Anda di halaman 1dari 11

DERMATITIS ATOPIK DAN METODE TERAPI: KAJIAN

LITERATUR

Jalil Tavakol Afshari (Ph.D)1, Mahdi Yousefi (Ph.D)2, Roshanak Salari (Ph.D)3

ABSTRAK

Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit inflamasi yang mulai timbul pada

awal kehidupan dan biasanya bertahan hingga akhir kehidupan pada 20% kasus.

Penyakit ini menunjukkan sejumlah periode relaps dan sangat mempengaruhi

kualitas hidup pasien. Etiologi dari penyakit ini tidak diketahui, namun penelitian

terbaru melaporkan insiden gangguan imun dan mutasi pada gen filaggrin sebagai

penyebab utamanya. Pada beberapa kasus, kondisi ini disertai dengan infeksi yang

mana sangat membutuhkan terapi. Berbagai metode terapi seperti emolien,

kortikosteroid, dan inhibitor calcineurin telah digunakan untuk menangani

gangguan ini. Pendekatan tradisional dan komplementer juga dapat membantu

mengendalikan penyakit ini. Penyakit ini sulit dikendalikan, sehingga memerlukan

para dokter perlu memahami dasar penyebab penyakit ini. Artikel kajian ini

membahas aspek-aspek penting dari sudut pandang klinis dan menyajikan

pendekatan terapi terpadu untuk menangani dermatitis atopik.

Pendahuluan

Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit inflamasi yang paling banyak

terjadi pada anak-anak. Makna dari kata “Atopi” yaitu kecenderungan untuk

menyerkresikan imunoglobulin E (IgE) terhadap alergen lingkungan. Dermatitis


mengacu pada inflamasi pada kulit. Umumnya, istilah dermatitis dan eksema saling

digunakan, namun kata eksema mengacu pada manifestasi akut dari penyakit ini.

namun, dalam kajian ini tidak terdapat perbedaan dari kedua istilah tersebut.

Sensitivitas alergi dan peningkatan kadar IgE terjadi pada setengah dari pasien;

sehingga, kata dermatitis atopik tidak selalu dapat digunakan (1,2). Karena

dermatitis atopik merupakan kasus kronik dan mengganggu, dalam artikel ini kami

akan mengkaji berbagai metode terapi untuk penyakit ini.

Tinjauan Pustaka

1. Epidemiologi

Dermatitis atopik memiliki prevalensi yang berbeda-beda di seluruh dunia

dan sekitar satu per lima dari penduduk dunia terserang penyakit ini selama

kehidupannya. Di negara-negara industri, prevalensi penyakit ini telah berkembang

pada abad ke-19 akibat perkembangan alergen di lingkungan. Namun, penelitian

terkini menunjukkan bahwa penyakit ini telah menurun drastik di negara-negara

yang sebelumnya memiliki prevalensi tinggi seperti Inggris. Terlepas dari semua

itu, penyakit ini masih dianggap sebagai masalah kesehatan besar khususnya di

negara-negara berkembang (1). Sekitar 50% dari penduduk yang menderita

penyakit ini mengalami onset gejala pada tahun pertama kehidupan, sedangkan

sekitar 95% mengalaminya pada usia kurang dari 5 tahun (2). Pada sekitar 70%

individu, relaps penyakit ini terjadi sebelum pubertas, sedangkan 25% dari individu

mengalami gejala dan relaps penyakit setelah pubertas. Sekitar 60% dari anak-anak

yang terserang penyakit ini pada awal kelahiran sensitif terhadap satu atau beberapa
alergen, sedangkan anak yang mengalami onset lambat seringkali kurang sensitif

(3). Walau banyak pasien alergi terhadap makanan atau alergen di udara, alergen-

alergen ini jarang memicu gejala penyakit ini. Kadangkala faktor-faktor ini dapat

meningkatkan risiko kejadian penyakit atopik lain seperti asma (4).

2. Faktor Risiko

Risiko insiden penyakit lebih tinggi pada populasi dengan latar belakang

familial. Faktor genetik berperan penting dalam kerentanan pasien terhadap

dermatitis atopik (5). Di sisi lain, faktor lingkungan memiliki beberapa peran.

Karena itu, dapat disimpulkan bahwa penyakit ini merupakan penyakit genetik atau

genetik-lingkungan (6,7). Walau risiko dari banyak faktor lingkungan telah

ditunjukkan sebagai penyebab penyakit ini, hanya sedikit di antaranya yang benar-

benar diterima. Sebagai contoh, gaya hidup negeri Barat telah dianggap sebagai

faktor risiko penting dalam beberapa tahun terakhir (8). Selain itu, hipotesis

mengenai higiene adalah faktor risiko lain yang menyebabkan peningkatan insiden

eksema (9). Hipotesis ini menekankan bahwa kemungkinan insiden eksema lebih

rendah pada subyak yang pernah menderita hepatitis pada masa kanak-kanak (10-

12).

3. Patofisiologi

Dua hipotesis diperkenalkan untuk menjelaskan kejadian lesi inflamasi pada

dermatitis atopik. Yang pertama menunjukkan bahwa penyakit ini merupakan

akibat dari ketidakseimbangan sel T khususnya T helper tipe 1, 2, 17,dan 22 serta


sel T regulator. Pada penyakit ini, khususnya pada eksema akut, sel T CD4+

berdiferensiasi menjadi Th2, yang menyebabkan peningkatan produksi interleukin

(IL). Pada tahap pertama, IL-4, IL-5, dan IL-13 meningkat, diikuti dengan

peningkatan kadar IgE. Diferensiasi sel Th1 dihambat dalam proses ini (13,14).

Hipotesis kedua terkait dengan kerusakan sawar kulit. Hipotesis ini

menekankan bahwa individu dengan mutasi gen filaggrin berisiko tinggi

mengalami penyakit ini (6). Gen filaggrin mengkode protein struktural dari Stratum

korneum. Selain itu, gen ini mengkode protein terkait dengan stratum granulosum,

yang membantu menghubungkan keratinosit satu sama lain. Semua faktor ini saling

bergabung dan menyebabkan terbentuknya sawar kulit dan pelembapannya. Karena

itu, defek pada gen ini menyebabkan terganggunya struktur sawar kulit. Hal ini

berarti kulit menjadi kering, permeabilitasnya terhadap alergen meningkat, dan

timbul gejala eksema (15).

4. Diagnosis dan Gejala Klinis

Morfologi kulit dari lesi dermatitis atopik serupa dengan eksema lain. Pada

fase akut penyakit ini timbul sebagai lesi vesikular yang pecah, eritema, sebagian

pustular. Pada kondisi akut dan kronik, lesi ini berubah menjadi lesi papular dan

nodular. Selain itu, diagnosis juga dibuat berdasarkan sifat lain seperti daerah

distribusi eksema dan latar belakang keluarga (16,17). Secara umum, karakteristik

khas dari pasien dengan dermatitis atopik adalah adanya lesi gatal pada sejumlah

tempat seperti pada lipatan kulit (18,19).


Gejala klinis dari eksema biasanya disertai dengan sejumlah perubahan

morfologi dan area distribusi dari eksema dan faktor-faktor lain. Secara umum,

sebagian besar pasien dengan eksema memiliki kulit kering dengan kadar air yang

sangat rendah. Mereka memiliki kulit yang pucat dan tidak memiliki kemampuan

berkeringat. Bila dilakukan sedikit garukan, dapat terjadi respon kolinergik

berlebih, dimana telapak kaki dan tangan menjadi hiperlinear. Rambut pasien ini

kering dan rapuh. Daerah sekitar mata menjadi hitam akibat hiperpigmentasi setelah

inflamasi.

Selain manifestasi klinis di atas, tanda kulit lain dan ringan juga terlihat pada

beberapa pasien. Sebagai contoh, pityriasis alba, dimana timbul bercak kering dan

pucat pada wajah dan bagian atas lengan, atau keratosis pilaris yang timbul sebagai

papul keratolitik kecil dan keras khususnya pada bagian atas lengan dan paha.

Banyak pasien sensitif terhadap bahan wol, yang menyebabkan rasa gatal. Pasien

juga harus menghindari agar tidak mandi terlalu lama dan mandi dengan air hangat.

Sebagian besar infeksi staphylokokus menjadi penyebab utama yang memperberat

penyakit. Banyak penyakit menyebabkan ruam kulit, yang serupa dengan dermatitis

atopik. Namun, pemeriksaan yang hati-hati dari morfologi dan lokalisasi lesi dan

mendapatkan informasi dari pasien itu sendiri, penyakit ini dapat dibedakan dari

penyakit lain dengan gejala serupa. Sebagai contoh, dermatitis kontak seringkali

memiliki gambaran serupa dengan dermatitis atopik (16,17).


5. Komplikasi

Banyak mikroorganisme (bakteri, virus, dan jamur) dapat berkontribusi

terhadap eksaserbasi dari lesi eksema. Kulit individu dengan penyakit ini seringkali

dikoloni oleh Staphylococcus aureus, khususnya bila eksema tidak terkontrol baik.

Adanya bakteri ini tidak semerta-merta membutuhkan antibiotik. Terlepas dari itu,

bila infeksi staphylokokus ini menjadi agresif (impetigo), antibiotik topikal dan

sebaiknya oral harus digunakan. Penggunaan larutan anti-infeksi seperti

Klorheksidin dapat menurunkan jumlah bakteri, namun dapat menyebabkan

sensitivitas (20).

6. Terapi

Dermatitis atopik dikenal sebagai penyakit kulit kronik yang biasanya tidak

dapat sembuh sempurna. Karena itu, satu-satunya pendekatan terapi untuk penyakit

ini dianggap sebagai berikut: 1) Menurunkan frekuensi flare penyakit. Tujuannya

sama seperti pencegahan. 2) Mengurangi durasi dan intensitas flare. Pencegahan

biasanya dilakukan dengan mengurangi kekeringan kulit melalui pelembab atau

krim emolien. Bila kulit kering telah teratasi, kemungkinan gatal dan kejadian

infeksi dapat menurun. Penggunaan emolien setelah mandi juga menyebabkan

preservasi kelembapan epidermis, sehingga meningkatkan performa sawar kulit.

Bila eksema memberat, diperlukan terapi obat, dimana krim kortikosteroid biasanya

digunakan. Pada eksema akut dan kronik, selain terapi topikal, diperlukan obat

imunosupresi sistemik atau fototerapi (sinar UV) (21-23).


6.1) Emolien

Zat ini membantu dalam menjaga sawar kulit. Emolien harus digunakan

beberapa kali sehari, sehingga mengurangi kebutuhan kortikosteroid topikal.

Alasan menggunakan emolien adalah kemampuan zat ini dalam meningkatkan

transfer air ke epidermis. Mekanisme aksi utama zat-zat ini adalah pencegahan

evaporasi air melalui pengembangan lapisan oklusif di bagian atas kulit. Karena itu,

emolien tidak memiliki efek langsung pada eksema. Penggunaan zat ini

menyebabkan kulit tampak lebih baik dan goresan berkurang. Beberapa pelembab

memiliki kinerja yang lebih kompleks, di mana zat ini dapat berkontribusi terhadap

perbaikan komponen lipid dari struktur lapisan eksternal kulit, sehingga

mengurangi celah di dalam kulit. Kelompok lain dari zat-zat ini juga tersedia yang

dapat membantu menjaga kelembaban kulit melalui penyerapan molekul air dari

udara pada kulit. Pelembab dipilih berdasarkan karakteristik kulit individu.

Pelembab dengan kadar lemak tinggi seperti salep direkomendasikan pada kulit

kering sedangkan pelembab dengan kadar lemak rendah atau kadar air tinggi

diberikan untuk kasus ringan. Karena penyerapannya yang cepat, krim tersebut

harus digunakan beberapa kali sehari. Lebih baik untuk menggunakan emolien

tanpa bau atau alergen lain untuk mencegah sensitisasi sekunder (22).

6.2.) Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal, baik pada anak-anak atau orang dewasa, merupakan

pengobatan utama dermatitis atopik sedang hingga berat. Kelompok obat ini

diklasifikasikan menjadi empat kelas (ringan, sedang, kuat, dan sangat kuat)
berdasarkan sifat vasokonstriktornya. Kortikosteroid yang paling poten adalah

klobetasol dan yang paling rendah adalah hidrokortison. Banyak pasien diobati

dengan kortikosteroid ringan hingga sedang. Sebagian kecil pasien membutuhkan

obat poten untuk kasus yang parah. Steroid potensi sangat kuat sangat jarang

diperlukan. Kortikosteroid ringan hingga sedang digunakan untuk anak-anak,

sementara orang dewasa diperlukan produk yang lebih kuat. Kortikosteroid ringan

sampai sedang harus digunakan terutama dalam pengobatan eksema di bagian

tubuh dengan kulit tipis seperti wajah, lipat paha, genitalia, sementara jenis yang

lebih kuat disimpan untuk bagian lain dari tubuh seperti tangan. Biasanya, pasien

dan dokter kurang cenderung untuk menggunakan obat-obatan ini karena efek

sampingnya. Efek yang tidak diinginkan dari kortikosteroid topikal adalah

penipisan kulit dan stretch mark, meskipun jika digunakan dengan benar, efek

samping yang timbul mungkin lebih ringan (24).

6.3) Inhibitor Calcineurin

Bentuk sediaan topikal inhibitor calcineurin (tacrolimus, pimecrolimus)

terutama digunakan dalam terapi pemeliharaan penyakit ini. Pimecrolimus

memiliki potensi yang setara dengan kortikosteroid ringan, sedangkan tacrolimus

dapat disamakan dengan kortikosteroid sedang hingga kuat. Efek samping

kortikosteroid tidak diamati pada kelompok obat ini sehingga dapat digunakan

setiap hari dalam perawatan jangka panjang (25).


6.4) Fototerapi

Eksema diseminata biasanya diobati dengan sinar UV. Sinar UVB

gelombang rendah digunakan dalam pengobatan eksema resisten pada orang

dewasa. Sinar UVA dengan gelombang yang lebih tingi atau atau kombinasi UVA

dan obat pengsensitisasi cahaya, psoralene, digunakan dalam pengobatan eksema

yang sangat berat. Pendekatan terapi ini menyebabkan penuaan kulit dan

peningkatan kerentanan terhadap kanker kulit dalam jangka panjang (22,23).

6.5) Imunosupresan Sistemik

Dalam pengobatan eksema berat dan diseminata, direkomendasikan

pemberian kortikosteroid oral dalam waktu singkat. Kortikosteroid topikal juga

digunakan bersama dengan obat oral. Karena adanya beberapa infeksi yang

menyebabkan kekambuhan gejala, antibiotik oral juga diperlukan. Karena efek

samping kortikosteroid, penggunaan regimen oral jangka panjang tidak dianjurkan,

sehingga demikian obat-obatan ini harus di-taper off (26).

6.6) Akupunktur

EX-HN3, LI4, LI11, TE5, ST36, SP6 dan LR3 adalah titik akupunktur pada

kedua sisi tubuh. Beberapa titik akupunktur khusus juga diidentifikasi untuk

dermatitis atopik (EX-HN3, LI4, LI11, TE5, ST36, SP6 dan LR3 pada kedua sisi

tubuh). Jarum akupunktur ditusuk secara subkutan dan dibiarkan selama sekitar 15

menit. Selama perawatan, metode ini harus digunakan dua kali sehari (27).
6.7) Fitoterapi

Formulasi berbagai tanaman seperti Glycyrrhiza glabra, Plantago asiatica

L., Rehmannia glutinosa, Atractylodes chinensis dan Raphanus sativus digunakan

untuk mengurangi eritema, sekret, dan gatal yang disebabkan oleh penyakit ini.

Sekitar 0 hingga 20 g dari setiap tanaman diolah dengan air murni. Jumlah ini

adalah dosis harian pasien, yang harus diminum oleh pasien tiga kali sehari setelah

makan. Formulasi ini tidak bersiat hepatotoksik atau nefrotoksik. Sifat antibakteri

dari phelodenri cortex juga telah ditemukan. Tiga hingga empat lapisan gas daam

rebusan tanaman ini digunakan pada lesi penyakit, sekali atau dua kali sehari,

selama 20 hingga 30 menit, sehingga mengurangi gejalanya (27).

6.8) Terapi Probiotik

Efektivitas probiotik pada penyakit alergi seperti eksema telah disebutkan

dalam berbagai penelitian. Para peneliti percaya bahwa hasilnya menjanjikan, tetapi

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi hal ini. Misalnya,

Lactobacillus diberikan kepada wanita hamil yang menderita eksema dan untuk

bayi hingga usia 6 bulan. Akibatnya, kemungkinan kejadian dermatitis atopik pada

anak-anak berkurang secara dramatis pada 2 dan 4 tahun. Terapi probiotik sangat

efektif pada anak-anak dengan kadar IgE tinggi dan anak-anak yang menunjukkan

satu atau lebih uji kulit positif. Hasil uji klinis terkontrol menunjukkan bahwa

Lactobacillus bisa sangat efektif pada anak-anak yang menderita eksema atopik dan

alergi susu sapi (28). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk efek probiotik,

meliputi: regulasi sistem imun, menunjukkan efek antimikroba, menghambat


inflamasi dan menghentikan kematian sel epitel oleh protein dan DNA yang

disekresikan sebagai produk probiotik (29).

Kesimpulan

Dermatitis atopik adalah penyakit yang timbul sejak masa kanak-kanak dan

berlanjut untuk jangka panjang. Komplikasi dan infeksi dari lesi dermatitis atopik

memerlukan terapi. Dalam kajian ini, diperkenalkan beberapa strategi terapeutik

terpadu sebagai dasar keputusan untuk menentukan jenis terapi yang diinginkan

berdasarkan status pasien seperti usia, jenis kelamin, daerah lesi dan keamanan

obat.

Anda mungkin juga menyukai