Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan
yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk titik sehingga dapat mengatur
fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu
lintas dan sebagai akses dari perjalanan/pergerakan lalu lintas. Dalam lingkup
perencanaan geometrik jalan tidak termaksut perencanaan tebal perkerasan jalan
walaupun dimensi dari perkerasan merupakan bagian dari perencanaan geometrik
sehingga bagian dari perencanaan jalan seutuhnya.
Yang menjadi dasar perencanaan geometrik jalan adalah sifat gerakan dan
ukuran kendaraan kendaraan sifat mengemudi dan karateristik jalan arus lalu
lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi bahan pertimbangan perencanaan jalan
sehingga dihasilkan bentuk-bentuk dan ukuran yang jelas serta gerakan
kendaraan yang memenuhi tingkat keamanan dan kenyamanan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari perencanaan geometrik jalan adalah untuk mendapatkan
keseragaman dalam merencanakan geometrik jalan antar kota guna menghasilkan
geometrik jalan yang memberikan keamanan dan kenyamanan kepada para
pengguna jalan.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari perencanaan geometrik jalan adalah untuk dapat
merencanakan geometrik jalan yang memberikan kelancaran, keaman dan
kenyamanan bagi pengguna jalan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpula dari laporan perencanaan geometrik jalan raya adalah
sebagai berikut:
1. Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang
dititik beratnya pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi
fungsi dasar dari jalan yaitu pelayanan yang optimal pada arus lalu lintas
2. Yang menjadi dasar perencanaan geometrik jalan adalah sift gerakan dan
ukuran kendaraan, sifat pengemudi dan karateristik arus lali lintas

4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam tugas besar perencanaan
geometrik jalan yaitu diharapkan kedpada para asisten untuk lebih mengontrol
dan memantau para praktikan untuk lebih fokus dalam menyelesaikan laporan
agar laporan sesuai dengan apa yang diharapkan dan dapat selesai sesuai waktu
yang telah diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. STANDAR PERENCANAAN


Dalam merencanakan jalan raya bentuk geometriknya harus ditentukan
sedemikian rupa sehingga jalan raya yang bersangkutan dapat memberikan
pelayanan optimal kepada kegiatan lalu lintas sesuai dengan fungsinya.
Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen PU telah menetapkan peraturan
“Perencanaan Geometrik Jalan Raya No.13/1970”, sehingga semua perencanaan
jalan di Indonesia harus berdasarkan pada peraturan tersebut.
2.1.1 Lalu lintas
Masalah-masalah yang menyangkut lalu lintas meliputi :
 Volume/jumlah lalu lintas.
 Sifat dan komposisi lalu lintas.
 Kecepatan rencana lalu lintas.
2.1.2 Topografi
Topografi merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi jalan raya dan
pada umumnya mempengaruhi alinyemen sebagai standar perencanaan
geometrik, seperti jalan landai, jarak pandangan, penampang melintang, dan
lain-lain.
Untuk melihat klasifikasi medan dan besarnya kelerengan melintang, maka
dapat dilihat tabel berikut ini :
Golongan Medan Lereng Melintang

Datar (D) 0 sampai 9,9 %


Perbukitan (B) 10 sampai 24,9 %
Pegunungan (G) > 25 %
2.2. ALINYEMEN HORIZONTAL
Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus
dengan bidang gambar, dikenal juga dengan sebutan “ Trase Jalan “. Alinyemen
horizontal terdiri dari :
a. Garis lurus (tangen), merupakan bagian jalan lurus.
b. Garis lurus horizontal yang disebut tikungan.
Bentuk-bentuk tikungan :
i. Full Circle (FC),
ii. Spiral – Circle – Spiral (S-C-S),
iii. Spiral – Spiral (SS).
Syarat-syarat pemakaian :
2.2.1 Tikungan Full Circle (FC).
Untuk menggunakan bentuk ini adalah tergantung dari kecepatan rencana,
jika sudah memenuhi yaitu dengan melihat tabel sebagai berikut :
Kecepatan
Rencana 120 100 80 60 40 30
(Km/Jam)
Jari-jari
Lengkung 2000 1500 1100 700 300 180
minimum (m)

Gambar lengkung Circle.


- Tc = R tan ½ β
- Ec = Tc tan ¼ β
- Lc = (β/360) 2Rc = 0,01745 β Rc

2.2.2 Spiral – Circle – Spiral (S-C-S).


Syarat pemakaian :
 Bila bentuk circle tidak dapat dipakai.
 ∆c < 0 ∆c = ∆ x 20 s
 Lc > 20 meter

Gambar Lengkung Spiral-Circle-Spiral

Yang dihitung jika memenuhi syarat diatas :


θs = 90 Ls / π R
P = Ls2 / 6R – R (1-cos θs)
k = Ls – Ls3 / 40R2 – R sin θs
∆c = ∆ - 2θs
Ls = 0,017453 ∆c x R
Tt = (R + P) tan 0,5 θs + k
Et = {(R + P) sec 0,5 θs} – R
Dimana :
Ls = Panjang lengkung spiral (m),
V = Kecepatan rencana (km/jam),
R = jari-jari circle (m),
C = Perubahan kecepatan (m/det), harga c dianjurkan = 0,4 m/det.
e = Super elevasi,

2.2.3 Spiral – Spiral (S-S)


Syarat pemakaian :
 Bila bentuk S – C – S tidak dapat dipakai.
 S = 0,5.
Yang dihitung jika memenuhi syarat di atas adalah :
Ls = (θ . R) / 28,648
Tt = {(R + P) tan 0,5 θs}+ Ls‘
Et = {(R + P) sec 0,5}
P = P* x Ls
K = k* x Ls

Gambar Lengkung Spiral-spiral

2.3 ALINYEMEN VERTIKAL


Alinyemen vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan atau
proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya
jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap
kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh (truck
digunakan sebagai keadaan standar).
Alinyemen vertikal sangat erat hubungannya dengan besarnya biaya
pembangunan, biaya penggunaan kendaraan serta jumlah lalu-lintas. Kalau pada
alinyemen horizontal yang menggunakan bagian kritis adalah lengkung
horizontal (bagian tikungan), maka pada alinyemen vertikal yang merupakan
bagian kritis justru bagian yang lurus. Kemampuan pendakian dari keadaan truck
sangat dipengaruhi oleh panjang pendakian (panjang kritis landai) dan besarnya
landai.

2.3.1 Landai Maksimum dan Panjang Maksimum

Landai maks. ( % ) 3 4 5 6 7 8 10 12

Panjang kritis (m) 480 330 250 200 170 150 135 120

Landai maksimum hanya digunakan bila pertimbangan biaya sangat


memaksa dan hanya untuk jarak yang pendek. Panjang kritis landai
dimaksudkan adalah panjang yang masih diterima tanpa mengakibatkan
gangguan arus lalu-lintas (panjang ini menyebabkan pengurangan kecepatan
maksimum sebesar 25 km/jam). Bila pertimbangan biaya memaksa maka
panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur khusus untuk kendaraan
berat.
2.3.2. Lengkung Vertikal
Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang
memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase yang baik.
Lengkung vertikal terbagi atas :
1. Lengkung Vertikal Cembung
PLV y
PPV
EV

PTV

Rumus yang digunakan :


(A  L )
Y’ = Ev = 
8
A = g2 –g1
di mana :
Ev = Penyimpangan dari titik potong dari kedua tangen ke lengkung
vertical (disini y’ = Ev untuk x = L)
A = Perbedaan aljabar kedua tangent = g2 –g1
L = Panjang lengkung vertikal cembung, adapun minimumnya
ditentukan berdasarkan :
- Syarat pandangan henti dan drainase
- Syarat pandangan menyiap
2. Lengkung Vertikal Cekung

PLV

Q PTV
EV

PPV

Panjang vertikal cekung hanya ditentukan berdasarkan jarak pandang waktu


malam dan syarat drainase. Persamaan umum dari lengkung vertikal adalah :
( g 2  g1 ) x
Y ' 
2L

Perencanaan alinyemen vertikal dipengauhi oleh besarnya biaya


pembangunan yang tersedia. Alinyemen vertikal yang mengikuti muka tanah asli
akan mengurangi pekerjaan tanah, tetapi mungkin saja akan mengakibatkan jalan
itu terlalu banyak mempunyai tikungan. Tentu saja hal ini belum tentu sesuai
dengan persyaratan yang diberikan sehubungan dengan fungsi jalannya.
Muka jalan sebaiknya diletakkan sedikit di atas muka tanah asli sehingga
memudahkan dalam pembuatan drainase jalannya, terutama di daerah yang datar.
Pada daerah yang sering kali dilanda banjir sebaiknya penampang memanjang
jalan diletakkan di atas elevasi muka banjir.
Di darah perbukitan atau pegunungan diusahakan banyaknya pekerjaan
galian seimbang dengan pekerjaan timbunan, sehingga keseluruhan biaya yang
dibutuhkan tetap dapat dipertanggung jawabkan. Jalan yang terletak di atas
lapisan tanah yang lunak harus pula diperhatikan akan kemungkinan besarnya
penurunan dan perbedaan penurunan yang mungkin terjadi. Dengan demikian
penarikan alinyemen vertikal sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan
seperti :
 Kondisi tanah dasar
 Keadaan medan
 Fungsi jalan
 Muka air banjir
 Muka air tanah
 Kelandaian yang masih memugkinkan

Perlu pula diperhatikan bahwa alinyemen vertikal yang direncanakan itu


akan berlaku untuk masa panjang, sehingga sebaiknya alinyemen vertikal yang
dipilih tersebut dapat dengan mudah mengikuti perkembangan lingkungan.
Alinyemen vertikal disebut juga penampang jalan yang terdiri dari garis –
garis lurus dan garis – garis lengkung. Garis lurus tersebut dapat datar, mandaki
atau menurun, biasa disebut berlandai. Landai jalan dinyatakan dengan persen.
Pada umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke kanan, maka
landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai
negatif untuk penurunan dari kiri. Pendakian dan penurunan memberi effek yang
berarti terhadap gerak kendaraan.

KELANDAIAN PADA ALINYEMEN VERTIKAL JALAN


1. Landai Minimum
Berdasarkan kepentingan arus lalu lintas, landai ideal adalah landai
datar (0%). Sebaliknya ditinjau darikepentingan drainase jalan, jalan
berlandailah yang ideal. Dalam perencanaan disarankan menggunakan :
a. Landai datar untuk jalan – jalan di atas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb. Lereng melintang jalan dianggap cukup untuk
mengalirkan air di atas badan jalan dan kemudian ke lereng jalan.
b. Landai 0,15 % dianjurkan untuk jalan – jalan di atas tanah timbunan
dengan medan datar dan mempergunakan kereb. Kelandaian ini ckup
membantu mengalirkan air hujan ke inlet atau saluran pembuangan.
c. Landai minimum sebesar 0,3 – 0,5 % dianjurkan dipergunakan untuk jalan
– jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kereb. Lereng melintang
hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh di atas badan jalan,
sedangkan landai jalan yang dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar
saluran samping.

2. Landai maksimum
Kelandaian 3 % mulai memberikan pengaruh kepada gerak kendaraan
mobil penumpang, walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan
kendaraan truk yang terbebani penuh. Pengaruh dari adanya kelandaian ini
dapat terlihat dari berkurangnya kecepatan jalan kendaraan atau mulai
dipergunakannya gigi rendah.
Kelandaian tertentu masih dapat diterima jika kelandaian tersebut
mengakibatkan kecepatan jalan tetap lebih besar dari setengah keepatan
rencana. Untuk membatasi pengaruh perlambatan kendaraan truk terhadap
arus lalu lintas, maka ditetapkan landai maksimum untuk kecepatan rencana
tertentu. Bina Marga (luar kota) menetapkan kelandaian maksimum seperti
pada tabel 5.1, yang dibedakan atas kelandaian maksimum stndar dan
kelandaian maksimum mutlak.
Jika tidak terbatasi oleh kondisi keuangan, maka sebaiknya
dipergunakan kelandaian sandar. AASHTO membatasi kelandaian maksimum
berdasarkan keadaan medan apakah datar, perbukitan ataukah pegunungan.
2.4. SUPERELEVASI
Superelevasi adalah kemiringan melintang permukaan pada lengkung
horizontal. Superelevasi bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan
untuk mengimbangi gaya sentrifugal. Semakin besar superelevasi, semakin besar
komponen berat kendaraan yang diperolaeh.
Superelevasi maksimum yang dapat dipergunakan pada suatu jalan raya
dibatasi oleh beberapa keadaan sbb :
 keadaan cuaca
 jalan yang berada didaerah yang sering turun hujan
 keadaan medan, daerah datar nilai superelevasi lebih tinggi daripada daerah
perbukitan.
 keadaan lingkungan, perkotaan atau luar kota. Superelevasi maksimum
sebaiknya lebih kecil di perkotaan daripada luar kota.
 komposisi jenis kendaraan dari arus lalu lintas.

Nilai-nilai e maksimum :
 untuk daerah licin atau berkabut, e maks = 8 %
 daerah perkotaan, e maks = 4-6 %
 dipersimpangan, e maks sebaiknya rendah, bahkan tanpa superelevasi.
 AASHTHO menganjurkan, e maks = 0,04; 0,06; 0,08; 0,10 dan 0,12
 Bina Marga menganjurkan, jalan luar kota untuk V rencana= 30 km/jam e
maks =8 %, V rencana > 30 km/jam e maks = 10 %,
 Bina Marga menganjurkan, e maks untuk jalan di perkotaan = 6 %

2.5. JARAK PANDANGAN


Kemungkinan untuk melihat ke depan adalah faktor penting dalam sebuah
operasi jalan raya agar tercapai keadaan yang aman dan efisien.
Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat bebas ke
depan. Jarak ini dibagi atas dua, yaitu :
2.5.1. Jarak Pandang Henti
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang dibutuhkan kendaraan
untuk berhenti dari kecepatan desain, diukur pada objek pertama kalinya
terlihat pada jalur gerak kendaraan.
Rumus yang digunakan :
Dph = 0,278 Vt + [V2 / 254 (f ± L)]
di mana :
- Dph = jarak pandangan henti
- V = Kecepatan rencana (km/jam)
- t = t1 + t2 ≥ 25 detik
di mana :
t1 = Waktu sadar (Perception Time) yakni waktu pertama melihat benda
yang ada pada jalurnya sampai keputusan harus mengerem (harga
diambil t1 = 1,5 detik),
t2 = Waktu reaksi mengerem (Brake Reaction Time) diambil berdasarkan
test t2 = 1 detik,
f = Koefisien gesek antara ban dan jalan,
L = Landai jalan dalam persen dibagi 100.

2.5.2. Jarak Pandang Menyiap


Jarak pandang menyiap adalah jarak yang dibutuhkan untuk menyusul
atau menyiap kendaraan lain, yang digunakan hanya untuk jalan dua jalur.
Rumus yang digunakan :
Dpm = D1 + D2 + D3 + D4
Dimana :
Dpm = Jarak pandang menyiap,
D1 = Jarak yang ditempuh selama pengamatan = 0,278 t1 (V –
m + 0,5 t1),
D2 = Jarak antara kendaran yang menyiap setelah gerakan menyiap
dengan kendaraan lawan = 30 – 100 meter,
D4 = Jarak yang ditempuh arah lawan = 2/3 D2,
t1 = Waktu selama membuntuti kendaraan yang akan disusul sampai akan
menyiap,
t2 = Waktu selama kendaraan yang menyiap berada pada jalur kendaraan
arah berlawanan,
V = Kecepatan rata-rata kendaraan penyusul,
m = Perbedaan kecepatan (Km/Jam),
a = Percepatan rata-rata (Km/Jam2).

2.5. PELEBARAN PADA TIKUNGAN


Pelebaran pada tikungan diperlukan oleh karena bagian belakang kendaraan
terutama yang bergandengan tidak mengikuti jalur gerak bagian depannya.
Pelebaran perkerasan pada tikungan sangat bergantung pada :
R = Jari-jari tikungan
V = Kecepatan rencana
Rumus yang digunakan dalam menghitung pelebaran jalan ini adalah :
B = n (b’ + c) + (n-1) Td + Z
Dimana :
n = jumlah jalur lalu-lintas
b’ = lebar lintasan truck pada tikungan (m)
= 2,4 + ( R -√R – P )
c = Kebebasan samping (0,4 -0,8)
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan (m)
= √R + A(2P + A) – R
Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi (m)
= 0,105 V/R
P = 6,1 m
A = 1,2 m
G. TEBAL PERKERASAN
Perkerasan jalan adalah lapis-lapis material yang dipilih dan dikerjakan
menurut peraturan tertentu sesuai dengan macam dan fungsinya untuk
menyebarkan roda kendaraan sedemikian rupa sehingga dapat ditahan oleh tanah
dasar sesuai daya dukungnya.
Umumnya bagian-bagian perkerasan jalan terdiri dari :
1. Tanah Dasar (Sub Grade),
2. Lapis Pondasi Bawah (Sub Base Course),
3. Lapis Pondasi Atas (Base Course),
4. Lapis Permukaan.

A = Lapisan Permukaan (surface)


B1 = Lapisan Permukan (surface)
B2 = Lapisan Permukaan (surface)
C = Tanah Dasar

1. Tanah Dasar
Tanah dasar adalah permukaan tanah asli, permukaan tanah galian atau
permukaan tanah timbunan yang merupakan dasar untuk perlerakan bagian-
bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan dari konstruksi perkerasan
jalan ini tergantung dari sifat-sifatnya dan daya dukung dari tanah dasar.

2. Lapisan Pondasi Bawah


Lapisan pondasi bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapisan
pondasi dan tanah dasar. Umumnya tanah setempat yang relative lebih baik dari
tanah tanah dasar dapat digunakan sebegai bahan dasar pondasi bawah. Campuran-
campuran tanah setempat dengan kapur atau semen Portland dalam beberapa hal
sangat dianjurkan agar didapat batuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi
perkerasan.

3. Lapisan Pondasi
Lapisan pondasi adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis
permukaan dan lapis pondasi bawah. Bahan-bahan untuk lapisan pondasi
umumnya dibutuhkan keawetan dan kekuatan tertentu agar mampu mendukung
beban dari roda kendaraan. Bermacam-macam bahan alam atau bahan setempat
dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil, pasir
ataupun campuran-campuran dari padanya atau dengan ataupun bahan stabilitasi
(aspal, kapur, PC) yang masing-masing akan bervariasi pula dari segi derajat
kekuatan.

4. Lapis Permukaan
Lapis permukaan adalah lapisan perkerasan paling atas. Bahan-bahan untuk
lapis permukaan umumnya sama dengan bahan-bahan lapis pondasi, hanya dalam
lapis permukaan membutuhkan persyaratan mutu yang lebih tinggi serta
penambahan aspal agar lapisan tersebut dapat bersifat kedap air dan memberikan
tegangan tarik yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban
roda lalu lintas.

H. DEFINISI ISTILAH DALAM PENENTUAN TEBAL PERKERASAN


1. Jalur Rencana
Jalur rencana adalah jalur lalu-lintas dari suatu sistem jalan raya yang
menampung lalu-lintas terbesar. Umumnya jalur ini adalah salah satu dari
jalan raya dua jalur atau jalur tepi luar dari jalan raya berjalur banyak.
2. Umur Rencana
Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung dari mulai
dibukanya jalan raya tersebut sampai saat diperlukan perbaikan yang bersifat
struktural atau dianggap perlu untuk memberikan lapisan permukaan yang
baru agar jalan tersebut tetap berfungsi dengan baik sebagaimana yang
direncanakan.

3. Indeks Permukaan (IP)


Indeks permukaan adalah suatu angka yang dipergunakan untuk
menyatakan kerataan atau kehalusan serta kekokohan permukaan jalan raya
yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.

4. Lalu Lintas Harian Rata-rata


Lalu lintas harian rata-rata adalah jumlah rata-rata dari lalu-lintas
berjenis-jenis kendaraan bermotor dariyang beroda empat sampai pada jenis
kendaraan berat yang dicatat selama 24 jam sehari untuk kedua jurusan.

5. Angka Ekivalen (E)


Angka ekivalen adalah angka yang menyatakan perbandingan tingkat
kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal
kendaraan tertentu terhadap tingkat beban standart sumbu tunggal kendaraan
sebesar 8,2 ton.
6. Lintas Ekivalen Permukaan (LEP)
Lintas ekivalen permukaan adalah jumlah lintas ekivalen rata-rata dari as
tunggal seberat 8,2 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada permulaan
umur rencana.

7. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)


Lintas ekivalen akhir adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari as
tunggal seberat 8,2 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur
rencana.

8. Lintas Ekivalen Rata-rata (LER)


Lintas ekivalen rata-rata adalah suatu besaran yang dipakai nomogram
penerapan tabel perkerasan untuk menyatakan jumlah lintas ekivalen as tunggal
sebesar 8,2 ton pada jalur rencana.

9. Faktor Regional (FR)


Faktor regional adalah faktor setempat sehubungan dengan iklim, curah
hujan dan kondisi lapangan secara umum akan terpengaruh terhadap daya dukung
tanah dasar.

10. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT)


Daya dukung tanah adalah suatu skala yang dipakai dalam nomogram
penetapan tabel perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. Skala
tersebut dikorelasikan dengan bermacam-macam cara test yang umum untuk
menentukan kekuatan tanah dasar.

11. Indeks Tebal Perkerasan (ITP)


Indeks tebal perkerasan adalah suatu angka yang berhubungan dengan
penentuan tabel perkerasan .

12. Besaran Rencana


Besaran rencana adalah angka-angka yang perlu dicari, dihitung, ditetapkan
atau diperkirakan dengan menggunakan nomogram penetapan tabel perkerasan.

13. As Tunggal
As tunggal adalah suatu as dengan dua roda atau dengan empat roda.

14. As Tandem
As tandem adalah as yang berdekatan, yang berjarak paling dekat 100 cm,
paling jauh 240 cm dan dilengkapi sedemikian rupa sehingga keduanya bekerja
sama dan merupakan suatu kesatuan.

15. Pembatasan Beban As


Pembatasan beban as adalah berat beban as tunggal maksimum yang
diizinkan untuk kendaraan-kendaraan yang mempergunakan jalan.

16. Pembatasan Beban Total


Pembatasan beban total adalah berat total kendaraan dan muatan maksimum
yang diizinkan.

I. URAIAN TEKNIS PELAKSANAAN


Langkah awal untuk memulai pekerjaan jalan adalah melakukan survey
kembali. Hal ini menentukan titik dasar atau menentukan ketinggian dan
pekerjaan selanjutnya. Kemudian dibuat BM (Bench Mark) dan CL (Centre Line).
Apabila telah selesai atau diketahui hal-hal yang perlu, maka pekerjaan baru dapat
dilakukan.

PEKERJAAN TANAH (EARTH WORK)


Ada dua macam pekerjaan yaitu :
1. Galian (Cut)
2. Timbunan (Fill)

1. GALIAN ( CUT )
Tanah galian yang akan digunakan untuk timbunan pertama harus
dibersihkan dari tumbuh-tumbuhan dan lapisan humus. Dapat atau tidaknya
material ini dipakai untuk timbunan dilakukan dengan pengetesan di
laboratorium. Teknis penggaliannya adalah sebagai berikut : setiap akan
berhenti pekerjaan, diusahakan agar apabila akan turun hujan, air tidak akan
tergenang. Setelah sampai pada permukaan yang dikehendaki (Sub Grade)
dilakukan pengecekan elevasi dan dipadatkan, kemudian ditest oleh Soil
Material Enginer (Sub Grade Preparation) dan kemudian dapat diteruskan
kelapisan Sub Grade.

2. TIMBUNAN ( FILL )
Materialnya dapat dipakai dari hasil galian (cut) yang termasuk dalam
rencana (Common Excavation). Dapat tidaknya material ini dipakai untuk
badan jalan harus ditest di laboratorium atau mendapat persetujuan dari SOIL
MATERIAL ENGINEER. Sebelum dilakukan penimbunan harus dibuat
profil (patok-patok, ketinggian, kemiringan 0 dari daerah yang akan
dikerjakan). Setelah diketahui dengan pasti daerah yang akan dikerjakan serta
siap segala peralatannya, maka dapat dilakukan pekerjaan :
 Clearing And Grubbing
Yaitu pekerjaan pemotongan pohon-pohon besar dan kecil.
 Top soil And Stripping
Pembuangan humus dan lapisan atas akar kayu, biasanya setebal 10 –
30 cm.
 Compaction Of fondation Of Embarkment
Pemadatan tanah dasar sebelum dilakukan pernimbunan. Lapisan ini,
perlu ditest (Density test of proff rooling test), kemudian dilakukan
penimbunan. Penimbunan dilakukan lapisan demi lapisan (Layer By
Layer) setebal ± 20 cm dan dipadatkan. Alat yang digunakan untuk
memadatkan dapat digunakan Motor Grader dan Buldozer. Untuk
pemadatan digunakan Road Roller, Tandem Roller, Mac Adam Roller,
Tire Roller Sheep, Foot Roller atau Fibrating Roller. Memilih atau
menentukan pemakaian alat dengan melihat medan atau lapangan kerja,
jenus dan keadaan material. Setelah ketinggian dianggap cukup, maka
pekerjaan selanjutnya dapat diteruskan. Untuk penentuan ketinggian ini
dilakukan oleh surveyor sedangkan pengetesan di laboratorium (Soil
Material Engineer), setelah itu diteruskan pekerjaan selanjutnya.

3. SUB BASE
Sesudah lapisan Sub Grade betul-betul telah memenuhi syarat elevasi dan
kepadatan, kita memulai pekerjaan Sub Base Course.
Pertama-tama ditentukan patok-patok untuk mencapai ketebalan yang
dikehendaki. Diperlukan minimal 5 titik menurut potongan melintang dan dengan
jarak maksimum 25 meter menurut potongan memanjang. Setelah selesai
pemasangan patok-patok untuk menetukan ketinggian/tebalnya, maka material
Sub base dapat didatangkan ke lapangan. Pemasangan patok harus cukup kuat
dan dilindungi oleh material Sub Base tersebut. Sebagai toleransi ketinggian
untuk mencapai ketinggian yang diinginkan, maka setelah dipadatkan dilebihkan
± 15% dari yang kita perlukan.
1. Pencampuran dan penghamparan
a. Dengan cara peralatan tidak berjalan (stasioner). Air dan agregat harus
dicampurkan dengan alat pencampuran yang sudah disetujui oleh redaksi.
Selama pencampuran jumlah air harus diatur agar diperoleh kadar air
yang sesuai dengan yang diperlukan untuk pemadatan. Setelah
pencampuran, jumlah air harus diatur agar diperoleh kadar air dalam batas
yang disyaratkan dan harus dihampar dengan alat yang disetujui.
b. Dengan cara alat berjalan (mobil). Setelah bahan untuk tiap lapis
dihampar dengan mesin penebar agregat atau mesin lain yang telah
disetujui oleh direksi. Pencampuran dilakukan dengan mesin pencampur
berjalan sehingga campuran merata. Selama pencampuran jumlah air
harus sesuai dengan yang disyaratkan.
c. Dengan cara pencampuran ditempat. Setelah bahan untuk setiap lapis
dihampar, sambil menakar kadar airnya, bahan dicampur dengan Motor
Grader atau mesin alih yang disetujui direksi.
Bahan lapis pondasi bawah harus dihamparkan dan dipadatkan lapis demi
lapis sedemikian rupa sehingga dapat dicapai kepadatan maksimum yang
disyaratkan. Tabel lapusan tidak boleh lebih dari 25 cm. Apabila
diperlukan pemadatan-pemadatan lebih dari satu lapis, penghamparan
lapis selanjutkan dilakukan setelah lapisan sebelumnya dipadatkan.
Penghamparan bahan harus menggunakan alat yang memberikan hasil
yang seragam. Penempatan bahan yang akan dihampar harus dengan
jumlah dan jarak yang tepat agar pemadatan dapat dilakukan sesuai
dengan gambar rencana. Apabila dilakukan pembongkaran tersebut harus
dilakukan pada seluruh lebar dan tebal lapisan agar tidak menimbulkan
kepadatan yang tidak seragam.
2. Pemadatan
Prinsip pemadatan harus dimulai dari pinggir yang terendah ke
tengah/tinggi. Setelah diratakan permukaannya dengan Road Roller. Sesudah
cukup padat dilihat dengan pandangan mata, sebelum meneruskan pekerjaan
selanjutnya, elevasi oleh surveyor dan kepadatannya ditest (Density Test Ole
Material Engineer / laboratorium). Apabila lebih memenuhi syarat untuk
kedua hal ini (elevasi dan kepadatan) secara tertulis, baru dapat dilaksanakan
pekerjaan selanjutnya yaitu Base Course.

4. BASE COURSE
Seperti pada pekerjaan Sub Base Course, pekerjaan Base Course pada
prinsipnya sama saja, yaitu :
 Pemukaan Sub Base Course harus telah rata dengan rapat,
 Dipasang patok-patok untuk pedoman ketinggian (dalam arah melintang 5
patok dan dalam arah memanjang dengan jarak maksimum setiap 25
meter),
 Toleransi ketinggian diambil ± 1 cm, dilebihkan dari tinggi yang diperlukan,
 Semua material tersedia di lapangan kerja dengan volume yang diperlukan.

5. PRIMING
Apabila pekerjaan priming ini dilaksanakan, base coursenya harus
memenuhi syarat yang dikehendaki, bauk ketinggian maupun kepadatannya. Perlu
dijaga hal sebagai berikut : permukaaan harus bersih dari kotoran serta kering.
Alat untuk membersihkan adalah composer, sapu lidi dan karung goni, power
blow. Pemakaian dilihat dari kotoran yang melekat pada Base Course tersebut.
Setelah ini selesai baru dipersiapkan alat-alat untuk priming berupa distribusi
aspal. Langkah selanjutnya adalah penyemprotan (Priming) dengan aspal (MC
70).

6. PELAPISAN DENGAN ASPAL CONCRETE (ASPAL BETON)


Pelapisan terakhir berupa aspal beton (Aspalt Concrete) baru dapat
dilaksanakan apabila prime coat (priming) telah memenuhi syarat sebagai berikut :
sudah kering dan permukaan prime coat itu bersih dari kotoran dan debu. Sesudah
itu kita mengetahui berapa lebar jalan yang akan dikerjakan, kemudian kita
membentuk form (Bentuk / mal). Alat-alat harus lengkap, seperti Finisher,
Macadam Roller, Tandem Roller, Mobil Tangki Air, AMP (Asphalt Concrete
Plant), Dump Truck harus dalam kondisi baik. Sebelum penghamparan Finisher
diatur sedemikian rupa sehingga didapat tabel Aspalt Concrete yang diperlukan.
Aspalt Concrete (AC) dapat dihampar setelah sampai di lapangan dalam keadaan
utuh/tidak basah dan panasnya memenuhi syarat.

7. PELAKSANAAN PEKERJAAN LAPISAN ASPAL BETON


Campuran hanya boleh dihampar apabila permukaan jalan benar-benar
kering, cuaca tidak berkabut atau hujan serta apabila permukaan jalan dalam
kondisi yang memenuhi syarat. Pekerjaan tidak boleh diteruskan apabila peralatan
pengangkutan, mesin penghampar atau mesin gilas tidak menjamin unit
pencampuran dapat bekerja dengan kecepatan minimum 60% dari kapasitasnya.
Sewaktu penghamparan mungkin saja terjadi pada tempat-tempat tertentu kurang
rata, maka perlu ditambah penghamparan, cukup dengan tenaga manusia. Setelah
tidak ada lagi bagian yang kurang sempurna maka pemadatan dapat dilaksanakan.
Pemadatan pertama : Apabila A/C itu temperaturnya 95°C - 120°C, alatnya
adalah Macadam Roller.
Pemadatan kedua : Disebut intermediate Rolling, apabila A/C itu
temperaturnya 70°C – 90°C, alatnya Tire Roller.
Pemadatan ketiga : Disebut Finishing Rolling, apabila A/C itu
temperaturnya 50°C - 70°C dan alatnya Tandem Roller.
Sewaktu pemadatan Roda Roller harus disiram air
secukupnya.
CARA PEMADATAN
1. Apabila pertama ½ dari lebar jalan belum ada A/C, pemadatannya dilakukan
secara berturut-turut sebagai berikut :
 Pada sambungan melintang / tranverse joints.
 Dari pinggir tepi sebelah luar / out side edge.
 Dari bagian terendah kebagian tinggi pemadatan yang pertama.
 Pemadatan yang kedua sama urutannya dengan pemadatan yang pertama.
 Pemadatan ketiga atau terakhir, urutannya sama dengan pemadatan yang
pertama dan kedua.
2. Apabila dibagian lain (1/2 jalan) sudah ada A/C, pemadatan dilaksanakan
sebagai berikut :
 Pada sambungan melintang / tranverse jalan.
 Pada sambungan melintang / longitudinal joints.
 Dari pinggir tepi sebelah luar / out side edge.
 Pemadatan yang kedua sama urutannya dengan yang pertama.
 Pemadatan yang terakhir sama urutannya dengan pemadatan yang
pertama dan kedua.

PERALATAN-PERALATAN YANG UMUM DIGUNAKAN


I. Peralatan Campur
7.4. Unit pencampur aspal :
Alat yang digunakan untuk mengolah campuran dengan pemanasan
terpisah yang terdiri dari :
 Tipe Batch Plant
 Tipe Continous Plant
Dari kedua tipe ini, perbedaannya terletak pada cara pemasukannya badan ke
dalam alat pencampur. Untuk tipe pertama berdasarkan timbangan berat
material campuran atau dengan kata lain berat tiap ukuran fraksi agregat di
dalam suatu Batch. Juga aspal ditimbang sesuai kebutuhan pada tiap kali
pengadukan campuran dalam suatu mixer.
Sedangkan untuk tipe kedua berdasarkan pada penyetelan rongga dari tiap
material telah ditetapkan, maka pengolahan material akan berjalan secara
otomatis, dengan prinsip secara terus menerus dari Hot bin ke Mixer.
Demikian pula diukur kecepatan pompa aspal yang sering digunakan adalah
AMP (Asphalt Mixing Plant) dimana dengan mengunakan alat ini
pencampuran antara aspaldengan agregat dilakukan dalam keadaan panas
sesuai dengan ketentuan Mix Design.

II.Peralatan Lapangan
a. Mesin Penghampar (Asphalt Finisher)
Alat ini berfungsi untuk menghamparkan campuran ke permukaan. Finisher ini
prinsipnya mempunyai dua bagian utama, yaitu :
 Hopper, yaitu bagian yang menerima panas dari alat angkut.
 Screed, berfungsi meratakan serta sedikit pemadatan dan untuk
menentukan tebal lapisan perkerasan yang kita perlukan.

b. Alat Pemadat (Tandem Roller 4 – 6 Ton)


Alat ini digunakan untuk pekerjaan penggilasan pertama dan penggilasan
terakhir.

c. Alat Pemadat (Tired Roller)


Alat ini digunakan untuk pekerjaan penggilasan kedua.

d. Dump Truck
Adalah sebuah truk dimana bak materialnya dapat menuang sendiri dengan
dikendalikan supir dari dalam truk. Fungsi alat ini untuk mengangkut campuran
dari AMP ke lokasi penghamparan.

e. Asphalt Sprayer
Alat ini berfungsi untuk menyemprotkan Tack Coat.

f. Compressor
Fungsinya untuk membersihkan permukaan yang akan dilapisi dari kotoran dan
debu atau bahan pengotor lainnya.

g. Peralatan-peralatan kecil lainnya, seperti : sekop, gerobak dorong, stick


pengukur ketebalan, thermometer dan lainnya.

h. Tangki air, berfungsi untuk membasahi roda alat pemadat agar campuran tidak
menempel pada roda.

Beberapa Komponen Pencampur Aspal (AMP) Yang Penting


a. Colt Bin Agregat Hopper
Komponen ini dapat terdiri dari beberapa corong (hopper) dan merupakan
tempat penimbunan agregat menurut fraksi-fraksi. Cold Bin memiliki fungsi yang
sangat penting terutama pada bagian bukaan pintunya (Feeder). Bila terjadi
kesalahan bukaan akan terjadi kekacauan pada gradasi agregat, misalnya dari Bin
yang satu terjadi kelebihan agregat pada bin lainnya. Sebelum pelaksanaan
dimulai, maka feeder harus dikalibrasi sedemikian rupa sehingga untuk
mendapatkan proporsi agregat yang sesuai dengan komposisi campuran yang
direncanakan.

b. Dryer (pengering)
Alat pengering ini berbentuk silinder, merupakan tabung berputar dilengkapi
dengan burrer sebagai penyembur api guna mengeringkan serta memanaskan
agregat. Agar pengaliran agregat dapat berjalan dengan lancar setelah mencapai
temperatur yang disyaratkan, maka kedudukan silinder dimiringkan dengan sudut
tertentu mengarah ke buffer.

c. Screen (Saringan)
Komponen saringan terletak pada bagian yang paling atas, terdiri dari
beberapa saringan dengan ukuran yang berbeda-beda. Bentuk saringan tergantung
dari kapasitas pengolahan, untuk AMP dengan produk kecil, bentuk saringan
berupa silinder berputar disusun berderetan dari saringan yang bersusun halus
sampai dengan ukuran kasar. Untuk produk yang besar, saringan disusun secara
bertingkat dimulai dari saringan berukuran kasar sampai yang paling halus.
Gerakan saringan dilakukan dengan system getaran (Vibrating), agar
memudahkan pemisahan agregat menurut diameter lubang saringan dengan fungsi
sebagai berikut :
 Saringan paling atas memisahkan dan membuang agregat yang paling
besar atau bahan lainnya yang dibutuhkan melalui corong pembuang.
 Saringan yang dibawahnya menyaring untuk dipisahkan menurut yang
dikehendaki, dan selanjutnya akan tertuang ke Hot Bin. Demikian
seterusnya sampai diperoleh gradasi campuran yang dikehendaki.
 Sebagai alat pengotrol terakhir gradasi campuran.

d. Hot Bin Agregat


Hot Bin agregat merupakan kamar yang terpisah, berisi agregat dengan
fraksi tertentu, sesuai dengan diameter saringan diatasnya. Tiap kamar Hot Bin
dilengkapi dengan pembuang yang bekerja baik bila telah penuh.

e. Filter Hot Bin


Pada AMP yang berkapasitas besar biasanya Filter Binnya terbuat dari silo,
sedang AMP yang berkapasitas kecil matrialnya langsung ditumpah pada elevator
filter.

f. Aspal Tank
Bagian ini digunakan untuk menyimpan aspal yang dilengkapi dengan
pemanas dengan menggunakan pipa-pipa minyak yang panas, atau dengan pipa
api (Burner). Aspal yang telah dipanaskan dengan temperatur tertentu
disemprotkan dengan menggunakan pompa. Pemanas aspal yang dikontrol dengan
termometer tertentu tergantung pada tingkat penetrasinya. Temperatur yang
diizinkan dari dari aspal tank. Untuk mengetahui jumlah aspal yang diperlukan,
disediakan alat-alat yang bekerja dengan system timbangan atau meter, setiap alat
tersebut harus diperiksa agar kecepatan pengaliran atau jumlah aspal tetap dalam
batas-batas spesifikasi.
g. Mixer
Mixer atau Pugmil merupakan tempat pengadukan dari material-material
campuran. Pintu yang di bawah mixer harus terkunci dengan rapat selama proses
pencampuran berlangsung. Pintu kini baru dibuka setelah dicapai homogenitas di
dalam mixer. Untuk aspal minyak biasanya didalam 30 detik.
Prosedur Pengolahan Campuran di AMP
Pelaksanaan pengolahan campuran di AMP merupakan suatu hal yang ikut
menentukan mutu campuran, terutama yang menyangkut komposisi dan homogenitas
campuran. Sebelum Proses pencampuran, terlebih dahulu dilakukan persiapan-
persiapan material yang kan digunakan, juga pemeriksaan komponen-komponen
AMP, apakah sudah siap berproduksi sebagaimana mestinya. Setelah semuanya
memenuhi maka proses pengolahan campuran segera dimulai. Adapun proses-proses
pengolahan dengan menggunakan AMP tipe Batch Plant adalah sebagai berikut :
a. Fraksi agregat halus (pasir) haruslah sekering mungkin, sebelum dimasukkan
ke dalam Cold Bin sudah sedemikian rupa sehingga dapat mengalir baik
melalui pintu, setelah diadakan kalibrasi. Pengaturan bukaan pintu ini sangat
penting agar agregat yang sudah ada pada Belt Conveyor memenuhi
persyaratan.
b. Agregat (pasir) yang diangkut oleh Belt Coveyor diterima oleh Cold Elevator
menuju ke atas untuk dituang pada Dryer. Burner yang ada pada Dryer dengan
semburan api mengeringkan dan memanaskan agregat temperatur 150° C -
175° C. Hal ini perlu diperhatikan untuk memperoleh pengeringan dan
pemanasan agregat yang merata, agar dapat diselimuti oleh aspal secara
merata. Kecepatan dan jumlah pengaliran harus tetap jangan sampai
melampaui kemampuan Dryer. Dalam proses pengeringan ini agregat yang
dipanaskan tetap terpisah dari debu dan gas. Agregat panas diteruskan ke Hot
Elevator, sedangkan debu dan gas dihisap oleh Exhousepan, dimana debu
dikumpulkan untuk diserap pada Dust Collector dan gasnya dikeluarkan
melalui cerobong gas.
c. Agregat panas tadi kembali bercampur dengan debu pada Hot Elevator untuk
diangkut ke atas untuk menuju ke Screen. Kapasitas saringan harus lebih besar
dari pada kemampuan pemanas Dryer, agar tidak terjadi bertumpuknya agregat
di atas saringan. Saringan ini digerakkan dengan sistem getaran, disusun secara
bertingkat dengan diameter lubang berbeda-beda. Penyaringan yang paling atas
memisahkan dan membuang agregat yang tidak dikehendaki melalui corong
pembuang. Disini masih dapat dikontrol gradasi pasir yang digunakan, apakah
masih memenuhi spesifikasi yang disyaratkan/ditetapkan.
d. Agregat yang telah melalui penyaringan masuk ke dalam Hot Bin. Ukuran
Hot Bin haruslah sedemikian rupa, sehingga dapat memenuhi berat agregat
yang dibutuhkan untuk satu kali pengolahan campuran. Bilamana jumlahnya
berlebihan maka secara otomatis agregat tersebut terbuang.
e. Filter Bin yang akan ditambahkan harus memperhitungkan kadar filter yang
ada pada Hot Bin.
f. Bila berat material sudah memenuhi komposisi campuran maka pintu Hot
Bin, Filter Bin, dan Aspal Weight Hopper akan menutup secara otomatis dan
material-material campuran akan dituang ke dalam mixer. Material diaduk
sedemikian rupa sehingga agregat terselimuti aspal secara merata. Hal yang
perlu diperhatikan adalah temperatur campuran pada saat keluar dari mixer
untuk dituang ke dalam Dump Truck harus mencapai 140° C sampai 160° C.
Usahakan agar jarak jatuhnya campuran sedekat mungkin dan tidak
membentuk kerucut yang tinggi, ini dapat dilakukan dengan menggerakkan
untuk mecegah segregasi. Untuk mencegah penurunan temperatur yang terlalu
besar pada saat campuran diangkut kelapangan maka Dump Truck harus
dilengkapi dengan penutup terpal.
PENINGKATAN MUTU JALAN LAMA (EXISTING ROAD)

Pada peningkatan jalan, bentuk kontruksinya kita temui bervariasi pada


pekerjaan Sub Base dan Base, terutama pada lebar dan tebalnya. Ini sebab muka jalan
lama, kurang memenuhi syarat, maka kita akan mempunyai pekerjaan :
 Rekontruksi, ialah melaksanakan kontruksi yang dikehendaki ada kalanya
dimulai dari embarkment atau hanya dari pekerjaan Sub Grade Proporation
saja.
 Re-Surface, ialah pekerjaan penambahan Sub Grade saja baik lebar maupun
tebalnya.
 Overlay, ialah penambahan lapisan aspal langsung di atas aspal/jalan lama.
Karena tempat tertentu kita menemui kekurangan lebar dari yang kita
perlukan ataupun juga pada bagian yang lemah dari itu perlu perbaikan, juga
umumnya cukup dengan penambahan Base Course material.
Umumnya jalur luar yang akan penting kita beri kulit aspal, atau bidang
dikerjakan dengan adukan minyak aspal. Car yang pertama disebut pengerjaan
bidang muka, jalan digaruk dengan bersih dengan gundar-gundar baja. Bagian-bagian
yang terlepas disapu dengan sapu lidi, abu halus dikipas dengan karung hingga
permukaannya bersih.
Waktu menyapu pekerja-pekerja harus memperhatikan arah angin. Bagian
yang tidak berdebu sekarang tidak mempunyai permukaan dengan ujung-ujung tajam
dimana aspal dapat melekat dengan baik.
Dari tengah-tengah puncaknya aspal dituangkan dengan lapisan-lapisan tipis
dengan sapu dan sikat karet bertangkai panjang dihapus setipis mungkin. Sesudah itu
dengan segera seregu pekerja menyebarkan secara merata pasir tajam atau batu abu
kira-kira setebal 0,5 cm.
Lapisan ini digiling sebentar, sesudah itu jalan dapat digunakan oleh lalu lintas,
selama satu bulan pasir yang dipindahkan lalu lintas ke tepi-tepi selalu disapu
kembali sama rata pada seluruh bidang muka.
Dengan pengerjaan bidang muka ini tidak saja terdapat penghindaran
pembentukan debu dan lumpur, akan tetapi biaya pemeliharaan juga berkurang.
Jika kita bicara tentang aspal, yang kita maksudkan adalah aspal minyak tanah,
karena itu yang paling banyak dipakai. Tentang kualitasnya tidak banyak perbedaan
dengan aspal alam (misalnya asbuton), hanya persiapannya agak berlainan. Dalam
asbuton misalnya, sudah ada tepung batu kapur, sehingga pada waktu dimasak harus
diaduk terus. Aspal ini cepat sekali membeku, sehingga harus cepat dituangkan.
Penambahan jalan harus dilakukan dengan memacul lubang-lubang yang
terjadi dan mengisinya dengan batu-batu pecah, kemudian dituangi dengan aspal cair.
Diatasnya disebarkan abu batu dan seluruhnya ditumbuk, bila terjadi pengausan dari
kulitnya, dengan lekas harus dibuat kulit aspal yang baru.

Anda mungkin juga menyukai