Anda di halaman 1dari 3

Isu Hukum Dibalik Polemik Ketentuan Ambang Batas SKD CPNS

Pada satu minggu terakhir ini lini masa Badan Kepegawaian Nasional (BKN), terutama di akun Twitter
@BKNgoid banyak dipenuhi dengan keluhan dan pertanyaan terkait pelaksanaan seleksi kompetensi
dasar (SKD) Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Tahun 2018. Pangkal permasalahannya
adalah pada banyaknya kegagalan para peserta yang mengikuti SKD CPNS, terutama bagi mereka yang
tersandung oleh ketentuan ambang batas (passing grade) khususnya pada bagian Tes Karakteristik
Pribadi. Isu perubahan peraturan ketentuan SKD CPNS pun mencuat dan ramai diberitakan oleh
media-media nasional.

Sebelum masuk kepada inti pembahasannya, sebagai disclaimer posisi penulis dalam pelaksanaan SKD
CPNS 2018 ini merupakan salah satu peserta SKD CPNS 2018 yang mendaftar ke salah satu
Kementerian melalui jalur umum. Adapun hasil tes yang penulis ikuti melewati passing grade yang
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) Nomor
37 Tahun 2018 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi Dasar Pengadaan Calon Pegawai
Negeri Sipil Tahun 2018, selanjutnya akan disebut dengan Permenpan 37/2018.

Pada opini ini penulis berusaha untuk fokus kepada substansi potensi permasalahan hukum yang
merupakan basis keilmuan yang dimiliki penulis. Serta penulis hanya akan berfokus kepada nilai
ambang batas yang diperebutkan oleh jalur umum yang merupakan sumber utama dari polemik yang
timbul belakangan ini.

Angka Kelulusan Peserta

Ketentuan ambang batas yang ditetapkan Menteri PAN pada SKD CPNS Tahun 2018 ini sebagaimana
tercantum dalam Pasal 3 Permenpan 37/2018 untuk jalur umum terbagi menjadi tiga bidang: a. Tes
Wawasan Kebangsaan (TWK) sebesar 75 Poin, Tes Intelegensia Umum (TIU) sebesar 80 Poin, dan Tes
Karakteristik Pribadi (TKP) sebesar 143 Poin. Sehingga mengacu kepada hal tersebut nilai kumulatif
minimum yang harus dimiliki oleh peserta agar lolos dari SKD adalah sebesar 298 poin.

Kenyataan yang terjadi saat ini adalah banyaknya peserta yang mampu melewati ambang batas TIU
dan TWK namun gagal pada bidang TKP. Menurut catatan BKN sebagaimana dikutip oleh detik.com,
per tanggal 10 November, tingkat kelulusan peserta secara nasional berkisar di angka 3%. Namun,
angka ini belum final dan masih fluktuatif mengingat pada saat tulisan ini dibuat proses SKD di
beberapa instansi pemerintahan masih berlangsung. Sebagai bayangan pembaca, formasi yang dibuka
oleh Pemerintah pada penerimaan CPNS tahun ini adalah sekitar 238.000 formasi dan diperebutkan
oleh sekitar 2,7 juta peserta.

Permasalahan hukum

Eskalasi isu SKD CPNS meningkat ketika terdapat petisi yang diinisiasi oleh akun bernama Mizan
Banjarnegara di change.org yang menuntut agar dilakukan peninjauan dan revisi ambang batas SKD
CPNS 2018. Pada saat penulis membuat tulisan ini telah terdapat lebih dari 20 ribu akun yang
menandatangani petisi online tersebut.

Pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya serta menyampaikan
ekspresi ketidakpuasannya terutama kepada penyelenggara negara dengan cara apapun secara patut
dan sesuai dengan hukum yang berlaku sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi. Petisi yang
diinisiasi oleh akun Mizan Banjarnegara adalah hal yang wajar pada negara demokrasi sebagai bentuk
ekspresi kekecewaan warga negara atas sistem SKD CPNS.
Namun, lebih jauh apabila melihat substansi petisi salah satu yang menjadi poin tuntutannya adalah
untuk merevisi isi Permen aquo utamanya terkait dengan ketentuan mengenai kelolosan peserta.
Perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai ambang batas ditetapkan oleh instrumen
hukum formal, yakni peraturan menteri. Secara materiil peraturan menteri merupakan salah satu jenis
peraturan perundang-undangan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Konsekuensi yuridis dari diberlakukannya peraturan menteri, dalam hal ini Permenpan 37/2018,
adalah bahwa sifatnya berlaku umum dan menjadi hukum positif bagi penyelenggaraan rekrutmen
CPNS. Alasan ditetapkannya ambang batas ke dalam bentuk peraturan (regeling) merupakan
manifestasi atas sistem hukum Indonesia yang lebih dominan mengarah kepada sistem eropa
kontinental (civil law) yang tolak pikirnya adalah legisme yang mengedepankan hukum tertulis sebagai
sumber utama hukum. Hal ini betujuan agar terwujudnya kepastian hukum dalam setiap tindakan
penguasa, termasuk dalam hal penyelenggaraan SKD CPNS.

Dalam salah satu doktrin positivisme hukum, penguasa tidak diperkenankan untuk membuat aturan
(termasuk merevisi) yang dapat berlaku surut karena dapat mencederai kepastian hukum dan keadilan
yang hendak dicapai. Ajaran ini dikenal dengan asas anti-retroaktif. Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H.
dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia menyatakan bahwa asas ini sebenarnya sudah
ditentukan untuk segala bidang hukum dan diulangi untuk hukum pidana yang termuat dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP atau dalam rezim hukum pidana dikenal sebagai asas legalitas. Namun, perlu dicatat
pada implementasinya terdapat pengecualian-pengecualian terhadap asas ini untuk kondisi-kondisi
khusus. Contohnya terhadap kejahatan kemanusiaan pada masa lampau atau pada Undang-Undang
Terorisme.

Kembali kepada konteks peristiwa yang terjadi saat ini, penuntut revisi Permenpan 37/2018 hendak
mengubah ketentuan yang telah ditetapkan dan bahkan telah berdampak kepada sebagian besar
peserta SKD CPNS. Dampak yang ditimbulkan oleh peraturan ini memiliki arti bahwa telah terjadi
peristiwa hukum, yakni telah terdapat peserta yang lolos ambang batas dan peserta yang tidak lolos
ambang batas. Dengan dibuatkannya petisi yang berisi tuntutan berarti secara tidak langsung
penuntut revisi berkeinginan agar peristiwa hukum ini berubah.

Potensi berubahnya peristiwa hukum ini dapat menjadi polemik baru apabila stakeholders mengambil
kebijakan untuk merubah peraturan yang telah ditetapkannya sendiri tanpa menimbang secara
seksama kepentingan hukum para peserta yang telah lulus passing grade. Tentu tidak akan adil bagi
peserta yang telah lulus passing grade apabila pada akhirnya presentase peluang kelulusannya
berkurang dengan dimasukkannya para peserta yang nyata-nyata telah dinyatakan tidak lolos oleh
sistem/peraturan yang berlaku saat ini.

Selain itu, perlu disadari bersama bahwa penetapan ketentuan kelolosan melalui Permenpan 37/2018
ini sebagai resultante ketentuan yang berlaku yang berarti bahwa dengan mendaftar pada rekrutmen
CPNS ini, sejak awal seluruh peserta telah sepakat dengan segala syarat dan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh instansi berwenang, termasuk mengenai ketentuan ambang batas. Yang mana akan
menjadi hal yang tidak etis dan janggal apabila setelah mengetahui hasilnya tidak sesuai dengan
keinginan para peserta baru mengajukan keberatan dan perubahan aturan main. Hal ini dapat
menimbulkan perdebatan baru yang berpotensi tidak akan berkesudahan, yakni apabila situasinya
dibalik apakah para penuntut petisi revisi masih akan menutut untuk merubah ketentuan ini? yang
jelas, penulis berpendapat perdebatan mengenai rasa keadilan dan kepastian hukum akan terus
muncul sebagai konsekuensi apabila terjadinya perubahan peraturan aquo.
Namun, penulis juga tidak memungkiri bahwa faktanya terdapat permasalahan lain yang muncul
apabila tidak terdapat adaptasi kebijakan (diskresi) terhadap permasalahan yang terjadi saat ini.
Permasalahan itu adalah terkait tujuan hukum lainnya (selain keadilan dan kepastian), yakni terkait
kemanfaatan. Permasalahan terkait dengan kemanfaatan yang utama menurut penulis saat ini adalah
mengenai hasil dari penganggaran APBN untuk biaya rekrutmen CPNS yang terancam jauh dari
ekspektasi awal. Hal ini juga berhubungan dengan kapasitas para pelamar CPNS yang sebenarnya
memiliki kompetensi (memiliki nilai SKD tinggi) dan hanya tersandung oleh satu atau dua poin TKP
sehingga akan sangat sayang apabila para peserta tersebut tidak terserap dalam rekrutmen CPNS kali
ini. Bahkan pada kasus ekstrem, khususnya pelaksanaan SKD CPNS di beberapa daerah terdapat
tingkat kelulusan 0% untuk beberapa formasi yang dibuka. Tentunya untuk kasus ekstrem seperti ini
menurut penulis terdapat urgensi yang tidak dapat dikesampingkan sehingga perlu pendekatan
khusus dari stakeholders.

Pertimbangan Kemenpan

Kini bola berada pada Kemenpan selaku penentu kebijakan apakah akan tetap berpegang pada
peraturan yang telah berdampak hukum demi menjaga rasa keadilan dan kepastian hukum atau
melakukan perubahan ketentuan kelolosan untuk mengejar tujuan kemanfaatan hukum. Penulis yakin
apapun keputusan Kemenpan tentu tidak hanya akan bersandar kepada pemikiran bahwa perekrutan
pegawai hanya untuk memenuhi kebutuhan formasi semata, namun jauh dari itu, yakni cita-cita kita
bersama reformasi birokrasi Indonesia yang dimulai dari perekrutan para calon birokrat.

Anda mungkin juga menyukai