Anda di halaman 1dari 29

PEMERINTAH KABUPATEN KONAWE

BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (BLUD)


RUMAH SAKIT KONAWE
Jln. Diponegoro No. 301 Telp. 0408-2421014 Fax. 0408-2422349
Website : http://www.bludrskonawe.id E-mail : bludrsudkabkonawe@gmail.com

KEPUTUSAN DIREKTUR BLUD RS KONAWE


NOMOR : /……./……/2019
TENTANG
PEDOMAN PENGENDALIAN / PEMERIKSAAN MEKANIS DAN TEKNIS
BLUD RS KONAWE

DIREKTUR BLUD RS KONAWE


Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit, diperlukan penyelenggaraan
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang
bermutu tinggi;

b. bahwa dalam upaya mengendalikan dan mencegah


infeksi di BLUD RS Konawe diperlukan pedoman
pengendalian /pemeriksaan mekanis dan
teknis;Akreditasi Versi 2012 di BLUD RS KONAWE,

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di


maksud dalam huruf a dan b, perlu ditetapkan
dengan Keputusan Direktur BLUD RS
Konawe;ONAW
E.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran;

2. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan;

3. Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang


Rumah Sakit;

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang


Tenaga Kesehatan;

5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang


Keperawatan;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014


tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;

7. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2015 tentang


Pedoman Organisasi Rumah Sakit;
8. Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 Tahun 2017
Tentang Akreditasi Rumah Sakit ;

9. Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014


Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit;

10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar
Pelayanan Kedokteran;

11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015


tentang Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di Rumah Sakit;

12. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017


tentang Pedoman Pengendalian Pencegahan
Infeksi di Fasilitas Pelayan Kesehatani

MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR TENTANG PEDOMAN
PENGENDALIAN /PEMERIKSAAN MEKANIS DAN
TEKNIS BLUD RS Konawe
Kesatu : Pedoman pengendalian /pemeriksaan mekanis dan
teknis BLUD RS Konawe tercantum dalam Lampiran
Surat Keputusan ini.
Kedua : Pedoman pengendalian /pemeriksaan mekanis dan
teknis dilakukan secara konsisten pada semua situasi
dan lokasi BLUD RS Konawe;
Ketiga : Pembinaan dan pengawasan pelayanan pedoman
pengendalian /pemeriksaan mekanis dan teknis BLUD
RS Konawe dilaksanakan oleh kepala bidang pelayanan
medis.
Keempat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan
apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan
dalam penetapan ini, akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya;
Ditetapkan di :
Pada tanggal :

Direktur BLUD RS Konawe,

dr. H. M. AGUS S. LAHIDA, MMR


NIP. 19670826 199703 1 002
Pembina Utama Muda, IV/c
PEDOMAN PENGENDALIAN / PEMERIKSAAN MEKANIS DAN TEKNIS
BLUD RS KONAWE

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare
Associated Infection (HAIs) merupakan salah satu masalah kesehatan
diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam forum Asian
Pasific Economic Comitte (APEC) atau Global health Security Agenda
(GHSA) penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan telah menjadi agenda
yang di bahas. Hal ini menunjukkan bahwa HAIs yang ditimbulkan
berdampak secara langsung sebagai beban ekonomi negara.

Secara prinsip, kejadian HAIs sebenarnya dapat dicegah bila


fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten melaksanakan program
PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi merupakan upaya untuk
memastikan perlindungan kepada setiap orang terhadap kemungkinan
tertular infeksi dari sumber masyarakat umum dan disaat menerima
pelayanan kesehatan pada berbagai fasilitas kesehatan.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya di bidang


pelayanan kesehatan, perawatan pasien tidak hanya dilayani di rumah
sakit saja tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, bahkan di
rumah (home care).

Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas


pelayanan kesehatan sangat penting bila terlebih dahulu petugas dan
pengambil kebijakan memahami konsep dasar penyakit infeksi.

Oleh karena itu perlu disusun pedoman pencegahan dan


pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan agar terwujud
pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat menjadi acuan bagi semua
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian
infeksi di dalam fasilitas pelayanan kesehatan serta dapat melindungi
masyarakat dan mewujudkan patient safety yang pada akhirnya juga akan
berdampak pada efisiensi pada manajemen fasilitas pelayanan kesehatan
dan peningkatan kualitas pelayanan.

B. Tujuan dan Sasaran


Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan,
sehingga melindungi sumber daya manusia kesehatan, pasien dan
masyarakat dari penyakit infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Sasaran Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan disusun
untuk digunakan oleh seluruh pelaku pelayanan di fasilitas pelayanan
kesehatan yang meliputi tingkat pertama, kedua, dan ketiga.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi,
penerapan PPI terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated
Infections/HAIs) berupa langkah yang harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya HAIs (bundles), surveilans HAIs, pendidikan dan pelatihan serta
penggunaan anti mikroba yang bijak. Disamping itu, dilakukan monitoring
melalui Infection Control Risk Assesment (ICRA), audit dan monitoring
lainya secara berkala. Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit, Puskesmas,
Klinik, Praktik Mandiri wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan
untuk fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan
dengan pelayanan yang di lakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut.

1. Pengertian ICRA
ICRA adalah proses multidisiplin yang berfokus pada
pengurangan infeksi, pendokumentasian bahwa dengan
mempertimbangkan populasi pasien, fasilitas dan program:
a. Fokus pada pengurangan risiko dari infeksi,
b. Tahapan perencanaan fasilitas, desain, konstruksi, renovasi,
pemeliharaan fasilitas, dan
c. Pengetahuan tentang infeksi, agen infeksi, dan lingkungan
perawatan, yang memungkinkan organisasi untuk mengantisipasi
dampak potensial.
ICRA merupakan pengkajian yang di lakukan secara kualitatif
dan kuantitatif terhadap risiko infeksi terkait aktifitas pengendalian
infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan serta mengenali
ancaman/bahaya dari aktifitas tersebut.
2. Tujuan
Untuk mencegah dan mengurangi risiko terjadinya HAIs pada pasien,
petugas dan pengunjung di rumah sakit dengan cara :
a. Mencegah dan mengontrol frekuensi dan dampak risiko terhadap :
1) Paparan kuman patogen melalui petugas, pasien dan
pengunjung
2) Penularan melalui tindakan/prosedur invasif yang dilakukan baik
melalui peralatan,tehnik pemasangan, ataupun perawatan
terhadap HAIs.
b. Melakukan penilaian terhadap masalah yang ada agar dapat
ditindak lanjuti berdasarkan hasil penilaian skala prioritas
3. Infection Control Risk Assessment, terdiri dari:
a. External
1) Terkait dengan komunitas: Kejadian KLB dikomunitas yang
berhubungan dengan penyakit menular: influenza, meningitis.
2) Penyakit lain yg berhubungan dengan kontaminasi pada
makanan, air seperti hepatitis A dan salmonela.
3) Terkait dengan bencana alam : tornado, banjir, gempa, dan lain-
lain.
4) Kecelakaan massal : pesawat, bus, dan lain-lain.
b. Internal
1) Risiko terkait pasien : Jenis kelamin, usia, populasi kebutuhan
khusus
2) Risiko terkait petugas kesehatan
a) Kebiasaan kesehatan perorangan
b) Budaya keyakinan tentang penyakit menular
c) Pemahaman tentang pencegahan dan penularan penyakit
d) Tingkat kepatuhan dalam mencegah infeksi (Kebersihan
tangan, pemakaian APD , tehnik isolasi),
e) Skrening yang tidak adekuat terhadap penyakit menular
f) Kebersihan tangan
g) NSI
3) Risiko terkait pelaksanaan prosedur
a) Prosedur invasif yang dilakukan
b) Peralatan yang dipakai
c) Pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan suatu
tindakan
d) Persiapan pasien yang memadai
e) Kepatuhan terhadap tehnik pencegahan yang
direkomendasikan
4) Risiko terkait peralatan
Pembersihan, desinfektan dan sterilisasi untuk proses
peralatan:
a) Instrumen bedah
b) Prostesa
c) Pemrosesan alat sekali pakai
d) Pembungkusan kembali alat
e) Peralatan yang dipakai
5) Risiko terkait lingkungan
a) Pembangunan / renovasi
b) Kelengkapan peralatan
c) Pembersihan lingkungan

Pengkajian Risiko Infeksi (Infection Control Risk


Assesment/ICRA) terdiri dari 4 (empat) langkah, yaitu :

1. Identifikasi risiko
Proses manajemen risiko bermula dari identifikasi risiko dan
melibatkan:
a. Penghitungan beratnya dampak potensial dan kemungkinan
frekuensi munculnya risiko.
b. Identifikasi aktivitas-aktivitas dan pekerjaan yang
menempatkan pasien, tenaga kesehatan dan pengunjung
pada risiko.
c. Identifikasi agen infeksius yang terlibat, dan
d. Identifikasi cara transmisi.
2. Analisa risiko
a. Mengapa hal ini terjadi ?
b. Berapa sering hal ini terjadi ?
c. Siapa saja yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut ?
d. Dimana kejadian tersebut terjadi
e. Apa dampak yang paling mungkin terjadi jika tindakan yang
sesuai tidak dilakukan ?
f. Berapa besar biaya untuk mencegah kejadian tersebut ?
3. Kontrol risiko
a. Mencari strategi untuk mengurangi risiko yang akan
mengeliminasi atau mengurangi risiko atau mengurangi
kemungkinan risiko yang ada menjadi masalah.
b. Menempatkan rencana pengurangan risiko yang sudah
disetujui pada masalah.
4. Monitoring risiko
a. Memastikan rencana pengurangan risiko dilaksanakan.
b. Hal ini dapat dilakukan dengan audit dan atau surveilans dan
memberikan umpan balik kepada staf dan manajer terkait.

Dalam bentuk skema langka-langkah ICRA digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Basic Consepts of Infection Control, IFEC, 2011

Dibawah ini ada tabel yang menerangkan cara membuat perkiraan risiko,
derajat keparahan dan frekuensi terjadinya masalah:
Jenis risiko dan tingkat risiko berbeda di setiap unit fasilitas
pelayanan kesehatan, seperti di IGD, ICU, instalasi bedah, rawat inap,
laboratorium, renovasi/pembangunan, dan lainnya. Pencatatan risiko
adalah pencatatan semua risiko yang sudah diidentifikasi, untuk kemudian
dilakukan pemeringkatan (grading) untuk menentukan matriks risiko
dengan kategori merah, kuning dan hijau. Pemeringkatan (grading) dalam
bentuk table sebagai berikut :
SKOR : Nilai Probabilitas X Nilai Risiko/Dampak X Nilai Sistem yang ada
Untuk Kasus yang Membutuhkan Penanganan Segera
Tindakan sesuai Tingkat dan Band Risiko
Pengkajian risiko pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatan didapatkan melalui masukan dari lintas unit yaitu :

1. Pimpinan
2. Anggota Komite PPIRS, IPCN / IPCN-link
3. Staf medik
4. Perawat
5. Laboratorium
6. Unit Produksi Makanan
7. Unit Pelayanan Laundri
8. Unit Perawatan Intensif
9. Unit Rawat Jalan
10. Unit Sanitasi dan Lingkungan
11. Instalasi Sterilisasi Pusat
12. Instalasi Laboratorium
13. Instalasi Farmasi
14. Instalasi Jenazah
15. Koordinator lain yang diperlukan
16. Komite Mutu
17. Staf PPIRS
18. IPCD/IPCO/IPCN/IPCN-link
19. Petugas kesehatan lain
20. Staf medik
21. Bidang Keperawatan
22. Bidang Teknik
23. Administrasi
Gambar 37. Prioritas Pengaturan

4. Infection Control Risk Assessmen Renovasi/Pembangunan Gedung


Baru Penilaian Risiko

Dampak Renovasi atau Konstruksi yang dikenal sebagai


Infection Control Risk Assessment (ICRA) adalah suatu proses
terdokumentasi yang dilakukan sebelum memulai kegiatan
pemeliharaan, perbaikan, pembongkaran, konstruksi, maupun renovasi
untuk mengetahui risiko dan dampaknya terhadap kualitas udara
dengan mempertimbangkan potensi pajanan pada pasien.
Sistem HVAC (heating, ventilation, air conditioning) adalah
sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin udara di sarana pelayanan
kesehatan yang dirancang untuk: a) menjaga suhu udara dan
kelembaban dalam ruangan pada tingkat yang nyaman untuk petugas,
pasien, dan pengunjung; b) kontrol bau, c) mengeluarkan udara yang
tercemar, d) memfasilitasi penanganan udara untuk melindungi
petugas dan pasien dari patogen airborne, dan e) meminimalkan risiko
transmisi patogen udara dari pasien infeksi. Sistem HVAC
mencakupudara luar inlet, filter, mekanisme modifikasi kelembaban
(misalnya kontrol kelembaban musim panas, kelembaban musim
dingin), pemanas dan pendingin peralatan, exhaust, diffusers, atau kisi-
kisi untuk distribusi udara. Penurunan kinerja sistem fasilitas kesehatan
HVAC, inefisiensi filter, pemasangan yang tidak benar, dan
pemeliharaan yang buruk dapat berkontribusi pada penyebaran infeksi
airborne.

a) Ruang Lingkup
Ruang lingkup penilaian kriteria risiko akibat dampak renovasi atau
konstruksi menggunakan metode ICRA adalah:
1) Identifikasi Tipe Proyek Konstruksi
Tahap pertama dalam kegiatan ICRA adalah melakukan
identifikasi tipe proyek konstruksi dengan menggunakan Tabel
10. Tipe proyek konstruksi ditentukan berdasarkan banyaknya
debu yang dihasilkan, potensi aerosolisasi air, durasi kegiatan
konstruksi, dan sistem sharing HVAC.
2) Identifikasi Kelompok Pasien Berisiko
Selanjutnya identifikasi Kelompok Pasien Berisiko (Tabel
11.) yang dapat terkena dampak konstruksi. Bila terdapat lebih
dari satu kelompok pasien berisiko, pilih kelompok berisiko
yang paling tinggi.Pada semua kelas konstruksi, pasien harus
dipindahkan saat pekerjaan dilakukan.
3) Menentukan Kelas Kewaspadaan dan intervensi PPI
Kelas Kewaspadaan ditentukan melalui pencocokan
Kelompok Pasien Berisiko (R,S,T,ST) dengan Tipe Proyek
Konstruksi (A,B,C,D) berdasarkan matriks pencegahan dan
pengendalian infeksi.

4) Menentukan Intervensi Berdasarkan Kelas Kewaspadaan


Penentuan intervensi PPI dilakukan setelah Kelas
Kewaspadaan diketahui. Apabila Kelas Kewaspadaan berada
pada Kelas III dan IV, maka diperlukan Perizinan Kerja dari
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dan dilakukan
identifikasi dampak lain di daerah sekitar area proyek.
5) Identifikasi area di sekitar area kerja dan menilai dampak
potensial Pada Kelas Kewaspadaan III dan IV, perlu dilakukan
identifikasi daerah sekitar area proyek dan tingkat risiko lokasi
tersebut. Identifikasi dampak potensial lain dapat diketahui
dengan mengisi Tabel 14.
Dengan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan
oleh masyarakat, tuntutan pengelolaan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) di rumah sakit semakin tinggi. Tenaga kerja di
rumah sakit, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan
masyarakat disekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari
gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik karena dampak kegiatan
pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana di rumah
sakit yang tidak standar.

Agar dapat tercipta sistem manajemen K3 yang baik, dibutuhkan


sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang baik pula terutama
untuk mendeteksi dan menangani risiko bahaya yang ada di lingkungan
rumah sakit. Untuk dapat mencapai hal tersebut karyawan rumah sakit harus
mengetahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit dan cara
pengendaliannya, sehingga rumah sakit yang aman bagi tenaga kerja,
pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat di
sekitar rumah sakit dapat terwujud.
TUJUAN

1. Peserta pelatihan mampu mengenal resiko bahaya yang ada di rumah


sakit.
2. Peserta pelatihan mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada di
satuan kerja masing-masing.
3. Peserta pelatihan mampu mengenal sistem pengendalian resiko
bahaya yang sudah dilakukan di rumah sakit khususnya di satuan
kerja masing-masing.
4. Peserta pelatihan mampu mengikuti prosedur pengendalian resiko
bahaya dan menerapkan kepada pengunjung, keluarga pasien dan
peserta didik yang ada di lingkungan rumah sakit.

RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT


Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita
tidak dapat mengenalinya, terutama resiko bahaya biologi, karena
keberadaan micro organisme patogen tidaklah nampak seperti resiko bahaya
fisik atau kimia. Akan tetapi dampak dari resiko bahaya biologi di rumah sakit
jika tidak dikendalikan, maka dapat berdampak serius baik terhadap
kesehatan maupun terhadap keselamatan pekerja dan pengunjung serta
masyarakat disekitar rumah sakit.
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan
dalam 5 kelompok sebagai berikut;
1. Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik
antara lain:
a. Resiko bahaya mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
1) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya
tertusuk, terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini
termasuk salah satu yang paling sering menimbulkan
kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik / jarum jahit bekas
pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko
bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk
tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat
bahaya akibat tertular penyakit tersebut cukup besar, maka
harus ada prosedur tindak lanjut paska tertusuk jarum yang
akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
2) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita
ketahui di rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk
mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang
dapat muncul adalah pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur,
terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
3) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat
terjadi dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan
anak dan ruang perawatan jiwa. Pastikan tidak ada pintu,
jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk
terjepit/tenggelam tersebut.
4) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung,
dan lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring
baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman.
Pastikan area yang beresiko licin sudah ditandai dan jika perlu
pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti licin serta
rambu peringatan “awas licin”.
5) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan
anak dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan
konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang
cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan pada ketinggian lebih
dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan abuk
keselamatan. Pada ruang perawatan anak dan jiwa yang
terletak di lantai atas pastikan jendela yang ada sudah
terpasang teralis pengaman dan anak-anak selalu dalam
pengawasan orang dewasa saat bermain.
b. Resiko bahaya radiasi
Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
1) Bahaya radiasi pengion
Yaitu elektromagnetik atau partikel yang mampu
menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di
rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran
nuklir.
2) Bahaya radiasi non pengion
Adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi yang
tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi
gelombang mikro.

Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk


pekerja radiasi, peserta didik, pengunjung dan pasien hamil.
Pekerja radiasi harus sudah mendapatkan informasi tentang resiko
bahaya radiasi dan cara pengendaliannya. Selain APD yang baik,
monitoring tingkat paparan radiasi dan kepatuhan petugas dalam
pengendalian bahaya radiasi merupakan hal yang penting.
Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus
memakai personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan
radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan tingkat
paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk
pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang
pemerikasaan atau therapy radiasi terpasang rambu peringatan
“Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada petugas”.
c. Resiko bahaya akibat kebisingan
Adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja
yang melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada
di ruang boiler, generator listrik, dan peralatan yang menggunakan
alat-alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau
dan dikendalikan. Berdasar peraturan menteri kesehatan RI no
1204 tahun 2004 tentang pengendalian lingkungan fisik di rumah
sakit, seluruh area pelayanan pasien harus dipantau dan
dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan sekali.
Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS
dan hasil temuan yang tidak memenuhi persyaratan di analisa dan
dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada
Manajemen rumah sakit.
d. Resiko bahaya akibat pencahayaan
Adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang
atau berlebih. Tingkat pencahayaan diseluruh area rumah sakit
juga telah dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya
kebisingan tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah jika terjadi
kerusakan lampu, pastikan lampu pengganti setara tingkat
pencahayaannya dengan lampu sebelumnya, sehingga tidak
terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area tersebut.
e. Resiko bahaya listrik
Adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus
listrik. Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan
preventif maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan
oleh IPSRS. Kalibrasi peralatan medis dan penggantian peralatan
yang telah out off date. Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat
peralatan listrik yang dibawa peserta didik dan keluarga pasien
dilakukan sosialisasi kepada seluruh peserta didik pada saat
orientasi dan untuk keluarga pasien informasi diberikan pada saat
pasien masuk rumah sakit khususnya pasien rawat inap.
f. Resiko bahaya akibat iklim kerja
Adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika
suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat
mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja.
Pemantauan secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika
ditemukan kondisi tidak memenuhi peresyaratan akan dilakukan
pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit K3RS dan ISLRS yang
dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.
g. Resiko bahaya akibat getaran
Adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit
tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang
menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian
housekeeping / rumah tangga yang menggunakan mesin
pemotong rumput (bagian taman).
2. Resiko Bahaya Biologi
a. Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial).
Resiko ini di rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas
Pemantau Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit
K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja
pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
b. Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain).
Resiko ini dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan
housekeeping yang baik dari seluruh karyawan dan penghuni
rumah sakit.
3. Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang
meliputi:
a. Desinfektan
Yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai,
desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan
lain-lain.
b. Antiseptik
Yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan
mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone,
dan lain-lain.
c. Detergen
Yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
d. Reagen
Yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
e. Obat-obat sitotoksik
Yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
f. Gas medis
Yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide,
nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.

Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS


berkoordinasi dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang
perludiperhatikan adalah pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan,
pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan pembuangan
limbahnya.

Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai


dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib
menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data
Sheet / MSDS), petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan
pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur penanganan
tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3,
diletakkan diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang
disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya
dan Spill Kit untuk menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur
penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.

Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan


kerja yang kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan
serta standar pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa
kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit.

Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar


paparan ke lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja
pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika
belum harus segera diusulkan sesuai prosedur yang berlaku.

Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air


kotor yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Limbah B3 padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara
Limbah B3 (TPS B3), untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah
limbah B3.

4. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi


Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit
berupa kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian
antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian
dilakukan melalui sosialisasi secara berkala oleh Unit K3.
5. Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa
ketidak harmonisan hubungan antar manusia didalam rumah sakit,
baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja
dengan pimpinan.

HIERARCHY PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA


Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5
hierarchy sebagai berikut:

1. Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan
pada saat desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan
kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu sistem
karena adanya kekurangan pada desain. Penghilangan bahaya
merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya
mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun
demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu
praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD
dapat di eliminasi ketika hollow fiber tidak perlu reuse lagi atau single
use.
2. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan,
proses, operasi ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih
tidak berbahaya. Dengan pengendalian ini menurunkan bahaya dan
resiko minimal melalui disain sistem ataupun desain ulang. Beberapa
contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi pada mesin
untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan operator,
menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya,
mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan
baku padat yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau
basah.
3. Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan
bahaya dengan pekerja serta untuk mencegah terjadinya kesalahan
manusia. Pengendalian ini terpasang dalam suatu unit sistem mesin
atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan
negatif pada ruang perawatan air borne dissease, penggunaan laminar
airflow, pemasangan shield /sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-
Ray), dan lain-lain.
4. Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang
akan melakukan pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja
diharapkan orang akan mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian
cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara aman. Jenis
pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar
operasional Prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi
perilaku, jadwal kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen
perubahan, jadwal istirahat, dan lain-lain.
5. Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan
merupakan hal yang paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya.
APD hanya dipergunakan oleh pekerja yang akan berhadapan
langsung dengan resiko bahaya dengan memperhatikan jarak dan
waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin jauh dengan
resiko bahaya maka resiko yang didapat semakin kecil, begitu juga
semakin singkat kontak dengan resiko bahaya resiko yang didapat
juga semakin kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif
pada pekerja seperti kurang leluasa dalam bekerja, keterbatasan
komunikasi dengan pekerja lain, alergi terhadap APD tertentu, dan
lain-lain. Beberpa pekeerja yang kurang faham terhadap dampak
resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan dalam
penggunaan APD juga menjadi rendah. APD reuse memerlukan
perawatan dan penyimpanan yang baik sehingga kualitas
perlindungan dari APD tersebut tetap optimal.
Hierarchy pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

Gambar 1. Hierarchy pengendalian resiko bahaya.

PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA.


Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata
seluruh resiko bahaya tersebut terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh
sistem pengendalian resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah
sakit adalah sebagai berikut:
1. Resiko bahaya fisik
a. Mekanik
Resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum
dan terpeleset atau menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian
yang sudah dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah
tajam, kebijakan dilarang menutup kembali jarum bekas,
pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring,
pemasangan rambu “awas licin”, pemasangan kaca film dan stiker
pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan penggunaan
sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian
lebih dari 2 meter, dan lain-lain.
b. Resiko bahaya radiasi
Resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi,
kedokteran nuklir, ruang cath lab dan beberapa kamar operasi yang
memiliki fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan
antara lain: pemasangan rambu peringatan bahaya radiasi, pelatihan
proteksi bahaya radiasi, penyediaan APD radiasi, pengecekan tingkat
paparan radiasi secara berkala dan pemantauan paparan radiasi
pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas
radiasi.
c. Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator
listrik dan ruang chiller. Pengendalian yang telah dilakukan antara
lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru dengan ambang
kebisingan yang lebih rendah, penggunaan pelindung telinga dan
pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi
Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
d. Resiko bahaya pencahayaan
Resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan pekerjaan
teliti seperti di kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang
sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara
berkala oleh ISLRS dan hasil pemantauan dilaporkan ke Direktur,
Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut ruangan yang tingkat
pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.
e. Resiko bahaya listrik
Resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum.
Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan
penggunaan peralatan listrik harus memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan harus dipasang oleh bagian IPSRS atau orang
yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr Sardjito secara
berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan seluruh
peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai berupa
stiker warna hijau, sedangkan yang tidak layak pakai akan diberikan
stiker merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain
itu unit K3 dan IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke
seluruh satuan kerja tentang perilaku aman dalam menggunakan
listrik di rumah sakit.
f. Resiko bahaya akibat iklim kerja
Resiko ini meliputi kondisi temperatur dan kelembaban ruang
kerja. Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan oleh
ISLRS. Acuan dari standar temperatur dan kelembaban mengacu
pada keputusan menteri kesehatan RI no 1402 tahun 2004 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.
Masalah yang sering muncul adalah temperatur melebihi
standar seperti di Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi, karena
belum memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang
dilakukan dengan pemberian minum yang cukup. Masalah
kelembaban yang tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman
patogen sehingga meningkatkan angka infeksi baik bagi pasien
maupun bagi pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan
akan tetapi pada musim tertentu kadang tidak memenuhi
persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk menghambat kolonisasi
kuman terutama pada ruang perawatan pasien, ICU dan kamar
operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering dan
pemantauan angka kuman secara berkala.
g. Resiko bahaya akibat getaran
Resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan. Dari telaah
yang telah dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di
bagian taman akibat dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi
akibat dari mesin bor gigi, tetapi tingkat getaran pada ke 2 lokasi
tersebut masih dalam batas yang diijinkan.

2. Resiko bahaya biologi


Resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman
patogen dari pasien yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh, dropet
dan udara. Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi (PPI) akan tetapi termasuk dalam area
pemantauan Unit K3. Resiko air borne dissease dikendalikan dengan
rekayasa ruangan tekanan negatif beserta peraturan administratif dan
APD. Resiko penularan melalui droplet dikendalikan dengan menyediakan
masker bagi petugas, pengantar pasien dan pasien yang batuk, serta
sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko blood borne dissease
dikendalikasn dengan penggunaan alat-alat single use beserta persturan
administratif dan APD.
Selain itu untuk mencegah pe nularan penyakit blood borne
dissease khususnya Hepatitis B dilakukan Imunisasi Hepatitis B dengan
perioritas pada karyawan dengan kadar titer anti HBs < 0,2 u/L terutama
yang bekerja pada tindakan invasif terhadap pasien. Selain itu juga telah
dilakukan penanganan paska pajanan infeksi khususnya pada HIV dan
Hepatitis B. Bila pekerja atau peserta didik mengalami kecelakaan kerja
berupa tertusuk jarum bekas pasien atau terkena percikan darah dan
cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena pada luka, maka
wajib melaporkan kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu dan
setelah melakukan pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar
dilakukan telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk
mengurangi resiko tertular.

3. Resiko bahaya kimia


Resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya
dan beracun (B3). Pengendalian yang telah dilakukan adalah dengan
identifikasi bahan-bahan B3, pelabelan standar, penyimpanan standar,
penyiapan MSDS, penyiapan P3K, APD dan safety shower serta pelatihan
teknis bagi petugas pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan dengan
penggunaan Laminary Airflow pada pengelolaan obat dan B3 lainnya.

4. Resiko bahaya ergonomi


Resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik
pasien maupun barang. Sosialisasi cara mengangkat dan mengangkut
yang benar selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana dan
prasarana rumah sakit juga harus mempertimbangkan faktor ergonomi
tersebut terutama peralatan yang dibeli dari negara lain yang secara fisik
terdapat perbedaan ukuran badan.

5. Resiko bahaya psikologi


Resiko psikologi teidak terlalu kelihatan akan tetapi selalu ada
meskipun kadarnya tidak terlalu mencolok. Upaya yang dilakukan antara
lain dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff dan
pimpinan dan pada acara-acara bersama seperti saat ulang tahun RS dan
lain-lain yang bertujuan agar terjalun komunikasi yang baik sehingga
secara psikologi menjadi lebih akrab denganharapan resiko bahaya
psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.
BAB II
PENUTUP

Resiko bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi,


fisik, kimia, fisiologi/ergonomi dan psikologi dapat menyebabkan penyakit dan
kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat
disekitar lingkungan rumah sakit. Pekerja rumah sakit memiliki resiko kerja
yang lebih tinggi dibanding pekerja industri lain sehingga resiko bahaya
tersebut harus dikendalikan.

Salah satu upaya pengendalian adalah dengan melakukan sosialisasi


kepada seluruh pekerja rumah sakit tentang resiko bahaya tersebut sehingga
seluruh pekerja mampu mengenal resiko bahaya tersebut. Dengan mengenal
resiko bahaya diharapkan pekerja mampu mengidentifikasi resiko bahaya
yang ada disatuan kerjanya dan mengetahui upaya pengendalian resiko
bahaya yang sudah dilakukan oleh rumah sakit sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan pekerja terhadap sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah
dilakukan.

Ditetapkan di :
Pada tanggal :

Direktur BLUD RS Konawe,

dr. H. M. AGUS S. LAHIDA, MMR


NIP. 19670826 199703 1 002
Pembina Utama Muda, IV/c

Anda mungkin juga menyukai