Anda di halaman 1dari 108

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasan Bandung Utara (KBU) merupakan sebuah kawasan yang

diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya

sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.

181/1982 Tentang Peruntukkan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian

Utara. Adapun luas wilayah KBU ini sebesar 42.315,321 ha dan ditetapkan

sebesar 68,69% untuk Kawasan Lindung dan 31,31% sebagai Kawasan

Budidaya yang kemudian pada tahun 1998 direvisi melalui Rancangan Umum

Tata Ruang (RUTR) Kawasan Bandung Utara menjadi 72,44% untuk Kawasan

Lindung dan 17,56% untuk Kawasan Budidaya.2 Melihat peruntukkannya

tersebut dapat dilihat bahwa KBU memegang peranan dan fungsi vital

terhadap wilayah di sekitarnya. Kawasan ini sendiri berada di sebelah utara

Kota Bandung dan menjadi menarik karena melintasi empat (4) wilayah

administratif kota dan kabupaten yang berbeda, yaitu Kota Bandung,

Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Fungsi

1 Humas Bappeda Jabar, “Titik Terang Revisi Perda KBU”,

http://bappeda.jabarprov.go.id/titik-terang-revisi-perda-kbu/ [diakses pada 10/1/2017]


2 Endang Hernawan (et.al.), Prinsip Pembagian Biaya-Manfaat Menggunakan Model

Pembelian Hak Membangun (PDR) Purchase of Development Rights (PDR) Mechanism


Application on Cost-Benefit Sharing Principles, JMHT Vol. XVI, (2): 73-83, 2010, hlm. 73
diunduh dari http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmht/article/viewFile/1982/924

1
2

utama KBU terhadap kota dan kabupaten dibawahnya begitu penting karena

KBU merupakan daerah resapan air yang artinya selain berfungsi sebagai

penghalang terjadinya banjir juga merupakan sumber mata air utama daerah

Bandung Raya bahkan daerah Jawa Barat secara keseluruhan.3

Namun fungsi vital yang dimiliki KBU terhadap daerah-daerah di

sekelilingnya tersebut tetap tidak mengahalangi maraknya pengalihfungsian

lahan di kawasan ini. Pengalihfungsian lahan seperti pembangunan tempat

pemukiman, bisnis perhotelan hingga pembukaan usaha pertambangan tetap

terjadi. Baik yang dilakukan secara legal ataupun illegal dan terjadi baik di

Kawasan Budidaya maupun Kawasan Lindung yang seharusnya sama sekali

tidak diperkenankan adanya pengalihfungsian lahan. Berdasarkan data Badan

Informasi Geospasial, pada 2014, 80 persen dari total luas wilayah di Kawasan

Bandung Utara beralihfungsi menjadi bangunan maupun lahan pribadi dan

hanya menyisakan 20% lahan yang minim resapan air yang pada akhirnya

dapat dilihat salah satu dampaknya yakni banjir di daerah Bandung Selatan.4

Hal ini sempat menimbulkan pertanyaan dimanakah peran dan fungsi

pemerintah baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah

Kota/Kabupaten yang memiliki kepentingan di KBU terhadap masalah

pengalihfungsian KBU yang telah mengakibatkan dampak nyata terhadap

3Endang Hermawan (et.al.), Ibid., hlm. 73.


4http://www.pikiran-rakyat.com/foto/2016/11/14/80-persen-lahan-di-kawasan-
bandung-utara-beralih-fungsi-384781 [diakses pada tanggal 05/01/2017 pukul 00.49 WIB]
3

lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Apabila kita telisik lebih lanjut

sebenarnya pemerintah, baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun

Pemerintah Kota/Kabupaten yang memiliki kepentingan di KBU setidaknya

sejak tahun 2008 telah memperketat pengeluaran izin terkait pembangunan

serta pemanfaatan ruang di KBU. Pembangunan yang dilakukan di KBU

disyaratkan harus tetap mepertahankan bahkan memperkuat hakikat KBU

sebagai Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya.

Komitmen ini dapat dilihat dari lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kawasan Bandung Utara yang kemudian dirubah menjadi Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016. Dimana pada Pasal 20 Perda 2008

terdapat klausul persyaratan yang mengatakan dalam hal memperoleh izin

pemanfaatan ruang KBU pihak pembangun atau pemrakarsa harus

menerapkan rekayasa teknik dan/atau eko arsitektur dan/atau rekayasa

vegetatif untuk menghindari penurunan kapasitas penyerapan air ke dalam

tanah dan meminimalkan potensi bencana kelongsoran tanah serta dilengkapi

dokumen analisis dampak lingkungan (amdal). Selain itu terdapat satu hal

yang menarik pada peraturan daerah tersebut, yakni selain syarat-syarat

perizinan yang dijelaskan sebelumnya, izin pemanfaatan ruang di KBU

mensyaratkan adanya surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Gubernur

Jawa Barat sebelum walikota atau bupati yang bagian daerahnya di wilayah

KBU dijadikan tempat pembangunan dapat menerbitkan izin pemanfaatan


4

ruang. Perihal surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat sebagai syarat izin

pemanfaatan ruang KBU ini dapat dilihat pada Pasal 54 Perda Jawa Barat

Nomor 2 Tahun 2016 yang secara jelas menyatakan “Setiap orang yang

melakukan pemanfaatan ruang KBU wajib memperoleh rekomendasi

Gubernur dan izin pemanfaatan ruang dari bupati/wali kota, sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan”. Adanya frasa ‘wajib’ dari Perda Jabar Nomor

2 Tahun 2016 ini seakan menguatkan kedudukan surat rekomendasi sebagai

syarat dikeluarkannya izin pemanfaatan ruang di KBU dari yang sebelumnya

diatur dalam Pasal 21 Perda Jabar Nomor 1 Tahun 2008 yang berbunyi

“Sebelum Bupati/Wali Kota menerbitkan izin pemanfaatan ruang di KBU

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu mendapat rekomendasi dari

Gubernur. Perubahan frasa ‘perlu’ menjadi ‘wajib’ ini seakan menjadi penegas

kedudukan surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat sebagai pihak yang

memberikan rekomendasi untuk kemudian surat rekomendasi diberikan

kepada bupati/wali kota daerah terkait sebagai pihak akhir yang memberikan

finalisasi atau menerbitkan izin.

Meski demikian surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat dari sisi

bentuknya menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya merupakan izin

karena sifat rekomendasi ini wajib sebagai persyaratan terbitnya izin

pemanfaatan ruang oleh bupati atau walikota terkait namun di sisi lain bentuk

formalnya tidak mencerminkan demikian karena bukan merupakan sebuah

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bersifat final melainkan lebih
5

berupa proses salah satu proses verifikasi untuk mendapatkan izin. Hal ini

dapat dilihat berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 58 Tahun

2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 21

Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pengendalian Kawasan

Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat, rekomendasi

Gubernur Jawa Barat ini berbentuk sebagai dokumen pelengkap untuk

memverifikasi terhadap pengajuan izin yang telah diproses. Proses

verifikasinya sendiri dilakukan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

(BPPT) dan Dinas Pemukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat yang

kemudian menyerahkannya kepada Badan Koordinasi Penataaan Ruang

Daerah (BKPRD) Jawa Barat untuk dibahas bersama pakar serta perwakilan

masyarakat untuk selanjutnya dokumen tersebut apakah disetujui atau tidak

oleh Gubernur Jawa Barat. Apabila disetujui surat rekomendasi tersebut tidak

serta merta dapat menjadi dasar hukum untuk pemanfaatan lahan layaknya

izin, pemohon izin masih harus mendapatkan izin dari bupati/wali kota terkait

untuk melakukan kegiatannya hal itulah mengapa rekomendasi bukan

instrumen yang bersifat final layaknya izin.

Jika dilihat fungsi rekomendasi tersebut merupakan bentuk pengawasan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap segala bentuk pemanfaatan dan

pembangunan di KBU. Memang benar bahwa sudah ada pengawasan dari

pemerintah kota/kabupaten yang daerahnya termasuk di dalam KBU, namun


6

mengingat fungsi vital KBU serta apabila terjadi kerusakan dampaknya akan

melintas ke daerah di sekelilingnya, kiranya memang diperlukan perhatian

serta pengawasan yang lebih dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang

memiliki kedudukan serta kewenangan yang lebih dibanding dengan empat

pemerintahan kota dan kabupaten yang daerahnya termasuk di dalam KBU.

Namun, pada tataran pengimplementasian terkait izin KBU ditemukan

banyak ketidaksesuaian terhadap apa yang sudah diatur pada Perda Jabar

Nomor 2 Tahun 2016 khususnya terkait masalah syarat rekomendasi gubernur

yang sebenarnya diwajibkan sebagai persyaratan izin. Beberapa kali

ditemukan kasus bahwa pengembang maupun masyarakat melakukan

kegiatan pengalihfungsian lahan di KBU tanpa mengantongi rekomendasi

gubernur. Seperti kasus pembangunan tiga apartemen di Desa Gudang

Kahuripan, Kecamatan Lembang5, pembangunan delapan rumah mantan

rektor ITB di sekitaran Taman Hutan Raya Ir. Djuanda6 dan masih banyak

kasus lainnya yang menunjukkan bahwa pembangunan tidak didasari oleh

adanya rekomendasi gubernur.

Apabila diperhatikan memang banyak faktor yang dapat menjadi

penyebab terjadinya hal tersebut. Secara sederhana hal ini bisa disebabkan

5 “3 Apartemen Belum Kantongi Izin” http://bandungekspres.co.id/2015/3-apartemen-


belum-kantongi-izin/ [diakses pada 04/01/2017]
6 Cecep Wijaya Sari, “Bangunan Milik Mantan Rektor ITB di KBU tidak Kantongi IMB”

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/05/26/328682/bangunan-milik-mantan-
rektor-itb-di-kbu-tidak-kantongi-imb [diakses pada 04/01/2017]
7

oleh ketaatan hukum masyarakat yang masih rendah, juga bisa disebabkan

oleh memang sistem perizinan yang ada saat ini menimbulkan kebingungan

karena seakan terdapat dua jenis rezim perizinan, yakni surat rekomendasi

yang seakan merupakan izin dari gubernur serta izin dari bupati/wali kota untuk

melakukan pemanfaatan ruang di KBU. Anggapan bahwa jika sudah

mendapatkan salah satu izin maka sudah dapat melakukan pembangunan di

KBU dapat ditenggarai sebagai penyebab terjadinya masalah tersebut. Selain

itu dari sisi prosedur formal administrasinya pun juga menimbulkan pertanyaan

karena rekomendasi justru datangnya dari atas, yakni gubernur menuju ke

bawah, yakni bupati/wali kota terkait, dan apabila demikian apakah

dimungkinkan bupati/wali kota tersebut dapat menolak rekomendasi gubernur

tersebut jika ternyata terdapat perbedaan persepsi atau penilaian antara dua

instansi pemerintahan daerah yang jika terjadi demikian akan bertentangan

dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang salah satunya

mencakup kepastian hukum. Menurut penulis masalah ketidakjelasan

perizinan wilayah KBU terutama adanya persyaratan surat rekomendasi

Gubernur Jawa Barat di yang demikian sangat memungkinkan munculnya

masalah lingkungan yang berdampak luas kepada masyarakat apabila tidak

segera diperbaiki.

Berdasarkan pengamatan dan penelitian dokumen yang penulis lakukan

di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Universitas Padjadjaran, belum ada


8

tugas akhir yang membahas mengenai kedudukan surat rekomendasi

Gubernur Jawa Barat terkait izin pemanfaatan lahan di daerah Kawasan

Bandung Utara. Atas latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka

penulis mencoba membahasnya didalam bentuk usulan penelitian yang

berjudul ”KEDUDUKAN SURAT REKOMENDASI GUBERNUR JAWA

BARAT TERKAIT IZIN PEMANFAATAN RUANG DALAM PEMBANGUNAN

KAWASAN BANDUNG UTARA (KBU)”

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah bentuk surat rekomendasi dilihat dalam praktik

administrasi negara terkait ketetapan yang dikeluarkan oleh pejabat

tata usaha negara?

2. Bagaimanakah kedudukan Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat

sebagai syarat izin pemanfaatan ruang dalam pembangunan di

Kawasan Bandung Utara dengan kaitannya terhadap kewenangan

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menerbitkan

izin pemanfaatan ruang yang diatur dalam undang-undang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari usulan penelitian ini

adalah sebagai berikut:


9

1. Mengetahui dan menganalisis bentuk dan kedudukan surat

rekomendasi gubernur terkait proses perizinan dalam Hukum

Administrasi Negara.

2. Mengetahui dan menganalisis kedudukan Surat Rekomendasi

Gubernur Jawa Barat terhadap pemberian izin pemanfaatan ruang

Kawasan Bandung Utara berdasarkan peraturan perundang-undangan.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini, yaitu:

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan

Ilmu Hukum pada umumnya, khususnya mengenai masalah

kedudukan surat rekomendasi dalam suatu proses perizinan

b. Penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai referensi

bagi penelitian-penelitian lanjutan untuk penelitian berikutnya di

bidang yang sejenis.


10

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu:

a. Memberikan saran bagi Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah

Provinsi Jawa Barat serta satuan pemerintahan yang berada

dibawahnya yang memiliki kepentingan terhadap Kawasan

Bandung Utara dalam hal tata cara penerbitan izin pemanfaatan

ruang di daerah Kawasan Bandung Utara juga menjelaskan

bagaimana seharusnya kedudukan surat rekomendasi sebagai

syarat perizinan dalam tata cara admnistrasi perizinan. Serta bagi

kalangan akademik, sehingga dapat dijadikan tolak ukur atau

sebagai pembanding.

b. Memberikan informasi serta pertimbangan bagi Gubernur Jawa

Barat dan para kepala daerah yang memiliki kepentingan di KBU

mengenai perlu atau tidaknya surat rekomendasi sebagai syarat

penerbitan izin serta bagaimana sepatutnya kedudukan surat

rekomendasi tersebut.

E. Kerangka Pemikiran

Pasal 1 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945 telah secara jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (rechstaat). Hal ini berarti

bahwa hukum merupakan penopang utama negara dan tidak ada yang lebih
11

tinggi dari hukum atau yang kita kenal dengan istilah supremasi hukum.

Supremasi hukum berarti bahwa tidak ada arbitrary power, kekuasaan yang

sewenang-wenang. Baik rakyat (yang diperintah) maupun raja (yang

memerintah) kedua-duanya tunduk pada hukum.7

Hal tersebut dalam konteks negara saat ini, termasuk kepada segala

tindakan dan kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai alat negara harus

mengacu kepada hukum yang berlaku supaya terhindar dari perbuatan yang

sewenang-wenang. Maka dari itu diperlukan legalitas atas segala tindakan

penguasa sebagai tanda persetujuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan

tertinggi. Hal yang sama juga berlaku kepada masyarakat sebagai salah satu

unsur negara. Pada sudut pandang masyarakat, hukum adalah persetujuan

diantara mereka dan oleh karena itu harus ditaati ataupun dipatuhi. Oleh

karena itu dalam segala tingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat

harus memperhatikan hukum sebagai pedoman bermasyarakat demi

terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam praktik bernegara.

Selanjutnya apabila dilihat pada konteks ketatanegaraan, seperti telah

dikatakan sebelumnya bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan

tertinggi, hubungan antara pemerintah dan rakyat adalah hubungan melayani

dan dilayani. Sebagaimana pendapat Prof. Sondang Siagian8, pemerintah

7. Djokosoetono, Kuliah Ilmu Negara, Penerbit In Hill Co, 2006, hlm.. 106.
8. Sondang Siagian, Administrasi dan Pembangunan Konsep, Dimensi, dan
Strateginya, PT Bumi Aksara, 2009, hlm.. 139.
12

merupakan abdi negara juga abdi masyarakat. Adapun dengan sudut pandang

yang demikian negara mendapat predikat sebagai negara administratif

(Administrative State). Arti negara sebagai administrative state adalah dalam

penyelenggaraan fungsi pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan yang

didelegasikan oleh rakyat, pemerintah memiliki fungsi-fungsi seperti fungsi

politik, diplomasi, fungsi penegakan hukum dan lainnya. Dalam

perkembangannya kini terdapat dua fungsi baru dan juga menonjol yakni

fungsi pengaturan (regulatory functions) dan fungsi pelayanan kepada

masyarakat atau pelayanan publik (public service functions).9

Salah satu bentuk fungsi pengaturan pemerintah sebagai pelaksana

tugas administratif guna terciptanya keteraturan dan ketertiban adalah melalui

fungsi penerbitan izin. Perizinan diperlukan sebagai pengaturan yang berada

di tingkat akhir yang merupakan pemberian dan perluasan kesempatan bagi

warga masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan tertentu sekaligus terdapat

pembatasan-pembatasan yang dibutuhkan demi kepentingan rakyat sebagai

keseluruhan.10 Menurut Sjachran Basah izin adalah perbuatan hukum

administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal

konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh

peraturan perundang-undangan.11 Lebih lanjut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten

9
Sondang Siagian, Loc.cit.
10
Ibid.
11 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, 2014,

hlm. 198.
13

Berge membagi izin dalam arti luas dan arti sempit. Berdasarkan pendapat

keduanya, secara luas izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan

undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu

menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan

memberi izin, penguasa memperkenalkan orang memohonnya untuk

melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini

menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum

mengharuskan pengawasan khusus atasnya.12 Sedangkan secara sempit izin

adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya

didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk dapat mencapai

suatu tatanan tertentu atau menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.13 Hal

ini selaras dari fungsi izin itu sendiri. Menurut Adrian Sutedi, dalam bukunya

dikatakan bahwa izin memiliki tiga fungsi utama yakni sebagai instrumen

rekayasa pembangunan, fungsi keuangan (budgetering), dan fungsi

pengaturan (reguleren).

Izin sendiri merupakan salah satu jenis Ketetapan Tata Usaha Negara

(KTUN) atau beschikking. Izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat

konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya

tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu,

atau “beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was”

12 Ridwan H.R., Loc.cit.


13 Ridwan H.R., Loc.cit.
14

(ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak

dibolehkan).14 Dengan demikian izin merupakan instrumen yuridis dalam

bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah

untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Adapun di dalam suirat

izin berisi:15

1) Organ yang Berwenang

2) Yang Dialamatkan

3) Diktum

4) Ketentuan-Ketentuan, Pembatasan-Pembatasan, dan Syarat-Syarat

5) Pemberian Alasan

6) Pemberitahuan-Pemberitahuan Tambahan.

Oleh karena bentuknya yang berupa KTUN yang bersifat individual, konkret

dan final maka izin yang dikeluarkan pejabat administratif termasuk objek

sengketa PTUN.

Adapun dari segi unsurnya menurut Ridwan HR dalam Adrian Sutedi, izin

memiliki beberapa unsur:16

1) Wewenang;

2) Izin sebagai bentuk Ketetapan;

14 Agus Ngadino, Perizinan dalam Rangka Negara Hukum Demokratis, Fakultas

Hukum Universitas Sriwijaya


http://eprints.unsri.ac.id/4012/1/Perizinan_Dalam_Kerangka_Negara_Hukum_Demokratis.pdf
[diakses pada 05/01/2017]
15 Ridwan H.R., Op.cit (Note 11), hlm.. 219-222.
16 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika,

hlm.. 179-192.
15

3) Lembaga Pemerintah;

4) Peristiwa Konkret;

5) Proses dan Prosedur;

6) Persyaratan;

7) Waktu Penyelesaian Izin;

8) Biaya Perizinan;

9) Pengawasan Penyelenggaraan Izin;

10) Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa;

11) Sanksi; dan

12) Hak dan Kewajiban.

Terkait unsur dasar kewenangan dan siapa lembaga pemerintahah yang

menerbitkan izin oleh pejabat administrasi dalam hal ini eksekutif, tidak ada

undang-undang yang secara komprehensif atau spesifik mengatur mengenai

izin secara keseluruhan. Masing-masing izin bersifat sektoral atau diatur

berdasarkan peraturan yang terkait masing-masing bidang yang diatur. Seperti

izin mendirikan perseroan diatur sendiri dalam undang-undang perseroan

terbatas, izin usaha pertambangan diatur dalam undang-undang mineral dan

batu bara dan sebagainya. Adapun terkait pemanfaatan wilayah atau ruang

khususnya di wilayah administratif provinsi atau kabupaten/kota saat ini

kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan

kabupaten/kota secara garis besar diatur secara khusus pada Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda).


16

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia yang berbentuk negara

kesatuan telah memilih asas desentralisasi sebagai asas utama dalam

menjalankan moda pemerintahan. Artinya dalam beberapa hal tertentu

pemerintah daerah memiliki hak otonom untuk wilayahnya termasuk dalam hal

izin pemanfaatan ruang pemerintah daerah diberikan wewenang yang lebih

untuk mengatur daerahnya sendiri. Pemerintah daerah sendiri setidaknya

terbagi dalam dua jenis pemerintahan, yakni pemerintahan daerah provinsi dan

pemerintahan daerah kabupaten atau kota, meskipun kini tidak dapat

dipungkiri terdapat entitas pemerintahan yang baru diakui di dalam perundang-

undangan yakni pemerintahan desa. Namun berdasarkan Undang-Undang

Pemda mengenai kewenangan terhadap izin terkait pemanfaatan ruang tidak

terdapat pada tangan pemerintah desa.

Pemerintah provinsi dikepalai oleh seorang gubernur dan pemerintah

kabupaten/kota dikepalai oleh bupati/wali kota. Secara sederhana pola

hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota

ialah vertikal. Meskipun tidak dapat dikatakan sepenuhnya vertikal karena

meskipun pada konsepnya pemerintah daerah memang merupakan

subordinat dari pemerintahan provinsi yang merupakan wakil pemerintah pusat

di daerah akan tetapi kepala daerah kabupaten/kota memiliki mandat dan

legitimasi langsung dari rakyat di daerah. Namun, demikian pemerintah

provinsi dapat dikatakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding

pemerintah kabupaten/kota, namun terkait kewenangan dapat dikatakan


17

bahwa pemerintah kapupaten/kota memiliki kewenangan yang hampir setara

dan lebih spesifik. Mengenai hal tersebut dapat dipahami merupakan

pengejawantahan dari semangat asas desentralisasi dan juga tugas

pembantuan yang diamanatkan pada UU Pemda.

Lebih jauh mengenai hubungan yang bersifat vertikal antara pemerintah

daerah provinsi dapat dilihat melalui Pasal 373 UU Pemda mengenai

pembinaan dan pengawasan pemerintah daerah. Dalam Pasal 373 ayat (1)

disebutkan ”Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi.”Kemudian pada

ayat (2) dijelaskan “Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah kabupaten/kota.” Hal ini dapat dikatakan bahwa Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 memiliki desain bahwa sejatinya hubungan pemerintah

pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kota/kabupaten

bersifat satu garis lurus berbentuk vertikal dan saling berhubungan. Bentuk

yang demikian dipandang penting agar otonomi daerah tetap berjalan sesuai

dengan arah kebijakan nasional yang disusun oleh pemerintah pusat. Adapun

kedudukan pemerintah daerah kabupaten/kota berada pada bagian terbawah

dari hirarki. Kedudukan hirarkis ini semakin diperkuat dengan fungsi

pemerintah daerah provinsi yang dapat membatalkan keputusan pemerintah


18

daerah kota/kabupaten serta pemerintah pusat dapat membatalkan

pemerintah provinsi apabila dinilai bertentangan.17

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa pada praktik

pemerintahan daerah saat ini mengedepankan asas desentralisasi yang

berarti pemerintah daerah memliki kewenangan untuk mengatur daerah sendiri

atau yang dikenal dengan otonomi daerah. Daerah memiliki kewenangan

terhadap urusan konkuren juga urusan absolut pemerintah pusat yang

didelegasikan ke pemerintah daerah melalui prinsip pembantuan. Adapun

beberapa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah baik pemerintah

provinsi atau kabupaten/kota yang bersifat strategis adalah mengenai

pengelolaan pembangunan di daerah masing-masing. Wewenang yang

dimaksud yang bersifat vital antara lain adalah mengenai penataan ruang,

lingkungan hidup dan kawasan strategis daerah serta yang bersifat

fundamental dalam suatu proses pembangunan yakni menerbitkan izin

pemanfaatan ruang. Izin pemanfaatan ruang merupakan pangkal atas segala

sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan. Adapun menurut Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pemanfaatan Ruang, izin

pemanfaatan adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan

ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam

17Lihat: Pasal 251 dan 252 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintah Daerah.
19

lampiran mengenai pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan

daerah perihal kewenangan-kewenangan tersebut dapat dilihat pada:

1) Huruf C mengenai Bidang Pekerjaan Umum dan dan Penataan Ruang

angka 8 mengenai sub urusan penataan bagunan dan lingkungan,

sebagai berikut:

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

8. Penataan a. Penetapan Penyelenggaraan Penyelenggaraan

Bangunan dan pengembangan penataan penataan bangunan

Lingkungannya sistem penataan bangunan dan dan lingkungannya di

bangunan dan lingkungannya di daerah

lingkungannya kawasan kabupaten/kota

secara strategis daerah

nasional. provinsi dan

b. Penyelenggaraan penataan

penataan bangunan dan

bangunan dan lingkungannya

lingkungannya di lintas daerah

kawasan strategis kabupaten/kota

nasional
20

2) Huruf J mengenai Bidang Pertanahan angka 1 mengenai sub urusan Izin

Lokasi, sebagai berikut:

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

1 Izin Lokasi Pemberian izin Pemberian izin Pemberian izin lokasi

lokasi lintas Daerah lokasi lintas dalam 1 (satu)

provinsi Daerah daerah

kabupaten/kota kabupaten/kota

dalam 1 (satu)

Daerah

provinsi

3) Huruf K mengenai Bidang Lingkungan Hidup angka 3 mengenai

Pengendalian Pencemaran dan/atau kerusakan lingkngan lingkungan

hidup

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

3 Pengendalian Pencegahan, Pencegahan, Pencegahan,

Pencemaran penangguhan dan penanggulangan penanggulangan dan

dan/atau pemulihan dan/atau pemulihan


21

Kerusakan pencemaran kerusakan pencemaran dan/atau

Lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan hidup kerusakan lingkungan

Hidup lingkungan hidup lintas Daerah hidup dalam daerah

lintas Daerah provinsi kabupaten/kota kabupaten kota.

dan/atau lintas batas dalam 1 (satu)

negara. Daerah provinsi.

Dari tabel pembagian tugas tersebut dapat dilihat bahwa Daerah Provinsi

dan Daerah Kabupaten/kota memiliki otonomi pada daerahnya masing-

masing. Batas kewenangan diantara keduanya adalah bahwa pemerintah

kabupaten/kota memiliki kewenangan selama itu masih ada di daerah mereka.

Sedangkan kewenangan pemerintah provinsi masuk sesuai perannya sebagai

wakil pemerintah pusat di daerah dengan fungsi pengawasan dan pembina

kota/kabupaten ketika terdapat persinggungan antara masing-masing

kabupaten/kota di masing-masing wilayah.

Pengawasan dan pembinaan yang oleh pemerintah provinsi terhadap

pemerintah kabupaten/kota dapat dilakukan dengan berbagai tindakan. Oleh

karena setiap tindakan hukum itu harus didasarkan pada peraturan perundang

– undangan yang berlaku,18 maka instrumen yuridis yang digunakan adalah

berupa ketetapan tata usaha negara (KTUN), yaitu berbentuk lisensi, konsesi,

18 Ridwan H.R., Op.cit (Note 11), hlm. 111.


22

atau izin. Adapun pada praktik tata usaha negara saat ini dikenal terdapat

instrumen selain ketiganya yakni surat rekomendasi. Instrumen Surat

Rekomendasi sendiri dalam tata usaha negara dikenal sebagai salah satu

syarat untuk membuat keputusan. Seperti dalam Peraturan Pemerintah Nomor

78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Bahwa sebelum Gubernur menetapkan

Upah Minimum Provinsi harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan

Pengupahan Provinsi (DPP) sebelum menerbitkan Upah Minimum Provinsi.

Begitu pun untuk menerbitkan keputusan mengenai Upah Minimum

Kota/Kabupaten, Gubernur harus memperhatikan rekomendasi bupati/wali

kota sebelum pada tahap akhirnya membuat suatu keputusan tata usaha

negara. Dari bentuk nomenklaturnya rekomendasi adalah sebatas saran.

Seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) rekomendasi berarti: hal

minta perhatian bahwa orang yang disebut dapat dipercaya dengan baik (biasa

dinyatakan dengan surat) atau penyungguhan saran yang menganjurkan

(membenarkan, menguatkan) 19. Dikarenakan sifatnya yang menguatkan ini

pada umumnya rekomendasi datang dari jabatan yang lebih rendah kepada

jabatan yang lebih tinggi (hirarkis) yang memiliki kewenangan menyetujui.

Sehingga idealnya rekomendasi tidak bersifat final dan mengikat apalagi

menyandera kewenangan pemilik wewenang aslinya.

“Arti kata ‘rekomendasi’” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rekomendasi [diakses


19

pada 05/01/2017]
23

Namun demikian pada praktik penerbitan perizinan pemanfaatan ruang

di wilayah Kawasan Bandung Utara terdapat anomali bahwa justru

rekomendasi datang dari atas yakni Gubernur Jawa Barat kepada kepala

daerah kabupaten/kota serta sifatnya yang mengikat untuk ditindaklanjuti oleh

bupati/wali kota terkait. Anomali yang demikian selain menimbulkan

pertanyaan dari sisi prosedural administrasi juga berimplikasi pada wilayah

KBU dan sekitarnya seperti banjir besar pada musim hujan dan bencana

lingkungan lainnya apabila tidak segera ditindaklanjuti.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan usulan

penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif (Yuridis Normatif), yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

disebut juga penelitian kepustakaan, penelitian ini bertujuan untuk

memahami adanya hubungan antara hukum positif serta norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat.20 Untuk itu, penulisan usulan

20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 13.
24

penelitian ini didasari oleh peraturan Perundang-undangangan yang

berlaku. Selain itu, penelitian ini terkategori sebagai penelitian hukum

normatif karena penelitian ini secara akademik melakukan kajian

terhadap masalah hukum dan penerapan hukum mengenai

Keududukan Surat Rekomendasi Gubernur dalam suatu proses

perizinan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, dengan menggambarkan

fakta-fakta, situasi dan kondisi objek penelitian yang diteliti dalam hal

ini mengenai kedudukan surat rekomendasi gubernur dalam praktik

pemberian izin pemanfaatan ruang.21 Penelitian bersifat deskriptif

bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan

frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya

hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat. Dalam hal ini mungkin adanya hipotesis-hipotesis,

mungkin belum. Tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan

tentang masalah yang bersangkutan.22

21
Soerjono Soekanto, Ibid., hlm. 62.
22Soerjono Soekanto dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan
Penerapan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999, hlm. 22.
25

3. Tahap Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, diperoleh melalui cara-

cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah suatu upaya pengumpulan data

sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder

dan tersier. Data sekunder terdiri dari:23

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya

mengikat di Indonesia yang berupa peraturan Perundang-

undangangan, antara lain:

a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

b. Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan

c. Undang - Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Daerah.

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah.

23 Soejono Soekanto, Ibid., hlm. 14.


26

e. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan

Ruang.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang

Penyelenggaraan Pemanfaatan Ruang.

g. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun

2016 Tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung

Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat.

h. Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tahun 2009-2029.

i. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2009

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi

Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian

Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.

j. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 58 Tahun 2011

Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Barat

Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun

2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan

Bandung Utara.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu merupakan bahan-bahan yang

erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat


27

membantu menganalisis dan memahami bahan hukum

primer24, yang berbentuk buku bacaan/literatur yang

berkaitan/membahas tentang hukum administrasi negara

secara umum, kedudukan pejabat pemerintahan daerah,

ketetapan tata usaha negara (KTUN), perizinan serta

pendapat para ahli hukum dan berbagai bahan yang di dapat

dari karya ilmiah, hasil penelitian, jurnal, media massa, dan

internet akan mendukung pembahasan yang berkaitan

dengan masalah yang ada dalam usulan penelitian ini.

3) Bahan Hukum Tersier merupakan bahan-bahan yang

memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder25, yang berupa Kamus Hukum dan

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data primer.

Data primer ini digunakan sebagai dari penunjang data sekunder

yang telah diperoleh oleh peneliti. Penelitian lapangan ini dilakukan

terhadap pejabat pemerintahan dalam aspek perizinan

24 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan


Ketiga, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 12.
25 Ronny Hanitijo Soemitro, Loc.cit.
28

pemanfaatan ruang khususnya pada Kawasan Bandung Utara

untuk mengisi kekurangan data sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan digunakan teknik studi dokumen

dan teknik wawancara.

a. Teknik Studi Dokumen melalui kepustakaan, yaitu dengan cara

mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan

penelitian, melalui penelusuran literatur-literatur terkait dan

melakukan pencatatan bahan-bahan hukum.

b. Teknik Wawancara, yaitu teknik dengan mewawancari informan

dengan memberikan beberapa pertanyaaan secara sistematis dan

telah disiapkan sebelumnya yang berupa pedoman wawancara

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis normatif

kualitatif. Dalam penelitian hukum normatif, penelitian terhadap asas-

asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang

merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku atau melakukan

perbuatan yang pantas.26 Analisis secara kualitatif (analisis normatif-

26 Ronny Hanitijo Soemitro, Ibid., hlm. 15.


29

kualitatif) karena datanya bersifat kualitatif.27 Jadi, analisis normatif

kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitik tolak dari norma-norma,

asas-asas dan peraturan Perundang-undangangan yang ada dijadikan

sebagai norma hukum positif yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Mochtar

Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Badan

Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat.

27 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 92.
30

BAB II

TINJAUAN TEORI NEGARA ADMINISTRATIF, INSTRUMEN

PERIZINAN, DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

PENATAAN RUANG

A. Negara Administratif (Administrative State) dalam Kerangka

Negara Hukum Modern (Welvaarstaat)

Sebagaimana hakikat negara hukum modern yang bertujuan

membangun kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkannya

terdapat pembagian tugas-tugas negara dan pemerintahan. Pembagian ini

dilandasi oleh kenyataan historis bahwa pemusatan kekuasaan negara kepada

satu tangan atau satu lembaga telah membawa bencana bagi kehidupan

demokrasi dan kemasyarakatan serta terlanggarnya hak-hak asasi warga

negara.28 Pentingnya pemencaran dan pemisahan kekuasaan inilah yang

kemudian melahirkan teori pemencaran kekuasaan atau pemisahan

kekuasaan (spreiding van machten of machtensscheiding).29 Sejarah mencatat

John Locke pertama kali yang mengemukakan teori yang memisahkan antara

kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif (kemanan dan hubungan luar

negeri. Kemudian Montesquieu, lewat bukunya berjudul L’Esprit de Lois (The

28 Ridwan H.R. Op.Cit. (Note 11), hlm. 12.


29 Ridwan H.R. Loc.cit.
31

Spirit of The Law) mengemukakan bahwa dalam suatu negara terdapat tiga

organ dan fungsi utama pemerintahan yakni, legislatif, eksekutif, dan yudikatif

yang dikenal sebagai trias politica. Selain pembagian kekuasaan menurut teori

John Locke dan trias politica Montesquieu terdapat pendapat sarjana lain yang

membagi tugas negara dalam hal ini pemerintah (dalam arti luas).

Menurut Presthus tugas negara meliputi dua hal: (a) policy making, ialah

penentuan haluan negara, (b) task executing, yaitu pelaksanaan tugas

menurut haluan yang telah ditetapkan oleh negara. 30 Selanjutnya hal senada

juga dikemukakan oleh Logemann yang juga membagi tugas negara menjadi

dua hal yaitu: (a) juistie doeleinden, doelstelling/taskstelling (menentukan

tujuan yang tepat) dan (b) nastreven op de juiste wijze, verwerlijking

(melaksanakan tujuan tersebut secara tepat pula).31 Berbeda dengan

pembagian kekuasaan oleh kedua ahli sebelumnya, Van Vollenhoven

membagi kekuasaan dan tugas negara kedalam empat jenis yang dikenal juga

sebagai teori catur praja, yaitu:32

a) Regeling, yaitu fungsi membuat peraturan dalam bentuk undang-

undang baik dalam arti formal maupun arti materil;

b) Bestuur, yaitu pemerintahan dalam arti secara nyata memelihara

kepentingan umum;

30
Ridwan H.R., Ibid. Hlm. 13
31
Ridwan H.R., Ibid. Hlm. 14
32
Ridwan H.R., Loc.Cit.
32

c) Yustitusi, yaitu penyelesaian sengketa dalam peradilan perdata;

d) Politie, mempertahankan ketertiban umum baik secara preventif

ataupun represif.

Negara dalam menjalankan fungsinya terutama fungsi bestuur menurut

Prof. Sondang Siagian dilatarbelakangi oleh fakta dimana manusia modern

yang salah satu cirinya adalah memiliki akses pendidikan sehingga menjadi

makhluk terdidik menjadi semakin paham akan hak dan kewajibannya sebagai

masyarakat. Dalam konteks ini pulalah menurut Prof. Sondang Siagian, harus

dilihat peran negara sebagai negara hukum. Demikian pula halnya dengan

kehidupan ekonomi dan politik yang demokratis karena melalui proses

demokratisasi itulah rakyat diberdayakan. Pada kedua proses inilah salah satu

manifestasi utama dari pemberdayaan masyarakat yakni masyarakat diberi

kesempatan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan,

khususnya keputusan yang menyangku “nasibnya”. Dengan kata lain

pemberdayaan menjadikan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dan

bahwa pemerintah dengan seluruh jajarannya merupakan abdi negara dan

abdi masyarakat.33 Dari sudut pandang yang demikian negara mendapat

predikat lain yakni predikat negara administratif (administrative state).34

Dengan predikat demikian fungsi-fungsi pemerintah selaku penerima delegasi

kekuasaan dari rakyat memiliki fungsi baru dan menonjol yakni fungsi

33 Sondang Siagian, Op.Cit. (Note 8), hlm. 139.


34 Sondang Siagian, Loc.cit.
33

pengaturan (regulatory functions) dan fungsi pelayanan kepada masyarakat

(public service functions).

Adapun dalam fungsinya sebagai pelayanan masyarakat, sebagai abdi

negara dan abdi masyarakat diwujudkan melalui pemberian berbagai jenis

pelayanan yang diperlukan oleh masyarakat melalui satuan kerja

pemerintahan seperti kementerian, departemen, direktorat jenderal, badan,

biro, dan lain sebagainya, sebagian diantaranya mempunyai satuan-satuan

kerja di seluruh wilayah kekuasaan negara.

Pada berbagai satuan kerja yang tersebar ini kita kenal dengan

nomenklatur seperti provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, dan desa.

Terlepas dari sistem pemerintahan negara yang diterapkan, keseluruhan

jajaran pemerintahan negara tersebut merupakan suatu kesatuan birokrasi

pemerintahan yang juga dikenal dengan istilah ”civil service”.35 Sedangkan

dalam fungsi pengaturan yang pada tataran kekuasaan eksekutif disebut juga

sebagai kebijakan meliputi dua hal yaitu tindakan serta keputusan administrasi

negara. Salah satu bentuk fungsi pengaturan yang paling konkret dan paling

banyak digunakan oleh penyelenggara pemerintahan adalah fungsi perizinan

yang dijadikan sebagai instrumen hukum paling dasar dan juga dasar hukum

bagi kegiatan-kegiatan masyarakat guna mencapai pembangunan negara

secara keseluruhan.

35 Sondang Siagian, Ibid., hlm. 141.


34

B. Tinjauan Teroritis Tentang Instrumen Perizinan

1. Izin sebagai Ketetapan Tata Usaha Negara (KTUN)

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya pemerintah memiliki instrumen

pemerintahan, yakni alat-alat atau sarana-sarana yang digunakan oleh

pemerintah atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya.36

Di samping itu, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam

menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan

kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-

keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan, instrumen hukum

keperdataan, dan sebagainya.

Adapun perizinan sebagai instrumen pemerintahan yang bersifat yuridis

dirumuskan melalui ketetapan tata usaha negara (beschikking). Syachran

Basah merumuskan bahwa beschikking adalah keputusan tertulis dari

administrasi negara yang memiliki akibat hukum.37 Ketetapan tata usaha

negara dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

yang berbunyi:

36 Ridwan H.R., Op.Cit. (Note 11), hlm. 129.


37 Ridwan H.R., ibid., hlm. 148.
35

“Ketetapan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan

tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha

negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang

berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang

bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Dengan melihat pasal tersebut dapat diuraikan unsur-unsur dari sebuah

KTUN meliputi: (a) penetapan tertulis, (b) dikeluarkan oleh Badan/Pejabat

TUN, (c) Berisi tindakan hukum, (d) berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, (e) bersifat konkret, individual, dan final, (f)

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.38

2. Definisi Izin dalam Hukum Administrasi Negara

Sebagaimana istilah hukum yang dijabarkan berbeda-beda oleh para ahli

hukum, izin (vergunning) yang merupakan salah satu instrumen hukum dalam

terminologi hukum juga didefinisikan berbeda-beda. Dalam masing-masing

pendapat ahli hukum, definisi izin dibagi kedalam dua golongan, yaitu izin

merupakan suatu persetujuan dari suatu yang dilarang dan izin merupakan

38 Indroharto, Usaha Memahami Undang Undang Tentang Peradilan Tata Usaha


Negara Buku 1: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, hlm. 163.
36

suatu persetujuan dari yang memang pada awalnya dibolehkan menurut

hukum. Namun, pada bagian ini penulis tidak akan membawa pembahasan

kepada arah perdebatan mengenai definisi izin yang dipandang oleh para ahli

berbeda melainkan akan menggabungkan beberapa pendapat ahli hukum

mengenai definisi izin khususnya dalam perspektif Hukum Administrasi

Negara.

Sebelum menyentuh mengenai definisi izin yang akan dipaparkan oleh

para ahli hukum, terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa istilah lain yang

memiliki padanan kata yang dapat disejajarkan dengan izin, yakni dispensasi,

lisensi, dan konsensi. Secara sederhana dispensasi merupakan tindakan

pemerintahan yang menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan

menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (rasio legis).39

Sedangkan lisensi adalah suatu izin yang memberikan hak untuk

menyelenggarakan suatu perusahaan. Lisensi digunakan untuk menyatakan

suatu izin yang memperkenankan seseorang untuk menjalankan suatu

perusahaan dengan izin khusus atau istimewa.40 Sementara konsensi adalah

izin berhubungan dengan pekerjaan yang besar dimana kepentingan umum

terlibat erat sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas pemerintah,

39 W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra dalam: Ridwan H.R., Op.Cit. (Note 11) hlm.
205.
40 Ridwan H.R., Ibid., hlm. 206.
37

tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada

konsesionaris (pemegang izin) yang bukan pejabat pemerintah.41

Setelah mengetahui perbedaan ketiganya, selanjutnya definisi izin sendiri

menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1) Ateng Syafrudin:

Izin bertujuan menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi

boleh atau als opheffing van een algemene verbodsregel in her

concrete geval (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum

dalam peristiwa konkret.42

2) Sjachran Basah:

Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang

mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan

persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan.43

3) Bagir Manan:

Izin dalam arti luas berarti persetujuan dari penguasa berdasarkan

peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan

tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.44

41
Ateng Syafrudin dalam: Ridwan H.R. Loc.cit.
42
Ridwan H.R., Ibid, hlm. 207.
43 Sjachran Basah, dalam: Ridwan H.R., Ibid., hlm. 206.
44 Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan, Penyelenggaraan Hak

Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau dari Perspektif UUD 1945, dalam: Ridwan H.R. Ibid., hlm.
207-208.
38

4) N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge:

Keduanya membagi pengertian izin dalam arti luas, yakni izin adalah

persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau

peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang

dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Sedangkan dalam

arti sempit adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan. Izin

pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-

undang untuk mencapai suatu tatana tertentu atau untuk

menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.45

5) E. Utrecht:

Bila pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan,

tapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara

yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan

administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut

bersifat suatu izin (vergunning).46

Selain dari pemaparan definisi izin dari beberapa ahli hukum, Adrian

Sutedi lebih memilih menggunakan kata perizinan dibandingkan izin untuk

menggambarkan salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan

45 N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh
Philipus M. Hadjon dalam Ridwan H.R., Ibid., hlm. 208.
46 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, dalam: Ridwan H.R., Ibid., hlm.

207.
39

bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-

kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.47 Perizinan dapat berbentuk

pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota, dan izin untuk

melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu

organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat

melakukan suatu kegiatan atau tindakan.48 Dari uraian-uraian diatas secara

sederhana bahwa izin keputusan atau tindakan administrasi negara atas suatu

keadaan konkret atau kegiatan yang secara khusus disyaratkan oleh ketentuan

Undang-Undang. Izin atau perizinan sendiri mengacu kepada proses serta

bentuk dari keputusan atau tindakan pemerintah sebagai instrumen

pengaturan dan pengendalian terhadap kegiatan masyarakat.

3. Unsur-Unsur Perizinan

Sebagai sebuah instrumen yang banyak digunakan oleh administrasi

negara dalam rangka pembangunan negara dan penyejahteraan masyarakat

izin memiliki unsur atau elemen yang menjadi ciri khasnya dibanding ketetapan

tata usaha negara lainnya. Berikut ini akan dipaparkan beberapa unsur atau

elemen izin berdasarkan pendapat ahli:

1) Ridwan H.R. dalam bukunya menguraikan unsur-unsur perizinan,

yaitu:

47 Adrian Sutedi, Op.Cit. (Note 16), hlm. 168.


48 Adrian Sutedi, Loc.cit.
40

A. Instrumen Yuridis49

Dalam negara hukum modern, tugas kewenangan pemerintah

tidak hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan (rust en

orde), tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum

(bestuurszorg). Dalam rangka menjaga ketertiban dan

mempertahankan kemanan, instrumen yuridis yang lahir untuk

menghadapi peristiwa individual dan konkret adalah berbentuk

ketetapan. Izin sendiri merupakan bagian dari ketetapan yang

bersifat konstitutif yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru

yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya

tercantum dalam ketetapan itu, atau memperkenankan sesuatu

yang sebelumnya tidak dibolehkan.

B. Peraturan Perundang-Undangan50

Prinsip dalam negara hukum (rechtstaat) adalah wetmatigheid

van bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Artinya, dalam menjalankan fungsi

pelayanan dan fungsi pengaturan harus didasarkan pada

wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Begitupun dengan pembuatan dan penerbitan izin

yang merupakan tindakan hukum pemerintahan. Sebagai

49 Ridwan H.R., Op.Cit. (Note 11), hlm. 210.


50 Ridwan H.R., Ibid., hlm. 212.
41

tindakan hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan atau berdasarkan legalitas.

Akan tetapi terdapat pengecualian dalam penerapannya.

Menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah dalam bidang

izin itu bersifat diskresionare power atau berupa kewenangan

untuk mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri hal-hal yang

berkaitan dengan izin, misalnya pertimbangan tentang:

a. Kondisi-kondisi apa yang memungkinkan suatu izin dapat

diberikan kepada pemohon;

b. Begaimana mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut;

c. Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemberian

atau penolakan izin dikaitkan dengan pembatasan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

d. Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat

dan sesudah keputusan diberikan baik penerimaan maupun

penolakan pemberian izin.51

C. Organ Pemerintah52

Menurut Sjachran Basah berdasarkan penelusuran berbagai

ketentuan penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui

51 Markus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan


dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap
Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, dalam Ridwan H.R., Ibid., hlm. 213.
52 Ridwan H.R., Loc.cit.
42

bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (presiden) sampai

dengan administrasi negara terendah (lurah) memiliki wewenang

untuk mengeluarkan izin. Namun, yang harus digarisbawahi

terlepas dari beragamnya pejabat atau jabatan yang dapat

mengeluarkan izin berdasarkan N.M. Spelt dan J.B.J.M ten

Berge izin hanya boleh dikeluarkan oleh organ pemerintahan

atau administrasi negara.

D. Peristiwa Konkret53

Peristiwa Konkret artinya adalah peristiwa yang terjadi pada

suatu waktur tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta

hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini beragam, sejalan

dengan keragaman perkembangan masyarakat, izin pun

memiliki berbagai keragaman. Keberagaman izin meliputi

prosedur yang berkaitan dengan kewenangan pejabat yang

mengeluarkannya, macam izin dan struktur organisasi instansi

yang mengeluarkannya.

E. Prosedur dan Persyaratan54

Menurut Soehino, syarat-syarat dalam izin bersifat konstitutif dan

kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukan suatu

perbuatan atau tingkah laku tertentu harus (terlebih dahulu)

53 Ridwan H.R., Ibid., hlm. 215.


54 Ridwan H.R., Ibid., hlm. 216.
43

dipenuhi, artinya dalam hal pemberian izin itu ditentukan suatu

perbuatan konkret, dan bila tidak dipenuhi dapat dikenai sanksi.

Bersifat kondisional, karena penilaian tersebut baru ada dan

dapat dilihat serta dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah

laku yang disyaratkan itu terjadi.55 Adapun penentuan prosedur

dan persyaratan izin merupakan kewenangan mutlak pemerintah

sebagai penyelenggara fungsi administrasi negara. Namun, yang

digarisbawahi prosedur dan persyaratan tersebut tidak boleh

sewenang-wenang (arbiter), tetapi harus sejalan dengan apa

yang telah diamanatkan oleh perundang-undangan yang menjadi

dasar perizinan tersebut.

2) Adrian Sutedi dalam bukunya juga menguraikan elemen-elemen

izin. Secara spesifik ia membagi elemen izin kedalam dua belas

poin, yakni:

A. Wewenang

B. Izin Sebagai Bentuk Ketetapan

C. Lembaga Pemerintah

D. Peristiwa Konkret

E. Proses dan Prosedur

55 Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan, dalam Ridwan H.R., Ibid., hlm.
217.
44

F. Persyaratan

G. Waktu Penyelesaian izin

H. Biaya Perizinan

I. Pengawasan Penyelenggaraan izin

J. Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa

K. Sanksi

L. Hak dan Kewajiban56

Dari elemen izin yang disampaikan diatas sebenarnya memiliki kesamaan

dengan unsur izin yang dipaparkan oleh Ridwan H.R. Namun, yang menjadi

pembeda adalah pada elemen izin yang dikemukakan oleh Adrian Sutedi lebih

spesifik dan menitikberatkan juga kepada penyelenggaraan izin (setelah

proses persetujuan) dan penegakan hukum terhadap pelanggaran izin. Selain

itu, juga pada elemen izin tersebut juga terdapat elemen biaya perizinan. Hal

ini perlu dipahami bahwa memang pada perkembangannya, kini izin juga

memiliki fungsi budgetair, yang berarti izin dapat digunakan sebagai salah satu

pos penerimaan asli daerah ataupun pusat. Meskipun perlu dicatat bahwa tidak

semua izin mewajibkan penarikan biaya atas permohonan yang diajukan.

Sehingga dalam beberapa kasus unsur perizinan yang demikian tidak dapat

dijadikan unsur mutlak dari suatu perizinan. Terakhir yang menjadi perhatian

adalah bahwa terdapat elemen waktu penyelesaian izin. Hal ini sebetulnya

56 Adrian Sutedi, Op.Cit. (Note 16), hlm. 176-192.


45

berkaitan dengan proses dan prosedur izin. Namun, Adrian Sutedi

menekankan bahwa pada perkembangannya kini terutama izin yang berkaitan

dengan masalah ekonomis, harus memiliki perincian waktu untuk kepentingan

kepastian bagi pemohon izin.

4. Fungsi dan Tujuan Izin

Sebagai suatu instrumen yuridis, izin berfungsi selaku ujung tombak

instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat

adil dan makmur itu dijelmakan.57 Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui

bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Ini berarti

persyaratan-persyaratan, yang terkandung dalam izin merupakan pengendali

dalam memfungsikan izin itu sendiri.

Adapun secara garis besar tujuan izin antara lain yaitu:58

a. Keinginan mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu;

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan;

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu;

d. Membagi benda-benda/objek yang sedikit; dan

e. Menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.

Berdasarkan tujuan tersebut selanjutnya Adrian Sutedi mengemukakan

tiga fungsi utama izin, yaitu:

57 Ridwan H.R., Op.Cit. (Note 11), hlm. 216.


58 Ridwan H.R., Ibid., hlm. 218.
46

1) Instrumen Rekayasa Pembangunan

Perizinan adalah instrumen yang manfaatnya ditentukan oleh tujuan

dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.59 Maksudnya

adalah perizinan tidak dapat hanya ditujukan sebagai sumber

income daerah. Jika paradigma yang demikian yang dipakai maka

akan menjadi disisentif terhadap pembangunan daerah. Izin

sebagai instrumen yang berada di tingkat paling bawah sangat

menentukan apakah suatu kegiatan atau pembangunan dapat

dilaksanakan. Adapun proses perizinan yang dimaksud sebagai

instrumen rekayasa pembangunan haruslah yang berasaskan

kemudahan, cepat, dan transparan.

2) Budgetering (Anggaran)

Pada perkembangannya, selain fungsi utamanya sebagai instrumen

rekayasa pembangunan izin juga memiliki fungsi pendapatan

(Budgetering) bagi daerah ataupun negara. Fungsi ini diperoleh

salah satunya melalui pemberian lisensi dan izin kepada

masyarakat dengan kontraprestasi retribusi perizinan.60

3) Reguleren (Pengaturan)

Perizinan memiliki fungsi pengaturan (reguleren), yaitu menjadi

instrumen pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat.

59 Adrian Sutedi, Op.Cit. (Note 16), hlm. 198.


60 Adrian Sutedi, Ibid., hlm. 199.
47

Sebagaimana juga prinsip pemungutan pajak, maka perizinan dapat

mengatur pilihan-pilihan tindakan dan perilaku masyarakat. Jika

perizinan terkait dengan pengaturan untuk pengelolaan sumber

daya alam, lingkungan, tata ruang, dan aspek strategis lainnya,

maka prosedur dan syarat yang harus ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan harus pula terkait dengan pertimbangan-

pertimbangan strategis tersebut.61

C. Tinjauan Umum Mengenai Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam

Bidang Penataan Ruang

1. Tinjauan Teoritis Mengenai Kewenangan

Secara teoritik terdapat perbedaan pengertian antara ‘kewenangan’ dan

‘wewenang’. Wewenang secara umum merupakan kekuasaan untuk

melakukan suatu tindakan hukum publik. Sedangkan kewenangan itu terdiri

dari banyak wewenang.62 Menurut Peter Leyland, kewenangan publik

mempunyai dua ciri, yaitu (i) Setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat

pemerintah mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh anggota

masyarakat dan (2) setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintah

mempunyai fungsi publik.63

61 Adrian Sutedi, Ibid., hlm. 200.


62 A.M. Yunus Wahid, Pengantar Hukum Tata Ruang, Jakarta: Prenadamedia Grup,
2014, hlm. 11.
63 A.M Yunus Wahid, Loc.cit.
48

Jika dikontekstualkan dalam praktik administrasi Indonesia, telah

disebutkan bahwa Negara Indonesia menganut prinsip negara hukum

bercorak Eropa-Kontinental (rechstaat) yang prinsip utamanya yaitu

memegang teguh asas legalitas, maka dalam setiap tindakan pemerintahan

pun juga harus memiliki dasar hukum (legitimasi), yaitu kewenangan yang

diberikan oleh undang-undang64. Dengan demikian, substansi asas legalitas

adalah kewenangan. “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde

rechtshandelingen”, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan

hukum tertentu.65 Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi,

delegasi, dan mandat.

Indroharto mengatakan dalam atribusi tejadi pemberian wewenang yang

baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan atau proses legislasi.

Adapun bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi

wewenang pemerintahan itu dibedakan antara yang berkedudukan sebagai (i)

original legislator, dalam negara Indonesia yaitu di pusat adalah MPR dan DPR

dan DPD dan di tingkat daerah adalah DPRD bersama Pemda dan (ii)

delegated legislator seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan

undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan

wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha

64 Ridwan H.R., Op.Cit. (Note 11), hlm. 100.


65 P. Nicolai, dalam Ridwan H.R. Ibid., hlm. 101.
49

negara tertentu. Atau dengan kata lain pada atribusi terjadi pemberian

wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ

pemerintahan.66

Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh

badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang

pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara

lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh atribusi wewenang.67

Sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. 68

2. Tinjauan Singkat Mengenai Penataan Ruang

Ruang sebagai pengertian (conseptio) terdiri dari unsur: bumi, air, dan

udara, mempunyai tiga dimensi.69 Menurut Karmono Mangunsukarjo ruang

adalah wadah kehidupan manusia beserta sumber-sumber daya alam yang

terkandung di dalamnya, meliputi bumi, air, dan udara sebagai satu kesatuan.70

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.71 Struktur ruang itu

sendiri adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan

prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial

66 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R., Ibid., hlm. 105.
67 Indoharto dalam Ridwan H.R., Ibid., hlm. 104.
68 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R. Ibid., hlm. 105.
69 A.M. Yunus Wahid, Op.Cit., (Note 59), hlm. 1.
70 A.M. Yunus Wahid, Loc.cit.
71 Lihat: Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan

Ruang
50

ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.72

Adapun pola ruang adalah distribusi peruntukkan ruang suatu wilayah yang

meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk

fungsi budi daya.73

Sedangkan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata

ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.74

Penataan ruang sebagai suatu sistem tersebut mengandung makna bahwa

perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai

dengan peruntukkan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) nasional, provinsi, atau kabupaten/kota harus dipahami sebagai satu

kesatuan yang tidak terpisahkan.75 Dengan demikian RTRW tersebut dapat

berperan untuk:

a) Mewujudkan pemanfaatan ruang yang berdaya guna dan berhasil

guna serta mampu mendukung perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup (PPLH) secara berkelanjutan;

b) Mencegah atau menghindari pemborosan pemanfaatan ruang;

c) Mencegah terjadinya penurunan kualitas ruang.

72 Ibid., Pasal 1 Angka 3.


73 Ibid., Pasal 1 Angka 4.
74 Ibid., Pasal 1 Angka 5.
75 A.M Yunus Wahid, Op.Cit., (Note 59), hlm. 9.
51

Jadi dapat disimpulkan bahwa penataan ruang adalah keseluruhan proses

proses yang berkaitan dengan struktur ruang dan pola ruang untuk

kepentingan pemanfaatan ruang yang efektif dan berkelanjutan.

Adapun dalam penataan ruang didasarkan pada asas-asas:

a) Keterpaduan

Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan

ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai

kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas

pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat

b) Keserasian, keselearasan, dan keseimbangan

Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan

dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola

ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan

lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan

antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan

perdesaan.

c) Keberlanjutan

Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan

ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan


52

kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan

memperhatikan kepentingan generasi mendatang.

d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan

Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan keberhasilgunaan”

adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan

mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung

di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang

berkualitas.

e) Keterbukaan

Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan

ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-

luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang

berkaitan dengan penataan ruang.

f) Kebersamaan dan kemitraan

Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah

bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh

pemangku kepentingan.

g) Perlindungan kepentingan umum

Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah

bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan

kepentingan masyarakat.
53

h) Kepastian hukum dan keadilan

Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah

bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan

hukum/ketentuan peraturan perundangundangan dan bahwa

penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa

keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua

pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.

i) Akuntabilitas

Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa

penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan,

baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.

Semua asas-asas ini diamanatkan langsung pada Undang-Undang

Penataan Ruang dan oleh karenanya wajib diimplementasikan dalam segala

tindakan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang.

3. Tinjauan Umum Mengenai Kewenangan Pemerintah Daerah

Dalam Penataan Ruang

Sejalan dengan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan

ruang (PR) oleh pemerintah dan pemerintah daerah mencakup: 1) Pengaturan;


54

2) Pembinaan ; 3) Pelaksanaan dan Pengawasan Penataan Ruang 76.

Kewenangan pemerintah terhadap tiga hal tersebut didasarkan pada

pendekatan wilayah dengan batas wilayah administratif. Dengan demikian

dalam penataan ruang seluruh wilayah negara Indonesia dibagi ke dalam

empat zona, yaitu:

a. Penataan ruang wilayah nasional;

b. Penataan ruang wilayah provinsi;

c. Penataan ruang wilayah kabupaten; dan

d. Penataan ruang wilayah kota77

Pada setiap zona ini terdapat sumber daya manusia (SDM) dengan

berbagai macam aktivitas penggunaan sumber daya alam (SDA) dengan

tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda. Apabila tidak ditata dengan

baik, dapat mendorong ke arah timbulnya ketimpangan pembangunan

antarwilayah dan ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Oleh karena ada

beberapa subjek (pemerintah dan pemerintah daerah) yang harus terlibat

dalam penataan ruang tersebut, maka perlu adanya kejelasan tentang

kewenangan dalam penataan ruang.78.

76 A.M Yunus Wahid, Ibid., hlm. 111.


77 A.M. Yunus Wahid, Loc.cit.
78 A.M. Yunus Wahid, Loc.cit.
55

Dalam hukum positif Indonesia pengaturan mengenai kewenangan

penataan ruang secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 Tentang Pemerintah Daerah (“UU Pemda”) dan Undang-Undang Nomor

26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (“UUPR”). Dalam hal ini UU Pemda

sebagai lex generalis secara umum memuat pembagian kewenangan

penataan ruang pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan

pemerintah daerah kabupaten/kota dan UUPR sebagai lex specialis mengatur

lebih spesifik tentang pembagian diantara ketiga utamanya mengenai zonasi

dan wilayah administratif masing-masing pemerintahan.

Secara umum pembagian kewenangan dan urursan mengenai

pemanfaatan ruang antar pemerintahan pada UU Pemda dapat dilihat pada

bagian penjelasan undang-undang, yakni sebagai berikut:79

4) Huruf C mengenai Bidang Pekerjaan Umum dan dan Penataan Ruang

angka 8 mengenai sub urusan penataan bagunan dan lingkungan,

sebagai berikut:

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

8. Penataan c. Penetapan Penyelenggaraan Penyelenggaraan

Bangunan dan pengembangan penataan penataan bangunan

Lingkungannya sistem penataan bangunan dan dan lingkungannya di

79
Lihat: lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah mengenai pembagian urusan dan sub urusan antar pemerintahan.
56

bangunan dan lingkungannya di daerah

lingkungannya kawasan kabupaten/kota

secara strategis daerah

nasional. provinsi dan

d. Penyelenggaraan penataan

penataan bangunan dan

bangunan dan lingkungannya

lingkungannya di lintas daerah

kawasan strategis kabupaten/kota

nasional

5) Huruf J mengenai Bidang Pertanahan angka 1 mengenai sub urusan Izin

Lokasi, sebagai berikut:

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

1 Izin Lokasi Pemberian izin Pemberian izin Pemberian izin lokasi

lokasi lintas Daerah lokasi lintas dalam 1 (satu) daerah

provinsi Daerah kabupaten/kota

kabupaten/kota

dalam 1 (satu)

Daerah provinsi
57

6) Huruf K mengenai Bidang Lingkungan Hidup angka 3 mengenai

Pengendalian Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

3 Pengendalian Pencegahan, Pencegahan, Pencegahan,

Pencemaran penangguhan dan penanggulangan penanggulangan dan

dan/atau pemulihan dan/atau pemulihan

Kerusakan pencemaran kerusakan pencemaran dan/atau

Lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan hidup kerusakan lingkungan

Hidup lingkungan hidup lintas Daerah hidup dalam daerah

lintas Daerah provinsi kabupaten/kota kabupaten kota.

dan/atau lintas batas dalam 1 (satu)

negara. Daerah provinsi.

Dalam tiga bagan pembagian urusan antar pemerintahan pada UU Pemda

diatas dapat dilihat, terlepas dari peran pusat dengan menganut asas

desentralisasi, Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/kota memiliki otonomi

pada daerahnya masing-masing terkait urusan Penataan Bangunan dan

Lingkungannya, Izin Lokasi, dan Pengendalian Pencemaran dan/atau


58

Kerusakan Lingkungan Hidup. Ketiga hal tersebut memiliki kaitan langsung

dengan praktik pemanfaatan ruang di tingkat daerah provinsi dan

kabupaten/kota.

Dari pembagian kewenangan mengenai urusan penataan ruang baik di

dalam UU Pemda ataupun UUPR, dapat disimpulkan bahwa kewenangan

diantara kedua pemerintah daerah adalah pemerintah kabupaten/kota memiliki

kewenangan sendiri untuk mengurus penataan ruang wilayahnya sepanjang

itu masih ada di wilayah administratifnya sebagai suatu kabupaten/kota yang

otonom.

Sedangkan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat disimpulkan

pada bagan pembagian urusan UU Pemda, muncul sesuai perannya sebagai

wakil pemerintah pusat di daerah dengan fungsi pengawasan dan pembina

kota/kabupaten, ketika terdapat persinggungan antara wilayah administratif

masing-masing kabupaten/kota di masing-masing wilayah namun tetap tanpa

mengeliminasi kemandirian daerah untuk mengolah wilayahnya sendiri.


59

BAB III

SURAT REKOMENDASI GUBERNUR JAWA BARAT SEBAGAI

PERSYARATAN PENERBITAN IZIN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH

KAWASAN BANDUNG UTARA

A. Peraturan-Peraturan Terkait Surat Rekomendasi Gubernur Jawa

Barat Sebagai Syarat Izin Pemanfaatan Ruang di Wilayah KBU

Pegaturan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah

Kawasan Bandung Utara (KBU) telah ada sejak tahun 1982 yang pada saat itu

terdapat Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 181/1982 tentang

Peruntukkan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara. Pada

peraturan a quo terdapat pembagian peruntukkan wilayah KBU yang dibagi

atas dua jenis, yakni kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan

budidaya dapat diartikan sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,

sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.80 Sedangkan kawasan

lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi

80 Lihat: Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan


Ruang.
60

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya sebagai alam dan

sumber daya buatan.81

Pada perkembanganya sejalan dengan gaung asas desentralisasi pada

praktik pemerintahan di berbagai bidang termasuk bidang penataan ruang

yang dimulai sejak era reformasi, lahir Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat

Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan

Bandung Utara (“Perda 1/2008”) yang salah satu poin terpentingnya adalah

memuculkan surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat sebagai syarat izin

pemanfaatan ruang. Klausul rekomendasi ini tertuang pada Pasal 21 Perda

aquo yang berbunyi “Sebelum Bupati/Wali Kota menerbitkan izin pemanfaatan

ruang di KBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu mendapat

rekomendasi dari Gubernur.” Adanya klausul ini menandakan adanya campur

tangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait pemanfaatan ruang di Wilayah

KBU.

Hal ini sebenarnya dapat dipahami mengingat Kawasan Bandung Utara

merupakah wilayah strategis yang memiliki fungsi vital yaitu sebagai daerah

resapan air yang berarti merupakan sumber mata air sekaligus instrumen

mitigasi bencana seperti banjir dan dan tanah longsor. Dikatakan strategis

karena secara geografis letak Kawasan Bandung Utara berada diantara empat

wilayah kabupaten dan kota, yaitu wilayah Daerah Kabupaten Bandung,

81 Lihat: Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan


Ruang.
61

Daerah Kota Bandung, Daerah Kota Cimahi, dan Daerah Kabupaten Bandung

Barat.82

Namun meski memiliki fungsi yang begitu strategis dan telah ada campur

tangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menjaga pengalihfungsian lahan

yang dapat menyebabkan penurunan fungsi KBU tidak mampu membendung

pengalihfungsian lahan KBU baik kawasan lindung maupun budidaya. Pada

tahun 2013 tercatat kerusakan lahan KBU akibat pembangunan semakin parah

hingga mengakibatkan 75% lahan KBU yang memiliki luasan 38.543 hektare

tersebut dalam kondisi kritis.83 Walhi Jabar pada tahun yang sama

memperkirakan sekitar 3.000 bangunan komersil di Kawasan Bandung Utara,

dan diperkirakan sekitar 30% bangunan bermasalah dari aspek perizinan tata

ruang dan lingkungan hidup.

Berdasarkan hal tersebut Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengendalian

Kawasan Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat

(“Perda 2/2016”) yang menggantikan Perda 1/2008. Salah satu unsur yang

menjadi poin penting pada Perda baru ini adalah mengenai penguatan

kedudukan surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat sebagai syarat izin

pemanfaatan ruang yang dikeluarkan pemerintah kabupaten/kota terkait.

82 Lihat: Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pedoman


Pengendalian Kawasan Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat.
83 “Audit Bangunan di Kawasan Bandung Utara”, http://sp.beritasatu.com/home/audit-

bangunan-di-kawasan-bandung-utara/46262 [diakses pada 14/06/2017]


62

Adapun letak penguatan kedudukan surat rekomendasi Gubernur Jawa

Barat dapat dilihat pada Pasal 54 Perda 2/2016 yang menyatakan “Setiap

orang yang melakukan pemanfaatan ruang KBU wajib memperoleh

rekomendasi Gubernur dan izin pemanfaatan ruang dari bupati/wali kota,

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Berikut perbedaan bunyi

pasal terkait persyaratan surat rekomendasi sebagai syarat izin pada kedua

Perda mengenai penataan ruang Kawasan Bandung Utara:

Pasal 21 Peraturan Daerah Jawa Pasal 54 Peraturan Daerah Jawa

Barat No. 1 Tahun 2008 Barat No. 2 Tahun 2016

“Sebelum Bupati/Wali kota “Setiap orang yang melakukan

menerbitkan izin pemanfaatan pemanfaatan ruang KBU wajib

ruang di KBU sebagaimana memperoleh rekomendasi

dimaksud pada ayat (1), perlu Gubernur dan izin pemanfaatan

mendapat rekomendasi dari ruang dari Bupati/Wali Kota,

Gubernur.” sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan”

Dapat dilihat Perda 2/2016 menitikberatkan bahwa setiap orang yang

melakukan pemanfaatan ruang (pemrakarsa) dibebankan kewajiban untuk

memperoleh izin dari Gubernur Jawa Barat terlebih dahulu untuk mendapatkan
63

izin dari bupati/wali kota. Pasal ini menggeser paradigma surat rekomendasi

pada Perda 1/2008 yang seakan beban untuk mendapatkan surat rekomendasi

berada pada bupati/wali kota.

Adapun dalam peraturan pelaksana yang lebih rinci yang mengatur

mengenai penataan ruang KBU secara umum dan rekomendasi secara lebih

spesifik, meskipun telah ada Perda 2/2016 saat ini masih mengacu kepada

Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008

(“Pergub 21/2009”) Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan

Bandung Utara dan perubahannya yaitu Peraturan Gubernur Jawa Barat

Nomor 58 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa

Barat Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian

Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (Pergub 58/2011) dimana

perihal persyaratan surat rekomendasi terletak pada Pasal 22 Pergub 21/2009

yaitu:

Ayat (1) “Persyaratan yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20

huruf b adalah persyaratan yang diperlukan dalam pemenuhan aspek

keabsahan untuk suatu usaha/kegiatan.”; dan

Ayat (2) “Persyaratan yuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. akta pendirian;
64

b. kartu tanda peduduk;

c. rekomendasi;

d. dokumen AMDAL atau UKL/UPL;

e. izin-izin lain yang terkait;

f. pernyataan tidak keberatan dari masyarakat yang terkena

dampak; dan

g. dokumen hukum lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.”

Dalam Pergub 58/2011 diatur juga bahwa dalam menerbitkan surat

rekomendasi yang merupakan wewenang gubernur didelegasikan kepada

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat yang saat ini

berubah nomenklaturnya menjadi Badan Penanaman Modal dan Perizinan

Terpadu (BPMPT) Provinsi Jawa Barat.

B. Bentuk dan Isi Surat Rekomedasi Gubernur Jawa Barat sebagai

Syarat Izin Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

Surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat sebagai syarat untuk

dikeluarkannya izin pemanfaatan ruang di wilayah KBU saat ini diproses dan

dikeluarkan oleh Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT)

Provinsi Jawa Barat yang mendapat kewenangan delegasi dari Gubernur Jawa
65

Barat sebagaimana tertuang pada Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2)

Pergub 58/2011. Berikut adalah salah satu contoh surat rekomendasi

sebagaimana dimaksud pada Perda 2/2016:

Gambar 1.1 Halaman 1 Surat Rekomendasi


66

Gambar 1.2. Halaman 2 Surat Rekomendasi


67

Gambar 1.3. Halaman 3 Surat Rekomendasi


68

Gambar 1.4 Halaman 4 Surat Rekomendasi


69

Jika dilihat bentuk surat rekomendasi tersebut tidak ada ubahnya seperti

surat izin pada umumnya. Dari segi isi surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat

ini dapat dibagi kedalam lima bagian utama, yaitu:

1) Kepala Surat

Pada bagian paling atas terdapat nama instansi yang memiliki

wewenang untuk menerbitkan surat rekomendasi, yaitu BPMPT

Provinsi Jawa Barat.

2) Bagian Pembuka

Bagian Pembuka pada surat rekomendasi berisi nomor surat, tanggal,

serta kalimat pembuka surat rekomendasi yang umumnya berbunyi

“Menindaklanjuti permohonan perizinan nomor xxxxx tertanggal xx-

xx-xxxx ........ (Pertimbangan Pemberian Rekomendasi) ..... Bersama

ini disampaikan pada prinsipnya Kami memberikan Rekomendasi

Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara kepada:”

3) Identitas Pemohon dan Objek Permohonan

Pada bagian ini disebutkan secara singkat nama lengkap

pemohon/pemrakarasa serta objek/lahan yang dimohonkan untuk

mendapatkan rekomendasi. Pada bagian ini objek permohonan

dijelaskan melalui:

a. Koordinat Lokasi;

b. Ketinggian Lokasi;

c. Rencana Peruntukkan;
70

d. Perizinan yang Dimohon;

e. Status Lahan;

f. Luas Lahan; dan

g. Kondisi Lahan

4) Persyaratan

Selayaknya surat izin, pada bagian ini terdapat syarat-syarat apa saja

yang perlu diperhatikan oleh pemohon/pemrakarsa izin untuk

diperhatikan dan dipenuhi seperti kesesuaian dengan RTRW

kabupaten/kota terkait, jenis bangunan apa yang boleh dibangun,

penetapan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan persyaratan teknis

lainnya.

5) Bagian Penutup

Pada bagian penutup terdapat masa berlaku surat rekomendasi,

kalimat penutup surat serta dilengkapi tanda tangan Kepala BPMPT

selaku penerima wewenang delegasi dari Gubernur Jawa Barat.

C. Kawasan Bandung Utara dan Permasalahan Terkait Perizinan

Pembangunannya

Kawasan Bandung Utara (KBU), merupakan kawasan perbukitan yang

berada dalam wilayah adminisitratif empat kabupaten/kota, yaitu Kabupaten

Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Sejak
71

jaman kolonial, KBU sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang

bertujuan memberikan perlindungan lingkungan alam bagi aktivitas kehidupan

dan perkembangan kota metropolitan (Bandung Raya) yang berada di

bawahnya.84 KBU ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dalam

RTRW Provinsi Jawa Barat 2009-2029. KBU berfungsi sebagai daerah

resapan air yang menyuplai sedikitnya 60% kebutuhan air daerah sekitarnya,

dan juga berpotensi menimbulkan masalah lingkungan. Berdasarkan fungsi

konservasi dan potensi kebencanaan lingkungan yang dampaknya bersifat

lintas kabupaten/kota.85

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengendalian

pemanfaatan KBU, yang kemudian direvisi dengan Perda Nomor 2 Tahun

2016, berupaya melindungi KBU dengan mengharuskan pembangunan fisik

hanya 20% dari luas lahan dan sisanya untuk ruang terbuka hijau serta

resapan air. Namun demikian, penerbitan Perda tersebut tidak menyurutkan

proses kegiatan pembangunan di kawasan KBU. Pembangunan bangunan liar

masih marak berdiri tanpa izin dari pemerintah daerah setempat, baik

bangunan untuk perusahaan dan apartemen. Meskipun pemerintah sudah

84 Novie Indrawati Sagita, Strategi Gerakan Kelompok Kepentingan Dalam


Pengawasan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, Departemen Ilmu
Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Jurnal Wacana Politik Vol. 1, No. 2, Oktober 2016
hlm. 9.
85 Novie Indrawati Sagita, Loc.cit.
72

menegur pemilik bangunan untuk memenuhi mekanisme perizinan,

pembangunan pun tetap berlanjut.

Terdapat dua masalah yang terjadi di wilayah KBU, yaitu bangunan yang

berdiri di lahan negara dan bangunan yang berdiri di lahan milik pribadi yang

pelaksanaan pembangunan keduanya melanggar ketentuan pemanfaatan

ruang yang telah ditetapkan juga bangunan yang melanggar prosedur

perizinan.86 Banyak bangunan di KBU yang berdiri tanpa memiliki IMB dan

tidak mengantongi rekomendasi gubernur. Namun tidak sedikit pula bangunan

yang berdiri meskipun memiliki IMB, namun tidak mengantongi rekomendasi

gubernur.87

Hal ini dapat dilihat dari sekitar 38 ribu hektare luas lahan KBU

sebagaimana tercantum dalam Perda yang merupakan kawasan lindung,

namun kenyataanya 80 persennya sudah diintervensi oleh pemukiman, hotel,

dan lain sebagainya.88 Fakta di lapangan juga menunjukkan, dalam dua

dekade terakhir kerusakan KBU berdampak langsung pada Cekungan

Bandung. Kota Bandung yang merupakan ”pusat peradaban modern”

Cekungan Bandung kini merasakan apa yang 20 tahun lalu tidak pernah terjadi

pada musim hujan, yakni banjir di kawasan Jalan Dago dan Jalan Pasteur yang

86 Pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, pada

https://m.tempo.co/read/news/2014/08/20/058601022/penertiban-bangunan-liar-dibandung
utara-mandek, [diakses pada 18/06/2017].
87 Novie Indrawati Sagita, Op.Cit. (Note 82), hlm. 97.
88 “Daerah Resapan Air di Bandung Tergerus Terbitlah Banjir”

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-38132331 [diakses pada 18/06/2017].


73

berubah menjadi ”sungai”. Di Jalan Dago, saat intensitas hujan paling tinggi

pada periode Desember-Februari, ribuan kubik air meluap dari gorong-gorong

jalan, memenuhi badan jalan, dan mengalir sangat deras menuju daerah

selatan.89

Sebagai wilayah tangkapan air hujan (catchment area), KBU pun

mengalami degradasi setiap tahun. Menurut Taufan Suranto, penggiat

lingkungan DPKLTS, koefisien run-off KBU pada 1960 sebesar 25 persen,

yang berarti 75 persen air hujan meresap ke dalam tanah dan 25 persen

sisanya terbuang menjadi aliran permukaan, di antaranya menuju sungai.

Namun, pada 2004, koefisien run-off KBU menjadi 65 persen, yang berarti

hanya 35 persen yang meresap ke dalam tanah. Kondisi yang sama

ditunjukkan oleh penelitian ahli hidrologi Institut Teknologi Bandung, Arwin

Sabar, pada 1995, di mana wilayah KBU yang bisa berfungsi sebagai resapan

air tinggal 30-40 persen.90

Rusaknya 70 persen lebih wilayah KBU juga membuat Cekungan

Bandung mengalami degradasi jumlah hari bersih secara masif. Hari bersih

adalah rata-rata hari tanpa polusi udara dan debu selama setahun. Menurut

Mubiar, dua tahun lalu, hari bersih di Cekungan Bandung rata-rata 55 hari per

tahun. Tahun 2011 rata-ratanya turun menjadi 32 hari. Jika diasumsikan

89 Anton Sanjoyo, “Bencana Mengintai Dari Bandung Utara”,


http://olahraga.kompas.com/read/2012/09/14/03230926/Bencana.Mengintai.dari.Bandung.Ut
ara [diakses pada 18/06/2017].
90 Iden Wildensyah, Kompas, 29 Januari 2010.
74

penurunannya secara gradual pada tahun 2017 dapat dikatakan tidak ada lagi

hari bersih di daerah cekungan Bandung. Kondisi ini terkait terus berkurangnya

kawasan hijau dan areal hutan KBU.91 Secara sederaha tutupan lahan semakin

bertambah di KBU karena bertambahnya bangunan-bangunan yang terus

menjamur.

Dari sampling yang dilakukan pada 2010, ditemukan hanya 20 persen

bangunan di KBU yang memiliki izin. Dengan demikian, bangunan tak berizin

di KBU mencapai 80 persen.92 Berbagai penurunan kualitas lingkungan

tersebut yang masih berlanjut hingga hari ini memperlihatkan rekomendasi

gubernur terkait pembangunan di Kawasan Bandung Utara tidak mendapatkan

perhatian dan perlu mendapat evaluasi.93 Hal ini menjadi urgensi demi

terjaganya kelestarian KBU sebagai wilayah strategis bagi wilayah Bandung

Raya.

91 Anton Sanjoyo, Op.Cit. (Note 87)


92 Dikutip dari Pernyataan Kepala Seksi Pengendalian dan Pengawasan Dinas
Permukiman dan Perumahan (Diskimrum) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat,
Muhamad Eko kepada Pikiran Rakyat pada tahun 2013, http://www.pikiran-
rakyat.com/bandung-raya/2013/05/30/236800/pembangunan-di-kawasan-bandung-utara-
semakin-marak [diakses pada 19/06/2017]
93 Dikutip dari Pernyataan Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan

Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin Supardiono, http://sp.beritasatu.com/home/audit-


bangunan-di-kawasan-bandung-utara/46262 [diakses pada 19/06/2017]
75

BAB IV

ANALISIS BENTUK DAN KEDUDUKAN SURAT REKOMENDASI

GUBERNUR JAWA BARAT TERKAIT IZIN PEMANFAATAN RUANG

DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN BANDUNG UTARA (KBU)

A. Analisis Bentuk Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat Terkait Izin

Pemanfaatan Ruang Wilayah Kawasan Bandung Utara

Dalam praktik administrasi negara yang berjalan seiring roda besar

pemerintahan secara umum (eksekutif-legislatif-yudikatif), keputusan dan/atau

tindakan administrasi negara merupakan suatu hal yang lumrah dan pasti

ditemui pada kehidupan sehari-hari terutama di negara hukum (rechstaat).

Rechstaat yang berarti segala tindakan pemerintah harus selalu didasari dasar

hukum maka dalam bentuk konkretnya diwujudkan melalui tindakan dan/atau

keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menimbulkan akibat hukum

tertentu.

Adapun tindakan pemerintahan dibagi atas dua macam, yakni tindakan

nyata (feijtelijkhandelingen) maupun tindakan hukum (rechtelijkhandelingen).94

Secara singkat perbedaan keduanya adalah tindakan nyata tidak memiliki

akibat-akibat hukum sedangkan tindakan hukum pasti menimbulkan akibat-

94 Ridwan H.R. Op.Cit. (Note 11), hlm. 113.


76

akibat hukum. Apabila dihubungkan dengan penjelasan pada bagian

sebelumnya dapat dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintah merupakan

bagian dari KTUN. Hal ini sejalan dengan pengertian KTUN berdasarkan Pasal

1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa:

“Ketetapan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan

tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha

negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang

berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang

bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Definisi KTUN tersebut diwujudkan salah satunya melalui format atau

bentuk formil KTUN baik berupa surat keputusan pengangkatan,

pemberhentian, izin, lisensi, konsensi ataupun lainnya. Hal ini penting terkait

dengan kepastian hukum. Jika dihubungkan dengan konsep negara rechtstaat

maka bentuk formil sebuah KTUN menunjukkan legalitas yang diberikan oleh

administrasi negara kepada pihak yang ditujukan KTUN tersebut maka dari itu

dalam mengeluarkan surat keputusan yang mengakibatkan akibat hukum

suatu instansi atau pejabat harus mencerminkan bentuk KTUN. Selain itu

bentuk formil dari KTUN menjadi hal yang penting sebagai objek sengketa

PTUN apabila terjadi sengketa di kemudian hari.


77

Selanjutnya untuk melihat apakah surat rekomendasi Gubernur Jawa

Barat yang merupakan syarat izin pemanfaatan ruang KBU dapat

dikategorikan sebagai KTUN atau bahkan sebagai instrumen izin, dapat

dianilisis pada unsur-unsur KTUN, yaitu:

1) Penetapan tertulis.

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, istilah

“penetapan tertulis” menunjukan kepada isi dan bukan kepada bentuk

keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Keputusan itu

memang diharuskan tertulis namun yang diisyaratkan tertulis bukanlah bentuk

formatnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.

Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh

karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut

dan akan merupakan keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara

menurut UU ini apabila sudah jelas: (i) Badan atau pejabat TUN yang

mengeluarkannya (ii) Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut (iii)

Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Jika

dianalisis berdasarkan unsur ini sesuai dengan bentuknya rekomendasi

Gubernur Jawa Barat sebagai syarat izin pemanfaatan ruang KBU berbentuk

surat merupakan penetapan yang berbentuk fisik dan tertulis sedangkan isinya

bertujuan sebagai syarat penerbitan izin pemanfaatan ruang oleh bupati/wali

kota.
78

2) Dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN.

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009, Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan

daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Dalam hal ini

sebagaimana bunyi Pasal 54 ayat (1) Perda 2/2016 yakni:

“Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang KBU

wajib memperoleh rekomendasi Gubernur dan izin pemanfaatan

ruang dari bupati/wali kota, sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan”

juncto Pasal 55 Perda 2/2016 yakni

“Proses pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 54 dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan

Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat.”

Dari bunyi pasal tersebut apabila melihat surat rekomendasi Gubernur

Jawa Barat yang menjadi syarat izin pemanfaatan ruang, dapat disimpulkan

badan/pejabat TUN yang berwenang menerbitkan surat rekomendasi adalah

Gubernur Jawa Barat yang kemudian pada pelaksanaannya didelegasikan

kepada BPMPT Provinsi Jawa Barat.

3) Bersifat konkret, individual, dan final

Istilah konkret yang dimaksud adalah tidak bersifat abstrak objeknya,

yang mungkin terbatas pada waktu atau tempatnya. Individual berarti tidak
79

bersifat umum, tertentu berdasarkan apa yang dituju oleh keputusan itu. 95

Serta final berarti sudah definitif sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.96

Ketetapan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi

lain belum bersifat final sehingga belum dapat menimbulkan suatu hak atau

kewajiban pada pihak yang bersangkutan.97 Jika ditinjau surat rekomendasi

Gubernur Jawa Barat yang merupakan syarat izin pemanfaatan ruang di KBU

dapat dsimpulkan bahwa surat rekomendasi tersebut memenuhi unsur konkret

individual final. Individual dan konkret karena pada rekomendasi memutuskan

mengenai hal tertentu yakni kelayakan pemohon tertentu izin atas izin

pemanfaatan ruang. Sedangkan bersifat final karena pada dasanya

sebagaimana ketentuan Perda 2/2016 yang berhak mengeluarkannya adalah

Gubernur untuk selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan yang mengikat bagi

bupati/wali kota terkait. Adapun akibat hukum apabila tidak terpenuhinya syarat

rekomendasi adalah izin pemanfaatan ruang akan cacat formil dan berdampak

pada batal demi hukum sebagaimana tercantum pada Pasal 56 Perda 2/2016,

yaitu

“Dalam hal Bupati/Wali Kota menerbitkan izin pemanfaatan

ruang di KBU tidak berdasarkan rekomendasi Gubernur, maka

keputusan izin dinyatakan batal demi hukum”

95H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, dalam Ridwan H.R., Ibid., hlm. 159.
96Lihat: Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
97 Ridwan H.R., Op.Cit. (Note 11) hlm. 160.
80

4) Menimbulkan akibat hukum

Menimbulkan akibat hukum dalam hal ini berarti menimbulkan suatu

perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada.98 Pada kasus

surat rekomendasin Gubernur Jawa Barat ini maka akibat hukum yang

ditimbulkan adalah sebagaimana bunyi Pasal 56 Perda 2/2016 yang apabila

ditafsirkan secara a contrario maka kewenangan bupati/wali kota yang memiliki

kepentingan di KBU untuk menerbitkan izin baru lahir secara sempurna apabila

telah ada dan harus berdasarkan surat rekomendasi. Hal ini sebagaimana

pendapat Indroharto yang menyatakan:

“Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis


(KTUN) harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam
hubungan-hubungan hukum yang telah ada, umpama melahirkan
hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang
telah ada, menetapkan suatu status, dan sebagainya. Juga
apabila suatu Penetapan Tertulis itu melahirkan suatu wewenang
bagi suatu Badan atau Jabatan TUN yang lain untuk berbuat
sesuatu, atau menyebabkan diubahnya atau dicabutnya
wewenang yang pernah dimiliki oleh suatu Badan atau Jabatan
TUN, maka di situ juga dapat dikatakan, bahwa Penetapan
Tertulis tersebut telah menimbukan akibat hukum.”

Dengan melihat unsur-unsur diatas maka dapat simpulkan bahwa surat

rekomendasi Gubernur Jawa Barat Barat sebagai syarat izin pemanfaatan

ruang Kawasan Bandung Utara dapat dikatakan sebagai Ketetapan Tata

Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 9 UU PTUN.

98 Indroharto, Op.Cit. (Note 35), hlm. 174.


81

Selanjutnya apabila dianalisis lebih jauh terdapat hal yang menarik pada

bagian surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat terkait izin pemanfaatan ruang

tersebut. Pada bagian surat rekomendasi yang dikeluarkan terdapat bagian

persyaratan. Hal ini menarik karena seperti yang diketahui bahwa unsur

persyaratan lazim ditemui pada instrumen surat izin. Hal ini menimbulkan

kebingungan apakah surat rekomendasi ini dapat digolongkan hanya sebagai

syarat dari izin pemanfaatan ruang ataukah izin dari Gubernur Jawa Barat

sebagai pihak yang memiliki kepentingan di KBU.

Pada bagian persyaratan surat rekomendasi terdapat syarat-syarat yang

bersifat teknis. Hal ini contohnya dapat dilihat pada Surat Rekomendasi

Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara Nomor

640284/17.2.02.0/BPMPT. Pada bagian persyaratan tersebut ditandai sebagai

berikut “Rekomendasi ini diberikan dengan catatan yang bersangkutan harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Peruntukkan lokasi kegiatan dan rencana kegiatan harus sesuai

dengan RDTR, Peraturan Zonasi, dan/atau RTRW Kabupaten

Bandung, serta tidak mempunyai masalah agraria (pertanahan);

2. Mempertahankan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sebesar 25,1%

dari luas lahan atau seluas 90,86 m2 untuk luas tapak bangunan (lihat

lampiran).

Peletakan bangunan harus pada lahan dengan kelerengan <30%;


82

3. Mempertahankan Ruang Terbuka kawasan sebesar 271,14 m 2,

berupa:

- Ruang Terbuka Hijau Abadi (RTHA) berupa taman/lahan yang

ditanami pohon/tanaman keras seluas minimal 108,46 m2

- Area terbuka yang masih dapat meresapkan air (a.I; area parkir)

seluas maksimal 162,68 m2 dengan bahan perkerasan

grassblock/pavingblok/polietilen

.......... “

Dari kutipan bagian persyaratan diatas dapat dilihat syarat-syarat yang

bersifat teknis dan individual. Hal ini pada umumnya dapat dilihat pada

instrumen izin. Dengan adanya bagian persyaratan pada rekomendasi hal ini

seolah mencerminkan bahwa surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat terkait

pemanfaatan bukan hanya sebatas surat rekomendasi biasa karena

mensyaratkan beberapa hal yang mewajibkan pemrakarsa untuk melakukan

hal tertentu. Dengan adanya persyaratan-persyaratan ini menunjukkan bahwa

rekomendasi tidak ubahnya dengan izin itu sendiri. Karena pada hakikatnya

frasa rekomendasi itu sendiri memiliki padanan dengan kata ‘saran’.

Sebagaimana berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

rekomendasi berarti berarti “hal minta perhatian bahwa orang yang disebut

dapat dipercaya dengan baik (biasa dinyatakan dengan surat) atau


83

penyungguhan saran yang menganjurkan (membenarkan, menguatkan)”.99

Saran atau rekomendasi tidak bersifat mengikat dan oleh karena itu kurang

ideal apabila dalam praktiknya pada bagian surat rekomendasi terdapat

persyaratan yang mewajibkan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan

tertentu.

Pada praktik administrasi negara sendiri penggunaan surat rekomendasi

sudah dilakukan dalam beberapa bidang lain. Rekomendasi biasanya

dibutuhkan oleh suatu pejabat atau instansi sebelum mengambil suatu

keputusan konkret. Pada praktiknya pun surat rekomendasi, karena sifatnya

yang berupa penguatan, biasanya berasal dari instansi/pejabat yang lebih

rendah kepada instansi/pejabat yang lebih tinggi (bottom-up). Hal ini logis

mengingat bahwa instansi/pejabat yang lebih tinggi memiliki kewenangan yang

lebih dalam mengambil suatu keputusan.

Contoh konkret dari penggunaan surat rekomendasi yang bersifat

bottom-up dalam administrasi negara dapat dilihat pada pengambilan

keputusan terkait penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)

sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015

Tentang Pengupahan (“PP 78/2015”). Pada Pasal 47 ayat 2 PP 78/2015

disebutkan bahwa:

99 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rekomendasi [diakses pada 17/06/2017].


84

“Dalam hal telah dilakukan peninjauan kebutuhan hidup

layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (5), gubernur

menetapkan Upah minimum kabupaten/kota dengan

memperhatikan rekomendasi bupati/wali kota serta saran dan

pertimbangan dewan pengupahan provinsi.”

Pada bunyi pasal diatas dijelaskan bahwa gubernur dalam hal

menetapkan UMK harus mempertimbangkan rekomendasi dari bupati/wali

kota dan dewan pengupahan provinsi (DPP) yang terdiri dari perwakilan

pengusaha serta pekerja. Selain itu yang perlu digarisbawahi juga bahwa

dalam surat rekomendasi bupati/wali kota terkait UMK tidak terdapat bagian

persyaratan melainkan hanya berisi pernyataan penetapan rekomendasi

angka minimal UMK setiap kabupaten/kota yang dihitung berdasarkan formula

penghitungan dari PP 78/2015 untuk kemudian diajukan kepada gubernur.

Dapat disimpulkan bahwa rekomendasi terkait penetapan UMK datang dari

bawah, yakni bupati/wali kota yang merupakan pejabat wilayah administratif

yang berada di bawah wilayah administratif provinsi ke atasan pejabatnya,

yakni gubernur. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan praktik surat

rekomendasi Gubernur Jawa Barat terkait pemanfaatan ruang KBU yang

selain berisikan persyaratan juga justru bersifat top-down. Dalam hal ini berarti

surat rekomendasi gubernur ditujukan kepada pejabat yang berada di

bawahnya yakni bupati/wali kota.


85

Dari penjelasan dan perbandingan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

dengan adanya bagian persyaratan di dalam tubuh surat rekomendasi

gubernur Jawa Barat sebagai syarat pemanfaatan ruang KBU memperlihatkan

kerancuan bentuk surat rekomendasi itu sendiri yang justru lebih mengarah

kepada bentuk surat izin. Selain itu, melihat unsur-unsur surat rekomendasi

yang memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah KTUN maka dapat dikatakan

surat rekomendasi berisi tindakan hukum (rechtelijkhandelingen) yang dapat

menimbulkan akibat-akibat hukum

B. Analisis Kedudukan Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat

Sebagai Syarat Izin Pemanfaatan Ruang di Wilayah Kawasan

Bandung Utara (KBU) Dikaitkan dengan Sumber Kewenangan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dalam Menerbitkan Izin

Untuk memudahkan analisa pada bagian ini akan dipaparkan terlebih

dahulu sumber kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam

penyelenggaraan perizinan penataan ruang termasuk dasar kewenangan

menerbitkan rekomendasi sebagai syarat izin pemanfaatan ruang.

Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai negara hukum yang juga

merupakan negara administratif yang berarti semua dasar kewenangan

badan/instansi dan pejabat pusat maupun daerah harus bersumber kepada

hukum tertulis atau undang-undang. Tak terkecuali dalam hal penerbitan izin
86

yang secara umum saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014). UU 23/2014 secara garis

besar membagi jenis urusan pemerintahan serta bagaimana pembagian

kewenangan terhadap urusan-urusan yang dapat dibagi tersebut. Sebelum

lebih jauh membahas mengenai pembagian urusan, perlu diketahui bahwa UU

23/2014 mengamanatkan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagai corak

utama pemerintahan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang a quo yakni

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan

rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.”

Adapun pada urusan penyelenggaraan pemerintahan di daerah

berasaskan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan

sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (4) menyatakan:

“Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan

asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.”


87

Pada UU 23/2014 secara rinci dijelaskan bahwa urusan pemerintahan

terbagi menjadi tiga macam yakni urusan absolut, yaitu urusan yang

sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat yang meliputi urusan

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,

dan agama.100 Urusan konkuren yakni urusan pemerintahan yang dibagi

pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Serta

urursan pemerintahan umum yang merupakan kewenangan presiden yaitu

meliputi:

a. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam

rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian

Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;

c. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras,

dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal,

regional, dan nasional;

d. penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

100 Lihat: Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah.
88

e. koordinasi pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan yang ada

di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk

menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman

Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan

g. pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan

kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.101

Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa penerbitan izin pemanfaatan ruang

tidak termasuk ke dalam urusan pemerintahan absolut yang merupakan

domain pemerintah pusat maupun urusan pemerintahan umum yang

merupakan kewenangan presiden. Oleh demikian terkait kewenangan

penerbitan izin termasuk ke dalam urusan pemerintahan konkuren yang berarti

terjadi pembagian kewenangan antara kewenangan pemerintah pusat,

pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Pembagian urusan serta kewenangan antar pemerintahan secara detail dapat

dilihat pada bagian lampiran UU 23/2014 dimana terdapat bagan pembagian

kewenangan yang berdasarkan pada jenis urusan.

101 Lihat: Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah.
89

Selanjutnya, mengenai dasar pemberian kewenangan daerah terkait

penyelenggaran perizinan termaktub pada Pasal 350 UU 23/2014 yang

menyatakan bahwa:

“(1) Kepala daerah wajib memberikan pelayanan

perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) Dalam memberikan pelayanan perizinan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) Daerah membentuk unit pelayanan

terpadu satu pintu.

(3) Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu

sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (2) berpedoman

pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan

perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi

administratif

(5) ....

(6) ....”

Dari bunyi ayat (1) dapat dianalisis bahwa urusan penyelenggaraan

perizinan di daerah merupakan kewajiban pemerintah daerah. Adapun

pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintah daerah provinsi dan

pemerintah daerah kabupaten/kota. Pada ayat (2) dan (3) disebutkan dalam

penyelenggaraannya dapat diberikan kepada unit kerja atau badan terpadu


90

yang jika dikontekstualisasikan pada penyelenggaraan perizinan di Provinsi

Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun

2016 medelegasikan penyelenggaraan perizinan kepada BPMPT Jawa Barat.

Adapun pemerintah daerah kabupaten/kota yang berada di wilayah

administratif Jawa Barat juga mendirikan Badan Perizinan Terpadu di masing-

masing wilayah kerjanya untuk urusan perizinan yang berada di wilayah

administratif kabupaten/kota. Penyelenggaraan perizinan di daerah ini

merupakan bentuk dari perwujudan asas desentralisasi dan otonomi di daerah

yang bahkan begitu pentingnya kewajiban pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan izin memiliki konsekuensi sanksi administratif apabila kepala

daerah tidak menjalankan sebagaimana diamanatkan pada ayat (4) Undang-

Undang a quo.

Jenis izin yang berada di tingkat daerah sangat beragam dan memiliki

hubungan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat

sektoral dan spesifik. Seperti izin usaha pertambangan mineral dan batu bara

akan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang merupakan lex specialist dari

pengaturan izin pertambangan yang ada pada UU Pemda sebagai lex

generalis. Apabila ditinjau terkait izin pemanfaatan ruang maka pengaturan

yang spesifik mengenai penataan ruang lex specialist-nya dapat dilihat pada

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (“UUPR”).

Dalam urusan penataan ruang para pihak yang berkepentingan harus


91

memperhatikan asas-asas penataan ruang yang antara lain terdiri dari

keterpaduan, keselarasan, keberlanjutan, kepastian hukum serta akuntabilitas.

Adapun mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat,

daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota terdapat pada pasal:

a. Pemerintah Pusat (Pasal 8 UUTR)

“(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan

penataan ruang meliputi:

a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap

pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan

kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang

kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;

b. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;

c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional;

dan

d. kerja sama penataan ruang antarnegara dan

pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarprovinsi.

(2) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan

ruang nasional meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;

b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.


92

(3) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan

ruang kawasan strategis nasional meliputi:

a. penetapan kawasan strategis nasional;

b. perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;

c. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis

nasional.

(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan

pemerintah daerah melalui dekonsentrasi dan/atau tugas

pembantuan.

(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang,

Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman

bidang penataan ruang.”

b. Pemerintah Provinsi (Pasal 10 UUTR)

“(1) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam

penyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap

pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan


93

kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang

kawasan strategis provinsi, dan kabupaten/kota;

b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;

c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan

d. Kerja sama penataan ruang antar provinsi dan pemfasilitasan

kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.

(2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam

pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a. Perencanaan tata ruang wilayah provinsi;

b. Pemanfaatan ruang wilayah provinsi;

c. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi;

(3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah

provinsi melaksanakan:

a. Penetapan kawasan strategis provinsi;

b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;

c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi;

d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.


94

(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat dilaksanakan oleh

pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan

(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang

wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun

petunjuk pelaksanaan bidang-bidang penataan ruang pada

tingkat provinsi dan kabupaten/kota.”

c. Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 11 UUPR)

“(1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam

penyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap

pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, dan

kawasan strategis kabupaten/kota;

b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;

c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

dan

d. Kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.

(2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam

pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:


95

a. Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b. Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota;

c. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota;

(3) Dalam penataan ruang kawasan strategis

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,

pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan:

e. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;

a. Perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

b. Pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

c. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis

kabupaten/kota.”

Apabila dianalisis pada ketiga pasal tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa pada dasarnya pengaturan kewenangan penataan ruang merupakan

kewenangan yang berasal dari pemerintah pusat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (2)

yang menyatakan Pemerintah (pusat) memiliki kewenangan untuk membuat

perencanaan tata ruang wilayah nasional. Perencanaan tata ruang nasional ini

menjadi dasar sekaligus pedoman bagi pemerintah daerah provinsi maupun

pemerintah daerah kabupaten/kota (secara tidak langsung) dalam menyusun

perencanaan tata ruang wilayahnya masing-masing. Pengaturan yang

demikian dapat ditafsirkan sebagai kehendak untuk mewujudkan keselarasan


96

pembangunan dari pusat hingga daerah sebagaimana amanat asas Undang-

Undang Penataan Ruang.

Selanjutnya meskipun terkesan pemerintah pusat ikut campur tangan

dalam urusan otonomi penataan ruang daerah, namun perlu diingat dengan

berlandaskan otonomi daerah terdapat batasan-batasan antara tiga tingkat

pemerintahan tersebut. Jika ditinjau dari bunyi Pasal 8, 9, dan 10 UUPR diatas

dapat diperoleh kesimpulan:

a. Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam penataan dan

penyelenggaraan ruang nasional secara umum. Selain itu Pemerintah

Pusat dapat turun tangan dalam penyelenggaraan penataan ruang

apabila terdapat singgungan penyelenggaraan wilayah daerah yang

lintas provinsi.

b. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan dan otonominya sendiri

dalam penataan dan penyelenggaran ruang di daerah dengan tetap

mengacu pada rencana tata ruang wilayah nasional. Pemerintah

provinsi juga memiliki kewenangan untuk menetapkan kawasan

strategis provinsi. Selain itu pemerintah provinsi dapat turun tangan

dalam penyelenggaraan penataan ruang apabila terdapat singgungan

penyelenggaraan wilayah daerah yang lintas kabupaten/kota.

c. Pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan berdasarkan

prinsip otonomi dalam penataan dan penyelenggaran ruang di

daerahnya dengan tetap mengacu kepada pada rencana tata ruang


97

wilayah provinsi. Pemerintah kabupaten/kota juga dapat menetapkan

kawasan strategis kabupaten/kota.

Apabila dikontekstualisasikan pada penyelenggaraan perizinan di

Kawasan Bandung Utara, mengingat fungsi serta potensi dampak lingkungan

yang ditimbulkan KBU pada daerah di sekitarnya maka Pemerintah Provinsi

Jawa Barat sudah menetapkan KBU sebagai Kawasan Strategis Provinsi

(KSP).102 Adapun KSP adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan

karena mempunyai pengaruh sangat penting secara regional dalam aspek

pertahanan keamanan negara, ekonomi, sosial budaya, lingkungan, dan/atau

pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi.103 Apabila dilihat

secara kewilayahan tindakan ini sudah tepat mengingat posisi KBU yang

sangat strategis serta memiliki fungsi vital terutama fungsi penyerapan air dan

penyimpan air bersih untuk menunjang kehidupan masyarakat di sekitarnya

bahkan masyarakat Provinsi Jawa Barat secara umum . Selain itu perlu dilihat

kepentingan ekonomis yang dimiliki oleh KBU yang juga merupakan pusat

pariwisata di Jawa Barat yang berarti KBU juga menjadi sumber pendapatan

tidak hanya bagi masyarakat juga pemerintah secara umum. Maka dari itu

102 Mengenai penetapan KBU sebagai kawasan strategis Provinsi Jawa Barat telah
ditetapkan pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029.
103 Lihat: Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun

2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029.
98

perlu adanya kesinambungan antara kepentingan lingkungan dan ekonomi

agar KBU dapat terjaga dengan baik.

Dijadikannya KBU sebagai KSP berimplikasi bahwa penyelenggaraan

penataan ruang KBU khususnya terkait pendirian bangunan dan penataan

lingkungan termasuk di dalamnya kewenangan penerbitan izin baik izin lokasi

ataupun izin pemanfaatan ruang lainnya dapat dipegang oleh Pemerintah

Provinsi Jawa Barat. Hal ini sejalan dengan amanat UU Pemda yang dapat

dilihat pada bagan yang dikutip dari pembagian urusan antar pemerintahan

yang terdapat pada UU Pemda sebagai berikut:

1) Huruf C mengenai Bidang Pekerjaan Umum dan dan Penataan Ruang

angka 8 mengenai sub urusan penataan bagunan dan lingkungan

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

8. Penataan e. Penetapan Penyelenggaraan Penyelenggaraan

Bangunan dan pengembangan penataan penataan bangunan

Lingkungannya sistem penataan bangunan dan dan lingkungannya di

bangunan dan lingkungannya di daerah

lingkungannya kawasan kabupaten/kota

secara strategis daerah

nasional. provinsi dan

penataan
99

f. Penyelenggaraan bangunan dan

penataan lingkungannya

bangunan dan lintas daerah

lingkungannya di kabupaten/kota

kawasan strategis

nasional

2) Huruf J mengenai Bidang Pertanahan angka 1 mengenai sub urusan

Izin Lokasi

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

1 Izin Lokasi Pemberian izin Pemberian izin Pemberian izin lokasi

lokasi lintas Daerah lokasi lintas dalam 1 (satu)

provinsi Daerah daerah

kabupaten/kota kabupaten/kota

dalam 1 (satu)

Daerah

provinsi
100

3) Huruf K mengenai Bidang Lingkungan Hidup angka 3 mengenai

Pengendalian Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

3 Pengendalian Pencegahan, Pencegahan, Pencegahan,

Pencemaran penangguhan dan penanggulangan penanggulangan dan

dan/atau pemulihan dan/atau pemulihan

Kerusakan pencemaran kerusakan pencemaran dan/atau

Lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan hidup kerusakan lingkungan

Hidup lingkungan hidup lintas Daerah hidup dalam daerah

lintas Daerah provinsi kabupaten/kota kabupaten kota.

dan/atau lintas batas dalam 1 (satu)

negara. Daerah provinsi.

Hal tersebut relevan mengingat selain ditinjau dari fakta bahwa KBU

merupakan KSP, pada segi kewilayahan di dalam KBU sendiri terdapat 4

(empat) wilayah administratif kota/kabupaten, yakni Kota Bandung, Kota

Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat yang saling

berbagi wilayahnya di KBU. Letak KBU yang berada diantara empat wilayah

administratif kabupaten/kota ini juga berarti bahwa apabila terdapat kerusakan

lingkungan akibat pembangunan di satu wilayah maka dampaknya tidak hanya


101

berpotensi dirasakan satu wilayah kabupaten/kota melainkan dirasakan oleh

wilayah lainnya. Mengingat hal yang demikian maka lebih tepat apabila

pendekatan yang dilakukan terhadap penyelenggaraan perizinan pemanfaatan

ruang di wilayah KBU dilaksanakan dengan pendekatan wilayah administratif

provinsi bukan pendekatan wilayah administratif masing-masing

kabupaten/kota seperti keadaan status quo. Dengan dipegangnya

kewenangan penerbitan izin pemanfaatan oleh Gubernur Jawa Barat maka

singgungan kepentingan masing-masing pemerintah dapat dihindarkan serta

proses pengendalian akan lebih terarah yakni melalui satu pintu yakni pintu

Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Lebih lanjut apabila mengamati keadaan sekarang, mengenai

kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang saat ini “hanya” memiliki

kewenangan menerbitkan surat rekomendasi sebagai syarat penerbitan izin

pemanfaatan ruang di KBU selain menimbulkan pertanyaan dari segi

bentuknya sebagaimana dipaparkan pada bagian pertama bab dari segi

kedudukannya pun dipertanyakan. Untuk mengetahui kedudukan surat

rekomendasi dapat dilihat pada Pasal 22 Pergub 21/2009 mengenai syarat

yuridis yang tercantum sebagai berikut:

“(1) Persyaratan yuridis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 huruf b adalah persyaratan yang diperlukan dalam

pemenuhan aspek keabsahan untuk suatu usaha/kegiatan.


102

(2) Persyaratan yuridis sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi:

a. akta pendirian;

b. kartu tanda peduduk;

c. rekomendasi;

d. dokumen AMDAL atau UKL/UPL;

e. izin-izin lain yang terkait;

f. pernyataan tidak keberatan dari masyarakat yang terkena

dampak; dan

g. dokumen hukum lainnya sesuai ketentuan peraturan

perundangundangan.”

Dengan dimasukkannya rekomendasi sebagai syarat yuridis diatas

menandakan bahwa regulator dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat

menghendaki adanya instrumen yang mengikat dan mengakibatkan akibat

hukum. Hal ini dapat dilihat dari bentuknya karena menyerupai surat izin serta

bersifat final dan menimbulkan akibat hukum namun sejatinya hanya sebatas

surat rekomendasi. Dengan kata ‘rekomendasi’ yang menempel pada

instrumen ini juga seringkali pemrakarsa yang mayoritasnya merupakan

masyarakat tidak jarang melewati prosedur tersebut padahal pada hakikatnya

Pemerintah Provinsi Jawa Barat ingin memiliki peran yang lebih strategis pada

prosedur pemanfaatan ruang di KBU. Hal ini bertolak belakang dengan


103

kedudukan surat rekomendasi yang apabila dianalogikan dengan hirarki maka

berada di bawah izin pemanfaatan ruang itu sendiri. Sehingga kurang tepat

apabila instrumen yang sebenarnya hanya menguatkan justru datangnya dari

jabatan yang paling tinggi kepada jabatan di bawahnya di daerah dalam urusan

penyelenggaraan izin ataupun penataan lingkungan hidup sebagaimana

tercantum dalam UU Pemda.


104

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis mengenai kedudukan surat rekomendasi

Gubernur Jawa Barat terkait izin pemanfaatan ruang dalam pembangunan

Kawasan Bandung Utara (KBU), dapat diperoleh kesimpulan terkait 2 (dua)

hal, yaitu:

1. Mengenai bentuk surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat

sebagaimana yang diatur pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Barat Nomor 2 Tahun 2016 secara formil dan materil merupakan

KTUN yang justru hal tersebut menimbulkan kesan ketidak-

konsistenan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar).

Pada satu sisi Pemprov Jabar dengan hanya terlibat pada masalah

terkait penerbitan rekomendasi mengindikasikan Pemprov tidak

ingin mengambil kewenangan serta tanggung jawab termasuk

tanggung gugat terhadap penerbitan izin kawasan strategis KBU

dari pemerintah kabupaten/kota yang berkepentingan. Namun pada

sisi lain bentuk dari surat rekomendasi tersebut justru menyerupai

izin. Hal ini dapat dilihat dengan terdapatnya bagian persyaratan

pada batang tubuh surat rekomendasi. Selain itu dengan adanya


105

klausul Pasal 56 Perda 2/2016 yang menyatakan bahwa izin

pemanfaatan ruang yang diterbitkan bupati/wali kota tanpa

berdasarkan rekomendasi maka berakibat batal demi hukum

menimbulkan kesan terjadi penyaderaan kewenangan oleh

Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota di bawahnya. Hal ini dikarenakan pada hakikat

surat rekomendasi merupakan dokumen yang berfungsi untuk

menyarankan/menguatkan agar terbitnya suatu izin pemanfaatan

ruang adapun mengenai kewenangan menerbitkannya ada pada

instansi lain yakni pemerintah kabupaten/kota terkait.

2. Pada dasarnya apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menganut

asas otonomi daerah, terkait urusan dalam menerbitkan izin

pemanfaatan daerah di wilayah kabupaten/kota merupakan

kewenangan penuh pemerintah kabupaten/kota. Namun, pada kasus

KBU hal ini sedikit berbeda yaitu terdapat campur tangan Pemerintah

Provinsi Jawa Barat terkait urusan penerbitan izin pemanfaatan

ruang. Hal ini dikarenakan fungsi vital KBU sendiri yang berada di

kawasan strategis cekungan Bandung yang melintasi 4 (empat)

pemerintahan kabupaten/kota di Bandung Raya. Kewenangan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat lahir seiring dijadikannya KBU


106

sebagai Kawasan Strategis Provinsi melalui Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029. Dengan

lahirnya kewenangan tersebut pemerintah provinsi seharusnya dapat

memainkan peranan yang lebih strategis terkait izin pemanfaatan

ruang termasuk masalah penataan bangunan dan lingkungan yang

sudah menjadi permasalahan besar di KBU. Namun, melihat

keadaan saat ini justru tidak mencerminkan demikian, pemerintah

provinsi yang secara hirarki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari

pemerintah kabupaten/kota justru hanya menggunakan instrumen

rekomendasi untuk diberikan kepada pemerintahan dibawahnya (top-

down) bukan sebaliknya (bottom-up).

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis mengajukan beberapa saran

terkait kedudukan surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat terkait izin

pemanfaatan ruang dalam pembangunan Kawasan Bandung Utara (KBU)

terutama kepada DPRD Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Jawa

Barat sebagai pemegang kewenangan dalam merubah peraturan daerah, yaitu

sebagai berikut:
107

1) Menggeser paradigma yang saat ini menggunakan pendekatan

penyelenggaraan perizinan di KBU masih diserahkan kepada masing-

masing wilayah kabupaten/kota secara terpisah-pisah menjadi

pendekatan perizinan termasuk penataan bangunan dan lingkungan

KBU menjadi pendekatan kewilayahan yang terpadu yang berpusat

kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini penting supaya

prosedural pemanfaatan izin KBU dapat selaras dengan perencanaan

kewilayahan yang telah disusun Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan

menghindarkan dari pemanfaatan bangunan liar akibat kerancuan

sistem saat ini.

2) Merubah sistem prosedural perizinan yang saat ini pada Peraturan

Daerah Nomor 2 Tahun 2016 dan peraturan-peraturan pelaksananya

yang mengatur kewenangan Gubernur Provinsi Jawa Barat

menerbitkan surat rekomendasi untuk kemudian diberikan kepada

bupati/wali kota terkait (sistem Top-Down) menjadi bupati/wali kota

yang terkait daerahnya di KBU akan dilakukan pembangunan yang

menerbitkan surat rekomendasi untuk diserahkan kepada Gubernur

Jawa Barat sebagai pemegang akhir kebijakan yaitu kewenangan

menerbitkan izin pemanfaatan ruang KBU (sistem Bottom-Up).

Dengan demikian juga menyarankan untuk merubah bentuk surat

rekomendasi terutama menghilangkan bagian persyaratan karena hal


108

tersebut lebih merupakan isi dari sebuah instrumen izin supaya tidak

terjadi tumpang tindih persyaratan yang sudah ada pada dokumen

AMDAL dan izin pemanfaatan ruang.

Anda mungkin juga menyukai