Anda di halaman 1dari 25

PAP 6

PANDUAN NYERI
RS KARTIKA PULOMAS
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensorik tapi juga adalah sebuah
pengalaman.IASP (The International Association for the Study of Pain) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan kerusakan
jaringan yang jelas atau potensial terjadi, atau yang dikemukakan dalam istilah tertentu yang
digunakan untuk menggambar kerusakan tersebut. Ketidakmampuan seseorang untuk
berkomunikasi tidak menjamin seseorang tidak merasakan nyeri atau tidak memerlukan
manajemen nyeri. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antar individu maupun pada
orang yang sama namun dalam waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi
usia, jenis kelamin pendidikan dan budaya. WHO (World Health Organization) membagi nyeri
berdasarkan beberapa klasifikasi. Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibedakan menjadi nyeri
nosiseptif dan neuropatik, berdasarkan durasi nyerinya menjadi nyeri akut dan kronis, berdasarkan
etiologinya menjadi keganasan dan non-keganasan, serta berdasarkan anatominya.
Tatalaksana nyeri ini sangat penting bahkan WHO menempatkannya nyeri sebagai
tanda vita ke-lima setelah tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu. Tatalaksana yang efektif harus
bersifat multimodal sehingga semua faktor yang menyebabkan nyeri dapat diatasi. Selain itu, juga
sebaiknya melibatkan pasien dan keluarganya, dokter, perawat dan semua pihak yang telibat.
Panduan manajemen nyeri ini dibuat dengan tujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas akibat nyeri serta mempercepat lama perawatan dan penyembuhan pasien

B. DEFINISI

a) Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya


kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan
emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan.
b) Nyeri Akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki
hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
c) Nyeri Kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama dan

terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak

diketahui penyebab yang pasti


BAB II RUANG LINGKUP

Ruang lingkup manajemen nyeri meliputi pelayanan bagi seluruh pasien yang ada di:
1. Unit Gawat Darurat
2. Unit Rawat Jalan
3. Unit Rawat Inap
4. Unit Kamar Operasi
5. Unit Kamar Bersalin
BAB III TATALAKSANA

A. ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
i. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
ii. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul,nyeri tajam, rasa terbakar,
tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
iii. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
iv. Durasi dan lokasi nyeri
v. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal,
kesemutan,mual/muntah, ataugangguan keseimbangan / kontrol motorik.
vi. Faktor yang memperberat dan memperingan
vii. Kronisitas
viii. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respons
terapi
ix. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
x. Penggunaan alat bantu
xi. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar
(activity of daily living)
xii. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya
fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan
dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu

c. Riwayat psiko-sosial
i. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
ii. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
iii. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
iv. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
v. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien
dengan program penanganan / manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien
dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
vi. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien / keluarga.

d. Riwayat pekerjaan
i. Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat
benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering
yang berhubungan dengan nyeri punggung.

e. Obat-obatan dan alergi


i. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu
studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen /
herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin)
ii. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan
efek samping.
iii. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan
dengan efek samping kognitif dan fisik.

f. Riwayat keluarga
i. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.

g. Asesmen sistem organ yang komprehensif


i. Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal)
ii. Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat
malam, dan sebagainya.2

2. Asesmen nyeri
Asesmen nyeri menggunakan PQRST
P : Provoke (pencetus,faktor yang mempengaruhi gawat / tidaknya, atau berat ringannya
nyeri )
Q :Quality /kualitas, apakah nyeri seperti tertusuk, tertindih beban, tajam, tumpul, terbakar ?
R : Region (daerah, area perjalanan nyeri)
S : Severity ( keparahan, skala nyeri, diukur sesuai dengan tingkat usia dan kondisi/kesadaran
pasien)
T : Timing (waktu, durasi atau lama waktu serangan)
B. Penilaian skala nyeri dapat menggunakan :
a. Asesmen Numeric Rating Scale
i. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
ii. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
 0 = tidak nyeri
 1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
 4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)3

Numeric Rating Scale3


b. Wong Baker FACES Pain Scale
i. Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen
ii. Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang paling
sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri
 0 - 1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
 2–3 = sedikit nyeri
 4–5 = cukup nyeri
 6–7 = lumayan nyeri
 8–9 = sangat nyeri
 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

Wong Baker FACES Pain Scale4

c. Asesmen nyeri NIPS (Neonatal Infant Pain Score)


i. Indikasi : Digumakan pada bayi dibawah usia 28 hari
ii Instruksi : Dilakukan pada semua bayi yang mengalami prosedur
menyakitkan, skor lebih dari 3 mengindikasikan adanya nyeri.
Observasi dilakukan setiap shift pada saat pengukuran tanda-tanda vital.
NO KATEGORI SKOR
1 EKSPRESI WAJAH
 Otot wajah relax, ekspresi neutral 0
 Otot wajah tegang, alias berkerut, rahang 1
dagu mengunci
2 TANGISAN
 Tenang, tidak menangis 0
 Mengeran, sebentar sebentar menangis 1
 Terus menerus menangis, menangis 2
kencang, melengking(Note:nangis diam
dapat dimaksukan dalam skor ini jika bayi
terintubasi dengan dasar penilaiannya
pergerakan mulut dan wajah)
3 POLA NAFAS
 Relax, nafas reguler 0
 Pola nafas berubah : tidak teratur, lebih 1
cepat dari biasanya, menahan nafas
4 TANGAN
 Relax, otot-otot tangan tidak kaku, kadang- 0
kadang tangan bergerak tidak beraturan
 Flexi/extensi yang kaku,meluruskan tangan 1
tapi dengan cepat melakukan flexi/ekstensi
yang kaku
5 KAKI
 Relax, otot-otot kaki tidak kaku, kadang- 0
kadang kaki bergerak tidak beraturan
 Flexi/ekstensi yang kaku, meluruskan kaki 1
tapi dengan cepat melakukan
fleksi/ekstalerensi yang kaku
6 KESADARAN
 Tidur pulas/cepat bangun, alert dan tenang 0
Rewel, gelisah dan meronta-ronta 1
Nilai total skor 1-7 ..../7

d. Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)


i. Indikasi : Pada pasien ICU/ICCU/HCU yang tidak diintubasi (ekstubasi pasien) atau
dalam ventilator (intubasi pasien) kecuali neonates
ii. Instruksi : scor 0 : tidak nyeri
Score 1 : nyeri ringan
Score 2 : nyeri sedang
Score 3 : nyeri berat
Score ≥: nyeri sangat berat

NO KATEGORI SKOR
1 EKSPRESI WAJAH
Relaks, neutral Tak tampak 0
ketegangan/kontraksi otot
wajah
Tegang Terlihat tegang, dahi 1
mengkerut, alis mata
menurun,area sekitar mata
mengencang atau
perubahan lain (seperti
membuka mata atau
menangis selama prosedur
menyakitkan dilakukan)
Menangis Semua gerakan diatas 2
ditambah kelompak mata
menutup rapat, (biasanya
pasien membuka mulut
atau menggigit ETT saat
prosedur yang menyakitkan
dilakukan)
2 GERAKAN TUBUH
Tidak ada pergerakan Tidak bergerak sama 0
atau posisi normal sekali(hal ini tidak berarti
pasien tidak merasa
sakit)atau posisi normal
pergerakan tidak dilakukan
untuk merespon rangsang
nyeri atau membuat pasien
melindungi dirinya.
Perlindungan Gerakan lambat berusaha 1
menyentuh atau
menggosok daerah nyeri
mencari perhatian melalui
gerakan
Gelisah/agitasi Menarik tabung atau 2
mencabut gelang, berusaha
duduk, menggerakan kaki
atau meronta-ronta, tidak
mengikuti perintah,
menyerang petugas,
berusaha keluar dari tempat
tidur
3 MENGIKUTI VENTILATOR (INTUBASI PASIEN)
Ventilator toleransi Alarm tidak berbunyi, 0
terhadap pergerakan ventilator lancar
Batuk tapi masih Batuk, alarm bunyi tapi 1
toleransi berhenti sendiri
Melawan ventilator Asinkron, ventilator 2
terhambat, alarm sering
bunyi
VOKALISASI (EKSTUBASI PASIEN)
Bicara secara normal Bicara secara normal atau 0
tidak bersuara
Mengeluh/ meregang Mengeluh atau meregang 1
Menangis/berteriak Menangis kencang atau 2
berteriak
4 KETEGANGAN OTOT
(dengan cara mengevaluasi pada saat melakukan fleksi
atau ekstensi pasif ekstremitas atas disaat pasien
istirahat atau dipindahposisikan /MIKA MIKI)
Relax Tidak melawan terhadap 0
pergerakan pasif
Tegang, kaku Ada perlawanan terhadap 1
pergerakan pasif
Sangat tegang, kaku Melawan sangat kuat 2
terhadap pergerakan pasif
Nilai total skor 1-8 …/8

e. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang, asesmen dan
penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau
verbal akan rasa nyeri.
f. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan
menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
i. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik
pada pasien
ii. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri,
setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang menjalani
prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari
rumah sakit.
iii. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap
5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
iv. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam setelah
pemberian obat nyeri.6

g. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan
perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru
(misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik).

3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
i. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
ii. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
iii. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat
operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
iv. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi otot,
fasikulasi, diskolorasi, dan edema.

b. Status mental
i. Nilai orientasi pasien
ii. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
iii. Nilai kemampuan kognitif
iv. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada
harapan, atau cemas.

c. Pemeriksaan sendi
i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan
gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal / dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak,
raut wajah meringis, atau asimetris.
iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.

d. Pemeriksaan motorik
i. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di
bawah ini.

Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak menghasilkan
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot

e. Pemeriksaan sensorik
i. Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick),
getaran, dan suhu.

f. Pemeriksaan neurologis lainnya


i. Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau
servikal dan sakit kepala
ii. Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan
klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.

Refleks Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1

iii. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi
upper motor neuron)
iv. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan
melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-
tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg
modifikasi).

g. Pemeriksaan khusus
i. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak
ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini
ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
ii. Kelima tanda ini adalah:
 Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
 Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
 Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
 Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan nyeri.
 Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat
gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi)

4. Pemeriksaan sensorik kuantitatif


a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi

5. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
iii. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
iv. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
v. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus,
stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi
tulang belakang, infeksi)
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan
metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang
kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)
6. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial

C. TATA LAKSANA NYERI SESUAI SKALA NYERI


1. Skala 0-3 : Dilaksanakan oleh perawat
2. Skala 4-6 : Dilaksanakan oleh dokter umum atau dokter DPJP
3. Skala 7-9 : Dilaksanakan oleh dokter DPJP atau Tim Nyeri Rumah Sakit
4. Skala 10 : Konsul dengan Tim Nyeri Rumah Sakit

D. TATA LAKSANA NYERI NON-FARMAKOLOGI


Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tidakan penanganan nyeri
berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif.
1. Masase kulit
Masase kulit dapat memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot.
Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar,
sehingga mampu memblok atau menurunkan implus nyeri.
2. Kompres
Kompers panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses
penyernbuhan jaringan yang mengatamikerusakan.
3. lmobilisasi
lmobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat mungkin dapat meredakan
nyeri. Kasus seperti rheumatoid arthritis mungkin memerlukan teknik untuk mengatasi
nyeri.
4. Distraksl
Distraksi merupakan pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri. Teknik distraksi
terdapat beberapa macam yaitu : distraksi visual, distraksi pendengaran, distraksi
pernafasan,distraksi intelektual,teknik pernafasan,imajinasiterbimbing.
5. Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan
ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan
beberapa kaliagar mencapai hasilyang normal.

PROSEDUR TINDAKAN :
1. Tahap Pra Interaksi
 Melihat data nyeri yang lalu
 Melihat intervensi keperawatan yang telah diberikan oleh perawat
 Mengkaji program terapi yang diberikan oleh dokter
2. Tahap Orientasi
 Menyapa dan menyebut nama pasien
 Menanyakan cara yang biasa digunakan agar rileks dan tempat yang paling disukai
 Menjelaskan tujuan dan prosedur
 Menayakan persetujuan dan kesiapan pasien
3. Tahap Interaksi
 Mengatur posisi yang nyaman menurut pasien sesuai kondisi pasien (duduk /
berbaring)
 Mengatur lingkungan yang tenang dan nyaman
 Meminta pasien memejamkan mata
 Meminta pasien untuk memfokuskan pikiran pasien pada kedua kakinya untuk
dirilekskan, kemndorkan seluruh otot-otot kakinya, perintahkan pasien untuk
merasakan relaksasi kedua kaki pasien
 Meminta pasien untuk memindahkan pikirannya pada kedua tangan pasien,
kendorkan otot-otot kedua tangannya, meminta pasien untuk merasakan relaksasi
keduaanya
 Memindahkan focus pikiran pasien pada bagian tubuhnya, memerintahkan pasien
untuk merilekskan otot-otot tubuh pasien mulai dari otot pinggang sampai ke otot
bahu, meminta pasien untuk merasakan relaksasi otot-otot tubuh pasien
 Meminta pasien untuk senyum agar otot-otot muka menjadi rileks
 Meminta pasien untuk memfokuskan pikiran pada masuknya udara lewat jalan nafas
 Membawa alam pikiran pasien menuju ketempat yang menyenangkan pasien
4. Tahap Terminasi
 Mengevaluasi hasil relaksasi (skala nyeri, ekspresi)
 Menganjurkan pasien untuk mengulangi teknik relaksasi ini, bila pasien merasakan
nyeri
 Berpamitan pada pasien
 Mendokumentasikan tindakan dan respon pasien dalam catatan perawata

E. TATA LAKSANA NYERI FARMAKOLOGI


Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki resiko relatif rendah,tidak mahal,dan
onsetnya cepat. Step-Ladder WHO menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan
analgesik.
1. Langkah 1 dengan pemberian OAINS yang efektif digunakan untuk nyeri ringan dan
sedang adalah obat golongan non opioid seperti aspirin, asetaminofen, atau AINS, ini
diberikan tanpa obat tambahan lain.Jika nyerimasih menetap atau meningkat,
2. Langkah 2 ditambah dengan Opioid femah dengan pemberian intermiten (pro re nata-
prn), untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lainji ka nyeri
terus-menerus atau intensif,
3. Langkah 3 meningkatkan dosis potensi opioid (Opioid kuat) yang disesuaikan
dengan kebutuhan pasien atau dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat
tambahan lain.

Jika langkah 1dan 2 kurang efektif atau derajat nyeri menjadi sedang berat, dapat ditingkatkan
menjadi langkah 3 yaitu menggunakan opioid kuat dan prn analgesic dalam kurun waktu 24
jam setelah langkah 1.
Penggunaan Opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalh morfin, kodein.
Jika pasien memiliki kontraindikasi absolute OAINS,dapat diberikan opioid ringan.
Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara
bertahap. Penghentian tatalaksana nyeri oleh Tim Nyeri (TN) dilaksanakan sesuaievaluasi
Ketua Tim TN
F. KLASIFIKASI DAN MANAJEMEN NYERI
1. Nyeri akut
a. Karaktristik: nyeri akut biasanya datang secara tiba-tiba, umunya berkaitan
dengan cidera speslflk, jlka kerusakan tldak lama terjadi dan tldak ada
kerusakan sistemlk, nyerl akut banya menurun sejalan dengan penyembuhan.
Nyeri akut berlangsung beberapa detikhi ngga enam bulan.

TIPE / SUMBER DEFINISI SUMBER ATAU CONTOH

Penyakit Akut Nyeri yang disebabkan oleh Appendicitis, renal colic,


penyakit akut. myocardial infarction
Perioperative (termasuk Nyeri pada pasien bedah karena Bedah kepala dan leher
post operasi) terpapar penyakit,prosedur Bedah dada dan dinding
pembedahan (missal terpasang dada
drain,selang NGT,komplikasi) atau Bedah abdomen
keduanya. Bedah vaskuler dan
ortopedi
Post traumatic (trauma Termasuk nyeri local atau Kecelakaan sepeda motor
mayor) keseluruhan pada bagian tubuh yang
disebabkan oleh cedera
akut.

Tebakar Nyeri yang disebabkan oleh terpapar Api,terpapar zat kimia


suhu atau terbakar zat
kimia.
Procedural (prosedur Nyeri yang berhubungan dengan Bone marrow biopsy,
infasif) pemeriksaan diagnostic atau endoscopy, catheter
prosedur terapimedis. placement, circumcision, chest
tube placement,
suturing
Obstetrics Nyeriyang berhubungan dengan Persalinan pervagina atau
kehamilan dan operasi cesarean section
persalinan.

b. Manajemen nyeri akut


Tujuan :
1. Mengurangi nyeri sampai kevel/sekala yang dapat diterima (sekla ringan)
2. Memberi fasilitas penyembuhan dari penyakit atau cidera yang diderita
3. Intervensi awal untuk mengontrol nyeri
Intervensi non farmakologis untuk nyeri akut:
TIPE / SUMBER NYER I INTERVENSI
Penyakit Akut Edukasf paslen tentang nyefi
Relaksasi
lm.agery
eknik Distraksi
Nyeri Perioperatif Edukasi pasien tentang nyeri
Relaksasi
Imagery
Teknik Distraksi
Hypnosis
Akupuntur
Massage I pijat
Trauma lstirahat
Relaksasi
Hypnosis
Teknik distraksi
Luka Bakar Edukasi pasien
Relaksasi
Teknik distraksi
Imagery
Terapimusik
Prosedur lnvasif lmmobilisasi
Massage
Obstetri Edukasi pasien
Relaksasi
Teknik pernafasan
Teknik distraksi

Interfensi farmakologis nyeri akut:


SUMBER NYERI NON OPIOIDS OPIOIDS ADJUVANT
ANALGESICS
Penyakit Paracetamol, Systemic opioid
akut NSAIDs
Perioperatif Paracetamol, Systemic opioid, Local anestesi
(termasuk post NSAIDs termasuk PCA (lidocain,
operasi) bupivacain)
Trauma mayor Paracetamol, Bolus IV Opioids selama IV Ketamin (sangat
(generalized NSAIDs selama fase fase emergency, IV atau jarang digunakan}
pain) penyembuhan post peroral Opioids selama
trauma fase penyembuhan
Trauma mayor NSAIDs (parenteral Bolus atau IV opioids IV Ketamin (sangat
(regionalized atau oral selama selama fase emergency jarang digunakan}
pain} fase penyembuhan
post trauma)
Luka Bakar Paracetamol, Oasis tinggiatau IV Parenteral ketamin
NSAIDs selama fase Opioids (misal (sangat jarang), IV
rehabilitasi morphin,Fentanil) lidocain (sangat
jar ang)
Trauma Paracetamol, Opioids untuk
Minor NSAIDs nyeriringan sampai
nyeri sedang
Prosedur invasif NSAIDs untuk IV opioids (morphine, Local anestesi
analgesic sebelum Hidromorphone,fentanyn (lidocain,
dan setelah bupivacaine), IV
prosedur ketamine
Obstetri Bolus IV Opioids
(morphine,
fentanyl, dan
hydromorphone)

2. Nyeri kronis
a. Tujuan umum manajemen
1) Mengurangi penderitaan termasuk nyeri dan masalah emosional
2) Meningkatkan/ memperbaki fungsi fisik sosial vocational dan
recreational
3) Mengoptimalkan kesehatan termasuk kesejahteraan psikologis
4) Memperbaiki kemampuan koping (mengembngkan strategi
pertolongan diri, mengurangi ketergantungan pada system
asuhan kesehatan) dan hubungan dengan yang lain (keluarga,
teman, tenaga kesehtan)
b. Strategi manajemen
1) Pengobatan dari kelas obat yang berbeda (terapi obat kombinasi)
2) Terapi rehabilitas (terapi fisik, terapi okupasional) dan
pengobatan
3) Anastesi regional(blockade neural)
4) Manajemen interdisiplin, misalnya:
Edukasi Pasien :Konseling nyeri,factor penyebab dan yang bisa mengurangi nyeri,
strategi pengelolaan nyeri, factor gaya hidup yang mungkin
mempengaruhi nyeri (misal pengguna nikotin,alcohol,dll).
Pendekatan rehabilitasi :Terapi modalitas (misal jalan - jalan,peregangan,olah raga untuk
fisik meningkatkan kekuatan dan daya tahan.
Pendekatan fisik lainnya :Massage / pijat ,akupuntur .

Terapifarmakologis :Nonopioids, Opioids,anti depressant,obat antipileptik,stimulant,


antihistamin.

Anestesi regional :Blok sistem saraf (diagnostic, somatic, sympatethic, visceral, trigger point)
dan atau intraspinal analgesic (misal opioids,clonidin, baclofen,anestesi
lokal).

Pendekatan psikologis :latihan relaksasi,hypnosis,kemampuan koping

Surgery Noeuroablation,neurolysis,microvascular decompression.

Intervensi nonfarmakologis nyeri :


TIPE NYERI INTERVENSI
Nyeri Arthritis  Pembedahan:arthroscopy, synovectomy,
osteotomy dan spinal fision.
 ROM,massage,akupuntur, suplemen nutrisi
Low Back Pain (LBP)  Pembedahan:laminectomy,diskectomy,lumber
fusion,lumber stabilization.
 Olah raga,radiofrekuensi,akupuntur,terapi
manipulasi.
Fibromyalgia  Massage, aerobik peregangan,psikoterapi,
relaksasi,hypnosis, akupuntur.
Sickle cell desease  Massage, psikoterapi, teknik nafas
dalam dan relaksasi, distraksi, imagery,
meditasi, akupuntur.
Neuropati perifer  Pembedahan vaskuler untuk insufisiensi vaskuler.
 Psikoterapi,relaksasi.
Migrain dan sakit  Massage,relaksasi
kepala tipe lain

Intervensi farmakologis nyeri :


TIPE NYERI NON OPIOIDS OPIOIDS ADJUVAN
Nyeri Arthritis Paracetamol, Short term opioids corticosteroid
NSAIOs,selectif
COX-2 inhibitor
Low Back Pain (LBP) Paracetamol, Short term opioids Amitriptilin,
NSAIDs,selectif COX- gabapentin,
2 inhibitor carbamazap in,short
acting muscle
relaxan (misal
cyclobenzaprine).
Flbromyalgia Paracetamol, Opioids,tramadol Amltriptilin,short
NSAIDs,selectif COX- acting muscle
2 inhibitor relaxan (misal
cyclobenzaprine).
Sickle cell Paracetamol, Short or long term Sedative anxiolytics
desease NSAIDs opioids
Neuropati perifer Short term opioids Amitriptilin, gaba
Paracetamol, pentin,
NSAIDs carbamazapin,short
acting muscle
relaxan (misal
cyclobenzaprine).

G. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI)10


1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang yang berusia ≥ 65 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya dibandingkan
dewasa muda.
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia
trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit degenerative.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung, tungkai
bawah, dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatric.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
d. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat
diaplikasikanmenggunakan
Functional Pain Scaleseperti di bawah ini:Functional Pain Scale
Skala Keterangan
nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV,
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)

*Skor normal / yang diinginkan :0-2

6. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk
menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi, umpan balik
positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.

7. Intervensi farmakologi(tekankan pada keamanan pasien)


a. Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepressant trisiklik, amitriptilin,
ansiolitik.
b. Opioid:
i. risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
ii. Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah
konstipasi (preparat senna, sorbitol).
iii. Berikan opioid jangka pendek
iv. Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik daripada
pemberian intermiten.
v. Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
vi. Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid sebesar 50-
100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
i. OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi nyeri
ii. Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapentin, tramadol,
mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
iii. Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
 Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat
ditingkatkan menjadi 300 mg/hari

8. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal
meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
9. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi.
10. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering tidak
teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi.
11. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
12. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
13. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.
14. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
15. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian.)
16. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan
hingga tercapai dosis yang diinginkan.

17. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:


a. Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mengarah ke depresi karena
pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan
fungsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan imunitas
tubuh
c. Control nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan
gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi
dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium.
18. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping
gastrointestinal lebih besar)
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan agonis,
cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon, levorphanol
(waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik)

19. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi
preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).
20. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen pada
nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan analgesik
adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten
21. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-hati
dalam memberikan obat kombinasi
BAB IV DOKUMENTASI

Manajemen nyeri yang dilakukan harus didukumentasikan dalam rekam medis pasien.
Dokumentasi manajemen nyeri meliputi dokumentasi hasil asesmen nyeri, jenis penatalaksanaan
nyeri yang diberikan,dan hasil evaluasi terhadap manajemen nyeri yang telah dilakukan.
Dokumentasi hasll asesmen nyeri meliputi: penyebab nyeri, kualitas atau kuantitas nyeri,
lokasi nyeri, skala nyeri, dan waktu atau onset terjadinya nyeri. Pendokumentasian dilakukan pada
rekam rekam medis pasien yang disertai tanggal dan jam asessmen serta nama dan paraf petugas
yang melakukan asessmen.
Dokumentasi penatalaksanaan nyeri meliputi jenis penatalaksaan, tanggal dan jam
penatalaksanaan serta nama dan petugas yang melakukan penetalaksanaan nyeri. Termasuk
pendidikan kesehatan pada paslententang nyeri harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Dokumentasi hasil evaluasi penatalaksanaan nyeri meliputi skala nyeri, kualitas dan
kuantitas nyeri, lokasi nyeri dan waktu atau onset nyeri. Dokumentasi juga harus menunjukkan
kejelasan tanggal dan jam evaluasi dilakukan serta nama dan paraf petugas yang melakukan evaluasi
nyeri pasien.

Anda mungkin juga menyukai