Saya memiliki minat pada pengelolaan limbah. Laporan di bawah ini yang berjudul
“Pembuatan Kitin dan Kitosan” adalah salah satu laporan yang membuat saya tertarik.
Saat saya masih SMA, saya pernah membuat percobaan kecil untuk membuat kitosan
sebagai adsorben logam, khususnya logam Fe. Tetapi saya gagal dalam melakukan
percobaan. Saya ingin Komunitas Nanoteknologi ini dapat memfasilitasi keinginan saya
untuk meneliti lebih lanjut karena nanoteknologi masih jarang di kembangkan di
Indonesia.
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Praktikum proses pembuatan kitin dan kitosan dilakukan untuk menentukan persentase
kitin yang dihasilkan dan persentase kitosan dengan mengkonversi kitin yang ada.
Praktikum ini juga dilakukan untuk mengetahui kelarutan kitosan pada beberapa
konsentrasi asam asetat.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kitosan
Kitosan adalah turunan kitin yang hanya dibedakan oleh gugus radikal CH3, dan CO-
pada struktur polimernya. Kitosan merupakan senyawa kimia yang berasal dari bahan
hayati kitin, umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelompok
Arthopoda sp., Molusca sp., Coelenterata sp., Annelida sp., Nematoda sp., bagian insang
ikan, trachea, dinding usus, kulit cumi-cumi dan beberapa dari kelompok jamur. Namun
sumber utamanya ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan
hewan yang bercangkang lainnya, terutama yang berasal dari laut yang diperoleh dari
hasil deasetilasi dari senyawa kitin (Shofyan 2009).
Kitosan mempunyai sifat antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari kitin. Sifat kitin dan
kitosan dapat mengikat air dan lemak. Karena sifatnya yang dapat bereaksi dengan
asam-asam seperti polifenol, maka kitosan sangat cocok untuk menurunkan kadar asam
pada buah-buahan, sayuran dan ekstrak kopi. Kitosan mempunyai sifat polikationik,
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal (Shofyan 2009).
Bila dikonsumsi di dalam tubuh manusia kitosan bisa berfungsi menyerap lemak.
Kemampuan kitosan untuk menyerap lemak tergantung pada derajat deasetilasinya.
Derajat deasetilasi kitosan paling tinggi adalah 82,98% yang didapat dari proses
deasetilasi menggunakan konsentrasi NaOH 50%, sedangkan kondisi yang efektif proses
penyerapan lemak adalah pada konsentrasi (g/ml) berat kitosan 5 gr di dalam 50 ml lemak
serta waktu penyerapani lemak 60 menit menunjukkan derajad penyerapan kolesterol
sebesar 45,46% (Hargono dkk 2009).
METODOLOGI
Sementara itu, karakteristik kitosan yang meliputi warna, aroma, kadar air, kadar abu dan
kadar nitrogen sangat penting untuk diketahui sebagai ukuran mutu dari kitosan yang
dihasilkan. Hasil uji karakteristik kitosan yang dihasilkan dari cangkang udang dan
cangkang rajungan dapat dilihat pada Tabel 3.
4.2 Pembahasan
Hasil pada Tabel 2 menunjukan bahwa hasil rendemen yang dihasilkan melalui proses
deproteinasi kemudian demineralisasi cangkang rajungan lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lain, akan tetapi di antara keempat perlakuan, udang menghasilkan
rendemen yang lebih baik daripada rajungan. Deproteinasi yang dilakukan lebih dulu
akan lebih menguntungkan, yaitu membentuk efek penstabilan pada limbah cangkang,
memaksimalkan produk dan kualitas protein terlarut. Namun apabila demineralisasi
dilakukan terlebih dahulu dapat terjadi kontaminasi cairan ekstrak mineral (Emmawati
2005). Melalui alasan inilah, maka hasil rendemen udang dan rajungan dengan proses
deproteinasi kemudian demineralisasi lebih besar dan lebih baik.
Hasil pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa karakteristik mutu kitosan yang meliputi warna,
bau, kadar air (%), kadar abu (%) dan kadar nitrogen (%) dapat menjadi faktor
pembanding untuk mendapatkan kitosan dengan kualitas yang baik. Kitosan yang
dihasilkan dari cangkang udang dengan proses demineralisasi kemudian dilanjutkan
dengan proses deproteinasi memiliki warna yang putih kecoklatan, aroma yang netral,
kadar air sebesar 16 %, kadar abu sebesar 0 % dan kadar nitrogen sebesar 5,62 %,
sedangkan untuk kitosan yang dihasilkan dengan proses demineralisasi kemudian
dilanjutkan dengan proses deproteinasi dari cangkang rajungan memiliki warna putih
kecoklatan, bau netral, kadar air sebesar 15,84 %, kadar abu sebesar 0,5 % dan kadar
nitrogen sebesar 5,46 %. Kitosan yang dihasilkan oleh udang dengan proses deproteinasi
kemudian dilanjutkan dengan proses demineralisasi memiliki warna yang putih
kekuningan, aroma yang netral, kadar air sebesar 16,75 %, kadar abu sebesar 0 % dan
kadar nitrogen sebesar 5,25 %, sedangkan untuk kitosan yang dihasilkan dari dari
cangkang rajungan memiliki warna putih kecoklatan, bau netral, kadar air sebesar 14,43
%, kadar abu sebesar 9,9 % dan kadar nitrogen sebesar 5,61 %.
Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral dan beberapa jenis
pigmen. Kulit udang mengandung sekitar 15-20 % kitin (Altschul 1976 dalam Sugita et al.
2009). Faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan karakteristik kitosan yang
dihasilkan adalah karena besarnya kitin yang dihasilkan tergantung pada jenis kelamin,
usia dan spesies udang (Altschul 1976 dalam Sugita et al. 2009). Standar mutu kitosan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Standar mutu kitosan
Parameter Nilai
Ukuran Partikel Serpihan-serbuk
Kadar air ≤ 10%
Kadar abu ≤ 2%
Kadar nitrogen ≤ 5%
Warna larutan Jernih
Derajat deasitlasi ≤ 70%
Viskositas (cps)
1. rendah 2000
Sumber : Suptijah et al 1992, diacu dalam Abun 2006
Berdasarkan data literatur pada Tabel 4 menunjukkan standar mutu kitosan untuk limbah
udang. Data di atas menunjukan bahwa kadar air minimal untuk kitosan ≤ 10 %, kadar
abu sebesar 2 %, kadar nitrogen 5 %, memiliki warna larutan yang jernih, kitosan beupa
serpihan hingga serbuk, dan memiliki derajat deasetilasi sekitar 70 % (Abun 2006).
Berdasarkan Tabel 3, kitosan yang dihasilkan oleh udang dan rajungan dalam praktikum
ini memiliki warna yang tidak sesuai dengan standar (Tabel 4) karena tidak berwarna
jernih, melainkan berwarna putih kekuningan dan putih kecoklatan dengan aroma netral.
Hal ini dapat disebabkan oleh kitosan yang dihasilkan masih mengandung pigmen
astaxanthin yang secara alami terkandung dalam cangkang udang. Proses dekolorisasi
diperlukan dalam proses pembuatan kitosan sehingga didapatkan kitosan yang berwarna
jernih (Multazam 2002 dalam Rochima 2007). Kitosan yang dihasilkan pada praktikum ini
memiliki bau yang netral, hal ini sesuai dengan standar mutu kitosan berdasarkan literatur
(Tabel 4).
Rajungan merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang penting bagi Indonesia.
Potensi rajungan saat ini cukup besar, yaitu mencapai 31.228 ton pada tahun 2002 (DKP
2004 dalam Hidayah 2004). Pada umumnya rajungan diekspor dalam bentuk daging
yang telah dipasteurisasi. Hasil samping pengolahan daging rajungan berupa cangkang.
Limbah ini belum termanfaatkan secara baik dan berdaya guna, bahkan sebagian besar
merupakan buangan yang juga turut mencemari lingkungan (Rochima 2007).
Limbah cangkang rajungan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kitin
dan kitosan. Untuk mendapatkan kitin dari cangkang rajungan, dilakukan proses isolasi
kitin yang terdiri dari dari dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral (demineralisasi) dan
pemisahan protein (deproteinasi) (Suptijah et al. 1992 dalam Rochima 2007).
Deproteinasi dapat dilakukan sebelum maupun sesudah demineralisasi. Deproteinasi
dilakukan lebih dahulu bila protein akan dimanfaatkan lebih lanjut (Knoor 1982 dalam
Emmawati 2005). Deproteinasi dilakukan lebih dahulu karena lebih menguntungkan,
yaitu membentuk efek penstabilan pada limbah cangkang, memaksimalkan produk dan
kualitas protein terlarut. Namun apabila demineralisasi dilakukan terlebih dahulu dapat
terjadi kontaminasi cairan ekstrak mineral (Emmawati 2005).
Menurut Akta (2007), kitosan yang terkandung dalam kulit udang dan rajungan berkisar
15-20 %. Terdapat kaitan antara berat molekul dengan rendemen kitosan yang
dihasilkan. Rendemen kitosan menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi
larutan NaOH dan suhu. Hasil analisis karakteristik kitosan cangkang rajungan berwarna
putih kekuningan dan beraroma netral. Warna yang dihasilkan berbeda dengan literatur.
Hal ini diduga karena masih terdapat komponen pengotor di dalam kitosan yang
dihasilkan. Standar mutu kitosan rajungan dapat dilihat pada Tabel 5.
5.1 Kesimpulan
Kitosan adalah turunan kitin yang hanya dibedakan oleh gugus radikal CH3 dan CO-
pada struktur polimernya. Kitosan merupakan senyawa kimia yang berasal dari bahan
hayati kitin, umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelmpok
Arthopoda, Molusca, Coelenterata, Annelida, Nematoda, dan beberapa dari kelompok
jamur. Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian
insang ikan, trachea, dinding usus dan pada kulit cumi-cumi dan beberapa dari kelompok
jamur. Kitosan yang dihasilkan oleh udang dari proses demineralisasi-deproteinasi
memiliki warna putih kecoklatan, aroma yang netral, kadar air sebesar 16%, kadar abu
sebesar 0% dan kadarnitrogen sebesar 5,62%. Kitosan yang dihasilkan oleh rajungan
dari proses demineralisasi-deproteinasi memiliki warna putih kecoklatan, aroma yang
netral, kadar air sebesar 15,84%, kadar abu sebesar 0,5% dan kadar nitrogen sebesar
5,46%. Kitosan yang dihasilkan oleh udang dari proses deproteinasi- demineralisasi
memiliki warna putih kekuningan, aroma yang netral, kadar air sebesar 16,75%, kadar
abu sebesar 0% dan kadar nitrogen sebesar 5,25%. Kitosan yang dihasilkan oleh kitosan
dari proses deproteinasi-demineralisasi memiliki warna putih kecoklatan, aroma yang
netral, kadar air sebesar 14,43%, kadar abu sebesar 9,9% dan kadar nitrogen sebesar
5,61%. Kitosan dengan mutu terbaik dihasilkan oleh kitosan dari bahan baku udang
melauli proses deproteinasi-demineralisasi.
5.2 Saran
Praktikum selanjutnya dapat dilakukan ekstraksi kitosan dengan metode yang berbeda
agar dapat dibandingkan efektifitas metode dalam menghasilkan kitosan.
DAFTAR PUSTAKA
Abun. 2006 Bioproses limbah udang windu melalui tahapan deproteinasi dan
demineralisasi terhadap protein dan mineral terlarut. Jurnal Perikanan 3 : 12-15.
Amalia KP. 2007. Karakterisasi fisika kimia surimi cumi-cumi (Loligo sp.) [skripsi] Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Amelia M. 2010. Studi kelarutan kitosan dalam larutan asam askorbat [skripsi] Medan:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatra Utara.
Emmawati A. 2005. Produksi kitosan dengan kombinasi metode kimia dan enzimatis
menggunakan NaOH dan kitin deasetilase [tesis] Bogor:Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Hargono. 2009. Pembuatan kitosan dari limbah cangkang udang serta aplikasinya dalam
mereduksi kolesterol lemak kambing. jreaktor.undip.ac.id [29 April 2011].
Rochmina. 2007. Karakterisasi kitin dan kitosan asal limbah rajungan Cirebon, Jawa
Barat [makalah ilmiah] Jatinangor: Universitas Padjajaran.
Shofyan. 2009. Sifat kitosan. http://www.forum.upi.edu [29 April 2011].
Sugita P. 2009. Kitosan Sebagai Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press.
Suhardi. 1992. Kitin dan Kitosan. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suhartono TM. 2006. Pemanfaatan kitosan. http://www.forum.upi.edu [27 April 2011].
Suptijah P. 2004. Tingkat kitosan hasil modifikasi proses produksi. Buletin Teknologi Hasil
Perikanan 7 (1): 1-9
Tajik H, Moradi M, Rohani, Erfani, Jalali. Preparation of chitosan from brine shrimp
(Artemia urmiana) cyst shells and effect of different chemical processing sequences on
the physicochemical and fuctional properties of the product. Molecules Article 13: 1263-
1274.
Wardaniati dan Setyaningsih. 2010. Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang Dan
Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.[makalah]. Semarang: Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknik Kimia, Universitas Diponegoro