Anda di halaman 1dari 23

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI

DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL


DENGAN HUKUM NASIONAL

DISUSUN OLEH KELOMPOK 9 :

RACHMAD YANTO (10016074)

DOSEN PENGAMPU :

BUDI ARDIANTO, S.H., M.H.

JAMBI

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas Hukum Internasional yang berjudul

“Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional.”

Mengingat masih dalam proses belajar, penulis memohon maaf bila terdapat

kesalahan dalam makalah yang telah penulis buat. Dan harapan penulis semoga tugas ini

dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jambi, November 2018

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

Hukum internasional merupakan peraturan yang mengatur persoalan lintas

Negara. Hukum internasiaonal pada mulanya diartikan sebagai perilaku dan

hubungan antar Negara, namun dalam perkembangan pola hubungan internasional

yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum

internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan,

pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Tidak dapat dielakkan

bahwa hukum internasional mempengaruhi hukum nasional. Hal ini dikarenakan

tak terlepas dari suatu Negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

masyarakat internasional.

Negara-negara yang ada pasti akan memiliki hubungan satu sama

lain, baik itu hubungan antara dua Negara saja maupun beberapa Negara.

Hubungan ini akan melahirkan peraturan yang dipatuhi oleh masing-masing

Negara tersebut kemudian berkembang menjadi peraturan yang akan dipatuhi

bersama. peraturan bersama akan menjadi hukum yang tidak saja dipatuhi

bersama sacara berkelompok tetapi akan berlaku secara universal bagi setiap

Negara tanpa terkecuali. Hukum internasional juga dapat tercipta dengan adanya

perjanjian atau kesepakatan dari kebiasaan nasional suatu Negara yang dianut oleh

banyak Negara, kebiasaan ini disepakati sebagai hukum internasional.

Hukum nasional dan hukum internasional sangat saling berhubungan.

Misalnya, dalam pembentukan suatu hukum internasional pasti dipengaruhi oleh

1
hukum nasional, dan tingkat kekuatan Negara tersebut juga akan mempengaruhi

bagaimana arah kebijakan hukum internasional yang akan dibentuk. Hal ini

menunjukan pentingnya hukum nasional masing-masing Negara dalam

menentukan arah kebijakan hukum nasional. Dengan begitu hukum internasional

terpengaruh dengan hukum nasional. Dan yang menjadi permasalahan yang

penting untuk dibahas yaitu mengenai bagaimana hubungan antara hukum

internasional dengan hukum nasional.

Rumusan Masalah

1. Apa itu Hukum Internasional dan Hukum Nasional?

2. Bagaimana hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional?

3. Apa itu ajaran Monisme dan ajaran Dualisme?

4. Apa saja teori dan aplikasi Hukum Internasional dalam Hukum Nasional?

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang hubungan Hukum

Internasional daengan Hukum Naional.

2. Dapat membedakan ajaran monisme dan ajaran dualisme dalam hubungan

Hukum Internasional dan Hukum Nasional.

3. Dapat menjelaskan masalah pengutamaan dalam hubungan Hukum

Internasional dan Hukum Nasional.

2
Manfaat Penulisan

1. Dapat menjelaskan hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional

secara terperinci.

2. Dapat menjelaskan pentingnya ajaran – ajaran dalam sistem hubungan

Hukum Internasional dan Hukum Nasional.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Internasional

Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah - kaidah dan asas - asas

hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara –

negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.1 Pengertian bukan

bersifat perdata adalah tidak semua hubungan atau persoalan internasional, pada

masa sekarang, disebut hubungan atau persoalan antarnegara. Sedangkan hukum

Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah – kaidah dan asas – asas hukum

yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas – batas wilayah negara2.

Lebih jelas mengatur hubungan yang lintas Negara dalam hukum publik

internasional terdapat 2 macam jenis subjek hukumnya, yaitu:

a. Negara dengan Negara

b. Negara dengan subjek hukum lainnya yang bukan Negara atau subjek hukum

bukan Negara satu sama lain.3 Hukum internasional juga dapat didefinisikan

sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip

dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh

karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu

dengan lainnya, serta yang juga mencakup:

1
Dr. Sefrani, S.H., M.Hum. Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Edisi Revisi,
Jakarta: Rajawali Pers, 2016. Hal 1.
2
Dr. Indien Winarwati, S.H., M.H., Hukum Internasional, Malang: Setara Press, 2017
hal 1
3
Ibid hal 3

4
a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional

satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang

berkenaan dengan fungsi fungsi lembaga atau antara organisasi

internasional dengan negara atau negara-negara dan hubungan

antara organisasi internasional dengan individu atau individu-

individu.

b) Takhta suci yang merupakan salah satu contoh subjek hukum,

dimana Paus bukan ganya kepala gereja, tetapi memiliki pula

kekuasaan duniawi. Takhta suci merupakan subjek hukum penuh,

sejak adanya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci (11 Februari

1929).

c) Palang merah internasional merupakan organisasi yang lahir (unik)

karena sejarah, yang kemudian diperkuat dengan perjanjian –

perjanjian dan konvensi – konvensi. Palang merah internasional

sekarang mempunyai kedudukan subjek hukum internasional

dalam ruang lingkup yang sangat terbatas.

d) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan

individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-

state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban

individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut

dengan masalah masyarakat internasional”.4

4
Ibid hal 25

5
Lebih jelas indien winarwati mengatakan mengenai istilah hukum

internasional. Hukum internasional juga dapat dikatakan sebagi hukum bangsa-

bangsa akan dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan atau aturan (hukum)

yang berlaku dalam hubungan antar raja-raja terdahulu. Dalam perkembangan

sampai masa sekarang hukum internasional juga dikatakan sebagai hukum

antarbangsa atau hukum antar negara akan dipergunakan untuk menunjukan pada

kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat

bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak muncul negara dalam

bentuk yang modern sebagai negara nasional.5

Berdasarkan defenisi hukum internasional yang telah dikemukan di atas

dapat dapat disimpulkan hukum internasional adalah hukum yang mengatur

hubungan lintas Negara, tidak saja hubungan antara Negara dengan Negara juga

mengatur hubungan Negara dengan subjek hukum bukan Negara atau subjek

hukum bukan Negara satu sama lainnya yang mencakup peraturan-peraturan

hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi

internasional dengan negara atau negara-negara dan peraturan-peraturan hukum

tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum

bukan negara (non-state entities).

Untuk memberlakukan hukum internasional harus ada dasar atau landasan

untuk pemberlakuan hukum internasional ini. Berlakunya hukum internasional ini

didasarkan atas teori. Suatu teori yang telah memiliki pengakuan yang luas adalah

5
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Edisi
Kedua, Bandung:P.T. Alumni, 2015 hal 4 dan 5

6
bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya.melainkan suatu

himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.

Melihat sifat hukum internasional sebagaimana dipaparkan di atas, tidak heran

bilamana banyak yang meragukan eksistensi hukum internasional, apakah hukum

internasional merupakan norma hukum poitif yang sesungguhnya atau hanya

sekedar norma moral (positive morality) merupakan masalah klasik yang selalu

diajukan oleh para pihak yang meragukan atau skeptis terhadap hukum

internasional.

Menurut Austin hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya

karena untuk dikatakan sebagai hukum menurut Austinn harus memenuhi 2 unsur,

yaitu ada badan legislatif pembentuk aturan serta aturan tersebut dapat

dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsur ini dalam diri hukum

internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat

dikatakan ebagai hukum, baru sekedar positif morality saja.6

B. Pengertian Hukum Nasional

Dalam suatu Negara terdapat peraturan yang ditaati oleh masyarakat dalam

suatu Negara dan ditegakkan oleh Negara (pemerintah) tersebut. Hukum ini

diakui bersama oleh mereka dan dipatuhi sebagai suatu perangkat yang akan

menjadi dasar dalam mewujudkan keterauran dan ketentraman dalam kehidupan

bersama. Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri

atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat

6
Dr. Sefrani, S.H., M.Hum. Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Edisi Revisi,
Jakarta: Rajawali Pers, 2016. Hal 5.

7
dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-

hubungan antara mereka satu dengan lainnya.

Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum

hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang

dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental,

khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang

merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam,

maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang

perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku

sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan – aturan setempat dari

masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

C. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Hukum internasional dengan hukum nasional sebenarnya saling berkaitan

satu sama lainnya, ada yang berpandangan hubungan antara kedua system hukum

sangat berkaitan dan ada yang berpandangan bahwa kedua system hukum ini

berbeda secara keseluruhan. J.G Starke berpandangan terdapat dua teori dalam

mengenai hubungan hukum nasional dengan hukum internasional, yaitu teori

dualisme dan teori monisme. Teori dualisme didukung oleh Triepel dan Anzilotti

menyebutkan dualisme ini sebagai teori kehendak, merupakan hal yang wajar bila

menganggap hukum internasional merupakan system hukum yang terpisah dengan

8
system hukum nasional. Menurut Tripel terdapat dua perbedaan diantara kedua

sitem hukum ini, yaitu:

a. Subjek hukum nasional adalah individu, sedangakan subjek hukum

internasional adalah semata-mata dan secara eksklusifnya adalah negara-

negara.

b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah

kehendaka negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak

bersama dari negara-negara.

Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda. Ia membedakan

hukum nasional dengan hukum internasional menurut prinsip-prinsip fundamental

dengan mana masing – masing sistem itu ditentukan.hukum nasional ditentukan

oleh prinsip fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati.

Sedangkan system hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt

servanda, yaitu perjanjian antara negara harus dijunjung tinggi. Berdasarkan teori

Anzelotti ini berarti pactasunt servanda tidak dapat dikatanak sebagai norma yang

melandasi hukum internasional.

Pendapat J.G Starke ini juga didukung oleh Indien Winarwati. Menurut

indien winarwati ada dua paham mengenai hubungan antara hukum internasional

dengan hukum hukum nasional, yaitu paham dualisme yang tokohnya Triepel,

Anzilotti, George J dan Zorn. Serta paham monisme yang tokohnya Kelsen.

Menurut paham dualisme hukum nasional dengan hukum nasional merupakan dua

sistem hukum yang secara keseluruhannya berbeda secara keseluruhannya.

Hakekat hukum nasional berbeda dengan hukum nasional. Hukum Internasional

9
dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar

terpisah,tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun

secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan

mengabaikan Hukum Internasional, sedangkan paham monisme berpendapat

hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya.

Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum

nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum

nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional.

Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.7

Indien Winarwati berpendapat terdapat dua teori mengenai hubungan

antara hukum internasional dengan hukum nasional. Pertama, teori voluntarisme

atau dualisme, yang mendasarkan berlaku atau tidaknya hukum internasional

tergantung dari kehendak negara untuk mengikatkan dirinya dan yang kedua

adalah teori objektivisme atau monisme yang menyatakan bahwa hukum

internasional itu ada dan berlaku terlepas dari kemauan Negara. 8 Teori voluntaris

dan objektivis pada dasarnya sama dengan paham dualisme dan monime. Alasan

yang diajukan oleh paham dualisme didasarkan pada alasan formal maupun alasan

yang didasarkan kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukankan

sebagai berikut:

a. kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum

internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional

7
Dr. Indien Winarwati, S.H., M.H., Hukum Internasional, Malang: Setara Press, 2017 hal
21
8
Ibid hal 20 - 21

10
bersumber pada kemauan Negara, sedangkan hukum internasional

bersumber pada kemauan bersama masyarakat Negara.

b. Kedua perangkat hukum memiliki subjek hukum yang berbeda. Subjek

hukum nasional adalah orang-perorangan baik dalam apa yang dikatakan

hukum perdata maupun hukum pidana, sedangkan subjek hukum nasional

adalah Negara.

c. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional

menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang

diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataan seperti

mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempuran

dalam lingkungan nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai

argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau

keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan

bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan kaidah hukum

internasional.

d. Daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tetap efektif sekalipun

bertentangan dengan hukum internasional.

Kelemahan argumentasi dalam teori ini ialah pertama, sumber hukum

nasional sukar sekali dikembalikan kepada kemauan negara, melainkan bersumber

pada “fall social” atau kebutuhan hidup manusia. Begitu juga halnya dengan

hukum internasional. Kedua, perkembangan akhir – akhir ini ternyata subjek

hukum internasional tidak hanya negara saja, tetapi individual pun menjadi subjek

hukum internasional. Ketiga, perbedaan struktur organisasi bukanlah suatu hal

11
yang prinsipil melainkan hanya perbedaan perkembangan saja serta kalaupun ada

pertentangan kedua perangkat hukum itu. Hal yang demikian semata – mata

karena kekurang-efektivan hukum internasional. Jadi bukan perbedaan yang

struktural.9

Keberadaan hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua

bagian dari satu kesatuan yang lebih besar atau hubungan hirarki. Hubungan

hirarki ini melahirkan sudut pandang yang berbeda:

a. Paham Monisme dengan Primat Hukum Nasional, tokohnya Max Weuzel,

yakni hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang utama

adalah hukum nasional. Dengan kata lain, hukum internasional merupakan

lanjutan hukum nasional. Pada hakekatnya paham ini menganggap hukum

internasional bersumber pada hukum nasional.Argumentasi yang

dikemukakan; Pertama, tidak ada satu organisasi pun yang mengatur

kehidupan negara – negara di dunia. Kedua, dasar hukum internasional

dalam hubungan internasional terletak pada perjanjian internasional.

Kelemahan argumentasi di atas adalah bahwa 1) paham ini terlalu

memandang hukum hanya sebatas hukum tertulis (positif) saja; 2) hakekat

pendirian paham ini adalah berlakunya hukum internasional digantungkan

pada keterikatan negara. Hal ini tidak jauh berbeda dengan aliran

dualisme.

9
Ibid hal 21

12
b. Paham Monisme dengan Primat Hukum internasional, yakni bahwasanya

hukum nasional bersumberkan pada hukum internasional. Sebab

keberadaan hukum internasional sifatnya lebih tinggi dari hukum nasional.

Kelemahan teori ini adalah pertama, teori ini menyangkal kenyataan

sejarah di mana hukum nasional terlebih dahulu ada. Kedua, bahwa untuk bisa

terjadi suatu perjanjian internasional itu semata – mata karena kompetensi suatu

negara itu sendiri.10

Melihat uraian di atas mengenai persoalan dualisme dan monisme dalam

hubungannya dengan masaah hubungan antara hukum nasional dam hukum

internasional, kita terpaksa menarik kesimpulan bahwa kedua paham itu tidak

mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

Pada satu pihak pandangan dualisme yang melihat hukum nasional dan

hukum internasinal sebagai dua perangkat ketentuan hukum yang samasekali

terpisah tidak masuk akal karena pada hakekatnya merupakan penyangkalan dari

pada hukum internasional sebagai suatu perangkat hukum yang mengatur

kehidupan antar negara atau internasional.

Pada pihak lain pandangan monisme yang mengkaitkan tunduknya negara

(nasional) pada hukum internasional dengan persoalan suatu hubungan

subordinasi dalam arti strukturil erganis, walaupun menurut logika lebih

memuaskan juga kurang tepat karena memang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Kesimpulan bahwa hukum nasional itut tunduk pada hukum internasional

mau tidak mau harus kita terima kalau kita mengakui adanya hukum internasional.

10
Ibid hal 22

13
Tinggal kini kita melepaskannya dari argumen – argumen “apriori” yang

didasarkan atas konstruksi – konstruksi teoritis dan melihat apakah kesimpulan

yang sekaligus menjadi premis pokok daripada hukum internasional sebagai suatu

sistem hukum yang efektif dapat kiranya dicarikan jawabannya berdasarkan

praktek internasional.11

D. Teori – Teori Aplikasi Hukum Internasional Dalam Hukum Nasional

Hubungan berlakunya hukum internasional dalam hukum nasional penting

sehubungan dengan berlakunya perjanjian internasional dalam suatu negara.

Tentang berlakunya hukum internasional dalam hukum nasional itu terdapat

perbedaan antara teori transformasi dan teori delegasi.

1. Teori Transformasi.

Menurut teori transformasi, yang berlandaskan positivisme, hukum

internasional tidak dapat berlaku “ex proprio vigore” dalam hukum nasional.

Karena hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum

yang berbeda, berlkaunya hukum internasional dalam hukum nasioal harus

ditransformasian melalui adopsi khusus.12 Peraturan ketentuan-ketentuan hukum

Internasional untuk dapat berlaku sebagai norma hukum nasional harus melalui

proses transformasi atau alih bentuk baik secara formal ataupun substansial.

Secara formal artinya mengikuti bentuk peraturan yang sesuai dengan perundang-

undangan nasional negara yang bersangkutan. Sedangkan secara substansial

artinya materi dari peraturan hukum Internasional itu harus sesuai dengan materi

11
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja., Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Binacipta, 1976 hal 59
12
Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum internasional, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014 hal 11

14
peraturan hukum nasional yang bersangkutan. Sebagai contoh, dalam hal

perjanjian Internasional untuk menjadi bagian dari hukum Nasional, harus melalui

pengalihan bentuk yang sesuai dengan ketentuan hukum nasional tersebut baik

dalam substansi isi maupun materi dari perjanjian itu. Pengikut ajaran ini

menyatakan tanpa tranformasi tidak mungkin hukum perjanjian Internasional

dapat diberlakukan dalam hukum Nasional. Hal ini disebkan perbedaan karakter

dimana Hukum Internasional didasarkan pada persetujuan negara sedangkan

hukum Nasional bukan.

Perjanjian Internasional dengan hukum Nasional terdapat perbedaan yang

angat besar. Perjanjian Internasional secara natural adalah berupa janji-janji,

sedangkan hukum Nasional memperlihatkan perintah-perintah melalui undang-

undangnya.

Mengingat bahwa seperti telah dikatakan diatas persoalan ini tidak iatur

dalam Undang-undang Dasar 1945, satu-satunya petunjuk dalam usaha menjawab

pertanyaan ini harus didasarkan atas praktik kita bertalian dengan pelaksanaan

kewajiban kita sebagai peserta beberapa perjanjian Internasional.

Memperhatikan kenyataan tentang hal ini bahwa kita tidak menganut teori

Transformasi apalagi sistem Amerika Serikat. Kita lebih condong pada sistem

negara – negara continental Eropa, yakni langsung menganggap diri kita terikat

dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan

15
konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-udangan

pelaksanaan (implementing legislation).13

2. Teori Delegasi.

Menurut teori delegasi juga membenarkan keharusan adanya adopsi

khusus bagi berlakuya hukum internasional menjadi hukum nasional. Namun,

adopsi itu bukanlah suatu transformasi hukum internasional menjadi hukum

nasional. Adopsi itu merupakan kelanjutan satu proses pembentukan hukum yang

dimuai dari penetapan perjanjian internasional sampai menjadi ketentuan hukum

yang mengikat umum dalam suatu negara.

Adopsi khusus itu merupakan delehasi dari hukum internasional kepada

hukum nasional untuk menetapkan waktu dan cara berlakunya hukum

internasional dalam hukum nasional. Dengan demikian, persyaratan

konstituasional dalam hukum negara itu merupakan sebagian dari kesatuan tata

kerja penetapan hukum.

Hubungan berlakunya hukum internasional dalam hukum nasional tersebut

di atas sebenarnya baru membicarakan hubungan berlakunya sebagian huum

internasional, yakni yang berupa hukum perjanjian internasional. Hubungan

berlakunya hukum internasional kebiasaan dalam hukum nasional di banyak

negara dianggap terjadi secara otomatis. Di inggris pada abad 19 pernah berlaku

13
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional Bandung:
P.T. Alumni hal. 92

16
doktrin Blackstone, yang juga disebut doktrin inkorporasi. Doktrin ini

menyatakan bahwa hukum internasional kebiasaan secara otomatis merupakan

bagian dari hukum kebiasaan Inggris.14

E. Praktek Hubungan Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional

Indonesia

Di dalam sejarah negara kita pernah terjadi suatu peristiwa yang

memerlukan penyimpangan dari pada ketentuan hukum internasional mengenai

perlindungan milik asing itu yakni pada waktu Pemerintah Republik Indonesia

mengadakan tindakan ambil alih perusahaan milik Be;anda terutama perkebunan

yang kemudian disusul dengan tindakan nasionalisasi. Tindakan pengambilan alih

milik Belanda yang kemudian disusul dengan nasionalisasi merupakan tindakan –

tindakan yang “prima facie” merupakan tindakan yang melanggar hukum

internasional yang memberikan perlindungan kepada orang asing dan miliknya.

Akan tetapi didalam persoalan tindakan Pemerintah Indonesia terhadap

perkebunan dan perusahaan lain milik Belanda dalam tahun 1958 ini, yang

kemudian dikenal dengan nama “Perkara Tembakau Bremen”, pihak Pemerintah

Indonesia dengan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia (Deutsch-Indonesischen

Tabaks handels G.m.b.H) berhasil meyakinkan pengadilan di Bremen bahwa

tindakan – tindakan pengambilan alih dan nasionalisasi ituu merupakan tindakan

suatu negara berdaulat dalam rangka perubahan struktur ekonomi bangsa

Indonesia dari suat ustruktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Keputusan

14
Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum internasional, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2014. hal 11

17
yang kemudian diambil oleh pengadilan Bremen yakni bahwa pengadilan tidak

mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi Pemerintah

Indonesia itu, secara tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan

tindakan terhadap perusahaan dan perkebunan milik Belanda tersebut.

Keputusan pengadilan Bremen (Landesgericht Bremen) yang kemudian

diperkuat setelah pihak lawan naik banding oleh keputusan Pengadilan Tinggi

Bremen (Oberlandesgericht Bremen) ini sangan menarik dan sangat erat

hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas dalam bab ini yakni hubungan

antara hukum nasional dengan hukum internasional. Karena yang

dipermasalahkan didalam perkara tembakau Bremen ini adalah keabsahan

(legality) daripada tindakan Pemerintah Indonesia didalam mengambil alih dan

kemudian menasionalisasikan perusahaan – perusahaan perkebunan tembakau

Belanda di Indonesia pada waktu itu. Pihak Belanda, dalam hal ini “De Verenigde

Deli Maatschapijen” mendalilkan bahwa tindakan nasionalisasi Pemerintah

Indonesia itu tidak sah karena tidak disertai dengan ganti rugi atau karena ganti

rugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak De Verenigde Deli

Maatschapijen dianggap sebagai dadlil hukum internasional yaitu bahwa ganti

rugi itu harus “prompt, effective and adequate”. Dalil ini dibantah oleh pihak

tergugat yakni die Deutsch-Indonesischen Tabaks handels – G.m.b.H.

(Perusahaan Tembakau Jerman-Indonesia) yang dibantu oleh Pemerintah

Republik Indonesia.) Pihak perusahaan tembakau Jerman-Indonesia dan

Pemerintah Indonesia membantah dalil Belanda yang dikemukakan di atas dengan

mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia

18
adalah usaha untuk merubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke

ekonomi yang bersifat nasional secara radikal. Dalam hubungan ini nasionalisasi

perusahaan perkebunan tembakau Belanda di Indonesia merupakan suatu tindakan

yang perlu dalam rangka perubahan struktur ekonomi tersebut.

Tentang keharusan ganti rugi itu dikemukakan dalil bahwa dalil yang

dikemukakan oleh pihak Belanda yaitu bahwa ganti rugi itu harus “prompt,

effective dan adequate” tidak dapat diterima karena seandainya dalil itu diterima

maka tidak akan mungkin suatu negara muda yang berkembang dimana pun akan

merubah struktur ekonominya, karena dalil itu tidak mungkin dipenuhi. Dipegang

teguhnya dalil klasik mengenai tindakan pengambilan hak mili (exploriation) ini

berarti bahwa negara – negara bekas jajahan tidak akan bisa mengadakan

perubahan struktur ekonominya dan dengan demikian akan dicegah untuk

melakukan emansipasi ekonomi walaupun mereka secara politis sudah merdeka.

Ganti kerugian yang disediakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ihak

yang melakkan exppropriation nasional lain sifat dan bentuknya. Dengan

Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1959 ditentukan bahwa dari hasil penjualan

hasil perkebunan tembakau dan perkebunan ainnya akan disisihkan suatu

resentage tertentu untuk disediakan pembayaran ganti rugi. Dengan demikian

hendak diunjukkan oleh Pemerintah Indonesia bahwa ia tidak melanggar prinsip

ganti kerugian hanya pembayaran ganti kerugian itu cara maupun jumlahnya

disesuaikan dengan kemampuannya sebagai negara merdeka yang baru

berkembang. Keputusan Pengadilan Bremen yang menetapkan bahwa pengadilan

tidak mempersoalkan keabsahan dari pada tindakan nasionalisasi Pemerintah

19
Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bremen secara tidak

langsung menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi Pemerintah Indonesia atas

perkebunan – perkebunan Beanda adaah sah.

Perkara tembakau Bremen ini tepat sekali dipakai sebagai batu ujian

karena di dalam perkara Bremen ini berhadapan dengan hukum nasional yaitu

Undang – undang RI tentang nasionalisasi perusahaan Belanda beserta peraturan

pelaksanaannya dan hukum internasional yaitu ketentuan – ketentuan hukum

internasional mengenai perlindungan hak milik orang asing disuatu negara.15

15
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja., Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Binacipta, 1976 hal 64 - 67

20
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dr. Indien Winarwati, S.H., M.H., Hukum Internasional, Malang: Setara Press,

2017.

Dr. Sefrani, S.H., M.Hum. Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Edisi Revisi,

Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum internasional, Yogyakarta: Cahaya

Atma Pustaka, 2014

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum

Internasional (Edisi Kedua), Bandung:P.T. Alumni,

2015.

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja., Pengantar Hukum Internasional, Bandung:

Binacipta, 1976.

21

Anda mungkin juga menyukai