Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASI


A. Konsep Medis
1. Definisi
Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang
disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra parsprostatika
(Jitowiyono & Kristiyanasari,2012:113).
BPH adalah suatu penyakit perbesaran dari prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali
menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia.
Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti
oleh jumlah. Hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan
jumlah sel (Prabowo & Pranata,2014:130).
2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui secara
pasti tetapi hanya 2 dua faktor yang mempengaruhi terjadinya BPH yaitu testis dan usia
lanjut (Jitowiyono & Kristyanasari2012:113). Beberapa faktor yang diduga seebagai
penyebab timbulnya Hyperplasia prostate adalah :(Wijaya & Putri 2013:97 Rendy &
Magarenth,2012:116)
a. Teori hormon dihidrotestoreron (DHT)
Pembesaran prostat diaktifkan oleh testoreron dan DHT. Peningkatan alfa reduktase
dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat
mengalami hiperplasia.
b. Faktor usia
BPH merupakan penyakit yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata 45
tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga
diatas umur 80 tahun kira-kira 80% menderita kelainan ini. Peningkatan usia membuat
ketidakseimbangan rasio antara estrogen dan testosteron. Dengan meningkatnya kadar
ekstrogen diguga berkaitan dengan terjadinya hyperplasia stroma, sehingga timbul
dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya poliferasi sel tetapi
kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma.
c. Faktor pertumbuhan/Growth
Membuktikan bahwa deferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostate secara tidak
langsung diatur oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator tertentu.setelah sel sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,sel-sel stroma mensintesis suatu
growth faktor yang selanjutunya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara
intrakrin dan atuokrim,serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
d. Meningkatnya masa hidup sel-sel prostate
Progam kematian sel (apoptosisi) pada sel prostate adalah mekanisme fisiologi untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostate.
3. Patofisiologi
Pembesar prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal
terjadi pembesar prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan
resistensi uretra daerah prostat, leher, vesika kemudian detrusor mengatasi dengan
kontraksi lebih kuat sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan
penonjolan serat dretusor kedalam mokusa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok
yang trabukulasi. Fase penebalan detrusorsor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk kontransi, sehingga terjadi retensi urine total yang berlanjut pada
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Wijaya & Putri 2013:98).
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia. Jika
prostat membesar, maka akan meluap ke atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam
akan mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini
meninggkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra
prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat
memompa urine keluar. Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomi
dari kandung kemih berupa: hepertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sekula, dan divertikel kandung kemih. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan
keseluruh bagian buli-buli tidak terkeculi pada kedua muara ureter, tekanan ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter. Keadan ini jika berlangsung terus
menerus akan mengakibatkan hidroureter, hidrofrosis bahkan akhirnya dapat jatuh
kedalam gagal ginjal (Muttaqin & Sari,2012:258)
4. Manifestasi Klinik
BPH merupakkan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50
tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obsetruksi
saluran,sehingga klien kesulitan untuk miksi.berikut ini adalah beberapa gambaran klinis
pada klien BPH (Prabowo & Pranata,2014:131 Williams & Wilkins,2011:48)
a. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine) kondisi ini
dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urine secara
spontan dan reguler, sehingga volume urine masih sebagai besar tertinggal dalam
vesika.
b. Retensi urine sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis,
vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui kontraksi otot
detrusor.
c. Pembesaran prostat yaitu ketika dilakukan palpasi rektal.
d. Inkontetinesia yang terjadi menunjukkan bahwa detrusor gagal dalam melakukan
kontraksi, sehingga kontrol untuk miksi hilang.
e. Lebih sering kencing, disertai nokturia, inkontinensia, dan kemungkinan hematuria.
Yang berakibat infeksi diikuti obstruksi kencing menyeluruh
f. Gumpalan di tengah yang bisa dilihat (kandung kemih mengalami distensi) yang
mencerminkan kandung kemih yang kosong secara tidak menyeluruh.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum
dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak
perlu biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific
Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD >
0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10
mg/ml.
b. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume
BPH, menentukan derajat disfungsi buli–buli dan volume residu urine, mencari
kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan
BPH. Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat :
1. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli – buli.
2. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belok –belok
di vesika).
3. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal, mendeteksi
residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli. (Arif Mansjoer, 2000).
c. Pemeriksaan Diagnostik.
1. Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang, penampilan keruh, Ph:
7 atau lebih besar, bakteria.
2. Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas,
e.coli.
3. BUN / kreatinin : meningkat.
4. IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya
pembesaran prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih.
5. Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung kemih.
6. Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi kandung kemih
dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal.
7. Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan kandung
kemih.
8. Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur sisa urine dan
keadaan patologi seperti tumor atau batu (R.Sjamsuhidayat, 2004).
6. Penatalaksanaan
1. Modalitas terapi BPH adalah :
a. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien.
b. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan ringan, sedang,
sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi
(misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan
supresor androgen.
c. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
2. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien
buang air kecil > 100 Ml.
3. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem perkemihan seperti
retensi urine atau oliguria.
4. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
d. Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).
a. Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan melalui uretra.
b. Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi. 3) Dibutuhkan kateter foley setelah
operasi.
2. Prostatektomi Suprapubis
a. Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
b. Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah
operasi.
3. Prostatektomi Neuropubis
a. Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
b. Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c. Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4. Prostatektomi Perineal 1
a. Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b. Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c. Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.
d. Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema,
diet rendah sisa dan antibiotik).
e. Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada
tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk. Pada TURP, prostatektomi
suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat meliputi: 1. Inkotenensi
urinarius temporer 2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan
kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh ejakulasi dini
kedalam kandung kemih.
7. Komplikasi
Komplikasi Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada
hipertropi prostat adalah:
a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis,
gagal ginjal.
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
c. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu.
d. Hematuria
e. Disfungsi seksual.
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap dari awal proses keperawatan sebagai dasar untuk
pemberian asuhan keperawatan yang aktual. Tujuan dilakukannya tahap pengkajian adalah
mengumpulkan, mengorganisasi, dan mendokumentasikan data yang menjelaskan respons
klien yang mempengaruhi pola kesehatannya. Suatu pengkajian yang komprehensif atau
menyeluruh, sistematis, dan logis akan mengarah dan mendukung identifikasi masalah
kesehatan klien. Masalah ini menggunakan data pengkajian sebagai dasar formulasi untuk
menegakkan diagnosis keperawatan (Nursalam, 2011:159). pengkajian pada pasien BPH
dimulai dari pengkajian umum hingga pengkajian yang spesifik: (Wijaya &
Putri,2013:103, Kristiyanasari & Jitowiyono 201:120, Muttaqin, 2011:269). 1. identitas
Klien : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan Terakhir, Alamat, Pekerjaan, Asuransi
kesehatan, Agama, Suku bangsa, Tanggal & jam MRS, Nomer register, Serta diagnosis
medis.
2. Keluhan utama
a. keluhan sistemik : antara lain gangguan fungsi ginjal (sesak nafas, edema, malaise,
pucat, dan eremia) atau demam disertai menggigil akibat infeksi.
b. keluhan lokal : pada saluran perkemihan antara lain nyeri akibat kelainan pada
saluran perkemihan, keluhan miksi (keluhan iritasi dan keluhan obstruksi),
hematuria, inkontenensia, disfungsi seksual, atau infertilitas.
c. Keluhan nyeri : nyeri pada sistem perkemihan tidak selalu terdapat pada penyakit
ginjal meskipun umumnya ditemukan pada keadaan yang lebih akut. Nyeri
disebabkan oleh kelainan yang terdapat pada organ urogenetalia sirasakan sebagai
nyeri lokal yaitu nyeri yang dirasakan disekitar organ itu sendiri atau berupa reffered
pain yaitu nyeri yang dirasakan disekitar organ itu sendiri. Nyeri prostat pada
umumnya disebabkan karena inflamasi yang mengakibatkan edema kelenjar prostat
dan distensi kapsul prostat. Lokasi nyeri akibat inflamasi ini sulit untuk ditentukan,
tetapi pada umumnya dapat dirasakan pada abdomen bawah, inguinal, parineal,
lumbosakral. Sering kali nyeri prostat diikuti dengan keluhan miksi beruba
frekuensi, disuria, bahkan retensi urine.
d. Keluhan miksi : keluhan yang dirasakan oleh klien pada saat miksi meliputi keluhan
akibatsuatu tanda adanya iritasi, obstruksi, inkontenensia, dan enueresis. Keluhan
akibat iritasi meliputi polakisuria, urgensi, nokturia, dan disuria. Sedangkan keluhan
obstruksi meliputi hesistensi, harus mengejan saat miksi, pancaran urine melemah,
intermitensi, dan menetes serta masih terasa ada sisa urine setelah miksi.
e. Gejala iritasi :
1. Polakisuria adalah frekuensi berkemih yang lebih dari normal. Polakisuria dapat
disebabkan karena produksi urine yang berlebihan seperti pada penyakit diabetes
militus atau asupan cairan yang berlebihan, sedangkan menurunnya kapasitas
kandung kemih dapat disebabkan karena adanya obstruksi infravesika.
2. Urgensi adalah suatu keadaan rasa sangat ingin berkemih sehingga terasa sakit.
Keadaan ini adalah akibat hiperaktivitas kandung kemih karena inflamasi,
terdapat benda asing di dalam kandung kemih, dan adanya obstruksi
3. Nokturia adalah polakisuria pada malam hari. Seperti pada polakisuria, pada
nokturiamungkin disebabkan karena produksi urine meningkat ataupun karena
kapasitas kandung kemih yang menurun.
4. Disuria adalah nyeri pada saat miksi dan terutama disebabkan karena inflamasi
pada kandung emih atau uretra
f. Gejala obstruksi :
1. Hesistensi adalah awal keluarnya urine menjadi lebih lama dan sering kali klien
harus mengejan untuk memulai miksi. Setelah urine keluar, seringkali
pancarannya menjadi lemah, tidak jauh, dan kecil. Hal ini sering disebabkan oleh
obstruksi pada saluran kemih.
2. Intermitensi merupakan keluhan miksi dimana pada pertengahan miksi sering kali
berhenti dan kemudian memancar lagi, keadaan ini terjadi berulang-ulang. Miksi
diakhiri dengan perasaan masih terasa ada sisa urine di dalam kandung kemih
dengan masih keluar tetesan-tetesan urine
g. Inkontenensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menhan urine yang
keluar dari kandung kemih, baik disadari ataupun tidak disadari.
h. Keluhan disfungsi seksual : Disfungsi seksual seksual pada pria meliputi libido
menurun, air mani tidak keluar pada saat ejakulasi, tidak pernah merasakan orgasme,
atau ejakulasi dini. Penting bagi perawat melakukan anamnesis untuk mencari kata-
kata yang sesuai agar kepercayaan dan privasi pasien dapat terjaga.
3. Riwayat kesehatan saat ini : Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama
seperti menanyakan tentang perjalanan sejak timbul keluhan hingga klien meminta
pertolongan. Misalnya : sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan berapa kali
keluhan itu terjadi, apa yang sedang dilakukan ketika keluhan ini terjadi, bagaimana
sifat dan hebatnya keluhan, dimana pertama kali keluhan dirasakan, apa yang
memperberat atau memperingan keluhan, adakah usaha mengatasi keluhan ini sebelum
meminta pertolongan, berhasil atau tidakkah usaha tersebut, dan sebaginya. Setiap
keluhan utama harus ditanyakan kepada klien sedetail-detailnya, dan semua
diterangkan pada riwayat kesehatan sekarang.
4. Riwayat kesehatan dahulu : Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang
pernah dialami sebelumnya, terutama yang mendukung atau memperberat kondisi
gangguan sistem perkemihan pada klien saat ini seperti pernahkah klien menderita
penyakit kencing manis, penyakit kencing batu dan seterusnya. Tanyakan apa pasien
pernah dirawat sebelumnya karena perawat perlu mengklarifikasi pengobatan masa lalu
dan riwayat alergi.
5. Pengkajian Psikososiospiritual : Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Masalah sistem perkemihan yang bersifat kronis
menimbulkan rasa nyeri dari gangguan saluran kemih dan memberikan stimulus pada
kecemasan dan ketakutan setiap pasien.
6. Pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi :
1. Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis
menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
2. Penonjolan pada daerah supra pubik yang mengakibatkan retensi urine.
3. Perhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut bekas pembedahan di
suprasimfisis.
b. Palpasi :
1. Pemeriksaan Rectal Toucher ( colok dubur ) posisi pasien knee chest.
2. Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkanpasien ingin buang air
kecil.
3. Palpasi kandung kemih untuk menentukan batas kandung kemih dan adanya nyeri
tekan padaa area suprasimfisis 4) Pemeriksaan tanda-tanda vital
c. Perkusi :
1. Pada daerah supra pubik apakah menghasilkan bunyi pekak yang menunjukan
distensi kandung kemih
2. Perkusi untuk melihat apakah ada residual urine
3. Uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur
uretra, batu uretra/femoisis
7. Pemeriksaan eliminasi urine
a. Pancaran miksi : adanya perubahan pada eliminasi urine seperti perubahan pancaran
menandakan gejala obstruksi. Ketidakmampuan eliminasi bisa terjadi pada klien
yang mengalami obstreuksi pada saluran kemih.
b. Drainase kateter : melakukan drainase urine, meliputi : kelancaran, warna, jumlah,
dan cloting.
8. Pola fungsi kesehatan
1. Kaji pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan: timbulnya perubahan pemeliharaan
kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP, adanya keluhan nyeri
karena spasme buli-buli memerlukan antispasmodik sesuai terapi dokter.
2. Kaji pola nutrisi dan metabolisme: paien yang dilakukan anastesi pasca operasi tidak
boleh makan atau minum sebelum flatus
3. Kaji pola eliminasi: pada pasien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP,
retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter, sedangkan
inkotenesia dapat terjadi setelah kateter dilepas.
4. Kaji pola aktifitas dan latihan : adanya keterbatasan aktifitas karena kondisi pasien
yang yang terpasang kateter selama 6-24 jam, pada paha dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan
5. Kaji pola istirahat dan tidur: rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat
6. Kaji pola kognitif : sistem penglihatan, pendengaran, peraba, dan pembau tidak
mengalami gangguan pasca TURP ( Transurethral resection of the prostate )
7. Persepsi dan konsep diri : pasien dapat mengalami cemas karena kurang
pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status
kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat sacara
akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk
menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan mengubah (Nursallam,
2011:59). Diagnosa keperawatan yang lazim muncul menurut NANDA NICNOC (2015 :
93 yaitu :
a. Gangguan Eliminasi Urine
b. Nyeri Akut
c. Resiko Infeksi
d. Resiko Perdarahan
e. Resiko Ketidakefektifan perfusi ginjal
f. Retensi Urin
g. Ansietas
3. Fokus Rencana Intervensi
Diagnosa
NOC NIC
Keperawatan
Gangguan Elimina Gangguan eliminasi Urinary Retention care
si Urine urine 1. lakukan kemih yang komprehensif
 Urinary elimination berfokus pada inkontinensia (misalnya,
 Urinary elimination output urin, pola berkemih,
Kriteria Hasil: fungsi kognitif dan masalah kencing
1. Kandung kemih praeksisten
kosong secara penuh 2. Masukkan kateter kemih, sesuai
2. Tidak ada residu urin 3. Anjurkan klien/keluarga untuk merekam
>100-200 cc output urine
3. Intake cairan dalam 4. Memantau asupan dan keluaran
rentang normal 5. Membantu dengan toilet secara berkala
4. Bebas dari ISK 6. Memasukkan pipa ke dalam lubang tubuh
5. Tidak ada spasme untuk sisa
bladder 7. Menerapkan kateterisasi intermiten
6. Balance cairan
seimbang
Nyeri Akut  Pain Level Pain management
 Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri
 Comfort level secara komprehensif termasuk lokasi,
Kriteria Hasil karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
1. Mampu mengontrol dan faktor presipitasi
nyeri (tahu penyebab 2. Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tekhnik 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
nonfarmakologi untuk untuk mengetahui pengalaman nyeri
mengurangi nyeri, pasien
mencari bantuan) 4. Ajarkan tentang teknik non farmakololgi
2. Melaporkan bahwa 5. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri berkurang dengan nyeri
manajemen nyeri 6. Tingkatkan istirahat
3. Mampu mengenali Analgesic Administration
nyeri (skala, intensitas, 1. Tentukan lokasi, karakterisitik, kualitas,
frekuensi dan tanda dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
nyeri) 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
4. Menyatakan rasa dosis, dan frekuensi.
nyaman setelah nyeri 3. Cek riwayat alergi
berkurang. 4. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Resiko Infeksi  Immune Status Infection control (Kontrol infeksi)
 Knowledge : Infection 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
control pasien lain
 Risk control 2. Batasi pengunjung bila perlu
Kriteria Hasil : 3. Instruksikan pada pengunjung untuk
 Klien bebas dari tanda mencuci tangan saat berkunjung dan
dan gejala infeksi setelah berkunjung meninggalkan pasien
 Mendeskripsikan 4. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
proses penularan tindakan keperawatan
penyakit, faktor yang 5. Gunakan baju dan sarung tangan sebagai
mempengaruhi pelindung
penularan serta 6. Ganti letak IV perifer dan line central
penatalaksanaannya dressingsesuai dengan petunjuk umum
 Menunjukkan 7. Gunakan kateter intermiten untuk
kemampuan untuk menurunkan infeksi kandung kencing
mencegah timbulnya 8. Tingkatkan intake nutrisi
infeksi 9. Berikan terapi antibiotik bila perlu
 Jumlah leukosit dalam 10. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
batas normal dan lokal
 Menunjukkan perilaku 11. Monitor hitung granulosit, WBC
hidup sehat 12. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
13. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
14. Dorong masukkan cairan
15. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
16. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
Resiko Perdarahan  Blood lose severity Beeding precautions
 Blood koagulation 1. Monitor ketat tanda-tanda perdarahan
Kriteria Hasil : 2. Catat nilai Hb dan Ht sebelum dan
 Tidak ada hematuria sesudah terjadinya perdarahan
dan hemetemesis 3. Monitor TTV ortostatik
 Kehilangan darah 4. Pertahankan bed rest selama perdarahan
yang terlihat aktif
 Tekanan darah dalam 5. Lindungi pasien dari trauma yang dapat
batas normal sistole menyebabkan perdarahan
dan diastole 6. Ajurkan pasien untuk
 Tidak ada perdarahan meningkatkan intake makanan yang
pervagina banyak mengandung vitamin K
 Tidak ada distensi 7. Hindari terjadinya konstipasi dengan
abdominal menganjurkan untuk
 Hemoglobin dan mempertahankan intake cairan yang
hematokrit dalam adekuat dan pelembut feses
batas normal Bleeding reduction
 Plasma PT, PTT 1. Identifikasi penyebab perdarahan
dalam batas normal 2. Monitor trend tekanan darah dan
parameter hemodinamik (CVP,
pulmonary capillary/artery wedge
pressure
3. Monitor status cairan yang meliputi
intake dan output
4. Monitor penentu pengiriman oksigen ke
jaringan (PaO2, SaO2 dan level Hb dan
cardiac output)
5. Pertahankan patensi IV line
Bleeding reduction : wound luka
1. Lakukan manual pressure (tekanan) pada
area perdarahan
2. Tiinggikan ekstermitas yang perdarahan
3. Monitor ukuran dan karakteristik
hematoma
4. Monitor nadi distal dari area yang luka
atau perdarahan
5. Instruksikan pasien untuk menekan area
luka pada saat bersin atau batuk
6. Instruksikan pasien untuk membatasi
aktivitas
Bleeding reduction : gastrintestinal
1. Observasi adanya darah dalam sekresi
cairan tubuh : emesis, feces, uirne, residu
lambung, dan drainase luka
2. Monitor complete blood count dan
leukosit
3. Kolaborasi dalam pemberian terapi
lactulose dan vasopressin
4. Lakukan pemasangan NGT untuk
memonitor sekresi perdarahan lambung
5. Lakukan bilas lambung dengan NaCl
dingin
6. Dokumentasikan warna, jumlah, dan
karakteristik feses
7. Monitor status nutrisi pasien
8. Berikan cairan intravena
Resiko  Circulation status Acid-Base management
ketidakefektifan  Elektrolit and acid 1. Observasi status hidrasi (Kelembapan
perfusi ginjal  Base balance membran mukosa, TD ortostatik, dan
 Fluid balance keadekuatan dinding nadi)
 Hidration 2. Observasi tanda-tanda cairan berlebihan/
 Tissue perfussion : retensi (CVP meningkat, oedema, distensi
renal vena leher dan asites)
 Urinary eliminasion 3. Pertahankan intake dan output secara
Kriteria Hasil : akurat
1. Tekanan sistol dan 4. Monitor TTV
diastole dalam batas 5. Monitor glukosa darah arteri dan serum
normal elektrolit urine
2. Tidak ada gangguan 6. Bebaskan jalan nafas
mental orientasi Pasien Hemodialisis
kognitif dan kekuatan 1. Observasi terhadap dehidrasi
otot 2. Monitor TD
3. Na, K, Cl, Mg, BUN, 3. Monitor BUN, creat, HMT dan elektrolit
creat dan biknat 4. Timbang BB sebelum dan sesudah
dalam batas normal prosedur
4. Tidak ada distensi 5. Kaji status mental
vena leher 6. Monitor banyaknya dan penampakan
5. Tidak ada bunyi paru cairan
tambahan 7. Monitor tanda-tanda infeksi
6. Intake output
seimbang
7. Tidak ada oedema
perifer dan asites
8. Tidak ada rasa haus
yang abnormal
9. Membran mukosa
lembab
10. Warna dan bau
urine dalam batas
normal
Retensi Urin  Urinary elimination Urinary Retention Care
 Urinary continance 1. Monitor intake dan output
Kriteria Hasil : 2. Monitor derajat distensi bladder
1. Kandung kemih 3. Instruksikan pada pasien
kosong secara penuh dan keluarga untuk mencatat output uirne
2. Tidak ada residu urin 4. Sediakan privacy untuk eliminasi
>100-200 cc 5. Stimulasi kompres bladder dengan
3. Bebas dari ISK kompres dingin pada abdomen
4. Tidak ada spasme 6. Kateterisasi jika perlu
bladder 7. Monitor tanda dan gejala ISK (panas,
5. Balance cairan hematuria, perubahan bau dan konsistensi
seimbang urine
Ansietas  Anxiety self-control Anxiety reduction (penurunan
 Anxiety level kecemasan)
 Coping 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
Kriteria Hasil : 2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
1. Klien mampu dirasakan selama prosedur
mengidentifikasi dan 3. Temani pasien untuk memberikn
mengungkapkan keamanan dan mengurangi takut
gejala cemas 4. Dorong keluarga untuk menemani anak
2. Mengidentifikasi, 5. Identifikasi tingkat kecemasan
mengungkapkan dan 6. Dorong pasien untuk mengungkapkan
menunjukkan teknik perasaaan, ketakutan, persepsi
untuk mengontrol 7. Instruksikan pasien menggunakan teknik
cemas relaksasi
3. Vital sign dalam batas 8. Berikan obat untuk mengurangi
normal kecemasan
4. Postur tubuh, ekpresi
wajah bahasa tubuh,
dan tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.
PPNI. (2017). STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA. JAKARTA SELATAN:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan Yogyakarta:
Nuha Medika.
Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Nuha Medika.
Wilkinson, J. M. (2016). DiagnosaKeperawatan : DIAGNOSIS NANDA-1, INTERVENSI
NIC,HASIL NOC, Ed.10. jakarta: EGC MEDUCAL PUBLISHER.
LAPORAN PENDAHULUAN
BENIGNA PROSTAT HYPERPLASI

Oleh :

NUR KHAMARIYAH RAWA

NIM. N201801120

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA
KENDARI
2019

Anda mungkin juga menyukai