PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah adalah bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan adalah mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien
HIV AIDS
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
b. Mendeskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
c. Mendeskripsikan rencana keperawatan atau intervensi pada pasien dengan HIV
AIDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan
Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan
tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi
kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih,
definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria
laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).
Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan pada
daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau
penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang tercakup dalam definisi kasus
untuk AIDS. Kriteria untuk definisi kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori
klinis, simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer getah
bening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau
bronkitis, pneumonitis, esofagitis
11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,
diseminata atau ektra paru
18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau ekstraparu
19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi,
diseminata atau ekstraparu
20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
21) Pneumonia, rekuren
22) Leukoensefalopati multifokus progresif
23) Septikemia salmonela, rekuren
24) Toksoplasmosis otak
25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV
2. Penyebab
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing,
virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia
infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi
berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi
dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis
dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh
selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut
mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua
sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan
integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV mengandung
beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr
dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan partikel virus yang infeksius.
(Robbins dkk, 2011)
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara
penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsusng,
air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis,
dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk
ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ). Selama
berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan
mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan
seksual
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan,
hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan
sosial yang lain.
3. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun.
Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara
virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap
menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami
infeksi oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster
selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian
virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut.
Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel CD4+ akan
tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan sel CD4+
dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati periode yang
panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang, jumlah sel CD4+
mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin
meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala
konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan
onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset
fase “krisis”.
Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu
yang sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah,
penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500
sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami
infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi
neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS), dan pasien yang
bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika
kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang
digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan
jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.
4. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis
Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas
dan pada dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan
infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek langsung
HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi pada manifestasi klinis dan
akibat infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik
seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling sering
ditemukan pada penderita AIDS adalah Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang
merupakan penyakit
oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan AIDS.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode waktu
antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan tanda-
tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk non produktif,
nafas pendek, dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam
darah arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami
penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia minimal. Bila
tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan
dan pada akhirnya, kegagalan pernafasan.
b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera makan,
mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS,
diare dapat membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya penurunan
berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan keseimbnagan cairan
dan elektrolit, ekskoriasis kulit perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk
melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang paling
sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh
darah dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit
yang lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat
hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi
Kutaneus yang dapat timbul pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah mudah
kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan dikelilingi oleh
ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.
Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena, limfadema
serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan meninggalkan
ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadap
infeksi.
Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi diantara
pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung
berkembang diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak,
sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.
d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv ditemukan
dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal pasien-pasien
ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-
sel CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini akan memicu
toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi seluler atau yang mengganggu
atau yang mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakan
seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan progresif
pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda dan gejalanya yang samar-
samar serta sulit dibedakan dan kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan
terhadap infeksi dan malignansi.
e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta malignansi
yang mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster dan harpes simpleks
akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit.
Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan
plak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS
juga dapat memperlihatkan folokulasi menyeluruh yang disertai dengan kulit yang
kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti ekzema
atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia pneumocytis
carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berua preuritus yang
disertai pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas dari
penyebab ruam ini pasien akan mengalami ganggua rasa nyaman dan menghadapi
peningkatan resiko untuk menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan
kulit.
5. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi beberapa
cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV
serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat antivirus, dan
penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting karena efek
infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek
tersebut mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMPSMZ
(Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada pasien-
pasien dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan
apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat mengalami efekyang
merugikan dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam,
leukopenia,
trombositopenia dengan ganggua fungsi renal.
Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif untuk
melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak
memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas
kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.
Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi
merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang
mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang
mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua keadaan
ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah
serangan kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat
infus dan nyeri punggung bawah.
Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi
ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk
pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi.
Infeksi kronis yang membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati
dengan Ketokonazol atau flukonazol.
d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan
dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi
mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif
tampaknya berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).
e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus
HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler yang digunakan virus
tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru. Dengan
mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi virus yang baru akan
dihambat.
f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu enzim
yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi
protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan
aktivitas enzim reserve transcriptase.
g. Perawatan pendukung
Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan
atau malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual, Vomitus dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan
imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini
mencangkup tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.
Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi,
sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien dengan
ganggguan fungsi pernafasan yang berat pernafasan yang berat dapat membutuhkan
tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati
perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi dengan preparat analgetik yang diberikan
secara teratur selama 24 jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi psikologi
dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
kecemasan pada sebagian pasien.
h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV
AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun,
meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang
hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak
stadium dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang.
Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
absorbsi szat gizi.
Untuk mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberikan
makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air.
Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang
dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog
yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengantujuan untuk
mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan
lainnya kepada ODHA, keluarga, dan lingkungannya (Nursalam, 2011).
Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi
kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko
penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku,
sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam
masyarakat (Nursalam, 2011)
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV AIDS
Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar bagi
perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun kanker.
Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan
etika. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth, 2013).
b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui keluhan
utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu,
demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan
berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis
lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur
Candida Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh, munculnya
Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
c. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang cukup
drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
d. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan :Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan
meningkat
n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral dingin.
Tabel 2.1 Diagnosa dan Intervensi Pada Pasien dengan HIV AIDS
No Diagnosa Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
Batasan
Karakteristik :
1) Suara nafas 2) Monitor status respirasi dan
tambahan kardioloogi (misalnya, denyut
2) Perubahan dan suara irama nadi, suara dan
frekuensi kedalaman nafas
nafasan 3) Monitor jumlah dan
3) Perubahan karakteristik sputum
iraman nafas 4) Instruksikan pasien untuk
4) Penurunan mengeluarkan nafas dengan
bunyi nafas teknik nafas dalam
5) Sputum dalam
jumlah
berlebihan Terapi Oksigen
6) Batuk tidak
efektif 1) Bersihkan mulut, hidung dan
sekresi trakea dengan tepat
2) Siapkan peralatan oksigen dan
berikan melalui sistem
hemodifier
3) Monitor aliran oksigen
4) Monitor efektifitas terapi
oksigen
5) Pastikan penggantian masker
oksigen/ kanul nasal setiap
kali pernagkat diganti
Monitor Pernafasan
Monitor Pernafasan :
1) Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan
bernafas
2) Catat pergerakan dada, catat
ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu nafas
3) Palpasi kesimetrisan ekstensi
paru
4) Auskultasi suara nafas, catat
area dimana terjadinya
penurunan atau tidak adanya
ventilasi dan keberadaan suara
nafas tambahan
5) Auskultasi suara nafas setelah
tindakan untuk dicatat
6) Monitor sekresi pernafasan
pasien
7) Berikan bantuan terapi nafas
jika diperlukan (misalnya
nebulizer)
1) Proses Infeksi
Pemasangan Infus
1) Asuhan makanan
secara oral sebagian
besar adekuat
2) Asupan cairan
intravena
sepenuhnyaa kuat
3) Asupan nutrisi
parenteral
sepenuhnya kuat
Faktor yang
berhubungan :
1) Perubahan
pigmentasi
2) Perubahan
turgor kulit
3) Faaktor
perkembangan
4) Kondisi
ketidak
seimbangan
nutrisi (
obesitas,
emasiasi/ kurus
kerempeng)
5) Gangguan
sirkulasi
6) Gangguan
kondisi
metabolik
7) Faktro
imunologi
8) Medikasi
9) Faktor
psikogenik
10) Tonjolan
tulang
8. Harga diri rendah Setelah dilakukan Peningkatan citra tubuh
situasional tindakan keperawatan 1) Tentukan harapan citra diri
diharapkan terjadi pasien didasarkan pada tahap
peningkatan harga diri perkembangan
Definisi : dengan kriteria hasil : 2) Tentukan perubahan fisik saat
ini apakah berkontribusi pada
perkembangan 1) Verbalisasi cita diri pasien
presepsi penerimaan diri 3) Bantu pasien untuk
2) Penerimaan terhadap mendiskusikan perubahan
negatif keterbatasan diri perubahan (bagian tubuh)
tentang harga diri 3) Mempertahankan disebabkan adanya penyakit
posisi tegak dengan cara yang tepat
sebagai respon 4) Mempertahankan 4) Monitor frekuensi dari
kontak mata pernyataan mengkritisi diri
terhadap
5) Komunikasi terbuka 5) Monitor pernyataan yang
situasi saat mengidentifikasi citra tubuh
mengenai ukuran dan berat
ini (sebutkan)
badan
Batasan
Karakteristik :
1) Evaluasi diri
bahwa individu Peningkatan koping :
tidak mampu
menghadapi 1) Gunakan pendekatan yang
peristiwa tenang dan memberikan
2) Evaluasi diri jaminan
bahwa individu 2) Berikan suasana penerimaan
tidak mampu 3) Sediakan informasi aktual
menghadapi mengenai diagnosis,
situasi penanganan dan prognosis
3) Perilaku
bimbang Peningkatan harga diri :
4) Perilaku tidak
asertif 1) Monitor penerimaan pasien
5) Secara verbal mengenai harga diri
melaporkan 2) Jangan mengkritisi pasien
tentang secara negatif
situasional saat
ini terhadap
harga diri
6) Ekspresi
ketidakberdaya
an
7) Ekspresi
ketidak
bergunaan
8) Verbalisasi
meniadakan
diri
Faktor
Berhubungan :
1) Perilaku tidak
selaras dengan
nilai
2) Perubahan
perkembangan
3) Gangguan
citra tubuh
4) Kegagalan
5) Gangguan
fungsional
6) Kurang
penghargaan
7) Kehilangan
penghargaan
8) Kehilangan
9) Penilakan
10) Perubahan
peran sosial
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hasil pengkajian di dapatkan data pasien HIV AIDS mengeluh mengalami diare,
nafsu makan menurun, berat badan berkurang, sariawan di mulut, bibir kering, terdapat
nyeri dan adanya gatal- gatal pada kulit.
2. Masalah keperawatan yang di dapatkan antara lain kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, diare berhubungan dengan proses infeksi, ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, nyeri
akut berhubungan dengan agen cidera biologis, harga diri rendah situasionalberhubungan
dengan gangguan citra tubuh, resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor
imunologis, ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan.
3. Rencana keperawatan yang disusun tergantung kepada masalah keperawatan yang
ditemukan masing masing pasien rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien
HIV AIDS rencana tindakan yang pada pasien HIV AIDS antara lain, menajemen cairan,
monitor cairan, menajemen saluran cerna, menajemen diare, monitor elektrolit, menajemen
nutrisi monitor nutrisi ,terapi nutrisi, pemberian nutrisi total parenteral, pemberian analgesik
menajemen nyeri, monitor tanda- tanda vital, peningkatan citra tubuh, peningkatan koping,
peningkatan harga diri, pengecekan kulit, pemberian obat, bimbingan antisipatif, pengurangan
kecemasan.
4. Pada tahap pelaksanaan keperawatan tindakan yang dilakukan pada pasien HIV
AIDS antara lain mencatat Intake dan Output pasien, menilai status hidrasi dan mukosa
bibir, denyut nadi, dan tekanan darah, mengukur TTV, pemberian cairan infus,
memeriksa turgor kulit, memonitor kadar albumin, melakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif, memberi obat analgesik, mengajarkan teknik non farmakologi seperti teknik
relaksasi, menganjurkan pasien istirahat dan tidur, memonitor buang air besar, memonitor
bising usus, memonitor adanya mual muntah, berikan infus, menentukan status gizi, mengkaji
riwayat alergi, monitor kalori dan asupan makanan, memonitor diet dan asupan kalori,
mengidentifikasi penurunan nafsu makan, menilai hasil laboratorium.
5. Hasil evaluasi yang dilakukan selam 5 hari pada pasien terdapat masalah
keperawatan yang dapat teratasi dengan kriteria hasil BAB normal, terdapat
penerimaan terhadap keadaan diri, ungkapan rasa cemas tidak ada lagi.
B. Saran
1. Bagi lahan/Rumah sakit
Melalui pimpinan agar di lakukannya pelatihan tentang pengkajian asuhan
keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Studi kasus yang peneliti lakukan pada pasien AIDS hendaknya dilanjutkan sebagai
pembanding untuk penelitian dalam asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah
HIV AIDS
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan bagi
mahasiswa keperawatan untuk pengembangan pembelajaran studi kasus berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arriza, Beta Kurnia., dkk. (2011). Memahami Rekonstruksi Kebahagiaan Pada Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Psikologi Undip.
http://download.portalgaruda.org/article. (Diakses pada tanggal 13 Januari 2017)
Bararah dan Jauhar.M, 2103. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional Jilid 2. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Desima,Dkk. (2013). Karakteristik Penderita HIV/AIDS Di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige
Tahun 2008-2012. http://download.portalgaruda.org/article. (Diakses pada tanggal 12 Januari
2017)
Dinas Kesehatan Kota Padang. (2015). Profil Kesehatan Kota Padang Tahun 2014.
https://dinkeskotapadang1.files.wordpress.com/2015/07/profil-tahun-2014-edisi2015.pdf
(Diakses Pada Tanggal 11 Januari 2017).
Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI, (2016). Laporan Perkembangan HIV AIDS triwulan 1
Tahun 2016. Jakarta. http://www.yaids.com/materi/M-5780-
Final%20Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%201%202016.pdf . (Diakses pada tanggal
12 Januari 2017)
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Sekretaris Jenderal
Mardalis. (2010). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara
Nurasalam. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV AIDS, Jakarta : Salemba
Medika
Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika
Perry,A.G., & Potter, P.A. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan :Konsep proses, dan
praktik (Ed ke-4) (renata,K, dkk, Penerjemah)
Saryono dan Anggraeni, M.D.,(2013). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam
Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuhu Medika
Smeltzer dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.3. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. (2015). Medical Surgical Neursing (Vol 1). : LWW
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Susilowati,Susi. (2013). Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian HIV dan
AIDS di Semarang dan Sekitarnya.
Sylvia dan Wilson.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol 1 (6rd ed).
Jakarta: EGC