Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency


Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia yang menjadi
wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemenkes,
2015).
Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami penurunan
ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain
(Kemenkes, 2015). Meskipun telah ada kemajuan dalam pengobatannya, namun infeksi
HIV dan AIDS masih merupan masalah kesehatan yang penting di dunia ini (Smeltzer
dan Bare, 2015).
Penyakit AIDS diartikan sebagai sekumpulan gejala yang menunjukkan
kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh faktor luar dan sebagai
bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun dan
tanpa gejala yang nyata, hingga keadaan imunosupresi yang berkaitan dengan berbagai
infeksi yang dapat membawa kematian (Padila,2012).
Proporsi orang yang terinfeksi HIV, tetapi tidak mendapat pengobatan anti HIV
dan akhirnya akan berkembang menjadi AIDS diperkirakan mencapai lebih dari 90%.
Karena tidak adanya pengobatan anti HIV yang efektif, Case Fatality Rate dari AIDS
menjadi sangat tinggi, kebanyakan penderita di negara berkembang (80-90%) mati
dalam 3 sampai 5 tahun sesudah di diagnosa terkena AIDS (Kunoloji,2012).
Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, dan daerah tempat tinggal penderitanya (Tangadi,1996 &
Budiharto,1997 dalam Desima,2013). Laporan dari Joint United Nations Programme on
HIV and AIDS atau UNAIDS pada tahun 2015 terdapat 2,1 juta infeksi HIV baru
diseluruh dunia, yang banyak tersebar di wilayah afrika dan asia. Data ini menambah total
penderita HIV menjadi 36.7 juta dan penderita AIDS sebanyak 1,1 juta orang (UNAIDS,
2016).
Laporan perkembangan HIV AIDS dari Direktorat Jendral Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI pada tanggal 18 Mei
2016 menyebutkan bahwa di Indonesia dari bulan Januari sampai dengan Maret 2016
jumlah HIV yang dilaporkan sebanyak 7.146 orang dan AIDS sebanyak 305 orang. Rasio
perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1 (Ditjen P2P Kementrian
Kesehatan RI, 2016).
Total angka kejadian kasus AIDS yang dilaporkan di Sumatra Barat dari tahun
2009 sampai dengan bulan Maret 2016 yaitu 1.192 kasus, dimana komulatif Case Rate
nya yaitu 21,59%. Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan dari provinsi, pada tahun 2011
ada 132 kasus, pada tahun 2012 133 kasus, tahun 2013 ada 222 kasus, tahun 2014 ada
321 kasus, tahun 2015 ada 243 kasus, dan sampai bulan Maret 2016 ada 28 kasus (Ditjen
P2P Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Dari data yang ada kasus HIV AIDS mengalami trend peningkatan setiap
tahunnya. Untuk cara penularan kasus AIDS di tahun 2013 faktor resiko tertinggi sudah
beralih dari NAPZA suntik ke heteroseksual yaitu sebesar 59%. Dalam 5 tahun
sebelumnya penularan melalui narkoba suntik adalah faktor resiko utama kasus HIV
AIDS di Sumatra Barat. Sumatra Barat bahkan pernah menduduki rangking 5 kasus HIV
AIDS dari narkoba suntik (Profil Kesehatan Provinsi Sumatra Barat Tahun 2013).
Menurut Profil Kesehatan Provinsi Sumatra Barat tahun 2013 distribusi kasus
HIV dan AIDS tersebar di 19 kabupaten dan kota di Sumatra Barat. Distribusi penyakit
HIV AIDS terbesar terdapat di kota padang yaitu kasus infeksi HIV baru sebanyak 39
orang dan AIDS sebanyak 322 orang dan angka kematian akibat AIDS sebanyak 58
orang, kota nomor 2 paling tinggi yaitu kota bukittinggi yaitu sebanyak 151 kasus (HIV
sebanyak 7 kasus dan AIDS sebanyak 144 kasus) yang meninggal akibat AIDS sebanyak
15 orang. Sedangkan menurut dinas kesehatan kota padang tahun 2013 kasus HIV AIDS
di kota padang tahun 2013 kasus HIV AIDS dikota padang yaitu 59 kasus (HIV sebanyak
15 orang sedangkan kasus AIDS sebanyak 44 kasus). Angka kematian akibat AIDS
sebanyak 8 kasus sedangkan pada tahun 2014 jumlah penderita HIV sebanyak 225 orang
penderita AIDS sebanyak 95 dan angka kematian akibat AIDS sebanyak 15 orang. Data
yang mewakili dari RSUP Dr. M. Djamil Padang, berdasarkan data yang dihitung dari
buku laporan di IRNA Non Bedah Penyakit Dalam Pria RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada bulan November 2016 sampai Januari 2017 terdapat 41 orang pasien yang dirawat
dengan HIV AIDS.
Penyakit HIV AIDS merupakan penyakit infeksi yang dapat ditularkan ke orang
lain melalaui cairan tubuh penderita yang terjadi melalui proses hubungan seksual,
tranfusi darah, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi secara bergantian, dan
penularan dari ibu ke anak dalam kandungan melalui plasenta dan kegiatan menyusui
(Dinkes Kota Padang, 2015).
Infeksi HIV menular melalui cairan genitalia (sperma dan cairan vagina) penderita dan
masuk ke orang lain melalui jaringan epitel sekitar uretra, vagina dan anus akibat
hubungan seks bebas tanpa kondom, heteroseksual atau homoseksual. Ibu yang menderita
HIV/AIDS sangat beresiko menularkan HIV ke bayi yang dikandung jika tidak ditangani
dengan kompeten (Nursalam.2011). Menurut laporan Direktur Jendral Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI tahun 2016 presentase
faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan seks beresiko pada heteroseksual (47%),
Lelaki Seks Lelaki atau LSL (25%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada
penasun (3%). Sedangkan untuk presentase faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan
seks beresiko pada heteroseksual (73,8%), Lelaki Suka Lelaki atau LSL (10%),
penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (5,2%), dan perinatal (2,6%).
Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap AIDS biasa disebut dengan ODHA.
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko mengalami Infeksi Oportunistik atau IO.
Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang terjadi karena menurunnya kekebalan tubuh
seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini umumnya menyerang ODHA dengan HIV
stadium lanjut. Infeksi Oportunistik yang dialami ODHA dengan HIV stadium lanjut
menyebabkan gangguan berbagai aspek kebutuhan dasar, diantaranya gangguan
kebutuhan oksigenisasi, nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas kulit dan sosial
spritual. Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri kronis pada
beberapa anggota tubuh, penurunan berat badan, kelemahan, infeksi jamur, hingga
distres dan depresi (Nursalam,2011).
Penurunan imunitas membuat ODHA rentan terkena penyakit penyerta, menurut
hasil laporan Direktur jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P
tahun 2016 ada beberapa penyakit penyerta yang biasa menyertai
AIDS diantaranya, Tuberkulosis, Taksoplasmosis, Diare, Kandidiasi, Dermatitis,
PCP atau pneumonia pneumocystis, Harpes simplex, Herpes zooster, Limfadenopati
generalisata persisten.
Penyakit HIV AIDS juga memunculkan berbagai masalah psikologis seperti
ketakutan, keputusasaan yang disertai dengan prasangka buruk dan diskriminasi dari
orang lain, yang kemudian dapat menimbulkan tekanan psikologis (Green Setyowati 2004
dalam Arriza, Dkk. 2013). Menurut Nursalam (2011) jika ditambah dengan stres
psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV, maka akan
mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian. Berdasarkan
pengalaman praktik keperawatan medikal bedah IV di ruang rawat inap interne pria
RSUP Dr. M.Djamil Padang pada bulan September 2016, terdapat 2 klien yang menderita
HIV AIDS dalam 1 minggu praktek. Berdasarkan observasi selama dinas di bangsal
interne pria, pengkajian tentang kebutuhan nutrisi pada pasien dengan HIV AIDS kurang
dilakukan secara rinci seperti penimbangan berat badan, pengukuran antropometri.
Evaluasi juga jarang dilakukan seperti jumlah makanan yang dimakan pasien, seberapa
banyak makanan yang dihabiskan pasien dalam 1 porsi pemberian, serta jarang dilakukan
evaluasi penimbangan berat badan. Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien
HIV AIDS untuk memperthankan kekuatan tubuh, mengganti kehilangan vitamin dan
mineral, meningkatkan fungsi sistem imun dan kemampuan tubuh untuk memerangi
penyakit dan juga meningkatkan respon terhadap pengobatan. Namun pasien HIV dan
AIDS seringkali tidak mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup karena
beberapa sebab diantaranya adanya lesi oral, mual, muntah kelelahan dan depresi
membuat ODHA menurun nafsu makannya (Nursalam, 2011).
Perawat memiliki tugas memenuhi kebutuhan dan membuat status kesehatan ODHA
meningkat melalui asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan merupakan suatu tindakan
atau proses dalam praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada pasien
untuk memenuhi kebutuhan objektif pasien, sehingga dapat mengatasi masalah yang
sedang dihadapinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah adalah bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan adalah mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien
HIV AIDS
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
b. Mendeskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
c. Mendeskripsikan rencana keperawatan atau intervensi pada pasien dengan HIV
AIDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP HIV AIDS


1. Pengertian
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit
kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV
tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang
secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya
berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif,
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada
orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).

Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan
Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan
tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi
kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih,
definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria
laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).

Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif berulang


terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji suplementer
(misal,ELISA, dikonfirmasi dengan uji Western blot) atau hasil positif atau
laporan terdeteksinya salah satu uji nonantibodi atau virologi HIV: uji antigen
p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis, biakan virus HIV, deteksi asam nukleat
(RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase atau RNA HIV-1
plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada masa perinatal).

Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan pada
daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau
penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang tercakup dalam definisi kasus
untuk AIDS. Kriteria untuk definisi kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori
klinis, simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer getah
bening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau
bronkitis, pneumonitis, esofagitis
11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,
diseminata atau ektra paru
18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau ekstraparu
19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi,
diseminata atau ekstraparu
20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
21) Pneumonia, rekuren
22) Leukoensefalopati multifokus progresif
23) Septikemia salmonela, rekuren
24) Toksoplasmosis otak
25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV

2. Penyebab
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing,
virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia
infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi
berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi
dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis
dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh
selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut
mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua
sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan
integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV mengandung
beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr
dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan partikel virus yang infeksius.
(Robbins dkk, 2011)

Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara
penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsusng,
air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis,
dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk
ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ). Selama
berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan
mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan
seksual

b. Ibu pada bayinya


Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%
(PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga terjadi selama
proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau
membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses
melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan
STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode post
partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang positif
sekitar 10%

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS


Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah
dan menyebar ke seluruh tubuh.

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril


Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain
yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan
langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan
langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular
HIV

e. Alat-alat untuk menoreh kulit


Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV
sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian


Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan
oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU secara
bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas
pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan,
hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan
sosial yang lain.

3. Patofisiologi

Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun.
Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara
virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap
menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.

Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang


imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khas
merupakan penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70%
dari orang deawasa selama 3-6 minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan
gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-
kadang meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus dalam
jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid
perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Namum
segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik terhadap
virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3
hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T sitoksik CD8+
yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali
mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan
merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di
dalam makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.

Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami
infeksi oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster
selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian
virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut.
Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel CD4+ akan
tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan sel CD4+
dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati periode yang
panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang, jumlah sel CD4+
mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin
meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala
konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan
onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset
fase “krisis”.
Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu
yang sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah,
penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500
sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami
infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi
neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS), dan pasien yang
bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika
kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang
digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan
jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.
4. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis
Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas
dan pada dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan
infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek langsung
HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi pada manifestasi klinis dan
akibat infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik
seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling sering
ditemukan pada penderita AIDS adalah Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang
merupakan penyakit
oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan AIDS.

Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode waktu
antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan tanda-
tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk non produktif,
nafas pendek, dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam
darah arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami
penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia minimal. Bila
tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan
dan pada akhirnya, kegagalan pernafasan.

Penyakit kompleks Kompleks Mycobacterium avium (MAC;


Mycobacterium avium Complex) yaitu suatu kelompok baksil tahan asam, biasanya
menyebabkan infeksi pernafasan kendati juga sering dijumpai dalam traktus
gastrointerstinal, nodus limfatik dan sumsum tulang. Sebagian pasien AIDS sudah
menderita penyakit yang menyebar luas ketika diagnosis ditegakkan dan biasanya
dengan keadaan umum yang buruk.

Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit tuberkulosis (TB) cenderung


terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa
AIDS. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan
penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang,
perikardium, lambung, peritoneum dan skrotum.

b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera makan,
mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS,
diare dapat membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya penurunan
berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan keseimbnagan cairan
dan elektrolit, ekskoriasis kulit perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk
melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang paling
sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh
darah dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit
yang lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat
hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi
Kutaneus yang dapat timbul pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah mudah
kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan dikelilingi oleh
ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.

Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena, limfadema
serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan meninggalkan
ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadap
infeksi.

Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi diantara
pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung
berkembang diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak,
sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.

d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv ditemukan
dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal pasien-pasien
ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-
sel CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini akan memicu
toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi seluler atau yang mengganggu
atau yang mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakan
seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan progresif
pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda dan gejalanya yang samar-
samar serta sulit dibedakan dan kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan
terhadap infeksi dan malignansi.

Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan


berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.
Stadium lanjutmencangkup ganggua kognitif global kelambatan dalam respon verbal,
gagguan afektif seperti pandangan yang
kosong,hiperrefleksi paraparesis spastik, psikologis, halusiansi, tremor,
inkontenensia, serangan kejang, mutisme dan kematian.
Infeksi jamur Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik paling sering
keempat yang terdapat di antara pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi paling
sering ketiga yang menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus
ditandai dengan gejala seperti demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak badan
(melaise), kaku kuduk, mual, vormitus, perubahan status mental, dan kejang-kenjang.

Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf


pusat dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C. Manifestasi klinis dapat
dimulai dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang akhirnya
mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis, (paraliasis ringan) serta kematian.

Kelemahan neurologik lainnya berupa neuropati perifer yang berhubungan dengan


HIV diperkirakan merupakan kelainan demielinisasi dengan disertai rasa nyeri serta
patirasa pada ekstremitas, kelemahan, penurunan rekfleks tendon yang dalam,
hipotensi ortostatik dan impontensi.

e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta malignansi
yang mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster dan harpes simpleks
akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit.
Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan
plak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS
juga dapat memperlihatkan folokulasi menyeluruh yang disertai dengan kulit yang
kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti ekzema
atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia pneumocytis
carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berua preuritus yang
disertai pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas dari
penyebab ruam ini pasien akan mengalami ganggua rasa nyaman dan menghadapi
peningkatan resiko untuk menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan
kulit.

5. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi beberapa
cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV
serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat antivirus, dan
penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting karena efek
infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek
tersebut mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMPSMZ
(Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada pasien-
pasien dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan
apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat mengalami efekyang
merugikan dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam,
leukopenia,
trombositopenia dengan ganggua fungsi renal.
Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif untuk
melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak
memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas
kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.

Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium avium complex


(MAC) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari
satu macam obat selam periode waktu yang lama.

Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk meningitis kriptokokus adalah


amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (Diflucan). Keadaan
pasien harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial merugikan dan serius dari
amfoterisin B yang mencangkup reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar,
gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan menggigil.

Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus


(CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama kebutaan pada
penderita penyakit AIDS.

Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi
merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang
mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang
mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua keadaan
ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah
serangan kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat
infus dan nyeri punggung bawah.
Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi
ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk
pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi.
Infeksi kronis yang membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati
dengan Ketokonazol atau flukonazol.

b. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik somatostatin,
ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Konsentrasi reseptor
somatosin yang tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun jaringan
lainnya. Somatostain akan menghambat banyak fungsi fisologis yang mencangkup
motalisis gastrointerstinal dan
sekresi-interstinal air serta elektrolit.

c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan


Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunitis sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri
akan memperbesar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi
oportunistis. Terapi nutrisi bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian makan
lewat sonde (terapi nutriasi enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika
diperlukan.

d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan
dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi
mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif
tampaknya berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).

e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus
HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler yang digunakan virus
tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru. Dengan
mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi virus yang baru akan
dihambat.

f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu enzim
yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi
protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan
aktivitas enzim reserve transcriptase.
g. Perawatan pendukung
Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan
atau malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual, Vomitus dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan
imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini
mencangkup tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.

Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi,
sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien dengan
ganggguan fungsi pernafasan yang berat pernafasan yang berat dapat membutuhkan
tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati
perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi dengan preparat analgetik yang diberikan
secara teratur selama 24 jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi psikologi
dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
kecemasan pada sebagian pasien.

h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV
AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun,
meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang
hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak
stadium dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang.
Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
absorbsi szat gizi.

Untuk mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberikan
makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air.

i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV


Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang
(klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan
stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.

Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang
dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :

1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual


(IMS) dan HIV/AIDS
2) Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan
pendapat dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut
oleh konselor itu sendiri.
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun
anggota keluarga klien

Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :


1) Mencegah penularan HIVdengan cara mengubah prilaku. Untuk mengubah
prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya membutuhkan informasi
belaka, tetapi jauh lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat
menumbuhkan motivasi mereka, misalnya dalam prilaku seks aman, tidak
berganti-ganti jarum suntik, dan lain-lain.
2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis, psikologis,
sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk memberikan
dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara
positif.

Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog
yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengantujuan untuk
mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan
lainnya kepada ODHA, keluarga, dan lingkungannya (Nursalam, 2011).

Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi
kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko
penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku,
sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam
masyarakat (Nursalam, 2011)
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV AIDS
Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar bagi
perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun kanker.
Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan
etika. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth, 2013).

Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi :


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR

b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui keluhan
utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu,
demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan
berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis
lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur
Candida Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh, munculnya
Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.

c. Riwayat kesehatan sekarang


Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS adalah :
pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki
manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan
mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan
drastis.

d. Riwayat kesehatan dahulu


Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat
penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan
penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian
lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja
di tempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).

2. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)


a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan
tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.

c. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang cukup
drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).

d. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.

e. Pola Istirahat dan tidur


Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami gangguan
karena adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam hari yang berulang.
Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.

f. Pola aktivitas dan latihan


Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami perubahan. Ada
beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini
disebabkan mereka yang menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun
lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh
yang lemah.

g. Pola presepsi dan konsep diri


Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas,
depresi, dan stres.

h. Pola sensori kognitif


Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan gangguan
penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan
berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.

i. Pola hubungan peran


Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat
mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri
rendah.
j. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan depresi
karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit,
yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi
psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain,
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
kontruksif dan adaptif.

k. Pola reproduksi seksual


Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena
penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan
seksual.

l. Pola tata nilai dan kepercayaan


Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena
mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka.
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi
nilai dan kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal
penting dalam hidup pasien.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan :Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan
meningkat

Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena


demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik, pupil isokor,
reflek pupil terganggu,
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih
seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah bening,
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada pada pasien
AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul), sesak nafas (dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi (lesi
sarkoma kaposi).

n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral dingin.

2. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru obstruksi
kronis
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neorologis, ansietas,
nyeri, keletihan
c. Diare berhubungan dengan infeksi
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif, kehilangan berlebihan melalui diare, berat badan ekstrem, faktor yang
mempengaruhi kebutuhan status cairan:
hipermetabolik,
f. Ketidak seimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan diare
g. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan diare, muntah
h. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis, ketidak mampuan menelan.
i. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera;bilogis
j. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera; biologis
k. Hipertermi berhubungan dengan penyakit, peningkatan laju metabolisme
l. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status cairan, perubahan
pigmentasi, perubahan turgor, kondisi ketidak seimbangan nutrisi, penurunan
imunologis
m. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi,
perubahan turgor kulit, kondisi ketidak seimbangan nutrisi, faktor imunologi
n. Resiko infeksi berhubungan dengan, imunosupresi, malnutrisi, kerusakan
integritas kulit.
o. Keletihan berhubungan dengan status penyakit, peningkatan kelelahan
fisik, malnutrisi, ansitas, depresi, stres
p. Kelelahan berhubungan dengan proses penyakit
q. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkaiit penyakit
r. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik
s. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh
t. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma, gangguan harga diri.
(Nanda Internasional, 2014)
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaa keperawatan atau intervensi yang di temukan pada pasien dengan HIV
AIDS sebagai berikut.

Tabel 2.1 Diagnosa dan Intervensi Pada Pasien dengan HIV AIDS
No Diagnosa Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan

1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Menajemen jalan nafas


bersihan tindakan keperawatan
diharapkan status 1) Posisikan pasien untuk
jalan nafas pernafasan tidak memaksimalkan ventilasi
2) Buang secret dengan
terganggu dengan memotivasi pasien untuk
kriteria hasil : melakukan batuk atau
Definisi : ketidak
menyedot lendir
mampuan 1) Deviasi ringan dari 3) Motifasi pasien untuk bernafas
kisaran normal pelan, dalam, berputar dan batuk
untuk frekuensi pernafasan 4) Instruksikan bagaimana agar
membersihkan 2) Deviasi ringan dari bisa melakukan batuk efektif
kisaran normal Irama 5) Auskultasi suara nafas, catat
sekresi atau pernafasan area yang ventilasinya menurun
obstruksi dari 3) Deviasi ringan dari atautidak dan adanya suara nafas
kisaran normal suara tambahan
saluran nafas auskultasi nafas 6) Monitor status pernafasan dan
untuk 4) Deviasi ringan dari oksigenisasi sebagaimana
kisaran normal mestinya
mempertahankan kepatenan jalan nafas
5) Deviasi ringan dari
bersihan
kisaran normal Fisioterapi dada
jalan saturasi oksigen
6) Tidak ada retraksi 1) Jelaskan tujuan dan prosedur
nafas
dinding dada fisioterapi dada kepada pasien

Batasan
Karakteristik :
1) Suara nafas 2) Monitor status respirasi dan
tambahan kardioloogi (misalnya, denyut
2) Perubahan dan suara irama nadi, suara dan
frekuensi kedalaman nafas
nafasan 3) Monitor jumlah dan
3) Perubahan karakteristik sputum
iraman nafas 4) Instruksikan pasien untuk
4) Penurunan mengeluarkan nafas dengan
bunyi nafas teknik nafas dalam
5) Sputum dalam
jumlah
berlebihan Terapi Oksigen
6) Batuk tidak
efektif 1) Bersihkan mulut, hidung dan
sekresi trakea dengan tepat
2) Siapkan peralatan oksigen dan
berikan melalui sistem
hemodifier
3) Monitor aliran oksigen
4) Monitor efektifitas terapi
oksigen
5) Pastikan penggantian masker
oksigen/ kanul nasal setiap
kali pernagkat diganti

Monitor Pernafasan

1) Monitor pola nafas (misalnya,


bradipneu)
2) Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
3) Auskultasi suara nafas
4) Kaji perlunya penyedotan pada
jalan nafas dengan auskultasi
suara nafas ronci di paru
5) Auskultasi suara nafas setelah
tindakan, untuk dicatat
6) Monitor kemampuan batuk
efektif pasien

2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Menajemen Jalan Nafas :


Pola Nafas asuhan keperawatan
diharapkan status 1) Posisikan pasien untuk
pernafasan tidak memaksimalkan ventilasi
2) Lakukan fisioterapi dada,
Definisi : Inspirasi terganggu dengan sebagimana semestinya
kriteria hasil : 3) Buang secret dengan
dan atau ekspirasi
memotivasi klien untuk
yang tidak 1) Frekuensi pernafasan melakukan batuk atau menyedot
Tidak ada deviasi dari lendir
memberi ventilasi
kisaran normal 2) Irama 4) Motivasi pasien untuk bernafas
adekuat pernafasan Tidak ada pelan, dalam, berputar dan
deviasi dari kisaran batuk.
normal 5) Auskutasi suara nafas, catat area
Faktor Resiko : 3) Suara Auskultasi yang ventilasinya menurun atau
nafas Tidak ada tidak ada dan adanya suara
1) Perubahan deviasi dari kisaran nafas tambahan
kedalamam normal 6) Kelola nebulizer ultrasonik,
pernafasan 4) Saturasi oksigen sebgaimana mestinya
2) Bradipneu 3) Tidak ada deviasi dari7) Posisikan untuk meringankan
Dipsnea kisaran normal sesak nafas
4) Pernafasan 5) Tidak ada retraksi 8) Monito status pernafasan dan
cuping hidung dinding dada oksigen, sebagaimana mestinya
5) Takipnea 6) Tidak ada suara nafas
tambahan
7) Tidak ada pernafasan Pemberian Obat :
Faktor yang cuping hidung
berhubungan : 1) Pertahankan aturan dan
prosedur yang sesuai dengan
1) Kerusakan keakuratan dan keamanan
Neurologis pemberian obat-obatan
2) Imunitas 2) Ikuti prosedur limabenar dalam
Neurologis pemberian obat
3) Beritahu klien mengenai jenis
obat, alasan pemberian obat,
hasil yang diharapkan, dan efek
lanjutan yang akan terjadi
sebelum pemberian obat.
4) Bantu klien dalam pemberian
obat
Terapi Oksigen :

1) Bersihkan mulut, hidung, dan


sekresi trakea dengan tepat
2) Berikan oksigen tambahan
seperti yang diperintahkan
3) Monitor aliran oksigen
4) Periksa perangkat (alat)
pemberian oksigen secara
berkala untuk mmastikan bahwa
konsentrasi (yang telah)
ditentukan sedang diberikan

Monitor Pernafasan :
1) Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan
bernafas
2) Catat pergerakan dada, catat
ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu nafas
3) Palpasi kesimetrisan ekstensi
paru
4) Auskultasi suara nafas, catat
area dimana terjadinya
penurunan atau tidak adanya
ventilasi dan keberadaan suara
nafas tambahan
5) Auskultasi suara nafas setelah
tindakan untuk dicatat
6) Monitor sekresi pernafasan
pasien
7) Berikan bantuan terapi nafas
jika diperlukan (misalnya
nebulizer)

Monitor tanda-tanda vital :

1) Monitor tekanan darah, Nadi,


Suhu, dan status pernafasan
dengan tepat
2) Monitor suara paru-paru
3) Monitor warna kulit, suhu dan
kelembaban

3. Diare Setelah dilakukan Menajemen Saluran Cerna


tindakan keperawatan
diharapkan eliminasi 1) Monitor buang air besar
Definisi : Pasase termasuk frekuensi,
usus tidak terganggu
konsistensi, bentuk, volume
fases yang lunak dengan kriteria hasil : dan warna, dengan cara yang
dan tidak 1) Pola eliminasi tidak tepat
2) Monitor bising usus
berbentuk terganggu
2) Suara bising usus
tidak terganggu
3) Diare tidak ada Menajemen Diare
Batasan
Karakteristik : 1) Tentukan riwayat diare
2) Ambil tinja untuk pemeriksaan
1) Nyeri abdomen kultur dan sensitifitas bila diare
2) Sedikitnya berlanjut
tiga kali 3) Instruksikan pasien atau anggota
defekasi per Setelah dilakukan
keluarga utuk mencatat warna,
tindakan keperawatan
volume, frekuensi, dan
konsistensi tinja
hari diharapkan tidak 4) Identivikasi faktor yang bisa
3) Bising usus terjadi keparahan menyebabkan diare (misalnya
hiperaktif infeksi dengan kriteria medikasi, bakteri, dan
pemberian makan lewat selang)
hasil :
5) Amati turgor kulit secara
Situasional : 1) Malaise tidak ada berkala
2) Nyeri tidak ada 6) Monitor kulit perineum
1) Penyalahguna 3) Depresi jumlah sel terhadap adanya iritasi dan
an alkohol ulserasi
darh putih
7) Konsultasikan dengan dokter
jika tanda dan gejala diare
Fisiologis menetap

1) Proses Infeksi
Pemasangan Infus

1) Verivikasi instruksi untuk terapi


IV
2) Beritau pasien mengenai
prosedur
3) Pertahankan teknik aseptik
secara seksama
4) Pilih vena yang sesuai dengan
penusukan vena, pertimbangkan
prevelansi pasien, pengalaman
masa lalu dengan infus, dan
tangan non
dominan
5) Berikan label pada pembalut IV
dengan tanggal, ukuran, dan
inisiasi sesuai protokol lembaga

Terapi Intravena (IV)

1) Verivikasi perintah untuk terapi


intravena
2) Instruksikan pasien tentang
prosedur
3) Periksa tipe cairan, jumlah,
kadaluarsa, karakterisktik dari
cairan dan tingkat merusak pada
kontainer
4) Laukuan (prinsip) lima benar
sebelum memulai infus atau
pemberian pengobatan
(misalnya, benar obat, dosis,
pasien, cara, dan frekuensi)
5) Monitor kecepatan IV, seblum
memberikan pengobatan IV
6) Monitor tanda vital

7) Dokumentasikan terapi yang


diberikan, sesuai protokol dan
institusi
4. Kekurangan Setelah dilakukan Menajemen Cairan :
Volume Cairan tindakan keperawatan
diharapkan 1) Timbang berat badan setiap hari
dan monitor status pasien
keseimbangan cairan
2) Jaga Intake/ asupan yang akurat
Definisi : peurunan tidak terganggu dengan dan catat output pasien
cairan kriteria hasil : 3) Monitor status hidrasi
(misalmya, membran mukosa
intravaskuler, 1) Tekanan darah tidak lembab, denyut nadi adekuat,
interstisial, terganggu dan tekanan darah ortostatik)
2) Keseimbangan 4) Monitor hasil laboratorium yang
dan/atau intra intake dan output relevan dengan retensi cairan
seluler. Ini dalam 24 jam tidak (misalnya, peningkatan berat
terganggu jenis, peningkatan BUN,
mengacu pada 3) Berat badan stabil penurunan hematokrit, dan
dehidrasi, tidak terganggu peningkatan kadar osmolitas
4) Turgor kulit tidak urin)
kehilangan cairan terganggu 5) Monitor status hemodinamika
saja tampa CVP, MAP, PAP, dan PCWP,
jika ada)
perubahan pada Setelah dilakukan 6) Monitor tanda-tanda vital
natrium tindakan keperawatan 7) Beri terapi IV, seperti yang
diharapkan hidrasi ditentukan
tidak terganggu dengan 8) Berikan cairan dengan tepat
Batasan kriteria hasil : 9) Berikan diuretik yang
diresepkan
Karakteristik : 1) Turgor kulit tidak 10) Distribusi asupan cairan selama
1) Penurunan terganggu 24 jam
tekanan darah 2) Membran mukosa
2) Penurunan lembab tidak
tekanan nadi terganggu Monitor Cairan :
3) Penurunan 3) Intake cairan tidak
turgor kulit terganggu 1) Tentukan jumlah dan jenis
4) Kulit kering 4) Output cairan tidak Intake/asupan cairan serta
terganggu kebiasaan eliminasi
5) Penurunan
frekuensi nadi 5) Perfusi Jaringan tidak 2) Tentukan faktor-faktor yang
terganggu menyebabkan
6) Penurnan berat
badan tiba-tiba 6) Tidak ada nadi cepat ketidakseimbangan cairan
7) Kelemahan dan lemah 3) Periksa isi kulang kapiler
7) Tidak ada kehilangan 4) Periksa turgor kulit
berat 5) Monitor berat badan
badan 6) Monitor nilai kadar serum dan
Faktor yang
berhubungan : elektrolit urin
7) Monitor kadar serum albumin
1) Kehilangan cairan dan protein total
aktif 8) Monitor tekanan darah, denyut
jantung, dan status pernafasan

9) Monitor membran mukosa,


turgor kulit, dan respon haus
5. Ketidak Setelah dilakukan Menajemen Nutrisi
seimbangan tindakan keperawatan
diharapkan status 1) Identifikasi adanya alergi atau
nutrisi kurang intolerasi akanan yang dimiliki
nutrisi dapat
pasien
dari kebutuhan ditingkatkan dengan
tubuh kriteria hasil:
Terapi nutrisi
Definisi : asuhan 1) Asupan Nutrisi tidak
kebutuhan tubuh menyimpang dari 1) Kaji kebutahan nutrisi parenteral
rentang normal 2) Berikan nutrisi enteral, sesuai
tidak cukup untuk 2) Asupan makanan kebutuhan
memenuhi tidak menyimpang 3) Berikan nutrisi enteral
dari rentang normal 4) Hentikan pemberian makanan
kebutuhan
melalui selang makan begitu
metabolik pasien mampu mentoleransi
asupan (makanan) melalui oral
metabolik Batasa
5) Berikan nutrisi yang dibutuhkan
karekteristik : sesuai batas diet yang
Setelah dilakukan dianjurkan
1) Nyeri abdomen
tindakan keperawatan
2) Menghindari
makan diharapkan Status
3) Berat badan nutrisi : Asupan nutrisi Pemberian Nutrisi Total
20% atau lebih dapat ditingkatkan Parenteral (TPN)
dibawah berat dengan kriteria hasil :
baadan ideal 1) Pastikan isersi intravena cukup
4) Diare 1) Asupan kalori paten untuk pemberian nutrisi
sebagian besar intravena
5) Bising usus
adekuat 2) Pertahankan kecepatan aliran
hiperaktif
2) Asupan protein yang konstan
6) Penurunan
sebagian besar 3) Monitor kebocoran, infeksi dan
berat badan
adekuat komplikasi metabolik
dengan asupan
3) Asupan lemak 4) Monitor masukan dan output
yang adekuat
sebagian besar cairan
7) Membran
adekuat 5) Monitor kadar albumin, protein
mukosa pucat
4) Asupan karbohidrat total, elektrolit, profil lipid,
8) Ketidak
sebagian besar glukosa darah dan kimia darah
mampuan
adekuat 6) Monitor tanda-tanda vital
memakan
makanan 5) Asupan vitamin
9) Tonus otot sebagian besar
adekuat
6) Asupan mineral
sebagian besar
menurun adekuat
10) Sariawan
rongga mulut
11) Kelemahan Setelah dialkukan
otot untuk tindakan keperawatan
menelan diharapkan terjadi
Faktor peningkatan nafsu
Berhubungan : makan dengan kriteria
1) Faktor biologis hasil :
2) Ketidak
1. Intake makanan tidak
mampuan untuk
terganggu
mengabsorbsi
2. Intake nutrisi tidak
nutrien
terganggu
3) Ketidak 3. Intake cairan tidak
mampuan untuk
terganggu
mencerna
makanan
4) Ketidak
Setelah dilakukan
mampuan
tindakan keperawatan
menelan makan
diharapkan terjadi
peningkatan

status nutrisi : asupan


makanan dan cairan
dengan kriteri hasil :

1) Asuhan makanan
secara oral sebagian
besar adekuat
2) Asupan cairan
intravena
sepenuhnyaa kuat
3) Asupan nutrisi
parenteral
sepenuhnya kuat

6. Nyeri akut : Setelah dilakukan Pemberian analgesik :


Definisi 1) Tentukan lokasi, karakteristik,
tindakan keperawatan
kualitas dan keparahan nyeri
pengalaman dan diharapkan kontrol
sebelum mengobati pasien
sensori yang nyeri dapat 2) Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis, dan
emosional dipertahankan dengan
frekuensi obat analgesik yang
tidak kriteria hasil: diresepkan
3) Cek adanya riwayat alergi obat
menyenangkan 1) Secara konsisten
4) Pilih analgesik atau kombinasi
menunjukkan
analgesik yang sesuai ketika
yang muncul menggunakan lebih dari satu diberikan
tindakan
akibat kerusakan
pengurangan (nyeri) Menajemen nyeri :
jaringan yang tanpa analgesik
2) Secara konsisten 1) Lakukan pengkajian nyeri
aktual atau komprehensif yang meliputi
menunjukkan
potensial atau di Menggunakan lokasi, karakteristik,
analgesik yang onset/durasi, frekuensi, kualitas,
gambarkan dalam intensitas atau beratnya nyeri
direkomendasikan
hal kerusakan 3) Melaporkan nyeri dan faktor pencetus
terkontrol 2) Observasi adanya petunjuk
sedemikian rupa nonverbal mengenai
(International Setelah dilakukan ketidaknyamanan
3) Gunakan strategi komunikasi
Association for the tindakan keperawatan terapeutik untuk mengetahui
tingkat nyeri dapat
Study of Paint); diatasi: pengalaman nyeri dan
sampaikan penerimaan pasien
awitan yang tiba – terhadap nyeri
1) Nyeri yang
tiba atau lambat 4) Kaji bersama pasien
dilaporkan tidak ada
faktorfaktor yang dapat
dari intensitas 2) Mengerang dan
menurunkan atau memberatkan
meringis tidak ada
ringan hingga nyeri
3) Menyeringit tidak ada
5) Ajarkan penggunaan teknik non
berat dengan akhir 4) Ketegangan otot tidak farmakologilan nyeri
ada
yang dapat di 5) Tanda –tanda vital 6) Evaluasi keefektifan dari
tindakan pengontrolan
antisipasi atau tidak mengalami 7) Mendukung istirahat tidur
devisiasi 8) Memberikan informasi terkait
diprediksi dan
dengan diagnosa dan
berlangsung <6 keperawatan
bulan 9) Mendorong keluarga menemani
pasien
10) Kaji tanda verbal dan non verbal
Batasan dari ketidak nyamanan

Karakteristik : Monitor tanda tanda vital :


1) Perubahan 1) Monitor tekanan darah, nadi,
selera makan suhu, dan status pernafasan
2) Perubahan
dengan tepat
tekanan darah
3) Perubahan
frekuensi
jantung
4) Perubahan
frekuensi
pernafasan
5) Laporan
isyarat
6) Diaforesis
7) Perilaku
ditraksi (mis;
berjalan
mondar
mandir,
mencari orang
lain dan/ atau
aktifitas lain,
aktivitas yang
berulang)
8) Mengekpresik
an prilaku
(misal gelisah
merengek,
menangis,
waspada,
iritabilitas,
mendesah)
9) Masker wajah
(mis; mata
kurang
bercahaya,
tampak kacau,
gerakan mata
berpancar atau
tetap pada satu
fokus,
meringis)
10) Sikap
melindungi
area nyeri
11) Gangguan
presepsi nyeri,
hambatan
proses
berfikir,
penurunan
interaksi
dengan orang
dan
lingkungan)
12) Indikasi nyeri
yang dapat
diamati
13) Perubahan
posisi untuk
menghindari
nyeri
14) Sikap tubuh
melindungi
15) Dilatasi pupil
16) Melaporkan
nyeri secara
verbal
17) Fokus pada
diri sendiri
18) Gangguan
tidur

Faktor yang
berhubungan :

Agen cedera (mis,


biologis, zat kimia,
fisik, psikologis)

7. Resiko kerusakan Setelah dilakukan Pemberian obat kulit:


integritas kulit tindakan keperawatan
diharapkan integritas 1) Ikuti prinsip 5 benar pemberian
2) Catat riwayat medis pasien dan
jaringan kulit dan
riwayat alergi
Definisi : beresiko membranmukosa 3) Tentukan pengetahuan pasien
mengalami dapat ditingkatkan : mengenai medikasi dan
pemahaman pasien mengenai
perubahan kulit 1. Suhu kulit tidak metode pemberian obat
yang uruk terganggu
2. Tekstur kulit tidak Pengecekan kulit :
terganggu
3. Integritas kulit tidak 1) Amati warna, kehangatan,
Faktor Resiko
terganggu bengkak, pulsasi, tekstur,
Eksternal 4. Pigmentasi edema, dan ulserasi pada
abnormal ringan ekstremitas
1) Zat kimia 2)
5. Lesi mukosa ringan 2) Monitor warna dan suhu kulit
Ekskresi
3) Usia yang 6. Kanker kulit tidak 3) Monitor kulit dan selaput
ekstream ada lendir terhadap area perubahan
4) Hipertermia warna, memar, dan pecah
5) Hipotermia 4) Monitor kulit untuk adanya
6) Humiditas ruam dan lecet
7) Faktor
mekanik (mis,
gaya gunting,
tekanan,
pengekangan)
8) Lembab
9) Imobilisasi
fisik
10) Radiasi
11) Sekresi
Internal

1) Perubahan
pigmentasi
2) Perubahan
turgor kulit
3) Faaktor
perkembangan
4) Kondisi
ketidak
seimbangan
nutrisi (
obesitas,
emasiasi/ kurus
kerempeng)
5) Gangguan
sirkulasi
6) Gangguan
kondisi
metabolik
7) Faktro
imunologi
8) Medikasi
9) Faktor
psikogenik
10) Tonjolan
tulang
8. Harga diri rendah Setelah dilakukan Peningkatan citra tubuh
situasional tindakan keperawatan 1) Tentukan harapan citra diri
diharapkan terjadi pasien didasarkan pada tahap
peningkatan harga diri perkembangan
Definisi : dengan kriteria hasil : 2) Tentukan perubahan fisik saat
ini apakah berkontribusi pada
perkembangan 1) Verbalisasi cita diri pasien
presepsi penerimaan diri 3) Bantu pasien untuk
2) Penerimaan terhadap mendiskusikan perubahan
negatif keterbatasan diri perubahan (bagian tubuh)
tentang harga diri 3) Mempertahankan disebabkan adanya penyakit
posisi tegak dengan cara yang tepat
sebagai respon 4) Mempertahankan 4) Monitor frekuensi dari
kontak mata pernyataan mengkritisi diri
terhadap
5) Komunikasi terbuka 5) Monitor pernyataan yang
situasi saat mengidentifikasi citra tubuh
mengenai ukuran dan berat
ini (sebutkan)
badan

Batasan
Karakteristik :
1) Evaluasi diri
bahwa individu Peningkatan koping :
tidak mampu
menghadapi 1) Gunakan pendekatan yang
peristiwa tenang dan memberikan
2) Evaluasi diri jaminan
bahwa individu 2) Berikan suasana penerimaan
tidak mampu 3) Sediakan informasi aktual
menghadapi mengenai diagnosis,
situasi penanganan dan prognosis
3) Perilaku
bimbang Peningkatan harga diri :
4) Perilaku tidak
asertif 1) Monitor penerimaan pasien
5) Secara verbal mengenai harga diri
melaporkan 2) Jangan mengkritisi pasien
tentang secara negatif
situasional saat
ini terhadap
harga diri
6) Ekspresi
ketidakberdaya
an
7) Ekspresi
ketidak
bergunaan
8) Verbalisasi
meniadakan
diri

Faktor
Berhubungan :

1) Perilaku tidak
selaras dengan
nilai
2) Perubahan
perkembangan
3) Gangguan
citra tubuh
4) Kegagalan
5) Gangguan
fungsional
6) Kurang
penghargaan
7) Kehilangan
penghargaan
8) Kehilangan
9) Penilakan
10) Perubahan
peran sosial
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hasil pengkajian di dapatkan data pasien HIV AIDS mengeluh mengalami diare,
nafsu makan menurun, berat badan berkurang, sariawan di mulut, bibir kering, terdapat
nyeri dan adanya gatal- gatal pada kulit.
2. Masalah keperawatan yang di dapatkan antara lain kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, diare berhubungan dengan proses infeksi, ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, nyeri
akut berhubungan dengan agen cidera biologis, harga diri rendah situasionalberhubungan
dengan gangguan citra tubuh, resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor
imunologis, ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan.
3. Rencana keperawatan yang disusun tergantung kepada masalah keperawatan yang
ditemukan masing masing pasien rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien
HIV AIDS rencana tindakan yang pada pasien HIV AIDS antara lain, menajemen cairan,
monitor cairan, menajemen saluran cerna, menajemen diare, monitor elektrolit, menajemen
nutrisi monitor nutrisi ,terapi nutrisi, pemberian nutrisi total parenteral, pemberian analgesik
menajemen nyeri, monitor tanda- tanda vital, peningkatan citra tubuh, peningkatan koping,
peningkatan harga diri, pengecekan kulit, pemberian obat, bimbingan antisipatif, pengurangan
kecemasan.
4. Pada tahap pelaksanaan keperawatan tindakan yang dilakukan pada pasien HIV
AIDS antara lain mencatat Intake dan Output pasien, menilai status hidrasi dan mukosa
bibir, denyut nadi, dan tekanan darah, mengukur TTV, pemberian cairan infus,
memeriksa turgor kulit, memonitor kadar albumin, melakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif, memberi obat analgesik, mengajarkan teknik non farmakologi seperti teknik
relaksasi, menganjurkan pasien istirahat dan tidur, memonitor buang air besar, memonitor
bising usus, memonitor adanya mual muntah, berikan infus, menentukan status gizi, mengkaji
riwayat alergi, monitor kalori dan asupan makanan, memonitor diet dan asupan kalori,
mengidentifikasi penurunan nafsu makan, menilai hasil laboratorium.
5. Hasil evaluasi yang dilakukan selam 5 hari pada pasien terdapat masalah
keperawatan yang dapat teratasi dengan kriteria hasil BAB normal, terdapat
penerimaan terhadap keadaan diri, ungkapan rasa cemas tidak ada lagi.

B. Saran
1. Bagi lahan/Rumah sakit
Melalui pimpinan agar di lakukannya pelatihan tentang pengkajian asuhan
keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Studi kasus yang peneliti lakukan pada pasien AIDS hendaknya dilanjutkan sebagai
pembanding untuk penelitian dalam asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah
HIV AIDS
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan bagi
mahasiswa keperawatan untuk pengembangan pembelajaran studi kasus berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arriza, Beta Kurnia., dkk. (2011). Memahami Rekonstruksi Kebahagiaan Pada Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi Undip.
http://download.portalgaruda.org/article. (Diakses pada tanggal 13 Januari 2017)

Bararah dan Jauhar.M, 2103. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional Jilid 2. Jakarta: Prestasi Pustakaraya

Bulechek,Gloria M, Dkk (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). United kingdom:


ELSEVIER

Desima,Dkk. (2013). Karakteristik Penderita HIV/AIDS Di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige
Tahun 2008-2012. http://download.portalgaruda.org/article. (Diakses pada tanggal 12 Januari
2017)

Dinas Kesehatan Kota Padang. (2015). Profil Kesehatan Kota Padang Tahun 2014.
https://dinkeskotapadang1.files.wordpress.com/2015/07/profil-tahun-2014-edisi2015.pdf
(Diakses Pada Tanggal 11 Januari 2017).

Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI, (2016). Laporan Perkembangan HIV AIDS triwulan 1
Tahun 2016. Jakarta. http://www.yaids.com/materi/M-5780-
Final%20Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%201%202016.pdf . (Diakses pada tanggal
12 Januari 2017)

Kementrian Kesehatan RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Sekretaris Jenderal

Kumar,Cotran,Robbins.(2011). Buku Ajar Patologi (Awal Prasetyo,Brahm U.Pandit, Toni Prilino,


Penerjemah). Jakarta: EGC
Kunoli, F.J.,(2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: TIM

Mardalis. (2010). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara

Moorhead,Sue, Dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). United


Kingdom: ELSEVIER

NANDA International. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta.


EGC

Nurasalam. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV AIDS, Jakarta : Salemba
Medika

Nursalam dan Kurniawati,Ninuk Dian. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Pasien


Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika
Perry,A.G., & Potter, P.A. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan :Konsep proses, dan
praktik (Ed ke-4) (renata,K, dkk, Penerjemah)

Saryono dan Anggraeni, M.D.,(2013). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam
Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuhu Medika

Smeltzer dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.3. Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. (2015). Medical Surgical Neursing (Vol 1). : LWW

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Susilowati,Susi. (2013). Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian HIV dan
AIDS di Semarang dan Sekitarnya.

Sylvia dan Wilson.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol 1 (6rd ed).
Jakarta: EGC

UNAIDS, 2016.Global AIDS UP Date 2016.


http://www.unaids.org/en/resources/documents/2016/Global-AIDS-update-2016 (Diakses pada
tanggal 11 Januari 2017).

Anda mungkin juga menyukai