Anda di halaman 1dari 9

Nama

Judul Buku
Editor
Tanggal pengumpulan tugas
Sesungguhnya orang telah mengacaukan, mencampur-adukan segala eksistensi dan peristiwa dalam
lingkungan kepulauan ini dengan segala eksistensi dan peristiwa yang dipengaruhi oleh munculnya –
atau setidaknya yang erat kaitannya dengan –semangat baru di lingkungan kepulauan ini, yaitu
semangat keindonesiaan.Ke dalam pengertian “Indonesia” itu, diam-diam orang memasukkan
beberapa hal yang sama sekali tak ada kaitannya dengan perasaan keindonesiaan. Tumbuhnya
masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sejati, yang sesungguhnya digerakkan oleh semangat
keindonesiaan, dihambatnya. Hal ini dikarenakan pengertian Indonesia yang sejati telah kabur,
menjadi cerai berai. “Indonesia” yang timbul di kalangan bangsa kita, tidak dapat kita lepaskan dari
perasaan dan semangat keindonesiaan. Semangat keindonesiaan itu merupakan ciptaan generasi
abad kedua puluh, sebagai penjelmaan kebangkitan jiwa dan tenaga.Semangat Indonesia itu sesuatu
yang baru, menurut isi dan menurut bangunnya. Ia tidak bertopang pada masa silam. Semangat
Indonesia juga bukan berdasarkan asal bangsa atau ras yang satu, sebagaimana menurut hasil
penelitian para ahli Barat. Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dimulai
pada abad kedua puluh, ketika lahir generasi baru di wilayah Nusantara ini, yang dengan sadar ingin
menempuh jalan baru untuk bangsa dan negerinya. Zaman sebelum itu, zaman hingga akhir abad
kesembilan belas, ialah zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah keindonesiaan, yang hanya mengenal
sejarah Hindia Belanda atau Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah
Banjarmasin, dan lain-lain.Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah Indonesia, itu setinggi-tinggi hanya
dapat menegaskan pandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia. Namun, zaman
Indonesia sama sekali bukan kelanjutan atau terusan dari zaman sebelumnya. Pada pikiran saya,
pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar dari warisan kebudayaan zaman pra-
Indonesia. Bebas bukan berarti tidak tahu selukbeluknya. Bebas hanya berarti tidak terikat.
Sesungguhnya, mengaitkan ke masa yang sudah lampau berarti membangkitkan perselisihan. Sebab
pada zaman pra-Indonesia bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara ini tak pernah mempunyai
kemauan, cita-cita, dan pikiran bersatu dan

berhubungan sehingga tak pernah melahirkan kebudayaan dengan semangat demikian.

Berarti kemauan bersatu yang mengandung semangat Indonesia tidak sedikit pun

berurat akar ke masa yang silam, tetapi sebaliknya bertumpu ke masa yang akan datang

dengan harapan agar mampu berdampingan sejajar bersama bangsa-bangsa lain di

kemudian hari

Bangsa kita perlu alat-alat yang telah menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia dewasa ini

mencapai kebudayaan yang tinggi seperti sekarang; Eropa, Amerika, dan Jepang.

Demikian saya meyakini bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh

sekarang ini akan terdapat sebagian besar unsur Barat, unsur yang dinamis. Hal ini

bukan suatu kehinaan bagi sebuah bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini

mengambil unsur-unsur dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Cara berorganisasi yang dipakainya sebagai pengganti persatuan

menurut keturunan dan tempat tinggal yang terdapat dalam zaman pra-Indonesia ialah

dengan cara Barat.

Malah “Indonesia” yang kita banggakan sekarang ini kita peroleh dari bangsa Barat.
Apabila nyata kepada kita bahwa semangat kesadaran, semangat kebangkitan,

semangat kebangsaan yang kita namakan semangat keindonesiaan itu sebagian besar

berasal dari Barat atau sekurang-kurangnya dengan perantara Barat, wajarlah bila

masyarakat dan kebudayaan yang dilahirkan banyak mengandung unsur kebaratan. Jika tidak
demikian, tidaklah sesuai jiwa dengan bentuk, semangat dengan kerangkanya.

Jelas bagi kita bahwa semangat keindonesiaan semestinya tidak bisa tidak, akan

melahirkan masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dari masyarakat dan

kebudayaan pra-Indonesia.

Hal itu sama sekali bukan berarti bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang

tumbuh itu tidak terdapat unsur pra-Indonesia sedikit pun. Pertentangan semangat

Indonesia dengan semangat pra-Indonesia bukanlah pertentangan seratus persen, bukan

pertentangan dalam segala hal.

Adapaun yang menjadi Polemik ini bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisyahbana Menuju
Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia (Pujangga baru, 2 Agustus 1935). Ia
membedakan "Zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan "zaman
Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia
Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambugan dari generasi sambungan Mataram, Minangkabau
atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda. Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.

Tulisan ini mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Dalam tulisannya yang berjudul
Persatuan Indonesia (Suara Umum, 4 September 1935), Sanusi Pane menulis: "Zaman sekarang ialah
terusan zaman dahulu....Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dan Arjuna, memesrakan
materialisme,intellectualisme dan individulisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme".
Dalam tulisannya yang berjudul "Sambungan Zaman", Poerbacaraka mengatakan, "Pada perasaan
saya, yang manfaat buat tanah dan bangsa kita ini, ialah mengetahui jalan sejarah dari dulu-dulu
sampai sekarang ini. Dengan pengetahuan ini kita seboleh-bolehnya berusahakan mengatur hari
yang akan datang....Dengan pendek kata, janganlah mabuk kebudayaan kuno tetapi jangan mabuk
kebaratan juga; ketahuilah dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam
hari yang akan datang kelak."

http://zeidel.blogspot.co.id/2013/03/polemik-kebudayaan.html

https://boemipoetra.wordpress.com/tag/polemik-kebudayaan/
Dalam karangan “Menuju Masyarakat dan dan Kebudayaan Baru dalam Pujangga
Baru”, yang dikutip juga dalam Suara Umum ini, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana
membagi sejarah kita dalam dua bagian, zaman pra-Indonesia, sampai akhir abad
ke-19, dan zaman Indonesia, yakni setelah masa itu. Zaman Indonesia tidak dapat
dianggap kelanjutan atau terusan zaman pra-Indonesia.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana rupanya tidak cukup menunjukkan kenyataan bahwa
sejarah adalah rangkaian waktu yang timbul dari waktu sebelumnya. Zaman
sekarang ialah kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu
menciptakan kekinian yang baru sama sekali. Hal yang demikian itu sama dengan
mengadakan barang dari yang tidak ada.

Dalil di atas itu berlaku dalam semua bidang kehidupan, dalam bidang ekonomi,
sosial, dan budaya.

Dalam bidang ekonomi kita tidak usah pergi kepada Karl Marx untuk mengetahui
bahwa susunan ekonomi senantiasa merupakan kelanjutan atau terusan yang
sebelumnya. Kelanjutan itu tampak dalam banyak hal, bahkan dalam lawan yang
menggantikannya. Namun kita tidak usah menganut Hegel, supaya tahu bahwa
antara antitesis dengan tesis ada hubungan sejarah sehingga boleh dipakai
kata kelanjutan.

Demikian pula halnya dalam ranah sosial.

Dalam ranah budaya, ambil saja Pujangga Baru sebagai contoh. Kalau tidak ada
Pujangga Lama, tidak mungkin timbul Pujangga Baru. Memang Pujangga Baru
bertentangan dalam banyak hal, tetapi pertentangan itu membuahkan kelanjutan.

Antara anak pedati yang berpantun di dalam hati dengan Sutan Takdir Alisjahbana
ada pertalian sejarah.

Bentuk jiwa kita sekarang bukan baru dalam segala-galanya. Kita tidak perlu pergi
kepada Jung untuk mengetahui bahwa kita mewarisi pengalaman nenek moyang
kita.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menyebut bahwa dalam zaman Majapahit,


Diponegoro, dan Teungku Umar, belum ada keindonesiaan.
Pikiran ini kurang benar menurut pendapat kami. Keindonesiaan pada waktu itu pun
sudah ada, keindonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya bangsa Indonesia belum
muncul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa. Sungguh boleh
disebut ada imperialisme Sriwijaya, Majapahit, Mataram, tetapi hal itu tidak
bertentangan dengan keindonesiaan. Di Belanda pun ada pertentangan, ada
hegemoni daerah (lebih) dulu, tetapi siapa dapat menyangkal bahwa kebangsaan
Belanda yang sekarang pada waktu itu sudah ada dan hanya menanti pengakuan
yang wujud?

Kebangsaan Indonesia sudah ada semenjak dahulu kala. Sekarang dirasakan dan
diwujudkan.

Dengan demikian, nyata kesalahan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dalam caranya
mengemukakan masalah.

Sebaliknya, ia seharusnya berkata: Bagaimanakah kita harus memperbarui


kebudayaan kita sehingga sesuai dengan perasaan kebangsaan sekarang?

Tentu kita harus mengakui bahwa setiap daerah berbeda kemajuannya dalam
lembaga, adat, seni, dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya sama, tetapi kita
tidak pernah mengatakan bahwa kita sanggup membangun kebudayaan yang baru
sama sekali, yang tidak berhubungan dengan masa silam. Kebudayaan yang ”baru”
itu bersendikan kebudayaan ”lama”.

Tentang bentuk kebudayaan baru dan cara membangunnya itulah yang dapat
menimbulkan perselisihan paham. Dan disinilah letak soal yang harus
diperbincangkan.

Kita harus berdiri pada sendi ini, supaya pembicaraan tidak kisruh, supaya kita
saling mengerti.

Singkatnya, kita menolak visi sejarah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, pandangannya
tentang sejarah. Sekarang kita membicarakan kebudayaan baru.

Dasar pendapat Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ialah kita harus belajar pada Barat.

Di Benua Barat, orang terpaksa berjuang menaklukkan kekuatan alam untuk


mempertahankan diri. Di sana agaknya harus demikian sehingga orang harus
menggunakan dan menambah kekuatannya.
Dengan demikian, timbul materialisme, yakni orang mengutamakan jasmani, dan
lahir intelektualisme dan pengetahuan praktis karena orang terpaksa
menyempurnakan akal.

Dalam susunan yang mementingkan keselamatan tubuh jasmani itu tumbuh dengan
sendirinya individualisme: orang mementingkan diri sendiri.

Kebudayaan Barat berkembang atas dasar materialisme, intelektualisme, dan


individualisme itu. Ekonominya berkembang, melahirkan industri, perdagangan, dan
imperialisme dalam bentuk modern. Pengetahuannya kian hari kian maju.
Individualisme menimbulkan persaingan yang tidak terbatas dalam sektor ekonomi
dan sosial. Dalam seni berwujud l’art pour l’art, seni untuk seni.

Setelah Benua Barat menyempurnakan ketiga senjata itu, kenyataan menuntut perlu
diwujudkan asas yang baru, organisasi yang menjaga agar dalam lingkup
kebudayaan berlaku keadilan dalam segala lapangan kehidupan. Barat telah
sanggup mempertahankan diri, menyelamatkan tubuh jasmani. Ia hanya belum
berusaha, agar tiap orang selamat sejahtera.

Ibarat orang yang mencari makanan. Makanan sudah cukup tapi membagikannya
belum adil sehingga ada orang yang berlebihan dan ada yang kelaparan.

Begitulah keadaan Benua Barat pada masa sekarang. Bagaimana di Timur?

Di Timur, lebih baik: India Raya, orang tidak usah berusaha keras mempertahankan
diri, mencari jalan menaklukan alam, sebab alam tidak begitu ganas seperti di Barat.

Materialisme, intelektualisme, dan individualisme boleh dibilang tidak terlalu penting.


Orang tidak terpaksa benar menceraikan dirinya dari alam yang harus dilawan.

Manusia justru merasa dirinya menyatu dengan alam sekelilingnya.

Pengetahuan praktis tidak muncul. Teknik tak seberapa maju. Begitu pula ekonomi.

Di atas kita mengatakan: tidak terlalu penting, tidak terlalu terpaksa benar, dan
sebagainya.

Keperluan dan paksaan mempertahankan diri serta menentang alam memang ada.
Karena itulah mungkin kemajuan dalam budaya di Timur perbedaannya bertingkat-
tingkat. Namun, meskipun ada tingkatan itu, semua bangsa di Timur mampu
mencapai tingkat yang setinggi-tingginya, kalau seandainya mengikuti jalannya
sendiri. Tingkat tertinggi itu ada di lapisan teratas dalam kebudayaan di India dan di
Indonesia, yaitu lapisan yang berpusatkan kesunyatan, mistik, manusia bersatu
dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya.

Sampai disini kita membicarakan sejarah yang diikuti oleh Barat dan Timur secara
sendiri-sendiri dan kini muncul pertanyaan: adakah garis yang harus dan dapat
diikuti oleh seluruh dunia?

Manusia mempunyai tubuh dan jiwa. Karena itu keperluannya pun dua macam, yaitu
lahir dan batin. Kewajibannya dua pula, yaitu memelihara dan menyempurnakan
kehidupan tubuh jiwanya. Agar mampu melakukan kewajiban itu, ia harus memakai
dan menyempurnakan akal.

Barat, sebagaimana kita lihat, mengutamakan jasmani, akibatnya lupa pada jiwa.
Akalnya dipakai untuk menaklukkan kekuatan alam. Ia bersifat Faust, ahli
pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwa asalkan menguasai jasmani.

Timur lebih mementingkan rohani sehingga lupa pada jasmani. Akal dipakainya
untuk mencari jalan menyatukan diri dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di
Indrakila.

Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dengan Arjuna. Memadukan


materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan,
dan kolektivisme.

Asas dan persatuan itu harus kelihatan dalam segala sendi kehidupan, dalam
bidang ekonomi, sosial, seni, dan pengetahuan.

Maka tidak boleh tidak perbedaan bentuk antara semua bangsa tentu tetap ada
karena pengaruh masalah hawa nafsu dan tempat, meskipun pada dasarnya sama.

Ke arah itulah kita di Indonesia ini harus menuju, jadi memperkaya (bukan
mengubah) dasar kebudayaan kita.

Hal itu perlu, bukan saja karena hendak mengikuti ukuran yang lepas dari
perbedaan daerah dan zaman, yang absolut, tetapi karena paksaan kekinian juga.

Dengan demikian sudah jelas arti kebudayaan Barat bagi kita. Sekarang perlu
dijelaskan landasan Indonesia yang harus diperluas itu.
Tuan Sutan Takdir Alisjahbana terus melihat perbedaan daerah dan isme kesukuan.

Di atas telah diuraikan bahwa asas kebudayaan di sini satu. Atas asas yang satu itu
daerah-daerah di Indonesia memiliki sejarahnya masing-masing. Adakalanya terjadi
pertukaran unsur, karena ada kerajaan yang meluaskan kekuasaannya atau karena
hal lain.

Ada negeri yang erat dengan negeri lain, ada daerah yang tidak seberapa
hubungannya dengan daerah asing.

Ringkasnya: pada asas yang satu itu tidak sama kemajuannya dan pesatnya
(tempo) kebudayaan berkembang di masing-masing daerah sehingga sekarang ada
perbedaan daerah.

Kewajiban kita ialah memetik manfaat yang sebaik-baiknya yang sesuai dengan
zaman sekarang dan masa yang akan datang, dari semua hasil kemajuan yang
tersebut itu dan membuatnya jadi dasar Indonesia Raya (yang harus diperluas
dengan asas Barat).

Dasar dalam kalimat itu tidak bertentangan dengan asas yang disebut sebelumnya,
karena unsur yang dimaksud itu ialah hasil kemajuan asas yang terdahulu sehingga
tidak bisa dikatakan dasarnya berubah.

Dalam mengambil unsur itu perlu pengetahuan yang luas tentang Indonesia
keseluruhan dan perasaan yang terdalam tentang kebudayaan. Harus jauh dari
semua rasa kedaerahan, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan
tentang kebudayaan yang ada di sini dahulu dan sekarang, serta harus bisa
memahami tuntutan zaman.

Maka tidak dapat disangkal tidak banyak orang yang sanggup melakukan pekerjaan
itu sebagaimana mestinya. Masih banyak yang bersemangat kedaerahan dalam
menjalankan kewajiban itu.

Oleh karena itu, karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana itu besar nilainya, karena
menyuluhinya dengan terang. Makna karangan itu berjasa sebagai penentang
semangat kedaerahan.
Polemik pertama diawali dengan STA yang membicarakan, bahwa kebudayaan Indonesia
harus bebas benar berdiri dari kebudayaan zaman Pra-Indonesia, ia juga menyebutkan bahwa
dalam kebudayaan Indonesia yang terjadi terdapat sebagian besar element barat, element
yang dinamis. Kritik keras pun muncul dengan mengatakan beberapa yang dengan tiada
sengaja dan tiada insyaf meninabobokan rakyat dengan ucapan yang kosong: Timur halus
budinya, sedangkan Barat egois, matrealistis, dan intelectualis. [1]
Sanusi Pane dalam Persatuan Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda, ia
menawarkan masa depan Indonesia harus dibawa kearah, haluan yang sempurna ialah
menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan Materialisme, Intelectualisme dan
Individualismedengan spiritualisme, perasaan, dan collectivisme. Ke arah itulah kita
Indonesia ini harus pergi, jadi, meluaskan (bukan mengubah) dasar kebudayaan kita.[2]
Poerbatjaraka lebih mengutamakan bahwa jalannya, sejarah tak boleh tidak, harus
diselidiki dan diketahui. Pengetahuan yang terdapat dari menengok ke belakang ini dipakai
melihat keadaan sekarang, yakni zaman kebarat-baratan di tanah kita ini. Dengan kata lain ia
mengatakan bahwa janganlah mabuk kebudayaan kuno, dan mabuk kebaratan juga. Pilihlah
mana yang terbaik dari keduanya itu, agar kita kita bisa memakainya dengan di kemudian
hari.[3]
STA di dalam NOOT nya ia mengatakan bahwa bangsa kita hanya mesti selekas-
lekasnya memperoleh sifat dinamis barat yang melahirkan kebudayaan barat yang dinamis.
Bangsa kita mungkin mempunyai harapan untuk masa yang akan datang, apabila segala yang
dicapai oleh barat dalam berabad-abad, dapat kita jadikan kepunyaan kita dalam kurun waktu
yang sependek-pendeknya.[4]

Anda mungkin juga menyukai