Makalah Gadar
Makalah Gadar
PENDAHULUAN
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang penanganan
kegawatdaruratan obsteri
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan tentang kegawatdaruratan obsteri
b. Menjelaskan etiologi dari kegawatdaruratan obsteri
c. Menjelaskan penanganan dari masalah kegawatdaruratan obsteri
BAB I
PEMBAHASAN
4. Plasenta previa
Plasenta Previa adalah Plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir
Etiologi
Mengapa Plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat diterangkan,
bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atrofi pada dosidua akibat
persalinan yang lampau dan dapat menyebabkan plasenta previa tidak selalu benar, karena
tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita
dengan paritas fungsi, memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta
tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar. Plasenta yang
letaknya normal sekalipun akan meluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau
menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir.
Gambaran klinis plasenta previa
a. Perdarahan tanpa nyeri
b. Perdarahan berulang
c. Warna perdarahan merah segar
d. Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
e. Timbulnya perlahan-lahan
f. Waktu terjadinya saat hamil
g. His biasanya tidak ada
h. Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi
i. Denyut jantung janin ada
j. Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
k. Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul
l. Presentasi mungkin abnormal.
Diagnosis
a. Anamnesis.Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa
nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari
anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.
b. Pemeriksaan Luar. Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul
presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengelak ke
samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
c. Pemeriksaan In Spekulo. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan
berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta
previa harus dicurigai.
d. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung. Penentuan letak plasenta secara tidak
langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi
penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya
radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
e. Pemeriksaan Ultrasonografi. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi
plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta
letak rendah.
f. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif.. Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan
perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat
banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai
upaya menetukan diagnosis.
Klasifikasi
a. Plasenta Previa otalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan Plasenta
b. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh jaringan Plasenta
c. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan.
d. Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus
tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir
Penatalaksanaan
Tindakan pada plasenta previa :
a. Tindakan dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin, memberi
oksigen, memasang infuse, member ekspander plasma atau serum yang diawetkan.
Usahakan pemberian darah lengkap yang telah diawetkan dalam jumlah mencukupi.
b. Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera dilakukan setelah
pengobatan syok dimulai.
c. Pada perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa totalis atau
parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena plasenta letak rendah (plasenta tidak
terlihat jika lebar mulut serviks sekitar 4-5 cm), pecahkan selaput ketuban dan berikan
infuse oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti, lakukan persalinan pervagina dengan
forsep atau ekstraksi vakum; jika perdarahan tidak berhenti lakukan seksio sesaria.
d. Tindakan setelah melahirkan.
1) Cegah syok (syok hemoragik)
2) Pantau urin dengan kateter menetap
3) Pantau sistem koagulasi (koagulopati).
4) Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.
Terapi
Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat praktik. Pada kasus
perdarahan yang banyak, pengobatan syok adalah dengan infuse Macrodex, Periston,
Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus pasien gelisah, diberikan 10 mg valium
(diazepam) IM atau IV secara perlahan.
7. Ruptur Uteri
Ruptur uterus adalah robekan pada uterus, dapat meluas ke seluruh dinding uterus dan isi
uterus tumpah ke seluruh rongga abdomen (komplet), atau dapat pula ruptur hanya meluas
ke endometrium dan miometrium, tetapi peritoneum di sekitar uterus tetap utuh (inkomplet).
Klasifikasi
a. Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1) Ruptur Uteri Gravidarum
Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2) Ruptur Uteri Durante Partum
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang
terbanyak.
b. Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1) Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio
sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
2) Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama
tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.
3) Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan ekstraksi,
sedang pembukaan belum lengkap.
4) Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina
c. Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:
1) Ruptur Uteri Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga
terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya
peritonitis.
2) Ruptur Uteri Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi
subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.
d. Menurut etiologinya
1) Rupture uteri spontanea
Menurut etiologi dibagi menjadi 2:
a) Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC,
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta secara
manual
b) Karena peregangan yang luar biasa pada rahim, misalnya pada panggul sempit
atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita DM, hidrops
fetalis, post maturitas dan grande multipara.
c) Rupture uteri vioventa (traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti
(1) ekstraksi forsef
(2) Versi dan ekstraksi
(3) Embriotomi
(4) Versi brakston hicks
(5) Sindroma tolakan (pushing sindrom)
(6) Manual plasenta
(7) Curetase
(8) Ekspresi kisteler/cred
(9) Pemberian pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
(10) Trauma tumpul dan tajam dari luar
e. Menurut gejala klinis:
1) Rupture uteri imminens (membakat=mengancam): penting untuk diketahui
2) Rupture uteri sebenarnya
Etiologi
Penyebab kejadian ruptur uteri, yakni:
a. tindakan obstetri,
b. ketidakseimbangan fetopelvik,
c. letak lintang yang diabaikan
d. kelebihan dosis obat bagi nyeri persalinan atau induksi persalinan,
e. jaringan parut pada uterus,
f. kecelakaan.
Diagnosis dan gejala klinis:
a. Gejala rupture uteri mengancam
1) Dalam tanya jawab dikatakan telah ditolong atau didorong oleh dukun atau bidan,
partus sudah lama berlangsung.
2) Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut
3) Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan,
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
4) Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya.
5) Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged laboura), yaitu mutut
kering, lidah kering dan halus badan panas (demam).
6) His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus menerus.
7) Ligamentum rotundum teraba seperrti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras
terutama sebelah kiri atau keduannya.
8) Pada waktu datangnya his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan sbr
teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
9) Penilaian korpus dan sbr nampak lingkaran bandl sebagai lekukan melintang yang
bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan sbr yang semakin tipis dan
teregang.sering lingkaran bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh
untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya sbr
didinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa. Misalnya terjadi pada
asinklintismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.
10) Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang
keatas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi
ada hematuria
11) Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).
12) Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi, seperti edema
portio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
Gejala-gejala rupture uteri yang sebenarnya:
a. Anamnesis dan inspeksi
Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit
seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar
keringat dingin sampai kolaps.
1) Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
2) Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum
3) Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur
4) Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak, lebih-lebih
kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan lahir.
5) Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah dan dibahu.
6) Kontraksi uterus biasanya hilang.
7) Mula-mula terdapat defansmuskuler kemudian perut menjadi kembung dan
meteoristis (paralisis khusus).
b. Palpasi
1) Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan
2) Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP
3) Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut, maka teraba
bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-
kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
4) Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek
c. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah
rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk kerongga perut.
d. Pemeriksaan dalam
1) Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah dapat
didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak
2) Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan
kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka dapat diraba usus,
omentum dan bagian-bagian janin
3) Kateterisasi hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung
kemih
4) Catatan
a) Gejala rupture uteri incomplit tidak sehebat komplit
b) Rupture uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus biasanya tidak didahului
oleh uteri mengancam.
c) Sangat penting untuk diingat lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-
hati sebagai kerja tim setelah mengerjakan sesuatu operative delivery,
misalnya sesudah versi ekstraksi, ekstraksi vakum atau forsef, embriotomi
dan lain-lain
PENATALAKSANAAN
Tindakan pertama adalah memberantas syok, memperbaiki keadaan umum penderita dengan
pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotinika, antibiotika, dsb. Bila keadaan umum
mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis
operasi:
a. Histerektomi baik total maupun sub total
b. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik-baiknya
c. Konserfatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang cukup.
Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adala :
a. Keadaan umum penderita
b. Jenis ruptur incompleta atau completa
c. Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan sudah banyak
nekrosis
d. Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
e. Perdarahan dari luka : sedikit, banyak
f. Umur dan jumlah anak hidup
g. Kemampuan dan ketrampilan penolong
MANAJEMEN
a. Segera hubungi dokter, konsultan, ahli anestesi, dan staff kamar operasi
b. Buat dua jalur infus intravena dengan intra kateter no 16 : satu oleh larutan elektrolit,
misalnya oleh larutan rimger laktat dan yang lain oleh tranfusi darah. ( jaga agar jalur ini
tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal, sampai darah didapatkan ).
c. HUBUNGI bank darah untuk kebutuhan tranfusi darah cito, perkiraan jumlah unit dan
plasma beku segar yang diperlukan
d. Berikan oksigen
e. Buatlah persiapan untuk pembedahan abdomen segera ( laparatomi dan histerektomi )
f. Pada situasi yang mengkhawatirkan berikan kompresi aorta dan tambahkan oksitosin
dalam cairan intra vena.
8. Perdarahan Pascapersalinan
Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500 ml atau lebih
sesudah anak lahir. Penyebab gangguan ini adalah kelainan pelepasan dan kontraksi, rupture
serviks dan vagina (lebih jarang laserasi perineum), retensio sisa plasenta, dan koagulopati.
Perdarahan pascapersalinan tidak lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama, kehilangan
darah 500 ml atau lebih berarti bahaya syok. Perdarahan yang terjadi bersifat mendadak
sangat parah (jarang), perdarahan sedang (pada kebanyakan kasus), dan perdarahan sedang
menetap (terutama pada ruptur). Peningkatan anemia akan mengancam terjadinya syok,
kegelisahan, mual, peningkatan frekuensi nadi, dan penurunan tekanan darah.
Klasifikasi Klinis
a. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan
Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca
persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca
persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir
dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
b. Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau
Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan pascapersalinan
sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering
diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.
Gejala Klinis
Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir.
Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat,
tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain.
Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat bila
pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama.
Diagnosis
Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir biasanya
disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan
oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi uterus ; fundus uteri tinggi di
atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam
kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau
tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau
plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk
mengetahui apakan ada robekan rahum. Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat
diketahui dengan inspekulo. Diagnosis pendarahan pasca persalinan juga memerlukan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar
fibrinogen, dan lain-lain.
9. Syok Hemoragik
Semua keadaan perdarahan diatas, dapat menyebabkan syok pada penderita, khususnya syok
hemoragik yang di sebabkan oleh berkurangnya volume darah yang beredar akibat
perdarahan atau dehidrasi.
Penyebab gangguan ini.
a. Perdarahan eksterna atau interna yang menyebabkan hiposekmia atau ataksia vasomotor
akut.
b. Ketidakcocokan antara kebutuhan metabolit perifer dan peningkatan transpor gangguan
metabolic, kekurangan oksigen jaringan dan penimbunan hasil sisa metabolik yang
menyebabkan cidera sel yang semula reversibel kemudian tidak reversibel lagi.
c. Gangguan mikrosirkulasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tekanan darah dan nadi; pemeriksaan suhu, warna
kulit, dan membrane mukosa perbedaab suhu antara bagian pusat dan perifer badan;
evaluasi keadaan pengisian (kontraksi) vena dan evaluasi palung kuku; keterlambatan
pengisian daerah kapiler setelah kuku ditekan; dan ekskresi urin tiap jam.
Penanganan Syok Hemoragik
Pada syok hemoragik tindakan yang esensial adalah menghentikan perdarahan dan
mengganti kehilangan darah. Setelah diketahui adanya syok hemoragik,:
a. Penderita dibaringkan dalam posisi Trendelenburg, yaitu dalam posisi terlentang biasa
dengan kaki sedikit tinggi ( 30 derajat ).
b. Dijaga jangan sampai penderita kedinginan badannya. Setelah kebebasan jalan napas
terjamin, untuk meningkatkan oksigenasi dapat diberi oksigen 100% kira-kira 5
liter/menit melalui jalan napas.
c. Sampai diperoleh persediaan darah buat transfusi, pada penderita melalui infuse segera
diberi cairan dalam bentuk larutan seperti NaCI 0,9%, ringer laktat, dekstran, plasma dan
sebagainya.
d. Jika dianggap perlu kepada penderita syok hemoragik diberi cairan bikarbonat natrikus
untuk mencegah atau menanggulangi asidosis. Penampilan klinis penderita banyak
memberi isyarat mengenai keadaan penderita dan mengenai hasil perawatannya
Pengelolaan
umum
a. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan
diastolik antara 90-100 mmHg
b. Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau
lebih c. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi
overload
d. Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan
proteinuria
e. Infus cairan dipertahankan 1.5 – 2 liter/24
jam
f. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan
kematian ibu dan janin
g. Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap 1
jam
h. Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi merupakan
tanda adanya edema paru. Jika ada edema paru, hentikan pemberian cairan dan berikan
diuretik (mis. Furosemide 40 mg IV)
i. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7
menit, kemungkinan terdapat koagulopati
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani
akan berakibat kematian ibu dan janinnya, yaitu perdarahan yang mengancam nyawa
selama kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu
awal kehamilan (abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/
ektopik) dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan
(plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina setelah
seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan pasca persalinan,
hematoma, dan koagulopati obstetri.
B. Saran
1. Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) diperlukan ANC secara tertur agar
dapat mendeteksi secara dini komplikasi yang terjadi pada ibu maupun bayi.
2. Untuk mencegah kegawatdaruratan obstetri dan neonatus, peran bidan dikomunitas
dengan memberikan health education mengenai masalah-masalah yang bisa
menyebabkan bahaya kehamilan maupun persalinan.
DAFTAR PUSTAKA