Disusun Oleh
Kelompok I / Jinayah V D
TA.2018/2019
0
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................................. 3
PENUTUP ......................................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 16
B. Saran ......................................................................................................................................... 16
Daftar Pustaka.................................................................................................................................. 17
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kerusakan di lingkungan kita semakin merajalela. Mulai dari kerusakan
moral, politik dan agama. Hal yang sangat miris bila kita ungkap fakta penyimpangan seksual di
kalangan remaja, mulai dari perzinahaan sampai onani dan masturbasi. Lalu sebenarnya apa faktor
yang menyebabkan terjadinya kemungkaran ini? Bagaimana pula islam menghukuminya? Serta
bagaimana solusi dari masalah ini? Berikut kami sebagai penulis akan mencoba menjelaskan sedikit
pertanyaa-pertanyaan yang ada dalam benak orang-orang yang berfikir .
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Onani/Masturbasi
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Onani/Masturbasi
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan (Pengertian Onani Dari Berbagai Prespektif)
1. Menurut Bahasa Atau Istilah Onani atau Istimna’ menurut bahasa adalah mengeluarkan
sperma atau air mani dengan menggunakan tangannya atau yang lain, tidak dengan sewajarnya.
Sedangkan Masturbasi berasal dari bahasa latin yang artinya mengotori diri dengan tangannya.1
Dalam bahasa arab, lafadz istimna’ berasal dari kata mana’a, berbentuk masdar dan
merupakan isim ghoiru munshorif yang berarti mencari kenikmatan dengan cara melampiaskan
hawa nafsu, sehingga jika diartikan dalam kamus bahasa arab menjadi : sebuah bentuk aktifitas
untuk melampiaskan hawa nafsunya yang bertujuan mencapai puncak kenikmatan seksual yaitu
(orgasme) bagi kaum perempuan dan mengeluarkan mani (sperma) bagi kaum laki- laki.2
Robert Cham Tham dalam bukunya Advice to Woman yang dikutip oleh Taufiq F.
Adisusilo dalam bukunya yang berjudul Masturbasi A sampai Z mendefinisikan tentang masturbasi
adalah : Merangsang berbagai bagian tubuh, khususnya daerah – daerah yang disebut erotic zone
atau daerah peka seks yang tujuannya untuk mengugah gairah seks sampai mencapai orgasme.3
2. Menurut Perspektif
Fiqh Istimna’ atau onani yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya
adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.
Pada umumnya, istimna’ atau onani itu dilakukan oleh kalangan remaja, Tetapi ada juga
orang dewasa yang masih melakukannya, lebih– lebih bagi yang nafsu seksualnya sangat kuat dan
belum kawin. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum istimna’. Pengikut madzhab
Maliki, pengikut madzhab Syafi’i dan pengikut Zaid mengharamkan secara mutlak, dengan
menyandarkan firman Allah SWT surat Mu’minun ayat 5 – 7, sebagai dalil atas haramnya istimna’
itu. Pengikut Imam Hanafi berpendapat bahwa istimna’ adalah haram dalam suatu keadaan dan
wajib dalam suatu keadaan yang lain. Pengikut Hambali mengatakan bahwa istimna’ hukumnya
haram kecuali jika takut akan merusak kesehatan sedang ia tidak punya istri dan tidak mampu untuk
1
. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983), hal. 813
2
. Asy-Syinqiti, Azwa’ al-Bayan fi lyzhah al-Qur’an bi al-Qur’an (Al-Qahirah: Maktabah Ibnu Taymiyah, 1988),
V: 768.
3. Taufiq F. Adisusilo, Masturbasi A sampai Z, (tanpa Kota : Yayasan Rama Shinta, tanpa tahun), hal.2
3
melangsungkan pernikahan. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa istimna’ adalah haram
karena merusak unsur etika dan akhlaq yang terpuji.4 “Sebagian ulama fiqh termasuk Ibnu Hazm
dan ahli kedokteran memeperbolehkan (bukan menghalalkan) istimna’ dan dihukumkan sebagai
perbuatan makruh dan paling berat subhat”.5
Onani atau istimna’ adalah menyalurkan hasrat seksual dengan cara merangsang alat
kelamin menggunakan gerakan tangan dan atau alat bantu lainnya untuk mencapai pemuasan naluri
seks dengan tujuan akhir orgasme. Sedangkan efek masturbasi oleh beberapa pakar medis tidak
mengakibatkan efek serius dalam bidang kesehatan. Akan tetapi, sering mengalami kesulitan dalam
melaksanakan tugas atau pekerjaan karena fisik cepat lemas dan lelah, tangan sering gemetar
ringan, dan gangguan peradangan yang berakibat meningkatnya kepekaan saluran urin berupa
ejakulasi prematur. Istimna’ atau onani disebut juga “zelfbevlekking” atau aktivitas penodaan diri.6
1. Hukum Onani
Mengenai hukum masturbasi, onani atau yang dikenal syari’at dengan istimna’, ulama sudah
banyak yang memperbincangkannya. Salah satunya Imām al-Syāfi’i. Beliau menyatakan haramnya
onani atau istimna’. Dasarnya adalah firman Allah swt. :
Artinya : (5) Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,(6) Kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
4
. M. Ali Chasan Umar, Kejahatan Seks dan Kehamilan di Luar Nikah dalam Pandangan Islam, (Semarang: CV. Panca Agung, 1990),
hal. 94-96
5
. Abul Hussein Muslim bin Hujjaj Al- Qusyairi An Naisaburi, Himpunan Hadist Shahih Muslim (Al- Jami’ush Shahih), Hussein Khalid
Bahresy, pent. (Surabaya: AlIkhlas, 1987), hal. 292.
6
. Moh. Rasyid, Pendidikan Seks- Mengubah Seks Abnormal Menuju Seks Yang Lebih Bermoral, (Semarang: Syi’ar Media Publishing,
2007), hal. 153
4
1. Argumen beliau, “Karena perbuatan itu (istimna’) tidak termasuk dari dua hal yang disebutkan
dalam ayat di atas.” Dua hal yang dimaksudkan beliau adalah berjima’ dengan isteri dan budak.
2. Firman Allah swt. di ayat selanjutnya semakin menguatkan pendapat Imam Syafi’i tentang
haramnya istimna’ yaitu
Di antara sifat mulia dari orang-orang yang beriman disebutkan dalam surat al-Mukminun ayat lima
sampai tujuh. Mereka memelihara kemaluannya. Tak mengumbarnya sembarangan atau disalurkan
pada jalur menyimpang. Bahkan mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya hanya kepada isteri
pendamping mereka. Atau kalau tidak kepada budak-budak wanita yang mereka punya. Dua tempat
inilah pilihan aman yang diperbolehkan. Sedangkan istimna’? Tak tercantum dalam ayat ini. Karena
itu ia termasuk kategori firman Allah swt. dalam surat alMukminun ayat tujuh, yaitu mencari di
balik hubungan resmi. Orang yang seperti ini termasuk orang yang melampaui batas.
3. Oleh karena itu Imām Syāfi’i mengatakan, “Maka tidak dibolehkan melakukan jima’ kecuali
dengan para isteri dan budak-budak yang dimiliki. Juga tidak dibolehkan melakukan
istimna’(onani).”8
Berbeda dengan pendapat Imām al-Syāfi’i mengenai istimna’ ini, Ibnu Hazm mengatakan
bahwa istimna’ atau onani atau masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Itsma fihi].
Akan tetapi, menurutnya istimna’ atau onani atau masturbasi dapat diharamkan karena merusak
etika dan budi luhur yang terpuji. Ibnu Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu
pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya
diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada
tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-
Ta’ammud lῑ Nuzul al-Manῑy] sewaktu melakukan istimna’. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat
diharamkan. Karena dalam al-Qur’an Allah berfirman:
Sebagaimana diriwayatkan juga oleh Atho’, yaitu madzhab Ibnu Hazm yang memakruhkan
perbuatan istimna’ atau onani atau masturbasi.
7
. Q. S. Al-Mu’minun : (5-7)
8
. Majalah Remaja Islami "el-Fata", Jika Seks……, Edisi 11/ III/ 2003, hlm. 18.
5
Ibnu hazm juga berpendapat, walaupun berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan
bahwa perbuatan istimna’ atau onani tidak haram, kita tetap membencinya, mengingat perbuatan itu
tidak terpuji dan tidak tergolong akhlakul karimah. Dan karena Allah tidak menjelaskan bahwa
perbuatan istimna’ atau onani sebagai hal yang haram, maka perbuatan itu merupakan atau
termasuk yang dibolehkan. Ditegaskan dalam Firman-Nya Q.S Al-Baqarah:29:
س َّوا ُه َّن
َ َاء ف
ِ س َم ِ ُه َو الَّذِي َخلَقَ لَ ُك ْم َما فِي ْاْل َ ْر
َّ ض َج ِميعًا ث ُ َّم ا ْستَ َو ٰى إِلَى ال
ٌ ع ِليم َ ت ۚ َو ُه َو ِب ُك ِل
َ ٍش ْيء ٍ س َم َاوا
َ س ْب َع
َ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Hampir sama dengan landasan hukum diatas, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Al Hasan dan
sebagian ulama tabi’in juga berpendapat bahwa air mani atau sperma adalah barang kelebihan oleh
karena itu boleh dikeluarkan sebagaimana memotong daging lebih.9 Pendapat ini diperkuat oleh
Ibnu Hazm, dengan memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara, yaitu :
Dari berbagai uraian pendapat diatas, macam – macam aktivitas istimna’/ onani dapat di bagi
menjadi dua, yaitu :
1. Istimna’ secara aktif, yaitu aktifitas istimna’ atau onani dengan media tangan sendiri dan atau
dengan menggunakan alat bantu namun tanpa bantuan tangan orang lain.
2. Istimna’ secara pasif, yaitu aktifitas istimna’ atau onani dengan media tangan orang lain dan atau
alat bantu bisa disebut dengan bantuan orang lain.
Pendapat seperti ini dapat menjadi solusi penting ketika ada kekhawatiran yang kuat akan
terjatuh dalam perbuatan– perbuatan yang terlarang. Namun cara yang terbaik adalah mengikuti
petunjuk Rasul dalam sebuah hadist beliau bersabda yang artinya : “hai para pemuda, barang siapa
di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan
9
. Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426
6
dan memelihara kemaluan; tetapi barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa,
sebab puasa itu baginya merupakan pelindung.”10
Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan atau anggota tubuh lainnya dari istri atau
budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman
bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah SWT. Demikian pula
hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak). Karena
tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang
membedakannya, Wallahu a’lam. Dalil yang mendasari keumuman pendapat ini adalah
sebagaimana Firman Allah SWT
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk AlImam Ahmad ra. memberi
toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat. Namun
nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani ra. dalam Tamamul
Minnah hal.420-421: “ Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir
terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang
diperintahkan oleh Nabi SAW), yaitu sabda Nabi SAW kepada kaum pemuda dalam hadits yang
sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda yang atinya sebagai
berikut :
10
. Ahsin, W. Al- Hafidz, Fikih Kesehatan (jakarta: Amzah 2007), hlm. 242
7
Disamping itu, Ibnu Hazm juga menyandarkan keumumam ayat tentang etika menggauli
istri sebagaiamana Firman ALLAH SWT, yaitu :
َّ سا ُؤ ُك ْم َح ْرث لَ ُك ْم فَأْتُوا َح ْرثَ ُك ْم أَنَّ ٰى ِشئْت ُ ْم ۖ َوقَ ِد ُموا ِْل َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َواتَّقُوا
َّللاَ َوا ْعلَ ُموا َ ِن
َأَنَّ ُك ْم ُم ََلقُوهُ ۗ َوبَش ِِر ْال ُمؤْ ِمنِين
Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak
akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” Q.S Al-Baqarah ; 223
Dari beberapa uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa batasan – batasan pelaku yang
diperbolehkan dalam istimna’ menurut pendapat Ibnu Hazm adalah bercampurnya suami istri atau
tuan dengan budaknya yang melakukan istimta’ yang mungkin didalamnya termasuk istimna’
ketika istri sedang mengalami haid atau sebagai alternatif dalam hubungan jima’ suami istri dan
sesuai dengan firman ALLAH SWT serta dasar hukum yang sudah terurai dalam pembahasan bab
ini.
ظنَ فُ ُرو َج ُه َّن َو ََّل يُ ْبدِينَ ِزينَت َ ُه َّن إِ ََّّل ْ َار ِه َّن َويَ ْحف
ِ ص َ ضضْنَ ِم ْن أَ ْب ُ ت يَ ْغ ِ َوقُ ْل ِل ْل ُمؤْ ِمنَا
علَ ٰى ُجيُو ِب ِه َّن ۖ َو ََّل يُ ْبدِينَ ِزينَت َ ُه َّن ِإ ََّّل ِلبُعُو َلتِ ِه َّن َ ظ َه َر ِم ْن َها ۖ َو ْل َيض ِْر ْبنَ ِب ُخ ُم ِر ِه َّن
َ َما
11
. Al- Albani Ra. , Tamamul Minnah, hlm. 420-42
8
َاء بُعُولَ ِت ِه َّن أَ ْو إِ ْخ َوا ِن ِه َّن أَ ْو َب ِني
ِ اء بُعُولَ ِت ِه َّن أَ ْو أَ ْبنَا ِئ ِه َّن أَ ْو أَ ْبن
ِ أَ ْو آ َبا ِئ ِه َّن أَ ْو آ َب
غي ِْر أُو ِلي
َ َت أَ ْي َمانُ ُه َّن أ َ ِو التَّا ِب ِعين ْ سائِ ِه َّن أَ ْو َما َملَ َك َ ِِإ ْخ َوانِ ِه َّن أَ ْو بَنِي أَخ ََواتِ ِه َّن أَ ْو ن
َاء ۖ َو ََّل يَض ِْربْن ِ س َ ِت الن ِ ع ْو َراَ علَ ٰى ْ َالط ْف ِل الَّذِينَ لَ ْم ي
َ ظ َه ُروا ِ الر َجا ِل أ َ ِوِ َاْل ْربَ ِة ِمن ِْ
َّللاِ َج ِميعًا أَيُّهَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ لَعَلَّ ُك ْم
َّ ِبأ َ ْر ُج ِل ِه َّن ِليُ ْعلَ َم َما يُ ْخ ِفينَ ِم ْن ِزينَتِ ِه َّن ۚ َوتُوبُوا ِإلَى
َت ُ ْف ِل ُحون
Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Dan katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung”.
Firman Allah Ta’ala, “Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-
istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
Tetapi barangsiapa mencari dibalik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.” [5-7] Artinya dan orang-orang yang telah menjaga kemaluan mereka dari
perbuatan haram, maka mereka tidak terjatuh terhadap apa yang dilarang oleh Allah seperti zina dan
homoseksual, dan mereka tidak mendekati selain kepada istri-istri mereka yang telah dihalalkan
oleh Allah bagi mereka, dan budak-budak yang mereka miliki dari para tawaran perang, dan barang
siapa yang mengambil apa yang telah Allah halalkan baginya maka tidak ada celaan dan tidak ada
masalah; oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Maka sesungguhnya mereka tidak tercela, Tetapi
9
barangsiapa mencari dibalik itu (zina, dan lain sebagainya),” [6-7] Artinya selain istri-istri dan
budak-budak, “Maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, “ [7] Artinya orang-orang
yang melampaui batas. Imam Syafi’i Rahimahullah dan ulama yang sepakat atas pengharaman
onani dengan menggunakan tangan telah berdalil dengan ayat ini, “Dan oprang yang memelihara
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki.” [5,6] Ia
berkata, “perbuatan ini (onani) sudah keluar dari dua bagian ini (istri dan budak), “Allah telah
berfirman, “Tetapi barangsiapa yang mencari dibalik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka
itulah yang melampaui batas.”12
Tentang makna ayat diatas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang
menjaga kemaluan mereka dari apa-apa yang diharamkan. Mereka tidak meletakkannya di tempat-
tempat yang dilarang Allah swt, seperti zina maupun liwath (berhubungan dengan sesame jenis).
Mereka tidak mendekati kecuali kepada para istri mereka yang dihalalalkan Allah kepada mereka
juga kepada para budak yang mereka miliki. Dan siapa yang menggauli apa-apa yang dihalalkan
Allah maka hal itu tidaklah tercela dan tidak ada kesempitan didalamnya.
Perintah seperti itu disampaikan pula kepada orang-orang yang beriman dikalangan kaum
wanita. Mengapa Allah SWT memerintahkan umat Muhammad SAW supaya menahan pandangan?
12
. Ahmad M Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir jilid 4, hal 768-769
13
. Tafsir Al- Maraghi 18 (Ssemarang, Cv Toha Putra) hal 6
10
Karena dengan jalan demikian dapat memelihara kemaluannya dari perbuatan zina, yang mula-mula
timbul rangsangannya dari penglihatan mata. Sebahagian besar dari pelanggaran –pelanggaranitu
permulaannya dari pandangan mata, sebagaimana kebakaran-kebakaran yang besarpun asalnya dari
percikan api yang kecil. Pandangan mata menelorkan renungan atau khayalan. Khayalan
menelorkan rangsangan dan rangsangan menimbulkan langkah perbuatan. Maka hendaknya setiap
orang dapat meneliti dan mengawasi setiap perkembangan dari hawa nafsunya itu dan agar selamat
dari semua pengaruh yang buruk itu. Oleh sebab itu Islam membatasi pergaulan bebas anatara
wanita dan pria. Imam Ahmad berkata: “saya tidak menegetahui setelah pembunuhan ada dosa yang
lebih besar dari perzinaan”. Pendapat beliau itu berlandaskan sebuah hadis Bukhari dari Abdullah
bin Mas’ud yang bertanya kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah” dosa apakah yang paling besar?”.
Beliau menjawab: “mengadakan sekutu bagi Allah, padahal dialah penciptamu. Saya bertanya lagi:
kemudian apa?. Beliau menjawab: “membunuh anakmu sendiri, karena aku takut makan
bersamamu”. Saya bertanya lagi: “kemudian apa? Beliau menjawab: “berbuat zina dengan Istri
tetanggamu”.
Nabi Muhammad SAW karena ditanya tentang dosa yang paling besar, beliau menerangkan
dari tiap-tiap dosa yang paling puncaknya. Dari bermacam-macam kemusyrikan, maka yang paling
besar dosanya ialah mengadakan tandingan atau sekutu bagi Allah dan dari bermacam-macam
pembunuhan yang yang paling besar dosanya ialah membunuh anak sendiri karena takut akan
makan bersama-sama dan dari bermacam-macam perzinaan yang paling besar dosanya ialah berzina
dengan istri tetangganya, dan kerusakan akibat perzinaan itu dapat berlipat ganda pula menurut
tahap pelanggarannya. Berzina dengan seorang perempuan yang mempunyai suami lebih besar
dosanya daripada berzina dengan yang tidak bersuami, karena ada pelanggaran terhadap Allah dan
terhadap suami yang dilanggar kehormatan istrinya dan kesucian tempat tidurnya, dan menodai
keturunannya bilamana menyebabkan kehamilan. Dan jika suamin ya kebetulan pula tetangganya,
maka dosanya bertambah besar pula, karena menyakiti tetangganya. Oleh karena nya dalam ayat
tersebut ada pengecualian, yaitu kecuali terhadap istri-istri mereka atau jariah yang mereka miliki,
sebab kaum muslimin telah sepakat ijma’ bahwa berbuat homosexual dengan hamba sahanyanya
sendiri sama dosanya seperti berbuat demikian itu dengan orang lain. Dalam hal itu perbuatan-
perbuatan tersebut masing-masing adalah perbuatan dosa besar.14
D. Tafsir Mufrodhat
1. Q.S Al-Mu’minuun: 5-7
14
. Alquran dan Tafsirnya Jilid VI juz 16-18 (Jakarta: 1993) hal 494-496
11
ِ = ِلفُ ُرkemaluan laki-laki dan wanita
وج ِه ْم
َْال َعادُون = 0rang-orang yang berlebihan dalam menganiaya, dan melanggar ketentuan syar’i
(orang-orang yang melampaui batas hingga kepada perkara-perkara yang tidak dihalalkan bagi
mereka.15
15
. Tafsir Al- Maraghi 18 (Ssemarang, Cv Toha Putra) hal 7
12
الر َجا ِل
ِ َ = ِمنdari kalangan kaum laki-laki
ِ = أَ ِوatau anak-anak
الط ْف ِل
E. Asbabun Nuzul Ayat
Dalam Surah Al- Mu’minun ayat 5-7 tidak memiliki asbabun nuzul dari ayat tersebut tetapi
didalam surah An-Nur ayat 31 yaitu Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bahwa mereka
mendapat kabar bahwa jabir bin Abdillah menceritakan bahwa Asma’ binti Martsad ketika itu
sedang berada dikebun kurmanya. Tiba-tiba beberapa wanita masuk ke kebun tanpa mengenakan
busana sehingga terlihat perhiasan (yakni gelang) dikaki mereka, juga terlihat dada dan rambut
mereka. Maka Asma berkata, “Alangkah buruknya hal ini!” maka Allah menurunkan ayat
mengenai hal itu, “dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya).
Ibnu Jarir meriwayatkan dari seseorang yang berasal dari Hadhramaut bahwa seorang
wanita memasang dua gelang perak dan menegenakan batu kumala, lalu ia lewat didepan
sekelompok orang dan ia menghentakan kakinya sehingga gelang kekinya membentur batu kumala
dan menegeluarkan suara. Maka Allah menurunkan ayat, “dan janganlah mereka menghentakkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.16
16
. Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya ayat Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani,2008) hal 402-403
13
َض ِل ِه ۗ َوالَّذِينَ يَ ْبتَغُون َّ ف الَّذِينَ ََّل َي ِجدُونَ ِن َكا ًحا َحت َّ ٰى يُ ْغ ِن َي ُه ُم
ْ ََّللاُ ِم ْن ف ِ َو ْل َي ْستَ ْع ِف
َّ ع ِل ْمت ُ ْم فِي ِه ْم َخي ًْرا ۖ َوآتُو ُه ْم ِم ْن َما ِل
َِّللا َ ت أَ ْي َمانُ ُك ْم فَ َكاتِبُو ُه ْم إِ ْن
ْ اب ِم َّما َملَ َكَ َْال ِكت
ض َ صنًا ِلتَ ْبتَغُوا
َ ع َر ِ علَى ْالبِغ
ُّ َاء إِ ْن أ َ َر ْدنَ تَ َح َ الَّذِي آتَا ُك ْم ۚ َو ََّل ت ُ ْك ِر ُهوا فَتَيَاتِ ُك ْم
غفُور َر ِحيم َّ ْال َح َياةِ الدُّ ْن َيا ۚ َو َم ْن يُ ْك ِر ْه ُه َّن فَإِ َّن
َ َّللاَ ِم ْن َب ْع ِد إِ ْك َرا ِه ِه َّن
dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga
Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang
memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu.
(يا معشر الشباب من استطاع منكم:قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
الباءة فايتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم
)فإنه له وجاء
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara
kamu yang mampu maka hendaklah ia menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah ia puasa, maka
sesungguhnya ia mengurangi syahwat."17.
Dan beliau tidak mengatakan: siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia mengeluarkan
maninya dengan tangannya atau hendaklah ia melakukan onani. Namun beliau bersabda: " Dan
barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah ia puasa, maka sesungguhnya ia mengurangi
syahwat." Nabi Muhmmad shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dua perkara: salah satunya
segera menikah bagi yang mampu dan kedua: meminta pertolongan dengan puasa bagi yang tidak
mampu menikah, karena puasa melemahkan saluran syetan. Maka sudah sepantasnya bagimu wahai
17
. HR. Al-Bukhari 1905, 5065, 5-66, dan Muslim 1400
14
hamba Allah, agar beradab dengan tata krama syari'at dan hendaklah engkau berusaha menjaga
dirimu dengan pernikahan syar'i, sehingga kendati harus berhutang, maka sesungguhnya Allah
subhanahu wa ta’ala akan melunasi hal itu dari engkau. Sesungguhnya perkawinan adalah amal
shalih dan pelakunya akan ditolong, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
(ثَل ثة حق على هللا عز وجل:قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
المكاتب الذي يريد اْلداء والناكح الذي يريد العفاف والمجاهد في سبيل:عونهم
.)هللا
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Ada tiga golongan yang Allah subhanahu
wa ta’ala pasti menolong mereka: budak mukatab yang ingin membayar, yang menikah karena
ingin menjaga diri (dari yang haram), dan mujahid fi sabilillah." 18
dan barangsiapa yang ingin menyalurkan syahwatnya kepada bukan istri dan budak
wanitanya maka ia telah mencari di balik itu dan ia adalah orang yang melampaui batas menurut
ayat yang mulia ini. Adapun dari sunnah:
bersabda: "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mampu maka Rasulullah
hendaklah ia menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan.
Dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah ia puasa, maka sesungguhnya ia mengurangi
syahwat." Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menyuruh orang yang tidak mampu
menikah agar puasa, dan jika onani itu hukumnya boleh niscaya beliau menyarankan kepadanya.
Maka tatkala Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menyarankan kepada hal itu
padahal bisa, jelas bisa diketahui bahwa onani itu tidak boleh. Adapun pandangan yang shahih,
maka perbuatan itu mengakibatkan bahaya yang sangat banyak yang disebutkan oleh pakar
kedokteran. Ada bahayanya yang menimpa badan, terhadap kemampuan seksual, terhadap
pemikiran, dan terkadang bisa menghalanginya dari menikah yang benar, karena apabila manusia
sudah memuaskan nafsunya dengan cara seperti ini terkadang ia tidak perduli terhadap pernikahan.
Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin, pertanyaan-pertanyaan penting, hal. 9.
18
. Syaikh Bin Baz –Majalah al-Buhuth, edisi no. 26 hal 129-130
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam surah Al-Mu’minuun ayat 5-7 bahwa menjaga kemaluan dari perbuatan keji dalam
ayat ini ALLAH SWT menerangkan sifat kelima dari orang mukmin yang berbahagia itu, yaitu
suka menjaga kemaluannya dari setiap perbuatan keji seperti berzina, mengerjakan perbuatan kaum
lut (homosexual), onani dan sebagainya. Bersenggama itu yang diperbolehkan oleh agama hanya
dengan istri yang telah dinikahi dengan sah atau dengan jariahnya yang diperoleh dari jihad
fisabilillah. Karena dalam hal ini mereka tidak tercela.akan tetapi barang siapa yang berbuat, diluar
yang tersebut itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dalam ayat ini dan yang
sebelumnya Allah Swt menjelaskan bahwa kebahagian seorang hamba Allah tergantung kepada
pemeliharaan kemaluannya dari berbagai penyalahgunaan supaya tidak termasuk orang yang tercela
dan melampaui batas. Maka menahan ajakan hawa nafsu, jauh lebih ringan daripada menderita
akibat-akibat buruk dari perbuatan zina itu. Allah SWT memerintahkan Nabi Nya supaya
menyampaikan perintah itu kepada umatnya, agar mereka menahan pandangannya dengan
memicingkan mata dan memelihara kemaluannya yang ditegaskan dalam Q.S An-Nur: 30-33.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Diharapkan penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya
kedepan. Demikianlah akhirnya dapat terselesaikan juga makalah ini, meskipun masih jauh dari
kata sempurna, pemakalah menerima kritik dan saran yang membangun guna terciptanya hasil yang
lebih baik dikemudian hari .
16
Daftar Pustaka
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983)
F. Adisusilo Taufik, Masturbasi A sampai Z, (tanpa Kota : Yayasan Rama Shinta, tanpa tahun),
Chasan Umar M. Ali, Kejahatan Seks dan Kehamilan di Luar Nikah dalam Pandangan Islam,
(Semarang: CV. Panca Agung, 1990)
Abul Hussein Muslim bin Hujjaj Al- Qusyairi An Naisaburi, Himpunan Hadist Shahih Muslim (Al-
Jami’ush Shahih), Hussein Khalid Bahresy, pent. (Surabaya: AlIkhlas, 1987)
Rasyid, MohPendidikan Seks- Mengubah Seks Abnormal Menuju Seks Yang Lebih Bermoral,
(Semarang: Syi’ar Media Publishing, 2007)
17