Anda di halaman 1dari 34

2018

POLITEKNIK NEGERI
MALANG
JURUSAN TEKNIK SIPIL
PURNAMA DEWI, ST., MT

TEORI PLAT DAN BALOK T


 ANALISA DAN DESIGN PLAT LANTAI
 ANALISA DAN DESIGN BALOK T

BAB IV
SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA
1
ANALISA DAN PERENCANAAN
PELAT BETON BERTULANG

I. DEFINISI DAN KONSEP PELAT BETON BERTULANG


1.1 LATAR BELAKANG
Pelat lantai merupakan salah satu komponen struktur konstruksi pada suatu bangunan,
baik itu gedung perkantoran maupun rumah tinggal biasa dan juga menjadi struktur
konstruksi pada jembatan. Umumnya, pelat lantai dibangun dengan konstruksi beton
bertulang sebagai dasar utamanya.
Pelat lantai adalah struktur yang pertama kali menerima beban, baik itu beban mati
maupun beban hidup yang kemudian menyalurkannya ke sistem struktur rangka yang
lain. Pelat lantai berdasarkan sistem konstruksi materialnya dapat dibedakan menjadi
bermacam-macam jenis, antara lain pelat lantai kayu, pelat lantai beton, pelat lantai
baja dan pelat lantai yumen.

1.2 PENGERTIAN PELAT LANTAI


Pelat lantai adalah lantai yang tidak terletak dipermukaan tanah, atau bisa disebut
lantai tingkat. Pekerjaan pelat lantai ini haruslah kokoh, kaku, mempunyai ketinggian
yang sama dan nyaman untuk berpijak. Ketebalan pelat lantai ini disesuaikan dengan
beberapa hal, diantaranya:
1. Beban yang akan ditumpu
2. Jarak antar balok penumpu
3. Bahan yang digunakan
4. Besar lendutan yang diijinkan.

1.3 FUNGSI PELAT LANTAI


Pelat lantai, yang meskipun terbuat dari berbagai macam jenis bahan, mempunyai
fungsi yang sama, yaitu:
1. Memisahkan lantai bawah dan lantai yang diatasnya
2. Tempat berpijak di lantai atas
3. Peredam suara dari lantai bawah ke lantai atas maupun sebaliknya
4. Sebagai tempat untuk penempatan kabel listrik dan lampu di lantai bawah
5. Menambah kekakuan bangunan pada arah horizontal.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


2
1.4 JENIS-JENIS PELAT LANTAI
Berdasarkan material bahannya, terdapat bermacam-macam jenis pelat lantai.
Macam-macam pelat lantai tersebut yaitu:
1. Pelat Lantai Kayu
Pelat lantai kayu ini terbuat dari bahan kayu, yang dirangkai dan disatukan menjadi
satu kesatuan yang kuat, sehingga terbentuklah bidang injak yang luas.

2. Pelat Lantai Beton


Pelat lantai beton ini umumnya bertulang dan dicor ditempat bersama dengan balok
penumpu dan kolom pendukungnya. Pelat lantai ini dipasang tulangan baja pada
kedua arahnya, dan tulangan silang untuk menahan momen tarik dan juga lenturan.

3. Pelat Lantai Baja

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


3
Konstruksi pelat lantai baja ini biasanya digunakan pada bangunan yang
komponen-komponen strukturnya sebagian besar terdiri dari material baja.
Pada tahap ini pelat lantai baja digunakan pada bangunan semi permanen seperti
bangunan untuk bengkel, bangunan gudang, dan lain-lain.

4. Pelat Lantai Yumen


Merupakan kependekan dari pelat lantai kayu semen (yumen).
Pelat lantai ini terbuat dari potongan kayu kecil yang dicampur dengan semen dan
dibuat dengan ukuran 90 x 80 cm.
Pelat lantai ini termasuk pelat lantai yang masih barU dan masih jarang digunakan.

1.5 TIPE-TIPE PELAT

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


4
Pelat adalah elemen bidang tipis yang menahan beban-beban transversal melalui aksi
lentur ke masing-masing tumpuan. Adapun tipe-tipe pelat yang dikenal adalah :
 Sistem lantai flat slab
 Sistem lantai grid
 Sistem lajur balok
 Sistem pelat dan balok

1.5.1 SISTEM LANTAI FLAT SLAB


Pelat beton bertulang yang langsung ditumpu oleh kolom-kolom tanpa balok-
balok, disebut sistem flat slab. Sistem ini digunakan bila bentangan tidak besar dan
intensitas beban tidak terlalu berat, misalnya pada bangunan apartemen atau hotel.
Seringkali, bagian-bagian kritis pelat di sekitar kolom penumpu perlu dipertebal
untuk memperkuat pelat terhadap gaya geser, pons, dan lentur. Bagian penebalannya
disebut drop panel. Penebalan yang membentuk kepala kolom disebut column capital.
Flat slab yang memiliki ketebalan merata, yaitu tanpa adanya drop panel ataupun
kepala kolom, disebut flat pelate.
Sistem flat slab tanpa balok memungkinkan ketinggian struktur yang minimum,
fleksibilitas pemasangan saluran AC dan alat-alat penerangan. Dengan ketinggian
antar lantai minimum, tinggi kolom-kolom dan pemakaian partisi relatif berkurang.
Untuk bangunan perumahan, pelat tersebut juga dapat berfungsi sebagai langit-langit.
Jika bangunan yang memakai sistem lantai flat slab mengalami pembebanan
horizontal, bagian pertemuan kolom-slab dipaksa untuk menahan momen lentur yang
cukup besar, sehingga titik tersebut dapat merupakan sumber kelemahan struktur. Ada
tidaknya kepala kolom atau drop panel pada bagian atas kolom dapat menentukan
pembatasan bentangannya. Tebal lantai flat slab umumnya berkisar antara 125 hingga
250 mm untuk bentangan 4,5 hingga 7,5 m. Sistem flat slab terutama banyak
digunakan pada bangunan rendah yang beresiko rendah terhadap beban angina dan
gempa.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


5
Gambar 4.1. Sistem lantai : (a). Flat pelate
(b). Flat slab

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


6
1.5.2 SISTEM LANTAI GRID
Sistem lantai grid dua arah (waffle system) memiliki balok-balok yang saling
bersilangan, dengan jarak yang relatif rapat, menumpu pelat atas yang tipis. Sistem
ini dimaksudkan untuk mengurangi berat sendiri pelat, dan dapat didesain sebagai
flat slab atau pelat dua arah, tergantung bentuk konfigurasinya. Sistem ini dinilai
efisien untuk bentangan antara 9 hingga 12 meter.

Gambar 4.2. Sistem lantai grid.

1.5.3 SISTEM LAJUR BALOK


Sistem ini serupa dengan sistem balok-pelat, tetapi menggunakan balok-balok
dangkal yang lebih lebar. Sistem ini semakin banyak diterapkan pada bangunan
yang mementingkan tinggi antar lantai. Balok lajur (band beam) tidak perlu
dihubungkan dengan kolom interior atau kolom eksterior. Pelat diantara balok lajur
dapat didesain sebagai elemen yang memiliki momen inersia bervariasi dengan
memperhitungkan penebalan balok. Alternatif lain adalah dengan menempatkan
balok-balok anak membentang diantara balok-balok lajur, sehingga sistem ini
menghemat pemakaian cetakan.

Gambar 4.3. Sistem lajur balok

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


7
1.5.4 SISTEM PELAT DAN BALOK
Sistem ini terdiri dari slab menerus yang ditumpu balok-balok monolit yang
umumnya ditempatkan pada jarak sumbu 3 hingga 6 meter. Tebal pelat tersebut
ditetapkan berdasarkan pertimbangan struktur yang biasanya mencakup aspek
keamanan terhadap bahaya kebakaran. Sistem ini banyak dipakai. Aplikasi atau
ketinggian baloknya sering dibatasi oleh jarak langit-langit yang tersedia. Sistem ini
bersifat kokoh (heavy duty), dan sering digunakan untuk menunjang sistem lantai
yang tak beraturan, misalnya lantai dasar atau suatu ruang terbuka yang umumnya
menerima beban yang besar akibat adanya taman-taman di atasnya ataupun fungsi-
fungsi Arsitektur lainnya.

Gambar 4.4. Sistem lantai pelat dan balok

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


8
II. LENTUR MURNI PELAT BETON BERTULANG
2.1 TUMPUAN PELAT
Untuk bangunan gedung, umumnya pelat tersebut ditumpu oleh balok-balok dengan
berbagai sistem sebagai berikut:
1. Monolit, yaitu pelat dan balok dicor bersama-sama sehingga menjadi satu
kesatuan.
2. Ditumpu dinding-dinding/tembok bangunan.
3. Didukung oleh balok-balok baja dengan sistem komposit.
4. Didukung oleh kolom secara langsung tanpa balok, dikenal dengan pelat
cendawan.

2.2 PERSYARATAN TUMPUAN PELAT


Disamping pembebanan, ukuran dan persyaratan tumpuan tepi pelat juga perlu
dipertimbangkan. Beberapa kondisi tumpuan yang dipertimbangkan:
1. Ditumpu Bebas
Pelat dapat berotasi bebas pada tumpuan, contohnya pelat yang ditumpu oleh
tembok bata.
2. Terjepit Penuh
Tumpuan mencegah pelat untuk berotasi dan relatif sangat kaku terhadap momen
puntir, contohnya pelat yang monolit (menyatu) dengan balok yang tebal.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


9
3. Terjepit Sebagian (Jepit Elastis)
Tumpuan tidak cukup kuat untuk mencegah rotasi, contohnya pelat yang monolit
dengan balok tetapi balok tidak begitu tebl sehingga tidak cukup kaku dan tidak
cukup kuat mencegah rotasi.
Selain jepit penuh dan jepit sebagian, juga sering ditemukan ”jepit tak terduga”,
contohnya pelat tertanam sepanjang sisinya dalam tembok. Pada sisi pelat yang
tertanam akan timbul momen jepit (momen tak terduga).

sebelum setelah
dibebani dibebani

Kondisi Ditumpu bebas

sebelum setelah
dibebani dibebani

Kondisi Terjepit Penuh

sebelum setelah
dibebani dibebani

Kondisi Terjepit Sebagian (Jepit Elastis)

Kondisi Terjepit Tak Terduga

Gambar 4.1 Kondisi tumpuan

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


10
2.3 PANJANG BENTANG TEORITIS PELAT
 Bila Lebar Balok Perletakan Kurang Dari Atau Sama Dengan Dua Kali Tebal
Pelat (b ≤ 2h), maka panjang bentang teoritis dianggap sama dengan jarak antara
pusat ke pusat balok (Gambar a).
 Bila Lebar Balok Perletakan Lebih Dari Atau Sama Dengan Dua Kali Tebal Pelat
(b > 2h), maka panjang bentang teoritis dianggap (l = L + 100) (Gambar b).

b L b b L b
l = L+b l=L+100
(a) (b)

 Bila (L+h) Lebih Besar Dari Jarak Pusat Ke Pusat Tumpuan, maka panjang
bentang teoritis boleh diambil jarak pusat ke pusat tersebut.
(l = L + 2 x ½ b = L + b).

b L b L b
l=L+b l=L+b

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


11
III. PELAT SATU ARAH
3.1 PENGERTIAN UMUM
Pelat satu arah adalah Pelat bertulang yang mempunyai angka perbandingan antara
bentang yang panjang dengan bentang yang pendek lebih besar daripada 2.
Pada Pelat satu arah, momen yang diperhitungkan dalam satu arah.
𝐋𝐲
>𝟐
𝐋𝐱

Ly : Bentang yang Lebih Panjang


Lx : Bentang yang Pendek

Gambar 4.5. Pelat satu arah

Pada gambar 4.5. diperlihatkan suatu pelat yang ditumpu sederhana oleh
balok pada sisi-sisi panjang yang saling berseberangan. Bila beban merata bekerja
pada bidang atas pelat, bentuk defleksinya ditunjukkan dengan garis putus-putus.
Kelengkungan, demikian juga momen lentur, akan terdistribusi menurut lajur
pendek s yang membentang diantara sisi-sisi yang tertumpu. Pada sisi panjang l
yang sejajar dengan sisi tumpuan, yang tidak ada kelengkungan, tidak ada momen
lentur. Bentuk permukaan akibat pembebanan adalah seperti silinder.
Di dalam desain ataupun analisis, satu satuan lajur pelat yang
membentang diantara kedua tumpuan dapat dianggap sebagai suatu balok dengan
lebar satu satuan dan tinggi h sesuai dengan tebal pelat. Analisisnya seperti analisis
pada balok. Pembebanan disesuaikan menjadi beban per satuan panjang dari lajur
pelat, dengan demikian momen yang timbul merupakan gaya per lebar satuan pelat.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


12
Dari kelengkungan dan momen tipikal dengan sistem balok, dapat ditentukan
bahwa pemasangan tulangan lentur akan membentang dari kedua tumpuannya.
Sedangkan pemasangan tulangan yang tegak lurus terhadap tulangan lentur
diperuntukkan guna mengatasi efek susut beton. Dalam hal ini pelat satu arah dapat
dipandang sebagai sederetan balok-balok dengan lebar satu satuan.

As
Rasio baja tulangan :  
b.h

dengan : As = luas tulangan yang terpasang pada lebar satuan pelat


b = lebar satu satuan lajur pelat
h = tebal pelat

Pelat satu arah umumnya didesain dengan rasio tulangan tarik jauh di
bawah rasio maksimum yang diijinkan yaitu 0,75.ρb . Ini terutama untuk
pertimbangan ekonomis, hemat pemakaian baja tulangan, namun tinggi penampang
optimal, karena penampang yang tipis walaupun tulangannya banyak dapat
menimbulkan defleksi berlebihan. Dengan demikian, desain untuk lentur diambil
rasio tulangan yang rendah, misalnya 0,3.ρb .

3.2 DISTRIBUSI GAYA-GAYA DALAM PELAT SATU ARAH


Distribusi gaya-gaya dalam pelat dapat dianggap sebagai gelegar di atas
beberapa tumpuan. Besarnya gaya-gaya dapat ditentukan dengan metode mekanika
teknik yang telah baku. SNI 03-2847-2002 Pasal 15.6 mengijinkan menentukan
distribusi gaya-gaya menggunakan cara Perencanaan Langsung yaitu menggunakan
koefisien momen jika memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Panel pelat harus berbentuk persegi dengan perbandingan bentang panjang
terhadap bentang pendek tidak lebih dari dua.
b. Minimum harus ada tiga bentang menerus dalam masing-masing arah.
c. Panjang bentang bersebelahan, diukur antara sumbu ke sumbu tumpuan, tidak
boleh berbeda lebih dari sepertiga bentang terpanjang.
d. Beban yang diperhitungkan hanya beban gravitasi dan terbagi rata; beban hidup
tidak boleh melebihi 2 kali beban mati.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


13
e. Posisi kolom boleh menyimpang maksimum 10% panjang bentang (dalam arah
penyimpangan)

f. Kekakuan relatif balok dalam dua arah tegak lurus ( 0,2  12 /  21  5,0 )
2 2

Contoh penggunaan koefisien untuk berbagai kondisi dalam menghitung distribusi


momen. Besar momen adalah koefisien dikalikan dengan Wu λ 2n .
Keterangan :

1/16 1/9 1/16


1/14 1/14

1/24 1/9 1/24


1/11 1/11

1/16 1/10 1/10 1/16

1/14 1/16 1/14

1/24 1/10 1/10 1/24

1/11 1/16 1/11

1/16 1/10 1/11 1/10 1/16

1/14 1/16 1/16 1/14

1/24 1/10 1/11 1/10 1/24

1/11 1/16 1/16 1/11

1/16 1/10 1/11 1/11 1/10 1/16

1/14 1/16 1/16 1/16 1/14

1/24 1/10 1/11 1/11 1/10 1/24

1/11 1/16 1/16 1/16 1/11

Keterangan :
Tumpuan ujung tetap

Tumpuan ujung sederhana

Menerus diatas
tumpuan
SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA
14
3.3 TEBAL MINIMUM DAN RASIO PENULANGAN PELAT LANTAI
Tebal minimum pelat lantai beton bertulang satu arah sebagaimana tercantum dalam
SNI 03 – 2847 – 2002 sebagai berikut :

Komponen struktur pelat satu arah Tebal minimum, h


Dua tumpuan sederhana λ/20
Satu ujung menerus λ/24
Kedua ujung menerus λ/28
Kantilever λ/10
Tabel 4.1. Tebal minimum pelat

Beton menyusut ketika adukan semennya mengeras. Susut ini dapat


diperkecil dengan memakai beton berkadar air rendah, namun tetap memperhatikan
workability, kekuatan beton yang diinginkan, dan proses pembasahan setelah beton
dicor. Susut pasti akan terjadi, hanya intensitasnya berbeda. Bila beton tersebut tidak
mengalami kontraksi susut secara bebas, akan timbul tegangan yang disebut
tegangan susut (shrinkage stress). Perbedaan suhu relatif terhadap suhu waktu
pengecoran juga dapat menimbulkan efek yang serupa dengan penyusutan.
Tegangan susut dapat menimbulkan retak. Bila pelat tersebut diberi tulangan, retak
dapat diperkecil, disebut retak rambut (hairline crack). SNI menetapkan jumlah
tulangan susut minimum sebagai berikut :

ρmin
Pelat yang menggunakan tulangan ulir mutu 300 0,0020

Pelat yang menggunakan tulangan ulir atau jaringan 0,0018


kawat las (polos atau ulir) mutu 400

Pelat yang menggunakan tulangan dengan tegangan leleh 400


0,0018 x
melebihi 400 MPa yang diukur pada regangan leleh fy

sebesar 0,35%
Tabel 4.2. Rasio minimum tulangan susut dan temperatur untuk pelat

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


15
Pada pelat satu arah, tulangan yang dipasang untuk menahan momen juga
berguna untuk menahan dan mendistribusikan retak akibat susut dan perbedaan
suhu. Karena kontraksi beton terjadi ke semua arah, harus dipasang tulangan khusus
untuk kontraksi susut dan perbedaan suhu yang tegak lurus terhadap tulangan
momen.
Tulangan khusus ini disebut tulangan susut atau temperatur, dan lebih dikenal
dengan nama Tulangan Pembagi. Peraturan Menetapkan Bahwa Tulangan Pembagi
Harus Dipasang Pada Pelat Struktur Bila Tulangan Utamanya Membentang Dalam
Satu Arah. Meskipun demikian, Jarak Tulangan Yang Terpasang Masih Tidak
Boleh Lebih Dari 5 Kali Tebal Pelat Ataupun Lebih Dari 200 mm.

3.4 PERENCANAAN PELAT


Langkah Perhitungan pada Perencanaan Plat Satu Arah adalah sebagai berikut :

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


16
IV. PELAT DUA ARAH
4.1 PENGERTIAN UMUM
Pelat dua arah adalah Pelat bertulang yang mempunyai angka perbandingan antara
bentang yang panjang dengan bentang yang pendek kurang dari 2.
Pada Pelat Dua arah, momen yang diperhitungkan dalam Dua Arah.

𝐋𝐲
≤𝟐
𝐋𝐱

Ly : Bentang yang Lebih Panjang


Lx : Bentang yang Pendek

Gambar 4.6. Pelat dua arah

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


17
4.2 TEBAL MINIMUM PELAT LANTAI
SNI 03-2847-2002 pasal 11.5 ayat (3) Mensyaratkan Tebal Pelat Minimum
Dengan Balok Yang Menghubungkan Tumpuan Pada Semua Sisinya (Pelat Dengan
Penulangan Dua Arah) harus memenuhi ketentuan berikut:
1. untuk m ≤ 0,2, tebal pelat minimum harus memenuhi syarat seperti Tabel di
bawah (syarat untuk pelat tanpa balok interior yang menghubungkan tumpuan-
tumpuannya dan rasio bentang panjang terhadap bentang pendek tidak lebih dari
dua)

Tanpa penebalan Dengan penebalan


Panel luar Panel Panel luar Panel
Tegangan
dalam dalam
leleh, fy
Tanpa Dengan Tanpa balok Dengan
(Mpa)
balok balok pinggir balok
pinggir pinggir pinggir
300 m/33 m/36 m/36 m/36 m/40 m/40
400 m/30 m/33 m/33 m/33 m/36 m/36
500 m/28 m/31 m/31 m/31 m/34 m/34
m adalah bentang bersih pelat (jarak tepi ke tepi balok / tumpuan)
dan nilai di atas tidak boleh kurang dari nilai berikut :
- pelat tanpa penebalan : 120 mm
- pelat dengan penebalan : 100 mm

2. untuk 0,2 < m ≤ 0,2, tebal pelat minimum harus memenuhi


 f 
λ n  0,8  y 
h  1500 
dan tidak boleh kurang dari 120 mm
36  5 (a m  0,2)

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


18
3. untuk m > 0,2, tebal pelat minimum adalah
 f 
λ n  0,8  y 
h 
1500 
dan tidak boleh kurang dari 90 mm
36  9

SNI 03-2847-2002 pasal 11.5 ayat (2) mensyaratkan tebal pelat minimum dengan
penulangan satu arah (bila lendutan tidak dihitung) harus memenuhi ketentuan
berikut:
Komponen Dua Satu Kedua Kantilever
struktur Tumpuan Ujung Ujung
Sederhana Menerus Menerus
Pelat masif satu
m/20 m/24 m/28 m/10
arah
Balok atau
pelat rusuk m/16 m/18,5 m/21 m/8
satu arah

4.3 PERENCANAAN PELAT


Ada empat metode dasar untuk menganalisis pelat dua arah, yaitu :
a) Metode koefisien momen
b) Metode desain langsung (direct design method)
c) Metode portal ekivalen (equivalent frame method)
d) Metode garis leleh (yield line method)

Yang perlu diperhatikan, metode-metode tersebut diterapkan untuk beban


gravitasi. Untuk beban lateral harus dilakukan analisis rangka tanpa pengaku dengan
memperhitungkan pengaruh retak dan tulangan pada kekakuan komponen struktur
rangka. Hasil analisis beban gravitasi tersebut dikombinasikan dengan hasil analisis
beban lateral.
Dalam tulisan ini hanya akan dibahas analisis pelat dua arah dengan METODE
KOEFISIEN MOMEN, tiga metode yang lain dibahas pada materi kuliah Pelat dan
Rangka Beton.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


19
METODE KOEFISIEN MOMEN
Dalam PBI-’71 diberikan tabel koefisien momen lentur yang
memungkinkan penentuan nilai momen-momen dari masing-masing arah. Setiap
panel pelat dianalisis tersendiri, berdasarkan kondisi tumpuan bagian tepinya.
Tepi-tepi ini dapat dianggap terletak bebas, terjepit penuh, atau terjepit elastis.
Jepitan penuh terjadi bila penampang pelat di atas tumpuan tersebut tidak dapat
berputar sudut akibat pembebanan pada pelat. Hal ini terjadi, misalnya apabila
bagian tepi pelat menjadi satu kesatuan monolit dengan balok pemikul yang relatif
sangat kaku, atau apabila penampang pelat di atas tumpuan itu merupakan bidang
simetri terhadap pembebanan dan terhadap dimensi pelat.
Jepitan elastis terjadi bila bagian pelat tersebut menjadi satu kesatuan monolit
dengan balok yang relatif tidak terlalu kaku dan sesuai dengan kekakuannya
memungkinkan pelat tersebut untuk berputar sudut pada tumpuannya. Sedangkan
tepi-tepi pelat yang menumpu atau tertanam di dalam tembok bata, harus dianggap
sebagai tepi yang terletak bebas.

Ada sembilan set koefisien momen yang sesuai untuk sembilan kondisi
pelat seperti diperlihatkan oleh gambar berikut :

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


20
Gambar 4.7. Jenis kekangan tepi pelat

Bila balok-balok tepi dianggap mampu memberikan perlawanan terhadap


perubahan bentuk tepi-tepi pelat, maka di dalam perhitungan harus direncanakan
untuk menerima beban puntir pelat.
Dengan mengacu pada gambar 4.8, momen per lebar satuan dalam arah
bentang pendek dan panjang, diberikan menurut rumus :

M = 0,001.q.(Lx)2

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


21
Gambar 4.8. Definisi panel pelat

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


22
Tabel untuk menghitung momen-momen yang bekerja pada pelat, sesuai
dengan PBI-’71 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3. Momen di dalam pelat persegi yang menumpu pada keempat tepinya
akibat beban terbagi rata.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


23
Penulangan Dua Arah Menurut SNI 03-2847-2002

8-100

8-200

8-200
8-125 8-125
8-250

8-250
8-100

8-200

8-200

8-125 8-125
8-250

8-250
8-100

8-200

8-200

8-125 8-125
8-250

8-250
8-100

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


24
V. CONTOH SOAL PELAT BETON BERTULANG
5.1 PLAT SATU ARAH
Dengan memperhatikan syarat-syarat batas, panjang bentang dan distribusi momen,
maka tulangan pelat yang diperlukan dapat dihitung seperti dijelaskan dalam contoh
berikut.

Contoh Soal 1 :
Diketahui pelat lantai ditumpu bebas diatas tembok bata, menahan beban hidup qL =
1,5 kN/m2 dan penutup lantai qD = 0,5 kN/m2. Pelat berada di lingkungan kering.
Mutu beton f’c = 20 MPa dan mutu baja fy = 240 MPa. Tentukan tebal pelat dan
jumlah tulangan yang diperlukan.

b=240 L=3760 b=240

Penyelesaian :
Perhitungan dilakukan per 1 m lebar pias.
Bentang teoritis:
l = L + (2 x ½ b) = 3760 + (2 x ½ x 240) = 4000 mm
Pelat diatas tumpuan sederhana (tumpuan bebas):
Untuk fy = 240 MPa  hmin = 1/27 l
Hmin = 1/27 x 4000 = 148 mm  tebal 150 mm

Beban-beban:
- berat sendiri pelat : 0,15 x 24 = 3,6 kN/m2
- berat penutup lantai : = 0,5 kN/m2
qD = 4,1 kN/m2
qu = 1,2qD + 1,6qL = 1,2 x 4,1 + 1,6 x 2,5 = 8,92 kN/m2

Momen lapangan :
Mu = 1/8 qu l2 = 1/8 x 8,92 x 42 = 17,84 kNm

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


25
Momen tumpuan :
Mu, tak terduga = 1/24 x 8,92 x 42 = 5,95 kNm
Perhitungan tinggi efektif d:

d h

Beton decking 20 mm
 tulangan 10 mm
Tinggi efektif : d = 150 – 20 – (½ x 10) = 125 mm

Penulangan Lapangan
Mu 17,84
Mn    22,30 kNm
 0,80

Mn 22,3 106
Rn    1,427 MPa
bd 2 1000  (125) 2
fy 240
m   14,12
0,85  f'c 0,85  20

1  2 m Rn 

ρ 1 1
m  fy 
 

1  2  14,12 1,427 
ρ 1  1    0,00622

14,12  240 

1,4 1,4
ρ min    0,00583
f y 240

ρ max  0,75b
0,85 f 'c 600
 max  0,75  1
fy (600  f y )

0,85  20 600
 max  0,75  0,85 = 0,03225
240 (600  240)
min <  < max  under-reinforced

As =  b d = 0,00622 x 1000 x 125 = 778 mm2

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


26
Dipasang tulangan 10-100 (Ast = 785 mm2)

Tulangan bagi (tulangan susut dan suhu):


fy = 240 MPa  As = 0,25% . b. h
fy = 400 MPa  As = 0,18% . b. h
Asb = 0,25% x 1000 x 150 = 375 mm2
(dipasang tulangan 8-125)

Penulangan Tumpuan:
Mu 5,95
Mn    7,4375 kNm
 0,80

Mn 7,4375 106
Rn    0,476 MPa
bd 2 1000  (125) 2

1  2 m Rn 

ρ 1 1
m fy 
 

1  214,12  0,476 
ρ 1  1    0,002

14,12  240 

As =  b d = 0,002 x 1000 x 125 = 252 mm2
Dipasang tulangan 8-150 (Ast = 333 mm2)
Dipasang tulangan bagi 8-250

Catatan :
Tulangan momen tak terduga dan tulangan bagi tidak perlu dibandingkan dengan min.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


27
b=240 L = 3760 b=240

8 - 150 8 - 150

10 - 200
10 - 200

1/5 L 1/5 L

Jarak maksimum dan minimum dari tulangan

d
h

Jarak maksimum tulangan utama:


1,5h atau 250 mm (pada momen maksimum)
3h atau 500 mm (momen menurun)

Jarak minimum tulangan utama : 25 mm (disarankan 40 mm)

Jarak maksimum tulangan bagi : 250 mm

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


28
5.2 PLAT DUA ARAH
Diketahui pelat lantai ditumpu bebas pada keempat sisinya (di atas tembok bata).
Pelat lantai menerima beban hidup WL = 6 kN/m2 dan beban mati penutup lantai
(tegel+spesi) WD = 0,8 kN/m2. Pelat berada di lingkungan basah. Mutu beton f’c = 15
MPa dan mutu baja fy = 240 MPa. Rencanakan penulangan pelat tersebut.

Penyelesaian :
Perhitungan dilakukan 1 m lebar pias.
Syarat-syarat batas dan bentang teoritis :
lx = Lx + (2 x ½ b) = 3760 + (2 x ½ x 240) = 4000 mm
ly = Ly + (2 x ½ b) = 6160 + (2 x ½ x 240) = 6400 mm
ly/lx = 6400/4000 = 1,60.
Tebal pelat (hmin) = lx/20 = 4000/20 = 200 mm

Beban-beban :
- berat sendiri pelat : 0,20 x 24 = 4,8 kN/m2
- berat penutup lantai (tegel + spesi) = 0,8 kN/m2
qD = 5,6 kN/m2
qu = 1,2qD + 1,6qL = 1,2(5,6) + 1,6(6,0) = 16,3 kN/m2

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


29
Momen-momen:
Mlx = 0,001 x 16,3 x 42 x 79 = 20,6 kNm
Mly = 0,001 x 16,3 x 42 x 28 = 7,3 kNm
Mtix = ½ Mlx = ½ x 20,6 = 10,3 kNm
Mtiy = ½ Mly = ½ x 7,3 = 3,7 kNm

Perhitungan tinggi efektif d:

ds h

Tebal penutup beton adalah 40 mm


 tulangan arah x 10 mm
 tulangan arah y 10 mm
Tinggi efektif :
dx = 200 – 40 – (1/2 x 10) = 155 mm
dy = 200 – 40 – 10 – (1/2 x 10) = 145 mm

Penulangan lapangan arah x


Mu = Mlx = 20,6 kNm
Mn = Mu/ = 20,6/0,80 = 25,75 kNm
Mn 25,75  106
Rn    1,072 MPa
b d x 1000  (155) 2
2

fy 240
m   18,82
0,85  f'c 0,85  15

1  2 m Rn 

ρ 1 1
m  fy 
 

1  2  18,82 1,072 
ρ 1  1    0,0047

18,82  240 

1,4 1,4
ρ min    0,00583
f y 240

ρ max  0,75b

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


30
0,85 f 'c 600
 max  0,75  1
fy (600  f y )

0,85  15 600
 max  0,75  0,85 = 0,0242
240 (600  240)

 < min  digunakan tulangan minimum


Asly = min b d = 0,00583 x 1000 x 155 = 904 mm2

Penulangan lapangan arah y


 < min  digunakan tulangan minimum
As = min b d = 0,00583 x 1000 x 145 = 846 mm2
Dipasang tulangan 10-90 (Ast = 872 mm2)

Penulangan tumpuan arah x


Mu = Mtix = 10,3 kNm (momen tumpuan = momen jepit tak terduga)
Mn = Mu/ = 10,3/0,80 = 12,875 kNm
Mn 12,875  106
Rn    0,536 MPa
b d x2 1000  (155) 2

fy 240
m   18,82
0,85  f'c 0,85  15

1  2 m Rn 

ρ 1 1
m  fy 
 

1  2  18,82  0,536 
ρ 1  1    0,0023

18,82  240 

Astix =  b d = 0,0023 x 1000 x 155 = 357 mm2
Dipasang tulangan 10-200 (Ast = 392 mm2)

Penulangan tumpuan arah y


Mu = Mtiy = 3,7 kNm
Mn = Mu/ = 3,7/0,80 = 4,625 kNm
Mn 4,625  106
Rn    0,22 MPa
b d x2 1000  (145) 2
fy 240
m   18,82
0,85  f'c 0,85  15

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


31
1  2 m Rn 

ρ 1 1
m  fy 
 

1  2  18,82  0,220 
ρ 1  1    0,000925

18,82  240 

Astiy =  b d = 0,00925 x 1000 x 145 = 134 mm2


Dipasang tulangan 10-300 (Ast = 261 mm2)
Untuk daerah tumpuan dipasang tulangan bagi 8-300 mm.

8-300

1/5 lx
1/5 lx 1/5 lx
10-180
10-180

10-200 10-200

10-170
10-170
8-300

8-300
1/5 lx

8-300

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


32
DAFTAR PUSTAKA

1. Istimawan, D. (1994). Struktur Beton Bertulang (Berdasarkan SK SNI T-15-1991-03,


Departemen Pekerjaan Umum RI). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

2. Nawy, Edward G. (1996). Beton Bertulang (Suatu Pendekatan Dasar). Diterjemahkan oleh :
Bambang, S. PT Eresco, Bandung.

3. SNI 03-2847-2002. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung

4. Wahyudi dan Rahim (1999). Struktur Beton Bertulang (Standar Baru SNI T-15-1991-03).
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

5. Wang dan Salmon (1993). Disain Beton Bertulang. Diterjemahkan oleh Binsar Hariandja,
Jilid 1. Erlangga, Jakarta.

6. Peraturaran Pembebanan Indonesia untuk Gedung, 1983.

7. Wuryuti, S. dan Rahmadiyanto, C. (2001) Teknologi Beton. Kanisius.

8. Anonim. 1991. SKSNI T15-1991-03 tentang Tata Cara Penghitungan Struktur Beton
Untuk Bangunan Gedung. Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum.

9. Bambang Budiono. 2000. Struktur Beton Bertulang I. Bandung : ITB.

10. Gideon Kusuma & W.C. Vis. 1993. Dasar-Dasar Perencanaan Beton Bertulang. Iswandi
Imran. 2001. Struktur Beton I. Bandung : ITB.

11. Nawy, E.G., 1998. Beton Bertulang Suatu Pendekatan Dasar (alih bahasa Bambang
Suryoatmono). Bandung : Refika Aditama.

SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA


33
SBB1 - TEKNIK SIPIL - POLINEMA
34

Anda mungkin juga menyukai