Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
LNG (Liquefied Natural Gas) adalah produk gas alam cair yang diperoleh dari pendinginan
gas alam yang telah diproses untuk menghilangkan hidrokarbon fraksi berat. LNG (Liquefied
Natural Gas) memiliki komponen utama utama berupa methane (CH4) dan juga mengandung
sejumlah kecil etana, propana, butana sesuai tabel 1.1 (Europan Regional Development, 2018).
Pada tahun 1977 Indonesia mulai mengekspor gas alam dari kilang bontang, pada dasarnya untuk
dapat memudahkan pendistribusian gas alam diperlukan suatu proses teknologi untuk dapat
merubah fasa gas menjadi liquid atau menjadi LNG (Liquefied Natural Gas) melalui kondensasi
pada tekanan atmosfer dengan pendinginan sekitar -161,6°C (Chang et al. 2009). Pada fasa liquid,
gas alam lebih stabil dan aman untuk ditransportasikan ke negara tujuan guna pemanfaatannya
sebagai sumber energi. Melihat adanya peluang tersebut, sistem refrigerasi merupakan salah satu
proses yang dapat digunakan untuk proses pendinginan dan pencairan gas alam menjadi LNG
(Liquefied Natural Gas)(Gadhiraju, 2008).
Tabel 1.1 Komposisi Gas Alam (Europan Regional Development, 2018)
Komposisi Rumus Kimia Volume (%)
Methane CH4 70-90
Ethane C2H6
Propane C3H8 0-20
Butane C4H10
Carbon Dioxide CO2 0-8
Oxygen O2 0-0,02
Nitrogen N2 0-5
Hydrogen Sulphide H2S 0-5
4
bergantung pada sifat termodinamika refrigeran. Pada gambar 1.1(a) refrigeran bertekanan tinggi
didinginkan pada penukar panas HX (counter-flow) menjadi cair dan kemudian diperluas melalui
katub JT Valve ke daerah “dua fasa” (Chang, 2015). Sebaliknya, proses ekspansi adiabatik adalah
proses produksi liquefaction dengan expander. Proses ekspansi ini bersifat reversible dan adiabatik
sehingga ekspansi ini dimodelkan sebagai isentropic. Agar expander dapat bekerja dengan aman,
refrigeran harus tetap berada "Fase gas" (keadaan jenuh) sepanjang siklus. Proses pendinginan
yang teridiri dari proses isentropic dan adiabatic disebut dengan “Brayton Cycle” gambar 1.1b.
Proses ekspansi adiabatik dalam kondisi normal memiliki efisiensi lebih besar dibandingakan
proses JT Valve Cycle, namun susah dioperasikan pada isentropis teoritis. Hal ini yang
menyebabkan Brayton cycle kurang diminati dalam proses pencairan gas alam. Sedangkan proses
JT-Valve mulai diaplikasikan dalam beberapa industri dengan melibatkan lebih banyak Heat
Exchanger yang disebut dengan Linde Cycle yang beroperasi sejak 1896 (Ghorbani,
Shirmohammadi, and Mehrpooya, 2018).
(a) (b)
Gambar 1.1 Pencairan gas alam (a) JT Valve Cycle (b) Brayton Cycle
5
dari gas. Jumlah yield yang dihasilkan bergantung pada pada wilayah 1-4. Pada kondisi 1-4 berada
pada kondisi uap cair yang bergantung pada kualitas ekspansi JT-valve.
(a) (b
)
Gambar 1.2 Linde Cycle proses (a) Diagram alir (b) T-S diagram
6
(a) (b)
Gambar 1.3 Claude Cycle proses (a) Diagram alir (b) T-S diagram
Proses Claude Cycle dengan single valve, pada kodisi (2-3-4-5) gas diasumsikan terjadi
pendinginan isobarik. Pada kondisi (5-6) ekspansi isenthalpic, kemudian penambahan panas
isotermal atau beban pendinginan (6-g). Kondisi pemanasan isobarik (g-8-7-9-1) dan kompresi
isotermal terjadi di kompresor (1-2). Ekspansi adiabatik secara isentropic (3-e) pada aliran
refrigeran di expander. Pada Claude Cycle terdapat dua modifikasi berbeda yaitu siklus Kapitza
dan Heylandt.
Kapitza Cycle yang ditemukan oleh Pyotr Kapitza pada tahun 1939 dilakukan pada tekanan
rendah, dimana Heat Exchanger pertama diganti dengan Heat Exchanger yang melakukan dua
operasi berbeda yaitu pendinginan atau pemanasan gas dan pemurnian gas. Oleh karena itu, dalam
satu siklus Heat Exchanger memurnikan pengotor dengan membekukannya dan mendinginkan
aliran gas panas yang masuk. Sementara unit lainnya memanaskan aliran gas keluar sekaligus
menghilangkan pengotor dengan penguapan. Sedangkan pada model Heylandt Cycle proses
pencairan dilakukan pada tekanan tinggi yang ditemukan pada tahun 1949 melalui pengamatan
Claude Cycle yang dioperasikan di udara dengan 200 atm dan x = 0,6. Nilai optimum dari
temperatur sebelum ekspansi mendekati ambien. Dalam sistem ini, T inlet ke expander mendekati
ambien sehingga operasi expander tersebut sangat sederhana.
7
Berdasarkan hal diatas, penulis melakukan simulasi agar dapat membandingkan kedua
model Linde Cycle dan modifikasi pada Claude Cycle untuk mengetahui performa dan diperoleh
kondisi optimum masing -masing proses pada sistem pencairan gas alam.
8
Pada modifikasi Claude Cycle dilakukan variasi rasio aliran expander (perbandingan aliran
menuju expander terhadap total aliran kompresor) dibuat variasi dari 0,05 sampai 0,90 pada rasio
tekanan optimum masing-masing siklus sehingga diketahui pengaruhnya terhadap variable
efisiensi siklus (daya kompresor, daya expander, panas yang dilepas cooler) dan performa siklus
(COP). Range variasi rasio aliran expander ditetapkan sedemikian untuk menjaga minimum
approach Heat Exchanger masing-masig 10 oC dan menghindari cross temperature pada Heat
Exchanger 2. Selanjutnya dilakukan analisis SBHP untuk mengetahui kondisi optimum pada
masing – masing modifikasi siklus.
2. Metodologi
2.1 Penyusunan Model Simulasi
Perancangan proses pada laporan ini menggunakan software simulasi ASPEN HYSYS 8.8.
Metodologi perancangan yang digunakan dijelaskan melalui diagram alir kerja (Gambar 2.1).
Model yang dibangun dalam perancangan ini adalah Model Linde dan modifikasi Claude yang
meliputi Kapitza dan Heylandt
Model Linde Cycle diperoleh dengan mengadopsi dari jurnal Departement of Mechanical
Engineering National Institute of Technology Roukela (2009) sebagaimana skema diagaram alir
pada Gambar 2.2.
2.1.2 Model Claude Cycle
Model modifikasi Claude Cycle yakni Kapitza Cycle dan Heylandt Cycle diperoleh dengan
mengadopsi dari jurnal. Pada model Kapitza diadopsi dari jurnal Bisht,V S (2014) sebagaimana
skema diagaram alir pada Gambar 2.3 (a). Sedangkapan pada tahun yang sama Chang (2015)
menjelaskan tentang proses Heylandt sesuai dengan skema pada Gambar 2.3 (b).
9
Gambar 2.1 Metodologi perancangan proses pencairan gas alam
10
(a) (b)
Gambar 2.3 Metodologi Skema diagram alir (a) Kapitza (b) Heylandt (Bisth Vijay, 2015)
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program ASPEN HYSYS 8.8 dengan fluid
package yaitu Peng-Robinson dengan kondisi steady state sehingga tidak ada energi yang hilang
pada sistem. Kondisi operasi, komposisi gas dan persyaratan perancangan proses mengikuti tabel
2.2.
Tabel 2.2 Parameter yang digunakan dalam proses simulasi
Parameter Nilai Satuan
Feed Gas
Tekanan 2 bar
o
Temperature 40 C
Komposisi CH4 100 %-mol
Laju alir Gas alam 10 Kgmol/jam
Persyaratan Produk akhir
Tekanan 2 Bar
Vapour Fraction 0
o
Temperature -152,7 C
Kondisi operasi
o
Minimum Temperature Approach HE (sheel & tube) 10 C
Pressure Drop pada HX 1 dan HX 2 0 bar
11
o
Temperature 40 C
𝜼 adiabatik expander 75 %
𝜼 adiabatik kompesor 75 %
Pada setiap sistem memiliki efisiensi termal siklus (COP) merupakan kalor yang diserap cooler
dibagi kerja yang dibutuhkan sistem (W kompresor dan expander)
𝑄𝑐𝑜𝑜𝑙𝑒𝑟
Linde Cycle 𝜂𝑡𝑒𝑟𝑚𝑎𝑙 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 (𝐶𝑂𝑃) = 𝑥 100% (1)
𝑊𝑐𝑜𝑚𝑝
𝑄𝑐𝑜𝑜𝑙𝑒𝑟
Claude Cycle 𝜂𝑡𝑒𝑟𝑚𝑎𝑙 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 /𝐶𝑂𝑃 = 𝑥 100% (2)
𝑊𝑐𝑜𝑚𝑝 +𝑊𝑒𝑥𝑝
12
Gambar 3.3 Model Heylandt Cycle
3.2 Pembahasan
3.2.1 Kondisi Optimum Melalui Poutlet pada Proses Linde Cycle dan Modifikasi Claude Cycle
(Kapitza Cycle dan Heylandt Cycle)
Pada simulasi yang dilakukan untuk membandingkan dua modifikasi proses Linde Cycle
dan Modifikasi Claude Cycle yaitu Kapitza Cycle dan Heylandt Cycle dengan cara menganalisis
berdasarkan beberapa parameter (Tabel 3.1). Pada simulasi ini ingin dilihat bagaimana pengaruh
tekanan outlet terhadap parameter independent dan kemudian menentukan kondisi optimum
melalui analisis kerja (W) dan panas (Q) yang dihasilkan untuk masing – masing siklus.
Tabel 3.1 Parameter analisa Poutlet Kompresor
Variabel Parameter
Independent Dependent
Basis : Pin = 2 bar W kompresor
W expander
Pout = 25 - 90 bar Q cooler
T in dan T out expander (Kapitza
P (Tekanan) Cycle dan Heylandt Cycle)
ΔPout = 5 bar SBHP
COP
13
25000
20000
W Comp
W Copresor ((kW) Heylandt
15000
W Comp
Kapitza
10000
W Comp
Linde
5000
0
25 45 65 85
Pressure Outlet (bar)
(a)
25000
20000
Q Cooler
Heylandt
Q Cooler (kW)
15000 Q Cooler
Kapitza
Q Cooler
10000 Linde
5000
0
25 40 55 70 85
Pressure Outlet (bar)
(b)
250
200
W Ekspander
Heylant
W Expander (kW)
150
W Ekspander
Kapitza
100
50
0
25 45 65 85
Pressure Outlet (bar)
(c)
Gambar 3.4 Grafik P outlet kompresor terhadap (a) W kompresor (b) Q cooler
(c) W expander
14
Berdasarkan Gambar 3.4 (a), pada Linde Cycle dan Modifikasi Claude Cycle (Kapitza
Cycle maupun Heylandt Cycle) diperoleh daya kompresor yang cenderung turun dengan
meningkatnya tekanan outlet. Hal tersebut dikarenakan karna pada closed system, semakin tinggi
tekanan maka banyak liquid yang terbentuk semakin banyak, akibatnya fasa uap yang di-recycle
pada tekanan rendah makin kecil. Dengan rendahnya jumlah fasa uap dengan tekanan yang rendah
makan daya pada kompresor akan menurun.
Pada Linde Cycle, tekanan rendah akan mengakibatkan suhu inlet pada JT Valve makin
rendah. Sehingga fraksi outlet setelah JT valve memiliki kondisi superheated vapour (fraksi 1.00)
yang mengartikan tidak adanya fraksi cair yang terbentuk pada separator. Dengan kondisi
demikian maka tidak dapat dipisahkan antara uap dan liquid. Pada tekanan diatas 25 bar suhu inlet
naik yang mengakibatkan fraksi outlet JT-Valve <1.00. Meningkatnya Fraksi akan memberikan
penurunan yang signifikan pada daya kompresor dan juga menjaga fraksi outlet JT-Valve pada
kondisi saturated. Pada tekanan >70 bar daya kompresor tidak mengalami penurunan daya yang
signifikan.
Pada modifikasi Claude Cycle yakni Kapitza Cycle maupun Heylandt Cycle tidak berlaku
demikian. Heylandt Cycle, pada variable tekanan outlet 5 bar terjadi cross temperature dalam
kedua Heat Exchanger. Minimum Approach mendekati 10oC tidak tercapai dan tercapai pada
tekanan 15 bar. Pada Poutlet 15-50 bar daya kompresor mengalami penurunan yang signifikan.
Kemudian ketika tekanan >50 bar, penurunan daya pada kompresor semakin kecil . Sehingga dapat
disimpulakn tekanan optimum terjadi pada tekanan 50 bar. Disisi lain, pada Kapitza Cycle daya
kompresor yang dihasilkan cenderung stabil pada P outlet 25-90 bar.
Pada Gambar 3.4 (c) dapat dilihat bahwa perbandingan kebutuhan energi antara Heylandt
Cycle lebih tinggi dibandingkan Kapitza Cycle pada rasio tekanan outlet yang sama. Hal ini
disebabkan pada Heylandt Cycle aliran keluar cooler menuju ke expander dan sebagian menuju
HX 1. Sedangkan pada Kapitza Cycle seluruh aliran keluar cooler menuju HX 1 untuk mengalami
proses pendinginan terlebih dahulu, kemudian menuju expander. Pada expander terjadi ekspansi
isentropic yang menghasilkan penurunan temperatur secara signifikan. Sehingga fungsi expander
adalah untuk memperkuat pendinginan sebagaimana ditunjukan Gambar 3.5 (a) dan (b), dimana
temperatur pada kedua proses mengalami penurunan. Pada Kapitza Cycle, aliran masuk expander
pada temperatur rendah akibat pendinginan di HX 1, sehingga aliran keluar expander merupakan
15
saturated vapor pada temperatur -125,43 dan temperatur aliran keluar expander pada Kapitza
Cycle lebih rendah dibandingkan Heylandt Cycle. Pada Heylandt Cycle aliran masuk expander
pada temperatur yang lebih tinggi (40oC) sehingga temperatur keluar expander masih lebih tinggi
dibandingkan Kapitza Cycle.
50
40
30
20
Tin Expander (◦C)
10
0 Heylandt
-10 Kapitza
-20
-30
-40
-50
25 35 45 55 65 75 85
P outlet (bar)
(a)
0
)
-20
Tout Expander (◦C)
-40
-60
-80 Heylandt
Kapitza
-100
-120
-140
25 35 45 55 65 75 85
P outlet (bar)
(b)
Gambar 3.5 Grafik P outlet kompresor terhadap
) (a) T in Expander (b) Tout Expander
16
3.2.1.1 COP
Pengaruh tekanan outlet pada kompresor akan mempengaruhi jumlah aliran dan suhu pada
JT-Valve sesuai dengan Gambar 3.5. Hal ini akan berkaitan erat dengan effisiensi themal dari
masing-masing siklus. Efisiensi termal siklus (COP) merupakan kalor yang diserap cooler dibagi
kerja yang dibutuhkan sistem sesuai dengan persamaan (1) pada Linde Cycle dan (2) pada
modifikasi Claude Cycle. Berdasarkan simulasi yang dilakukan, didapatkan bahwa terdapat
pengaruh nilai COP dengan memvariasikan tekanan outlet pada kompresor. Nilai COP mengalami
peningkatan dengan menurunnya daya pada kompresor (pada ketiga cyle) dan pada expander
(modifikasi Claude Cycle).
Pada ketiga jenis siklus, Linde Cycle memiliki nilai COP yang tertinggi. Hal ini
dikarenakan daya yang digunakan hanya pada kompresor dan dan nilai COP semakin besar ketika
tekanan outlet kompresor diperbesar. Hal ini menunjukkan bahwa Linde Cycle akan semakin stabil
pada tekanan yang relative tinggi, namun ini merupakan salah satu kelemahan dari proses Linde.
Operasi cycle pada tekanan tinggi, akan membutuhkan biaya oprasional yang leih banyak.
Sedangkan pada modifikasi Claude Cycle, COP lebih rendah karena pengaruh pemberian
Expander untuk mengurangi daya pada kompresor. Hal tersebut yang mengakibattkan nilai COP
dari modifikasi Claude Cycle lebih kecil dibandingkan dengan Linde Cycle. Pada Heylandt nilai
COP naik pada tekanan tinggi, sedangkan Kapitza cenderung stabil nilai COPnya pada tekanan
yang rendah. Kapitza Cycle memiliki biaya oprasional yang lebih rendah karna dapat beroperasi
pada tekanan rendah dan menghasilkan effisiensi siklus yang tinggi.
1.10
1.00
Heylandt
0.90
Linde
COP
0.80
Kapitza
0.70
0.60
0.50
25 35 45 55 65 75 85
Pressure Outlet (Bar)
Gambar 3.6 Grafik P outlet kompresor terhadap COP
17
3.2.1.2 SBHP
Brake Horse Power adalah jumlah kerja yang dihasilkan oleh motor dalam kondisi ideal.
Kerja tersebut dihitung tanpa mempertimbangkan efek komponen tambahan lainnya yang
mungkin dapat menghambat kecepatan motor sebenarnya. Brake Horse Power diukur dalam poros
output engine. Selain itu, Brake Horse Power dapat membantu perhitungan efisiensi engine yang
tepat. Brake Horse Power digunakan untuk menunjukkan bahwa daya yang diukur adalah daya
pada poros mesin. Nilai dari Brake Horse Power lebih sedikit dari daya yang dibangkitkan oleh
gas pembakaran didalam silinder. Hal ini dikarenakan terjadinya gesekan mekanik dan beban-
beban tambahan, seperti pompa oli (Sugiarto, 2007).
Dalam hal ini, proses pencairan gas dapat dilakukan dengan beberapa teknologi yang sudah
ada, yaitu contohnya Linde Process dan Claude Process. Dari kedua proses tersebut membutuhkan
daya yang cukup besar, daya tersebut digunakan untuk kerja kompresor. Daya pada proses
pencairan gas, khususnya proses LNG dinamakan Spesific Brake Horse-power (SBHP) dengan
satuan kWatt per ton produk yang dihasilkan (kW/ton). Specific Brake-Horsepower (SBHP) dapat
dinyatakan dalam rumus sebagai berikut.
𝑊𝑐
𝑆𝐵𝐻𝑃 = 4,778 𝑥 𝑞 (3)
𝑒𝑣 𝑥 𝜂𝑚
18
7.00
6.50
6.00
Heylandt
SBHP
5.50 Linde
Kapitza
5.00
4.50
4.00
25 35 45 55 65 75 85
Pressure Outlet (bar)
Gambar 3.7 Grafik P outlet kompresor terhadap SBHP
3.2.2 Analisa Variasi Fraksi Inlet Aliran Expander pada Modifikasi Claude Cycle (Kapitza
Cycle dan Heylandt Cycle)
Tekanan outlet pada kompresor merupakan variable yang mempengaruhi performa dan
kebutuhan energi siklus secara signifikan. Dengan mengetahui kondisi tekanan outlet akan
didapatkan nilai kondisi optimum dimana nilai COP tinggi dengan penurunan kebutuhan energi
yang signifikan. Maka dari itu, tekanan rasio merupakan suatu variabel independent yang dapat
melihat performa siklus dari suatu variabel independent yang diantaranya adalah daya kompresor,
expander dan kalor yang diserap cooler pada modifikasi Claude Cycle.
Tabel 3.2 Parameter analisa yang digunakan fraksi aliran inlet expander
Variabel Parameter
Independent Dependent
Basis :
W
Pada tekanan optimum proses berdasar Analisa
kompresor
energi (SBHP)
W expander
Fraksi aliran Rasio aliran = 0,05 – 0,95 Q cooler
expander Δ rasio aliran = 0,05 SBHP
COP
19
Meningkatnya aliran menuju expander, akan meningkatkan liquid ayang terbentuk, hal ini
dikarenakan pada expander terjadi ekspansi adiabatic secara isentropic yang memberikan
penurunan temperatur secara signifikan sebagaimana ditunjukan pada Gambar 3.5. Akan tetapi,
meningkatnya rasio aliran menuju expander mengakibatkan aliran menuju JT valve semakin
menurun, hal ini dapat mengurangi liquid yang terbentuk. Oleh karena itu, perlu dilakukannya
optimasi rasio aliran menuju expander yang menghasilkan produk liquid maksimal.
1200
1000
800
W Comp (kW)
Heylandt
600
Kapitza
400
200
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
Fraksi Inlet Expander
(a)
1200
1000
Q Cooler (kW)
800
Heylandt
600
Kapitza
400
200
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
Fraksi Inlet Expander
(b)
Gambar 3.8 Grafik Fraksi Inlet Expander terhadap (a) WComp (b) Q Cooler
20
Berdasarkan Gambar 3.8, rasio aliran expander divariasi mulai 0.05 -0.95 dengan range
0.05. Pengaruh variasi rasio aliran expander dilakukan pada kondisi tekanan outlet optimum yang
memiliki peningkatan efisiensi COP signifikan pada proses yaitu pada tekanan outlet 50 bar. Pada
proses Heylandt diperoleh rasio aliran expander optimal sebesar 0,5. Pada rasio fraksi aliran jika
diperbesar >0.5 maka terjadi peningkatan daya kompresor, daya expander dan kalor cooler yang
terlalu besar, hal ini diakibatkan terlalu besarnya rasio aliran expander sehingga aliran menuju JT
valve semakin kecil dan liquid yang terbentuk semakin sedikit. Sedangkan pada Kapitza rasio
fraksi maksimum terjadi pada 0,80 dimana pada kondisi ini daya yang diperlukan semakin rendah.
Jika rasio pada fraksi Kapitza diperbesar >0.80 maka daya pada kompresor akan naik, sehingga
siklus akan mengalami penurunan efisiensi.
450
400
350
W Expander (kW)
300
Heylandt
250
Kapitza
200
150
100
50
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
Fraksi Inlet Expander
Gambar 3.9 Grafik Fraksi Inlet Expander terhadap (a) W Expander
Berdasarkan konfigurasi pada simulasi Heylandt Cycle berbeda dengan Kapitza, dimana
pada Heylandt terdapat turbo expander setelah aliran keluar dari kompresor, sehingga suhu yang
masuk ke expander lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kapitza Cycle. Sedangkan pada Kapitza,
suhu yang masuk dalam turbo expander lebih rendah karena sebelumnya sudah melewati HX 1.
Dengan adanya hal tersebut, maka nilai COP pada Kapitza cenderung lebih stabil dari jumlah
fraksi inlet expander awal dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Pada rasio fraksi >0,8
COP pada sistem semakin naik (Gambar 3.10 (a)), yang menunjukkan kerja pada sistem lebih
rendah.
21
Pada Heylandt terjadi perubahan yang signifikan bertambahnya jumlah fraksi inlet
expander menurunkan nilai COP pada sistem. Hal ini menunjukkan bahwa beban pada expander
akan semakin besar dengan jumlah fraksi aliran yang semakin besar dikarenakan suhu yang masuk
pada expander masih tinggi yakni 40 oC.
1.1
1.0
0.9
0.8 Heylandt
COP
0.7
Kapitza
0.6
0.5
0.4
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
Fraksi Inlet Expander
(a)
10.4
9.4
8.4
7.4
6.4
Heylandt
SBHP
5.4
4.4 Kapitza
3.4
2.4
1.4
0.4
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
Fraksi Inlet Expander
(b)
Gambar 3.10 Grafik Fraksi Inlet Expander terhadap (a) COP (b) SBHP
22
Pada Gambar 3.10 (b). dapat dilihat tren yang berbeda pada kedua siklus. Semakin besar
jumlah fraksi inlet expander maka SBHP pada Kapitza Cycle cenderung mengalami penurunan
pada saat rasio fraksi >0,8. Pada grafik tersebut, proses Kapitza Cycle memiliki SBHP siklus yang
lebih rendah dibandingkan Heylandt Cycle. Pada proses Hylandt cycle semakin besar fraksi inlet
expander, kerja expander semakin besar. Selain itu, aliran menuju JT valve semakin sedikit
sehingga liquid yang terbentuk sedikit, dan fasa uap yang direcycle pada tekanan rendah semakin
banyak yang mengakibatkan peningkatan kerja kompresor. Hal ini sesuai dengan (persamaan 3)
yang menyatakan hubungan antara SBHP dan kerja yang dibutuhkan berbanding lurus.
Pada tabel 3.3 nilai COP pada Linde memiliki nilai yang lebih tinggi dari semua siklus, hal
ini menunjukkan bahwa biaya operasional Linde lebih murah dibandungkan dengan Kapitza dan
Heylandt. Namun, pada Linde Cycle gas yang di kompresi pada tekanan tinggi dan tidak bisa pada
tekanan ambient. Nilai COP juga dipengaruhi pada modifikasi Claude terdapat pemasangan
expander yang menambah biaya oprasional, tetapi dapat dioprasikan pada tekanan ambient. Kerja
yang dimasukkan pada proses modifikasi Claude lebih banyak (kompresor dan expander) sehingga
mengakibatkan nilai SBHPnya lebih rendah dibandingkan Linde.
23
3.3.3.2 Variable Independent Rasio Fraksi Inlet Expander
Tekanan pada 50 bar
Tabel 3.4 Perbandingan Hasil Variabel Independent Fraksi Inlet Expander
Modifikasi Claude Cycle
Parameter
Kapitza Cycle Heylandt Cycle
COP 1,00-1,01 1-0,49
SBHP 4,76-4,71 4,73-9.84
W kompressor 736,13-931,67 kW 736,51-1088,36 Kw
Q cooler 757,65 -958,59 kW 758-724 kW
W expander 19,06-13,07 kW 19,01-404,63 kW
Pada tabel 3.4 merupakan hasil rasio fraksi pada modifikasi Claude Cycle, pada hasil
tersebut nilai COP kapitza relatif stabil dibandingkan dengan Heylandt. Pada keseluruhan proses
terdapat beberapa nilai minimum rasio yang menjadikan daya pada kedua siklus menurun dan
mencapai nilai SBHP minimum dan COP maksimum. Pada kedua proses modifikasi ini memiliki
nilai yang tidak jauh berbeda di semua parameter, yang menbedakan dari kondisi proses tersebut
(kondisi T inlet pada expander).
4. Kesimpulan
Dengan mengunakan simulasi Aspen Hysis v.8.8, pada sistem pencairan gas alam
mengunakan Linde Cycle dan modifikasi Claude Cycle: Kapitza Cycle dan Heylandt Cycle
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada ketiga siklus semakin tinggi Poutlet maka kerja yang dibutuhkan semakin menurun, P
rasio maksimum pada modifikasi Claude (Kapitza dan Heylandt) 50 bar, pada Linde P
maksimum outlet 70 bar
2. Efisiensi termal siklus (COP) dan SBHP pada ketiga siklus menurun dengan peningkatan
tekanan outlet.
3. Kebutuhan energi siklus menurun (Wcomp,Wexp, dan Qcooler) pada modifikasi Claude namun
meningkat ketika fraksi pada masing-masing cycle yakni kapitza >0,80 dan Heylandt pada
fraksi inlet expander >0,5
4. SBHP Kapitza makin menurun dengan bertambahnya fraksi inlet expander, sedangkan
pada Heylandt meningkat
24
5. Efisiensi termal siklus (COP) pada Kapitza meningkat dengan meningkatnya fraksi inlet
expander, sedangkan Heylandt Cycle sebaliknya
6. Melalui analisis energi (COP dan SBHP) terhadap variabel independent tekanan, Linde
Cycle yang paling unggul. Namun, kebutuhan energi yang tinggi dan harus dioperasikan
pada tekanan tinggi maka Kapitza Cycle paling baik diantara ketiga cycle
7. Kapitza Cycle memiliki performa siklus yang lebih baik dibanding Heylandt dilihat dari
energi yang dibutuhkan, COP, SBHP, Tout expander dikarenakan pada semua fraksi
cenderung lebih stabil
25
Daftar Pustaka
26
LAMPIRAN
1. Data simulasi Linde Cycle
10 5 - - - -
15 7,5 - - - -
20 10 - - - -
25 12,5 24590,478 24629,613 1,002 4,770
30 15 4879,964 4920,872 1,008 4,738
35 17,5 2849,384 2889,936 1,014 4,711
40 20 2081,245 2121,696 1,019 4,687
45 22,5 1678,401 1718,965 1,024 4,665
2 50 25 1423,667 1464,295 1,029 4,645
55 27,5 1246,193 1286,838 1,033 4,627
60 30 1114,789 1155,422 1,036 4,610
65 32,5 1013,623 1054,243 1,040 4,594
70 35 933,352 973,967 1,044 4,579
75 37,5 867,547 908,140 1,047 4,564
80 40 813,403 854,003 1,050 4,551
85 42,5 767,110 807,690 1,053 4,538
90 45 728,047 768,639 1,056 4,526
27
2. Data simulasi Kapitza Cycle
P P W Q Q
Pinlet Tin Tout COP SBHP
outlet ratio Comp Cooler Ekspander
10 5 -96,74 -145,61 598,60 578,14 61,04 0,876 5,452
15 7,5 -74,25 -139,99 458,94 451,89 47,66 0,892 5,356
20 10 -56,00 -135,17 398,70 397,10 42,17 0,901 5,305
25 12,5 -39,93 -130,54 361,40 362,97 39,01 0,907 5,271
30 15 -26,14 -126,62 335,61 339,36 36,83 0,911 5,244
35 17,5 -15,16 -124,00 317,89 323,30 35,17 0,916 5,218
40 20 -6,24 -122,30 304,85 311,63 33,80 0,920 5,192
45 22,5 1,16 -121,24 294,83 302,77 32,64 0,925 5,168
2 50 25 7,40 -120,62 286,68 295,65 31,61 0,929 5,144
55 27,5 12,57 -120,47 280,13 290,02 30,69 0,933 5,121
60 30 16,98 -120,60 274,57 285,30 29,84 0,937 5,098
65 32,5 20,69 -121,00 269,86 281,38 29,06 0,941 5,076
70 35 23,87 -121,59 265,76 278,00 28,33 0,945 5,055
75 37,5 26,56 -122,38 262,20 275,14 27,64 0,949 5,033
80 40 28,88 -123,28 259,06 272,63 27,00 0,953 5,013
85 42,5 30,82 -124,33 256,30 270,49 26,39 0,957 4,994
90 45 32,51 -125,43 253,79 268,55 25,82 0,960 4,975
28
3. Data simulasi Heylandt Cycle
P
Pinlet P ratio Tin Tout W Comp Q Cooler Q Expander COP SBHP
outlet
10 5 40 -36,20 23714,04 18571,55 5166,20 0,643 7,430
15 7,5 40 -52,51 24182,67 19295,84 4927,78 0,663 7,208
20 10 40 -63,58 2489,77 2054,77 475,62 0,693 6,895
25 12,5 40 -71,96 1321,42 1123,61 238,39 0,720 6,633
30 15 40 -78,71 881,28 771,27 150,59 0,747 6,392
35 17,5 40 -84,39 637,42 574,87 103,12 0,776 6,155
40 20 40 -89,29 468,77 437,97 71,36 0,811 5,892
45 22,5 40 -93,62 396,63 379,86 57,35 0,837 5,710
2 50 25 40 -97,51 350,37 342,65 48,30 0,859 5,559
55 27,5 40 -101,05 322,92 320,80 42,70 0,877 5,446
60 30 40 -104,30 306,52 308,01 39,09 0,891 5,361
65 32,5 40 -107,30 292,80 297,31 36,07 0,904 5,285
70 35 40 -110,10 281,13 288,20 33,50 0,916 5,216
75 37,5 40 -112,73 274,25 283,06 31,76 0,925 5,165
80 40 40 -115,22 268,69 278,98 30,30 0,933 5,121
85 42,5 40 -117,61 263,68 275,27 28,99 0,941 5,080
90 45 40 -119,91 259,32 272,07 27,83 0,947 5,043
29
30