Anda di halaman 1dari 6

tirto.

id - Pada pekan kedua Maret 2019, warga DKI Jakarta dan sekitarnya sedang
euforia naik MRT. Proyek MRT Jakarta kini sudah masuk dalam tahap uji coba, dan
warga sudah boleh mencoba sebelum beroperasi komersial. Presiden Joko Widodo
(Jokowi) memastikan bakal meresmikan MRT pada 24 Maret 2019.

Warga pun berbondong-bondong menjajal MRT. Mereka juga menceritakan


pengalamannya naik MRT melalui media sosial, termasuk mengunggah foto dan video.
@kerta_jwardhana misalnya, mengaku suasana MRT di Jakarta seperti sedang di
Jepang.

Warganet lainnya, @zaldiwahyu mengaku menggunakan MRT cukup menyenangkan.


Selain itu, pelayanan juga baik, nyaman dan aman. Sementara itu, @Nadyassegaf
mengaku bangga dengan Jakarta karena sudah punya MRT seperti negara-negara lain.

Selain masyarakat umum, pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani
juga tidak ketinggalan mencicipi uji coba MRT Jakarta. Gubernur Anies Baswedan
hingga Presiden Jokowi termasuk yang sering memantau kesiapan operasi proyek ini.
Pendanaan proyek ini memang patungan antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI
Jakarta, melalui skema pinjaman dari Jepang.

Baca juga:

 Menjajal Perjalanan 15 Menit dari HI ke Lebak Bulus dengan


Ratangga

Apa yang terjadi di Jakarta, kurang lebih sama ketika MRT mulai beroperasi di Kuala
Lumpur pada 16 Desember 2016 silam. Orang-orang antusias mencoba MRT. Apalagi,
untuk satu bulan pertama, operator MRT tidak memungut biaya kepada penumpang
alias gratis.

Nuri Ismazatul Rahim, pelajar 13 tahun, mengaku senang dengan pelayanan MRT.
Selain tepat waktu, MRT juga nyaman. “Saya pasti akan sering naik ini [MRT] bersama
keluarga atau teman,” katanya dikutip dari The Rakyat Post.

Adam Othman, 32 tahun, mengatakan kehadiran MRT dapat mengurangi biaya


transportasi sehari-hari menuju tempat kerja. Pasalnya, setelah hitung-hitungan,
perjalanan via MRT lebih murah ketimbang menggunakan mobil pribadi.

“Rata-rata saya menghabiskan 35 ringgit untuk bensin, tol dan parkir. Namun kini,
dengan MRT, rata-rata bakal menghabiskan sekitar 10 ringgit setiap harinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, ada harga yang harus dibayar pemerintah Malaysia,
di antaranya terkait pengembalian investasi yang tidak jelas, dan jumlah penumpang
yang diangkut meleset dari target.
Apakah kondisi ini akan terjadi juga pada MRT Jakarta?
MRT Sulit Balik Modal dari Tiket

Sebelum mengerjakan proyek, umumnya inisiator membuat studi kelayakan untuk


mengukur layak tidaknya proyek itu dibangun. Ada banyak aspek yang diukur dalam
studi kelayakan, salah satunya yang paling penting adalah aspek finansial.

Aspek finansial dilakukan untuk melihat sejauh mana investasi yang dibenamkan bisa
balik modal, dan menghasilkan keuntungan. Studi ini juga dilakukan terhadap proyek
MRT Jakarta misalnya, investasinya mencapai Rp16 triliun untuk rute Lebak Bulus-
Bundaran HI.

Apakah proyek MRT ini bisa balik modal dan menguntungkan? Tentu saja peluang balik
modal itu ada, meski mungkin setelah puluhan tahun. Namun, jika hanya
mengandalkan pendapatan tiket saja, potensi cepat balik modal bakal sulit.

“Nilai Rp16 triliun tentu tidak akan berbalik jika hanya mengandalkan dari pendapatan
tiket. Tapi, [kehadiran MRT Jakarta] bisa menimbulkan efek berlipat lainnya ke
perekonomian,” kata Sri Mulyani dikutip dari Antara.

Baca juga:

 MRT Jalankan Uji Coba untuk 4.000 Masyarakat Hari Ini

Tiket MRT Jakarta rencananya dipatok di kisaran Rp8.500-Rp10.000. Tarif tersebut


jauh lebih rendah dari tarif ideal. Untuk menutup biaya operasional saja, menurut
Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar, tarif MRT Jakarta idealnya
dipatok Rp30.000 per orang sekali jalan.

Konsekuensinya, Pemprov DKI Jakarta sebagai pemegang saham mayoritas MRT


Jakarta, harus memberikan subsidi untuk memangkas harga tiket. Nilainya pun tidak
kecil. Kepala Biro Perekonomian DKI Jakarta Sri Widiyati pernah bilang bila tarif MRT
dipatok Rp8.500, maka alokasi subsidi mencapai sekitar Rp365 miliar per tahun.
Apabila tarifnya Rp10.000, maka alokasi subsidinya sebesar Rp338 miliar.

Operator memang harus pintar-pintar mencari tambahan dari pemasukan non-tiket.


Pendapatan MRT dari non-tiket itu di antaranya seperti menyediakan tempat untuk
beriklan, baik di dalam kereta, stasiun atau tempat lainnya.

Namun, di luar peluang dari pendapatan non-tiket, mari berhitung, target jumlah
penumpang MRT Jakarta mencapai 130.000 orang per hari. Jika tarif dipatok Rp10.000
dan ditambah subsidi Rp21.659, maka pendapatan operator mencapai Rp4,1 miliar per
hari. Setahun, pendapatan mencapai Rp1,49 triliun per tahun.

Misalnya margin 10 persen karena operator disubsidi (sesuai dengan Permenhub No.
17/2018 Tentang Pedoman Tata Cara Perhitungan Dan Penetapan Tarif Angkutan
Orang), maka laba yang diraup Rp149,6 miliar per tahun. Jika investasi MRT sebesar
Rp16 triliun, maka waktu balik modal butuh 107 tahun.

Bagaimana dengan MRT di Thailand dan Malaysia?

Tarif MRT di Thailand terbilang lebih murah ketimbang di Jakarta. Untuk MRT Blue Line
(Bangkok) misalnya, tarif dipatok 10-15 baht (Rp4.500-Rp6.700), sebelum naik
menjadi 15-40 baht (Rp6.000-Rp18.000).

Namun, MRT yang dibangun pemerintah Thailand, dan dioperasikan perusahaan


swasta Bangkok Expressway and Metro Public Company Limited ini memiliki biaya
investasi yang lebih besar ketimbang di Jakarta, yakni 121 miliar baht (Rp54 triliun).

Baca juga:

 DPRD DKI Pastikan Keputusan Tarif MRT dan LRT Selesai Pekan
Ini

Sedangkan tarif MRT di Kuala Lumpur, Malaysia untuk tarif MRT Sungai Buloh–Kajang
lebih murah. MRT yang dikelola Rapid Rail Sdn Bhd—milik pemerintah Malaysia—
mematok tarif 1,2-3,9 ringgit (Rp4.000-Rp13.600) jika dibayar dengan uang tunai,
atau 1,2-3,4 ringgit (Rp4.000-Rp12.000) apabila membayar secara non-tunai.

Seperti MRT di Thailand, biaya investasi MRT Sungai Buloh-Kajang juga lebih mahal,
yakni 21 miliar ringgit (Rp71 triliun) karena secara jarak mencapai lima kali lipat dari
MRT Jakarta.

Baik MRT Blue Line maupun MRT Sungai Buloh–Kajang sama-sama dibiayai penuh
oleh pemerintah. Sayangnya, informasi soal kapan balik modal tidak ditemukan. Namun
jika melihat harga tiket dan nilai investasi MRT di Thailand dan Malaysia itu,
perhitungan balik modal mereka lebih lama ketimbang MRT Jakarta, bila hanya
mengandalkan tiket saja.

Realisasi pengguna MRT, di Bangkok dan Kuala Lumpur juga meleset dari perkiraan.
Operator MRT Blue Line memproyeksikan jumlah pengguna MRT bisa menembus
430.000 penumpang per hari. Namun realisasinya baru sampai 293.000 penumpang
per hari setelah beroperasi belasan tahun. Begitu juga dengan MRT Sungai Buloh–
Kajang, jumlah penumpangnya baru sekitar 140.000 penumpang per hari setelah
operasi dua tahun, dari target 250.000 penumpang per hari.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bidang Perkeretaapian DKI Jakarta
Aditya Dwilaksana mengatakan profit bukan menjadi tujuan utama ketika membangun
MRT. Ini juga berlaku di seluruh dunia. Tujuan yang dikejar dari MRT adalah
memberikan manfaat bagi warga, seperti menyediakan moda transportasi yang cepat,
nyaman dan terjangkau; mengurangi konsumsi energi; sampai dengan untuk mengurai
kemacetan di jalan raya.

“Tapi bukan hal mustahil juga balik modal itu didapat. Asalkan tidak berharap dari tiket
saja. Pendapatan tiket itu biasanya hanya 30 persen dari total pendapatan operator
MRT. Sisanya, justru dari non-tiket,” kata Aditya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PROYEK MRT atau tulisan menarik lainnya Ringkang
Gumiwang
(tirto.id - Ekonomi)

Penulis: Ringkang Gumiwang


Editor: Suhendra

Subscribe Now
Operator memang harus pintar-pintar mencari tambahan
dari pemasukan non-tiket.
#Proyek MRT

Populer

Anda mungkin juga menyukai