Hubungan Hi Dan HN
Hubungan Hi Dan HN
DOSEN PENGAMPU :
JAMBI
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas Hukum Internasional yang berjudul
Mengingat masih dalam proses belajar, penulis memohon maaf bila terdapat
kesalahan dalam makalah yang telah penulis buat. Dan harapan penulis semoga tugas ini
Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Tidak dapat dielakkan
tak terlepas dari suatu Negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
masyarakat internasional.
lain, baik itu hubungan antara dua Negara saja maupun beberapa Negara.
bersama. peraturan bersama akan menjadi hukum yang tidak saja dipatuhi
bersama sacara berkelompok tetapi akan berlaku secara universal bagi setiap
Negara tanpa terkecuali. Hukum internasional juga dapat tercipta dengan adanya
perjanjian atau kesepakatan dari kebiasaan nasional suatu Negara yang dianut oleh
1
hukum nasional, dan tingkat kekuatan Negara tersebut juga akan mempengaruhi
bagaimana arah kebijakan hukum internasional yang akan dibentuk. Hal ini
Rumusan Masalah
4. Apa saja teori dan aplikasi Hukum Internasional dalam Hukum Nasional?
Tujuan Penulisan
2
Manfaat Penulisan
secara terperinci.
3
BAB II
PEMBAHASAN
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara –
bersifat perdata adalah tidak semua hubungan atau persoalan internasional, pada
Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah – kaidah dan asas – asas hukum
yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas – batas wilayah negara2.
Lebih jelas mengatur hubungan yang lintas Negara dalam hukum publik
b. Negara dengan subjek hukum lainnya yang bukan Negara atau subjek hukum
bukan Negara satu sama lain.3 Hukum internasional juga dapat didefinisikan
karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu
1
Dr. Sefrani, S.H., M.Hum. Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Edisi Revisi,
Jakarta: Rajawali Pers, 2016. Hal 1.
2
Dr. Indien Winarwati, S.H., M.H., Hukum Internasional, Malang: Setara Press, 2017
hal 1
3
Ibid hal 3
4
a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional
individu.
sejak adanya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci (11 Februari
1929).
4
Ibid hal 25
5
Lebih jelas indien winarwati mengatakan mengenai istilah hukum
bangsa akan dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan atau aturan (hukum)
antarbangsa atau hukum antar negara akan dipergunakan untuk menunjukan pada
kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat
bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak muncul negara dalam
hubungan lintas Negara, tidak saja hubungan antara Negara dengan Negara juga
mengatur hubungan Negara dengan subjek hukum bukan Negara atau subjek
didasarkan atas teori. Suatu teori yang telah memiliki pengakuan yang luas adalah
5
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Edisi
Kedua, Bandung:P.T. Alumni, 2015 hal 4 dan 5
6
bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya.melainkan suatu
sekedar norma moral (positive morality) merupakan masalah klasik yang selalu
diajukan oleh para pihak yang meragukan atau skeptis terhadap hukum
internasional.
karena untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austinn harus memenuhi 2 unsur,
yaitu ada badan legislatif pembentuk aturan serta aturan tersebut dapat
dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsur ini dalam diri hukum
Dalam suatu Negara terdapat peraturan yang ditaati oleh masyarakat dalam
suatu Negara dan ditegakkan oleh Negara (pemerintah) tersebut. Hukum ini
diakui bersama oleh mereka dan dipatuhi sebagai suatu perangkat yang akan
bersama. Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri
6
Dr. Sefrani, S.H., M.Hum. Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Edisi Revisi,
Jakarta: Rajawali Pers, 2016. Hal 5.
7
dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-
hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang
dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental,
khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang
sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan – aturan setempat dari
satu sama lainnya, ada yang berpandangan hubungan antara kedua system hukum
sangat berkaitan dan ada yang berpandangan bahwa kedua system hukum ini
berbeda secara keseluruhan. J.G Starke berpandangan terdapat dua teori dalam
dualisme dan teori monisme. Teori dualisme didukung oleh Triepel dan Anzilotti
menyebutkan dualisme ini sebagai teori kehendak, merupakan hal yang wajar bila
8
system hukum nasional. Menurut Tripel terdapat dua perbedaan diantara kedua
negara.
servanda, yaitu perjanjian antara negara harus dijunjung tinggi. Berdasarkan teori
Anzelotti ini berarti pactasunt servanda tidak dapat dikatanak sebagai norma yang
Pendapat J.G Starke ini juga didukung oleh Indien Winarwati. Menurut
indien winarwati ada dua paham mengenai hubungan antara hukum internasional
dengan hukum hukum nasional, yaitu paham dualisme yang tokohnya Triepel,
Anzilotti, George J dan Zorn. Serta paham monisme yang tokohnya Kelsen.
Menurut paham dualisme hukum nasional dengan hukum nasional merupakan dua
9
dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar
hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya.
Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum
nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum
tergantung dari kehendak negara untuk mengikatkan dirinya dan yang kedua
internasional itu ada dan berlaku terlepas dari kemauan Negara. 8 Teori voluntaris
dan objektivis pada dasarnya sama dengan paham dualisme dan monime. Alasan
yang diajukan oleh paham dualisme didasarkan pada alasan formal maupun alasan
sebagai berikut:
7
Dr. Indien Winarwati, S.H., M.H., Hukum Internasional, Malang: Setara Press, 2017 hal
21
8
Ibid hal 20 - 21
10
bersumber pada kemauan Negara, sedangkan hukum internasional
adalah Negara.
mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempuran
argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau
internasional.
d. Daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tetap efektif sekalipun
pada “fall social” atau kebutuhan hidup manusia. Begitu juga halnya dengan
hukum internasional tidak hanya negara saja, tetapi individual pun menjadi subjek
11
yang prinsipil melainkan hanya perbedaan perkembangan saja serta kalaupun ada
pertentangan kedua perangkat hukum itu. Hal yang demikian semata – mata
struktural.9
bagian dari satu kesatuan yang lebih besar atau hubungan hirarki. Hubungan
pada keterikatan negara. Hal ini tidak jauh berbeda dengan aliran
dualisme.
9
Ibid hal 21
12
b. Paham Monisme dengan Primat Hukum internasional, yakni bahwasanya
sejarah di mana hukum nasional terlebih dahulu ada. Kedua, bahwa untuk bisa
terjadi suatu perjanjian internasional itu semata – mata karena kompetensi suatu
internasional, kita terpaksa menarik kesimpulan bahwa kedua paham itu tidak
Pada satu pihak pandangan dualisme yang melihat hukum nasional dan
terpisah tidak masuk akal karena pada hakekatnya merupakan penyangkalan dari
memuaskan juga kurang tepat karena memang tidak sesuai dengan kenyataannya.
mau tidak mau harus kita terima kalau kita mengakui adanya hukum internasional.
10
Ibid hal 22
13
Tinggal kini kita melepaskannya dari argumen – argumen “apriori” yang
yang sekaligus menjadi premis pokok daripada hukum internasional sebagai suatu
praktek internasional.11
1. Teori Transformasi.
internasional tidak dapat berlaku “ex proprio vigore” dalam hukum nasional.
Karena hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum
Internasional untuk dapat berlaku sebagai norma hukum nasional harus melalui
proses transformasi atau alih bentuk baik secara formal ataupun substansial.
Secara formal artinya mengikuti bentuk peraturan yang sesuai dengan perundang-
artinya materi dari peraturan hukum Internasional itu harus sesuai dengan materi
11
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja., Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Binacipta, 1976 hal 59
12
Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum internasional, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014 hal 11
14
peraturan hukum nasional yang bersangkutan. Sebagai contoh, dalam hal
perjanjian Internasional untuk menjadi bagian dari hukum Nasional, harus melalui
pengalihan bentuk yang sesuai dengan ketentuan hukum nasional tersebut baik
dalam substansi isi maupun materi dari perjanjian itu. Pengikut ajaran ini
dapat diberlakukan dalam hukum Nasional. Hal ini disebkan perbedaan karakter
undangnya.
Mengingat bahwa seperti telah dikatakan diatas persoalan ini tidak iatur
pertanyaan ini harus didasarkan atas praktik kita bertalian dengan pelaksanaan
Memperhatikan kenyataan tentang hal ini bahwa kita tidak menganut teori
Transformasi apalagi sistem Amerika Serikat. Kita lebih condong pada sistem
negara – negara continental Eropa, yakni langsung menganggap diri kita terikat
15
konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-udangan
2. Teori Delegasi.
nasional. Adopsi itu merupakan kelanjutan satu proses pembentukan hukum yang
konstituasional dalam hukum negara itu merupakan sebagian dari kesatuan tata
negara dianggap terjadi secara otomatis. Di inggris pada abad 19 pernah berlaku
13
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional Bandung:
P.T. Alumni hal. 92
16
doktrin Blackstone, yang juga disebut doktrin inkorporasi. Doktrin ini
Indonesia
perlindungan milik asing itu yakni pada waktu Pemerintah Republik Indonesia
perkebunan dan perusahaan lain milik Belanda dalam tahun 1958 ini, yang
14
Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum internasional, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014. hal 11
17
yang kemudian diambil oleh pengadilan Bremen yakni bahwa pengadilan tidak
diperkuat setelah pihak lawan naik banding oleh keputusan Pengadilan Tinggi
hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas dalam bab ini yakni hubungan
Belanda di Indonesia pada waktu itu. Pihak Belanda, dalam hal ini “De Verenigde
Indonesia itu tidak sah karena tidak disertai dengan ganti rugi atau karena ganti
rugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak De Verenigde Deli
rugi itu harus “prompt, effective and adequate”. Dalil ini dibantah oleh pihak
18
adalah usaha untuk merubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke
ekonomi yang bersifat nasional secara radikal. Dalam hubungan ini nasionalisasi
Tentang keharusan ganti rugi itu dikemukakan dalil bahwa dalil yang
dikemukakan oleh pihak Belanda yaitu bahwa ganti rugi itu harus “prompt,
effective dan adequate” tidak dapat diterima karena seandainya dalil itu diterima
maka tidak akan mungkin suatu negara muda yang berkembang dimana pun akan
merubah struktur ekonominya, karena dalil itu tidak mungkin dipenuhi. Dipegang
teguhnya dalil klasik mengenai tindakan pengambilan hak mili (exploriation) ini
berarti bahwa negara – negara bekas jajahan tidak akan bisa mengadakan
Ganti kerugian yang disediakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ihak
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1959 ditentukan bahwa dari hasil penjualan
ganti kerugian hanya pembayaran ganti kerugian itu cara maupun jumlahnya
19
Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bremen secara tidak
Perkara tembakau Bremen ini tepat sekali dipakai sebagai batu ujian
karena di dalam perkara Bremen ini berhadapan dengan hukum nasional yaitu
15
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja., Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Binacipta, 1976 hal 64 - 67
20
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Dr. Indien Winarwati, S.H., M.H., Hukum Internasional, Malang: Setara Press,
2017.
Dr. Sefrani, S.H., M.Hum. Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Edisi Revisi,
2015.
Binacipta, 1976.
21