PANDUAN NYERI
RS KARTIKA PULOMAS
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensorik tapi juga adalah sebuah
pengalaman.IASP (The International Association for the Study of Pain) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan kerusakan
jaringan yang jelas atau potensial terjadi, atau yang dikemukakan dalam istilah tertentu yang
digunakan untuk menggambar kerusakan tersebut. Ketidakmampuan seseorang untuk
berkomunikasi tidak menjamin seseorang tidak merasakan nyeri atau tidak memerlukan
manajemen nyeri. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antar individu maupun pada
orang yang sama namun dalam waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi
usia, jenis kelamin pendidikan dan budaya. WHO (World Health Organization) membagi nyeri
berdasarkan beberapa klasifikasi. Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibedakan menjadi nyeri
nosiseptif dan neuropatik, berdasarkan durasi nyerinya menjadi nyeri akut dan kronis, berdasarkan
etiologinya menjadi keganasan dan non-keganasan, serta berdasarkan anatominya.
Tatalaksana nyeri ini sangat penting bahkan WHO menempatkannya nyeri sebagai
tanda vita ke-lima setelah tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu. Tatalaksana yang efektif harus
bersifat multimodal sehingga semua faktor yang menyebabkan nyeri dapat diatasi. Selain itu, juga
sebaiknya melibatkan pasien dan keluarganya, dokter, perawat dan semua pihak yang telibat.
Panduan manajemen nyeri ini dibuat dengan tujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas akibat nyeri serta mempercepat lama perawatan dan penyembuhan pasien
B. DEFINISI
terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak
Ruang lingkup manajemen nyeri meliputi pelayanan bagi seluruh pasien yang ada di:
1. Unit Gawat Darurat
2. Unit Rawat Jalan
3. Unit Rawat Inap
4. Unit Kamar Operasi
5. Unit Kamar Bersalin
BAB III TATALAKSANA
A. ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
i. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
ii. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul,nyeri tajam, rasa terbakar,
tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
iii. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
iv. Durasi dan lokasi nyeri
v. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal,
kesemutan,mual/muntah, ataugangguan keseimbangan / kontrol motorik.
vi. Faktor yang memperberat dan memperingan
vii. Kronisitas
viii. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respons
terapi
ix. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
x. Penggunaan alat bantu
xi. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar
(activity of daily living)
xii. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya
fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan
dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
c. Riwayat psiko-sosial
i. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
ii. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
iii. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
iv. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
v. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien
dengan program penanganan / manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien
dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
vi. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien / keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
i. Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat
benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering
yang berhubungan dengan nyeri punggung.
f. Riwayat keluarga
i. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
2. Asesmen nyeri
Asesmen nyeri menggunakan PQRST
P : Provoke (pencetus,faktor yang mempengaruhi gawat / tidaknya, atau berat ringannya
nyeri )
Q :Quality /kualitas, apakah nyeri seperti tertusuk, tertindih beban, tajam, tumpul, terbakar ?
R : Region (daerah, area perjalanan nyeri)
S : Severity ( keparahan, skala nyeri, diukur sesuai dengan tingkat usia dan kondisi/kesadaran
pasien)
T : Timing (waktu, durasi atau lama waktu serangan)
B. Penilaian skala nyeri dapat menggunakan :
a. Asesmen Numeric Rating Scale
i. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
ii. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)3
NO KATEGORI SKOR
1 EKSPRESI WAJAH
Relaks, neutral Tak tampak 0
ketegangan/kontraksi otot
wajah
Tegang Terlihat tegang, dahi 1
mengkerut, alis mata
menurun,area sekitar mata
mengencang atau
perubahan lain (seperti
membuka mata atau
menangis selama prosedur
menyakitkan dilakukan)
Menangis Semua gerakan diatas 2
ditambah kelompak mata
menutup rapat, (biasanya
pasien membuka mulut
atau menggigit ETT saat
prosedur yang menyakitkan
dilakukan)
2 GERAKAN TUBUH
Tidak ada pergerakan Tidak bergerak sama 0
atau posisi normal sekali(hal ini tidak berarti
pasien tidak merasa
sakit)atau posisi normal
pergerakan tidak dilakukan
untuk merespon rangsang
nyeri atau membuat pasien
melindungi dirinya.
Perlindungan Gerakan lambat berusaha 1
menyentuh atau
menggosok daerah nyeri
mencari perhatian melalui
gerakan
Gelisah/agitasi Menarik tabung atau 2
mencabut gelang, berusaha
duduk, menggerakan kaki
atau meronta-ronta, tidak
mengikuti perintah,
menyerang petugas,
berusaha keluar dari tempat
tidur
3 MENGIKUTI VENTILATOR (INTUBASI PASIEN)
Ventilator toleransi Alarm tidak berbunyi, 0
terhadap pergerakan ventilator lancar
Batuk tapi masih Batuk, alarm bunyi tapi 1
toleransi berhenti sendiri
Melawan ventilator Asinkron, ventilator 2
terhambat, alarm sering
bunyi
VOKALISASI (EKSTUBASI PASIEN)
Bicara secara normal Bicara secara normal atau 0
tidak bersuara
Mengeluh/ meregang Mengeluh atau meregang 1
Menangis/berteriak Menangis kencang atau 2
berteriak
4 KETEGANGAN OTOT
(dengan cara mengevaluasi pada saat melakukan fleksi
atau ekstensi pasif ekstremitas atas disaat pasien
istirahat atau dipindahposisikan /MIKA MIKI)
Relax Tidak melawan terhadap 0
pergerakan pasif
Tegang, kaku Ada perlawanan terhadap 1
pergerakan pasif
Sangat tegang, kaku Melawan sangat kuat 2
terhadap pergerakan pasif
Nilai total skor 1-8 …/8
e. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang, asesmen dan
penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau
verbal akan rasa nyeri.
f. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan
menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
i. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik
pada pasien
ii. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri,
setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang menjalani
prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari
rumah sakit.
iii. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap
5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
iv. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam setelah
pemberian obat nyeri.6
g. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan
perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru
(misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik).
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
i. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
ii. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
iii. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat
operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
iv. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi otot,
fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
i. Nilai orientasi pasien
ii. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
iii. Nilai kemampuan kognitif
iv. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada
harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan
gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal / dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak,
raut wajah meringis, atau asimetris.
iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
i. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di
bawah ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak menghasilkan
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan sensorik
i. Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick),
getaran, dan suhu.
iii. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi
upper motor neuron)
iv. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan
melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-
tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg
modifikasi).
g. Pemeriksaan khusus
i. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak
ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini
ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
ii. Kelima tanda ini adalah:
Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan nyeri.
Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat
gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi)
5. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
iii. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
iv. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
v. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus,
stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi
tulang belakang, infeksi)
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan
metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang
kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)
6. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial
PROSEDUR TINDAKAN :
1. Tahap Pra Interaksi
Melihat data nyeri yang lalu
Melihat intervensi keperawatan yang telah diberikan oleh perawat
Mengkaji program terapi yang diberikan oleh dokter
2. Tahap Orientasi
Menyapa dan menyebut nama pasien
Menanyakan cara yang biasa digunakan agar rileks dan tempat yang paling disukai
Menjelaskan tujuan dan prosedur
Menayakan persetujuan dan kesiapan pasien
3. Tahap Interaksi
Mengatur posisi yang nyaman menurut pasien sesuai kondisi pasien (duduk /
berbaring)
Mengatur lingkungan yang tenang dan nyaman
Meminta pasien memejamkan mata
Meminta pasien untuk memfokuskan pikiran pasien pada kedua kakinya untuk
dirilekskan, kemndorkan seluruh otot-otot kakinya, perintahkan pasien untuk
merasakan relaksasi kedua kaki pasien
Meminta pasien untuk memindahkan pikirannya pada kedua tangan pasien,
kendorkan otot-otot kedua tangannya, meminta pasien untuk merasakan relaksasi
keduaanya
Memindahkan focus pikiran pasien pada bagian tubuhnya, memerintahkan pasien
untuk merilekskan otot-otot tubuh pasien mulai dari otot pinggang sampai ke otot
bahu, meminta pasien untuk merasakan relaksasi otot-otot tubuh pasien
Meminta pasien untuk senyum agar otot-otot muka menjadi rileks
Meminta pasien untuk memfokuskan pikiran pada masuknya udara lewat jalan nafas
Membawa alam pikiran pasien menuju ketempat yang menyenangkan pasien
4. Tahap Terminasi
Mengevaluasi hasil relaksasi (skala nyeri, ekspresi)
Menganjurkan pasien untuk mengulangi teknik relaksasi ini, bila pasien merasakan
nyeri
Berpamitan pada pasien
Mendokumentasikan tindakan dan respon pasien dalam catatan perawata
Jika langkah 1dan 2 kurang efektif atau derajat nyeri menjadi sedang berat, dapat ditingkatkan
menjadi langkah 3 yaitu menggunakan opioid kuat dan prn analgesic dalam kurun waktu 24
jam setelah langkah 1.
Penggunaan Opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalh morfin, kodein.
Jika pasien memiliki kontraindikasi absolute OAINS,dapat diberikan opioid ringan.
Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara
bertahap. Penghentian tatalaksana nyeri oleh Tim Nyeri (TN) dilaksanakan sesuaievaluasi
Ketua Tim TN
F. KLASIFIKASI DAN MANAJEMEN NYERI
1. Nyeri akut
a. Karaktristik: nyeri akut biasanya datang secara tiba-tiba, umunya berkaitan
dengan cidera speslflk, jlka kerusakan tldak lama terjadi dan tldak ada
kerusakan sistemlk, nyerl akut banya menurun sejalan dengan penyembuhan.
Nyeri akut berlangsung beberapa detikhi ngga enam bulan.
2. Nyeri kronis
a. Tujuan umum manajemen
1) Mengurangi penderitaan termasuk nyeri dan masalah emosional
2) Meningkatkan/ memperbaki fungsi fisik sosial vocational dan
recreational
3) Mengoptimalkan kesehatan termasuk kesejahteraan psikologis
4) Memperbaiki kemampuan koping (mengembngkan strategi
pertolongan diri, mengurangi ketergantungan pada system
asuhan kesehatan) dan hubungan dengan yang lain (keluarga,
teman, tenaga kesehtan)
b. Strategi manajemen
1) Pengobatan dari kelas obat yang berbeda (terapi obat kombinasi)
2) Terapi rehabilitas (terapi fisik, terapi okupasional) dan
pengobatan
3) Anastesi regional(blockade neural)
4) Manajemen interdisiplin, misalnya:
Edukasi Pasien :Konseling nyeri,factor penyebab dan yang bisa mengurangi nyeri,
strategi pengelolaan nyeri, factor gaya hidup yang mungkin
mempengaruhi nyeri (misal pengguna nikotin,alcohol,dll).
Pendekatan rehabilitasi :Terapi modalitas (misal jalan - jalan,peregangan,olah raga untuk
fisik meningkatkan kekuatan dan daya tahan.
Pendekatan fisik lainnya :Massage / pijat ,akupuntur .
Anestesi regional :Blok sistem saraf (diagnostic, somatic, sympatethic, visceral, trigger point)
dan atau intraspinal analgesic (misal opioids,clonidin, baclofen,anestesi
lokal).
6. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk
menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi, umpan balik
positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
8. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal
meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
9. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi.
10. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering tidak
teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi.
11. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
12. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
13. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.
14. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
15. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian.)
16. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan
hingga tercapai dosis yang diinginkan.
19. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi
preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).
20. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen pada
nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan analgesik
adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten
21. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-hati
dalam memberikan obat kombinasi
BAB IV DOKUMENTASI
Manajemen nyeri yang dilakukan harus didukumentasikan dalam rekam medis pasien.
Dokumentasi manajemen nyeri meliputi dokumentasi hasil asesmen nyeri, jenis penatalaksanaan
nyeri yang diberikan,dan hasil evaluasi terhadap manajemen nyeri yang telah dilakukan.
Dokumentasi hasll asesmen nyeri meliputi: penyebab nyeri, kualitas atau kuantitas nyeri,
lokasi nyeri, skala nyeri, dan waktu atau onset terjadinya nyeri. Pendokumentasian dilakukan pada
rekam rekam medis pasien yang disertai tanggal dan jam asessmen serta nama dan paraf petugas
yang melakukan asessmen.
Dokumentasi penatalaksanaan nyeri meliputi jenis penatalaksaan, tanggal dan jam
penatalaksanaan serta nama dan petugas yang melakukan penetalaksanaan nyeri. Termasuk
pendidikan kesehatan pada paslententang nyeri harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Dokumentasi hasil evaluasi penatalaksanaan nyeri meliputi skala nyeri, kualitas dan
kuantitas nyeri, lokasi nyeri dan waktu atau onset nyeri. Dokumentasi juga harus menunjukkan
kejelasan tanggal dan jam evaluasi dilakukan serta nama dan paraf petugas yang melakukan evaluasi
nyeri pasien.