Anda di halaman 1dari 2

Kisah menghafal ulwan

“Ayo oper bolanya, oper ke sini,” teriak salah satu santri kepada temannya.

Sore itu para santri Al-I’tishom sedang bermain sepak bola. Ya, itulah salah satu cara mereka
merefresh pikiran, setelah seharian berkutat dengan buku-buku pelajaran. Dengan bermodalkan
kulit bundar seharga enam puluh ribuan dan dua gawang kecil, mereka saling unjuk kebolehan bak
pemain sepak bola papan atas. Namun terkadang kaki-kaki mereka pun harus merasakan kerasnya
beradu dengan paving lapangan, kalau tidak berhati-hati.

Bangunan ma’had dua lantai dengan atap yang mengadopsi dari Rumah Joglo, semakin menambah
keunikan bangunan. Lantai satu adalah kelas untuk kegiatan belajar mengajar, lantai dua adalah
asrama santri yang terdiri dari empat kamar. Setiap kamar dinamai dengan nama-nama sahabat
nabi, ada Abu Bakar, Umar, Utsman, dan kamar yang paling ujung adalah Ali.

Terlihat di sudut kamar Abu Bakar seorang santri yang duduk bersila di atas tempat tidurnya.
Tubuhnya dihadapkan ke tembok sambil membawa Al-Qur’an Madinah ukuran saku. Ia sedang
mengulang-ulang hafalan Al-Qur’an. Suaranya merdu sekali, perpaduan antara bacaan Syaikh Sudais
dengan Syaikh Suraim. Dia adalah Ulwan, santri kelas dua belas Ma’had Al-I’tishom.

“Wan, ayo turun! Teman-teman sudah main sepak bola tuh,” ajak Faris sambil menengok ke dalam
kamar Abu Bakar, melihat apa yang sedang Ulwan lakukan di dalam kamar.

“Satu minggu ini aku libur dulu Ris main sepak bolanya,” jawab Ulwan. Faris masuk ke dalam kamar
dan mendekati tempat tidur Ulwan. Ia sedikit heran ketika melihat lilitan kain di atas kepala Ulwan.
“Wan, kamu mau demo ya? Kok pakai ikat kepala segala,” gurau Faris kepada Ulwan.

“Hehe… bisa aja kamu Ris. Nggak kok, kepalaku agak pusing, mungkin efek dari rihlah ke Sekar Bumi
tadi. Aku ikat biar pusingnya hilang.”

“Wan… Wan… Aku salut dengan semangatmu menghafal Al-Qur’an, tapi kalau pusing lebih baik
istirahat saja sampai pusingnya hilang,” kata Faris sambil menepuk pundak Ulwan.

“Syukron Ris, tapi tanggung nih tinggal tiga ayat lagi untuk target hari ini,” jawab Ulwan dengan
senyum sumringahnya.

“Okelah, aku main bola dulu ya.”

“Nggih Mas Faris (Ya Mas Faris).” Ulwan melanjutkan lagi muroja’ahnya.

Ia termotivasi dengan janji Ustadz Ahmad tempo hari. Kalau Ulwan mampu menyetorkan hafalannya
sampai juz ke-20, ia mendapatkan liburan khusus di pertengahan Januari ini. Dan itu artinya Ulwan
bisa liburan bersama keluarga di rumah. Sebenarnya Ma’had Al-I’tishom hanya meliburkan santrinya
sekali dalam setahun, yaitu liburan Idul Fitri. Tetapi karena rumah Ulwan dekat dengan ma’had dan
ia juga merupakan santri yang paling gigih menghafal Al-Qur’an. Ma’had memberi liburan khusus
baginya jika ia mampu menyetorkan hafalannya sampai juz ke-20.

“Aduh kenapa kepalaku tambah pusing nih?” kata Ulwan dengan suara lirih sambil memegangi
kepalanya.
“Ayo Wan! Kamu kuat tinggal nglancarin satu halaman,” hibur Ulwan kepada dirinya sendiri. Badan
Ulwan mulai lemas, pandangan matanya mulai kabur. Ia sudah berada di halaman 401 Surat Al-
Ankabut ayat 45. Artinya ia sudah sampai target hafalan. Santri bertubuh gempal itu pun akhirnya
pingsan, tubuhnya terjatuh ke arah kanan. Tangan kanannya masih memegangi mushaf kecil. Di sela-
sela halaman mushafnya terjatuh secarik memo ukuran kecil.

“Untuk Ibu dan Bapak Bu, Pak, insya Allah Ulwan akan pulang dalam waktu dekat ini. Ada kado
spesial untuk kalian.” Ma’had Al-I’tishom Grabag Muhammad Ulwan namun Allah berkehendak lain,
Allah ambil nyawa Ulwan. Kado spesial dari Ulwan benar-benar terwujud, ia menyeselesaikan target
20 juznyaq```

Anda mungkin juga menyukai