkan dengan proses deproteinasi dari cangkang rajungan memiliki warna putih
kecoklatan, bau netral, kadar air sebesar 15,84 %, kadar abu sebesar 0,5 % dan kadar
nitrogen sebesar 5,46 %. Kitosan yang dihasilkan oleh udang dengan proses deproteinasi
kemudian dilanjutkan dengan proses demineralisasi memiliki warna yang putih
kekuningan, aroma yang netral, kadar air sebesar 16,75 %, kadar abu sebesar 0 % dan
kadar nitrogen sebesar 5,25 %, sedangkan untuk kitosan yang dihasilkan dari dari
cangkang rajungan memiliki warna putih kecoklatan, bau netral, kadar air sebesar 14,43
%, kadar abu sebesar 9,9 % dan kadar nitrogen sebesar 5,61 %.
Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral dan beberapa jenis
pigmen. Kulit udang mengandung sekitar 15-20 % kitin (Altschul 1976 dalam Sugita et al.
2009). Faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan karakteristik kitosan yang
dihasilkan adalah karena besarnya kitin yang dihasilkan tergantung pada jenis kelamin,
usia dan spesies udang (Altschul 1976 dalam Sugita et al. 2009). Standar mutu kitosan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Standar mutu kitosan
Parameter Nilai
Ukuran Partikel Serpihan-serbuk
Kadar air ≤ 10%
Kadar abu ≤ 2%
Kadar nitrogen ≤ 5%
Warna larutan Jernih
Derajat deasitlasi ≤ 70%
Viskositas (cps)
1. rendah 2000
Sumber : Suptijah et al 1992, diacu dalam Abun 2006
Berdasarkan data literatur pada Tabel 4 menunjukkan standar mutu kitosan untuk limbah
udang. Data di atas menunjukan bahwa kadar air minimal untuk kitosan ≤ 10 %, kadar
abu sebesar 2 %, kadar nitrogen 5 %, memiliki warna larutan yang jernih, kitosan beupa
serpihan hingga serbuk, dan memiliki derajat deasetilasi sekitar 70 % (Abun 2006).
Berdasarkan Tabel 3, kitosan yang dihasilkan oleh udang dan rajungan dalam praktikum
ini memiliki warna yang tidak sesuai dengan standar (Tabel 4) karena tidak berwarna
jernih, melainkan berwarna putih kekuningan dan putih kecoklatan dengan aroma netral.
Hal ini dapat disebabkan oleh kitosan yang dihasilkan masih mengandung pigmen
astaxanthin yang secara alami terkandung dalam cangkang udang. Proses dekolorisasi
diperlukan dalam proses pembuatan kitosan sehingga didapatkan kitosan yang berwarna
jernih (Multazam 2002 dalam Rochima 2007). Kitosan yang dihasilkan pada praktikum ini
memiliki bau yang netral, hal ini sesuai dengan standar mutu kitosan berdasarkan literatur
(Tabel 4).
Rajungan merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang penting bagi Indonesia.
Potensi rajungan saat ini cukup besar, yaitu mencapai 31.228 ton pada tahun 2002 (DKP
2004 dalam Hidayah 2004). Pada umumnya rajungan diekspor dalam bentuk daging
yang telah dipasteurisasi. Hasil samping pengolahan daging rajungan berupa cangkang.
Limbah ini belum termanfaatkan secara baik dan berdaya guna, bahkan sebagian besar
merupakan buangan yang juga turut mencemari lingkungan (Rochima 2007).
Limbah cangkang rajungan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kitin
dan kitosan. Untuk mendapatkan kitin dari cangkang rajungan, dilakukan proses isolasi
kitin yang terdiri dari dari dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral (demineralisasi) dan
pemisahan protein (deproteinasi) (Suptijah et al. 1992 dalam Rochima 2007).
Deproteinasi dapat dilakukan sebelum maupun sesudah demineralisasi. Deproteinasi
dilakukan lebih dahulu bila protein akan dimanfaatkan lebih lanjut (Knoor 1982 dalam
Emmawati 2005). Deproteinasi dilakukan lebih dahulu karena lebih menguntungkan,
yaitu membentuk efek penstabilan pada limbah cangkang, memaksimalkan produk dan
kualitas protein terlarut. Namun apabila demineralisasi dilakukan terlebih dahulu dapat
terjadi kontaminasi cairan ekstrak mineral (Emmawati 2005).
Menurut Akta (2007), kitosan yang terkandung dalam kulit udang dan rajungan berkisar
15-20 %. Terdapat kaitan antara berat molekul dengan rendemen kitosan yang
dihasilkan. Rendemen kitosan menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi
larutan NaOH dan suhu. Hasil analisis karakteristik kitosan cangkang rajungan berwarna
putih kekuningan dan beraroma netral. Warna yang dihasilkan berbeda dengan literatur.
Hal ini diduga karena masih terdapat komponen pengotor di dalam kitosan yang
dihasilkan. Standar mutu kitosan rajungan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis karakteristik kitosan rajungan


Parameter Ciri
Kadar air (%) ≤ 10,0
Kadar abu (%) ≤ 2,0
Warna Tidak berwarna
Sumber : Sugita et al. (2009)
Kadar air kitosan udang yang diperoleh pada praktikum ini adalah sebesar 16%-16,75%.
Nilai ini lebih besar bila dibandingkan dengan literatur, yaitu menurut Multazam (2002)
dalam Rochima (2007) kadar air kitosan dari cangkang udang adalah ≤10%. Kadar air
kitosan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH serta suhu deasetilase yang digunakan.
Kadar air pada kitosan dipengaruhi oleh proses pengeringan, lama pengeringan yang
dilakukan, jumlah kitosan yang dikeringkan, dan luas permukaan tempat kitosan
dikeringkan (Saleh et al 2003 dalam Abun 2006). Pengeringan yang dilakukan pada
praktikum ini adalah dengan menggunakan sinar matahari. Panas sinar matahari sangat
mempengaruhi proses pengeringan kitosan. Panas yang stabil akan menyebabkan
proses pengeringan berlangsung sempurna sehingga kadar air yang terkandung dalam
kitosan menjadi rendah. Tingginya kadar air kitosan dari cangkang udang yang dihasilkan
dapat disebabkan oleh tidak sempurnanya proses pengeringan yang dilakukan serta
waktu pengeringan terlalu pendek sehingga kadar airnya masih cukup tinggi.
Kadar abu kitosan dipengaruhi oleh proses demineralisasi dan pencucian. Nilai kadar
abu kitosan udang yang diperoleh dari praktikum sebesar 0 %, hal ini sesuai dengan
literatur pada Tabel 4 yang menandakan bahwa proses demineralisasi berjalan dengan
baik. Kadar abu yang yang tinggi menunjukkan kandungan mineral yang tinggi. Semakin
tinggi kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan tingkat kemurnian kitosan tersebut
semakin rendah. Besarnya nilai kadar abu dipengaruhi oleh pencucian. Proses pencucian
yang baik hingga pH netral berpengaruh terhadap kadar abu. Dengan pencucian ini,
mineral yang telah terlepas dari bahan dan berikatan dengan pelarut dapat terbuang dan
larut bersama air (Angka dan Suhartono 2000 dalam Abun 2006). Pencucian yang kurang
sempurna akan mengakibatkan mineral yang telah terlepas dapat melekat kembali pada
molekul kitosan, sehingga kitosan masih mengandung kadar abu yang tinggi.
Kadar air dari kitosan yang dihasilkan pada praktikum ini adalah 14,43 – 15, 84 % ; kadar
abu 0,5-9,9% dan kadar nitrogen 5,46-5,61%. Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa kadar
air dan kadar abu kitosan rajungan lebih tinggi dibandingkan dengan literatur. Kadar air
kitosan rajungan praktikum yang cukup tinggi dapat disebabkan oleh masih tingginya
kadar air pada bahan. Kadar abu kitosan rajungan cukup tinggi yang menunjukkan
kandungan mineralnya cukup besar. Proses pencucian kitosan sampai pH netral
berpengaruh terhadap kadar abu. Pencucian mengakibatkan mineral yang telah terlepas
dari bahan dan berikatan dengan pelarut dapat terbuang bersama air (Angka dan
Suhartono 2000 dalam Abun 2006). Oleh karena itu pencucian yang kurang sempurna
mengakibatkan mineral terlarut dapat melekat kembali pada permukaan kitin.
Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang berinteraksi dengan gugus lainnya. Kadar
nitrogen yang terkandung dalam kitosan udang yang dihasilkan dalam praktikum ini yaitu
sebesar 5,25-5,62 % cukup melebihi batas literatur pada Tabel 3. Menurut Hong et al.
(1989) dalam Abun (2006) kadar total nitrogen yang tersisa dalam deproteinisasi dapat
dijadikan sebagai indikator proses deproteinasi. Efektivitas deproteinisasi dapat dlihat
dari penurunan kadar nitrogen pada kitosan yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi
NaOH dan semakin tinggi suhu deasetilasi maka kadar nitrogen cenderung semakin
kecil. Hal Ini didukung dengan pernyataan Benjukula dan Sophanodora (1993) dalam
Abun (2006) bahwa total kadar nitrogen berupa protein yang dapat dihilangkan sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang digunakan, waktu eksraksi dan suhu ekstraksi.
Protein yang masih terikat setelah proses deproteinasi akan semakin sedikit jumlahnya
apabila proses deasetilasi dilakukan dengan suhu yang semakin meningkat dan
konsentrasi NaOH yang tinggi (Abun 2006).
Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang berinteraksi dengan gugus lainnya.
Menurut Hang et al. 1989 dalam Abun 2006, kadar total nitrogen yang tersisa dalam
deproteinasi dapat dijadikan sebagai indikator proses deproteinasi. Menurut Abun (2006),
semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin tinggi suhu deasetilasi maka kadar
nitrogen cenderung semakin kecil. Kadar nitrogen kitosan rajungan yang dihasilkan
menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH dan suhu deasetilasi yang digunakan pada
praktikum ini cukup baik.
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kitosan adalah turunan kitin yang hanya dibedakan oleh gugus radikal CH3 dan CO-
pada struktur polimernya. Kitosan merupakan senyawa kimia yang berasal dari bahan
hayati kitin, umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelmpok
Arthopoda, Molusca, Coelenterata, Annelida, Nematoda, dan beberapa dari kelompok
jamur. Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian
insang ikan, trachea, dinding usus dan pada kulit cumi-cumi dan beberapa dari kelompok
jamur. Kitosan yang dihasilkan oleh udang dari proses demineralisasi-deproteinasi
memiliki warna putih kecoklatan, aroma yang netral, kadar air sebesar 16%, kadar abu
sebesar 0% dan kadarnitrogen sebesar 5,62%. Kitosan yang dihasilkan oleh rajungan
dari proses demineralisasi-deproteinasi memiliki warna putih kecoklatan, aroma yang
netral, kadar air sebesar 15,84%, kadar abu sebesar 0,5% dan kadar nitrogen sebesar
5,46%. Kitosan yang dihasilkan oleh udang dari proses deproteinasi- demineralisasi
memiliki warna putih kekuningan, aroma yang netral, kadar air sebesar 16,75%, kadar
abu sebesar 0% dan kadar nitrogen sebesar 5,25%. Kitosan yang dihasilkan oleh kitosan
dari proses deproteinasi-demineralisasi memiliki warna putih kecoklatan, aroma yang
netral, kadar air sebesar 14,43%, kadar abu sebesar 9,9% dan kadar nitrogen sebesar
5,61%. Kitosan dengan mutu terbaik dihasilkan oleh kitosan dari bahan baku udang
melauli proses deproteinasi-demineralisasi.

5.2 Saran
Praktikum selanjutnya dapat dilakukan ekstraksi kitosan dengan metode yang berbeda
agar dapat dibandingkan efektifitas metode dalam menghasilkan kitosan.

DAFTAR PUSTAKA

Abun. 2006 Bioproses limbah udang windu melalui tahapan deproteinasi dan
demineralisasi terhadap protein dan mineral terlarut. Jurnal Perikanan 3 : 12-15.
Amalia KP. 2007. Karakterisasi fisika kimia surimi cumi-cumi (Loligo sp.) [skripsi] Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Amelia M. 2010. Studi kelarutan kitosan dalam larutan asam askorbat [skripsi] Medan:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatra Utara.
Emmawati A. 2005. Produksi kitosan dengan kombinasi metode kimia dan enzimatis
menggunakan NaOH dan kitin deasetilase [tesis] Bogor:Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Hargono. 2009. Pembuatan kitosan dari limbah cangkang udang serta aplikasinya dalam
mereduksi kolesterol lemak kambing. jreaktor.undip.ac.id [29 April 2011].
Rochmina. 2007. Karakterisasi kitin dan kitosan asal limbah rajungan Cirebon, Jawa
Barat [makalah ilmiah] Jatinangor: Universitas Padjajaran.
Shofyan. 2009. Sifat kitosan. http://www.forum.upi.edu [29 April 2011].
Sugita P. 2009. Kitosan Sebagai Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press.
Suhardi. 1992. Kitin dan Kitosan. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suhartono TM. 2006. Pemanfaatan kitosan. http://www.forum.upi.edu [27 April 2011].
Suptijah P. 2004. Tingkat kitosan hasil modifikasi proses produksi. Buletin Teknologi Hasil
Perikanan 7 (1): 1-9
Tajik H, Moradi M, Rohani, Erfani, Jalali. Preparation of chitosan from brine shrimp
(Artemia urmiana) cyst shells and effect of different chemical processing sequences on
the physicochemical and fuctional properties of the product. Molecules Article 13: 1263-
1274.
Wardaniati dan Setyaningsih. 2010. Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang Dan
Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.[makalah]. Semarang: Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknik Kimia, Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai