Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
SKRIPSI
Oleh:
NIM: 100600033
Kata kunci : gagal ginjal kronik, saliva yang distimulasi, laju aliran, pH, kadar urea
Daftar rujukan : 45 (1999-2014)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
TIM PENGUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Nazaruddin, drg., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku Ketua Departemen Biologi Oral
FKG USU yang bersedia memberikan masukan dan arahan.
3. Yendriwati, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan masukan, bimbingan, arahan, saran, nasehat dan waktu yang
sangat berguna selama penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Biologi Oral Fakultas
Kedokteran Gigi USU : Lisna Unita, drg., M.Kes, Minasari, drg., MM, Dr. Ameta
Primasari, drg., MDSc., M.Kes, Yumi Lindawati, drg., M.Si yang telah memberikan
masukan, saran dan semangat selama penulisan skripsi ini.
5. Staf Departemen Biologi Oral, khususnya Kak Dani dan Kak Ngaisah
yang telah membantu penulis dalam hal administrasi selama penulisan skripsi ini.
6. Prof. Dr. Haslinda Z. Tamin, drg., M.Kes., Sp.Pros(K) selaku Dosen
Penasehat Akademis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama
menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi USU.
7. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH selaku direktur dan
dr.Heri selaku staf klinik Rasyida Medan.
8. Drs. Marudut Sinaga selaku kepala laboratorium kimia FMIPA
UNIMED dan Bapak Nizam selaku laboran.
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .............................................................................. 1
1.2 Perumusan masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan penelitian .......................................................................... 3
1.4 Hipotesa penelitian ....................................................................... 4
1.5 Manfaat penelitian ........................................................................ 4
vi
Universitas Sumatera Utara
9
vii
Universitas Sumatera Utara
10
LAMPIRAN
viii
Universitas Sumatera Utara
11
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
ix
Universitas Sumatera Utara
12
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
x
Universitas Sumatera Utara
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Landasan Teori
3. Kuesioner Penelitian
xi
Universitas Sumatera Utara
2
Kata kunci : gagal ginjal kronik, saliva yang distimulasi, laju aliran, pH, kadar urea
Daftar rujukan : 45 (1999-2014)
BAB I
PENDAHULUAN
ditemukan penurunan laju aliran saliva. Laju aliran saliva yang distimulasi pada
penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis berkisar 0,70 ± 0,32
mL/menit, lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol sehat yang berkisar 1,64 ±
0,45 mL/menit.11 Penelitian lain yang dilakukan oleh Karen J. Manley, dkk di
Rumah Sakit Austin Melbourne, Australia (2012) juga mengungkapkan bahwa telah
terjadi peningkatan kadar urea yang signifikan dalam saliva. Pasien dengan gagal
ginjal kronik menunjukan kadar urea yang mencapai 29,42 ± 1,93 mmol/L pada
saliva, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol sehat yang hanya 7,50 ±
0,64 mmol/l. Selain itu juga ditemukannya peningkatan nilai pH saliva yang
signifikan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang sehat. Pada pasien yang menjalani gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis, nilai pH saliva adalah 6,98 ± 0,24 sedangkan pada
kelompok kontrol yang sehat, nilai pH saliva adalah 6,72 ± 0,21.12
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian,
“Hubungan Kadar Urea, pH dan Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik di Klinik Rasyida Medan”.
4. Untuk mengetahui hubungan antara kadar urea, laju aliran dan pH saliva
pada pasien gagal ginjal kronik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Proses selanjutnya adalah resorpsi dan sekresi tubular. Terdapat tiga kelas
zat yang difiltrasi didalam gromerulus yaitu elektrolit, non elektrolit dan air.
Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium
(Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-) dan fosfat (HPO4-).
Sementara non elektrolit yan penting adalah glukosa, asam amino dan metabolit
yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein seperti urea, asam
urat dan kreatinin.1
Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme transport
aktif dan pasif. Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya disepanjang
tubulus proksimal melalui transpor aktif. K+ dan asam urat hampir seluruhnya
direabsorpsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal. Sedikitnya
dua per tiga dari Na+ yang difiltrasi akan direabsorpsi dalam tubulus proksimal yang
kemudian berlanjut hingga ke lengkung henle, tubulus distal dan duktus pengumpul.
1,13
bermuatan negatif harus menyertai untuk mencapai kondisi yang netral. Keluarnya
sebagian besar ion dan non-elekrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan
cairan mengalami pengenceran osmotik dan air berdifusi keluar tubulus dan masuk
ke darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif. Rasio konsentrasi urea
naik di sepanjang tubulus karena 50% dari urea kembali direabsorpsi. Ion H+, asam
organik seperti para-amino-hipofurat (PAH), penicillin dan kreatinin semuanya
secara aktif diskresi ke dalam tubulus proksimal.1,13
Sekitar 90% dari HCO3- diresorpsi secara tidak langsung dari tubulus
proksimal melalui pertukaran Na+-- H+. H+ yang disekresikan ke dalam lumen
tubulus sebagai penukar Na+ akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam
filtrat gromerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan
berdisosiasi menjadi H2O dan karbondioksida (CO2). H2O dan CO2 akan berdifusi
keluar dari lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut,
karbonik anhidrase mengkatalis reaksi H2O dan CO2 dengan membentuk H2CO3
sekali lagi. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+. H+ disekresi kembali dan
HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+. Selain
reabsorpsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3- ginjal juga membuang H+ yang
berlebihan. Proses ini terjadi di dalam nefron dan penting dalam pemekatan urine.1,
13
keratinin, asam urat serta zat kimia asing. Selain itu, ginjal juga mensekresi renin,
bentuk aktif vitamin D3 (calcitriol) dan eritropoietin.1
Penyakit ginjal adalah keadaan dimana ginjal tidak bekerja sebagaimana
mestinya dengan berbagai sebab. Nefron adalah unit kerja fungsional ginjal. Setiap
ginjal memiliki 1 juta nefron yang memiliki struktur dan fungsi yang sama. Dengan
demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron
tersebut. Kebanyakan penyakit ginjal menyerang nefron dan mengakibatkan nefron
kehilangan kapasitas penyaringannya. Kerusakan nefron dapat terjadi secara cepat,
namun sebagian besar penyakit ginjal merusak nefron secara perlahan, tanpa gejala
dan hanya setelah bertahun-tahun kerusakan terlihat jelas. Berdasarkan lama
perkembangannya, penyakit ginjal terbagi atas dua kategori yaitu, gagal ginjal akut
dan penyakit ginjal kronik.1,15,16
intravaskular seperti sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan
hemodinamik intrarenal seperti pada pemakaian obat anti inflamasi non-steroid, obat
yang menghambat angiotensin dan pada sindrom hepatorenal.
bulan atau lebih berupa laju filtrasi glomerulus (LFG) yang kurang dari
60mL/menit/1,73m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal (PERMENKES RI No.812
Tahun 2010).18
Penyakit ginjal kronis dapat muncul karena manifestasi penyakit kronis lain,
seperti diabetes mellitus atau hipertensi. Penyakit lain yang dapat menyebabkan
rusaknya ginjal diantaranya penyakit autoimun seperti Systemic Lupus
Erythematosus dan scleroderma, kelainan bawaan pada ginjal seperti polycystic
kidney disease dimana terdapat kista berukuran besar di dalam ginjal dan merusak
jaringan di sekitarnya, toksin kimiawi, glomerulonefritis, pielonefritis kronik,
nofrosklerosis benigna, nofrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis, foliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif, hiperparatiroidisme, amiloidosis, obstruksi yang
disebabkan oleh batu ginjal, tumor, atau pembesaran kelenjar prostat pada pria,
infeksi saluran kemih yang berulang, kelainan pada arteri yang memperdarahi ginjal,
obat-obatan analgesik dan obat-obatan lainnya seperti obat kanker dan reflux
nephropaty.19
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab
gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel
berikut.
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes mellitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
Stadiu LFG
Deskripsi
m (mL/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29
5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)
a. Stadium 1
Pada stadium ini, terjadi tahap awal kerusakan ginjal dengan kondisi ginjal
90% dari keadaan normal namun ginjal masih dapat mempertahankan fungsi
normalnya. Kadar urea dan kreatinin dalam darah normal dan asimtomatis. Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) pada stadium ini ≥ 90mL/menit/1,73m2, 20
b. Stadium 2
Tidak jauh berbeda dengan stadium 1, pada stadium ini telah terjadi
penurunan fungsi ginjal namun tidak terlihat gejala-gejala yang khas. Kadar urea
dan kreatinin dalam darah normal ataupun sedikit meningkat. 60-89% ginjal masih
berfungsi normal dengan Laju filtrasi Glomerulus (LFG) 60-89 mL/menit/1,73m2.20
c. Stadium 3
Pada stadium ini, laju filtrasi glomerulus ginjal telah menurun hingga 30-59
mL/menit/1,73m2. Stadium ini terbagi atas 2, yaitu stadium 3a (45-59
mL/menit/1,73m2) dan stadium 3b (30-44mL/menit/1,73m2). Pada stadium 3a,
penyakit ginjal kronis masih bersifat asimptomatis sehingga banyak penderita masih
belum menyadari bahwa fungsi ginjal mereka telah mengalami penurunan sementara
pada stadium 3b, gejala klinis sudah mulai terlihat seperti hipertensi, penurunan
penyerapan kalsium, berkurangnya eksresi fosfat oleh ginjal, peningkatan hormon
paratiroid, perubahan metabolisme lipoprotein, berkurangnya penyerapan protein,
anemia, hipertrofi ventrikel kiri, retensi garam dan air serta penurunan ekskresi
kalium oleh ginjal.20,21,22
d. Stadium 4
Stadium 4 adalah stadium dimana ginjal telah mengalami kerusakan berat
dengan laju filtrasi 15-29 mL/menit/1,73m2. Gejala-gejala klinis pada stadium ini
mirip dengan gejala pada stadium 3b. Pada stadium ini gejala asidosis metabolik
seperti anoreksia, pernapasan kussmul, mual dan kelelahan mulai terlihat seiring
dengan memburuknya kondisi ginjal. 20,21,22
e. Stadium 5
Stadium ini disebut dengan gagal ginjal kronis menurut National Service
Framework for Renal Service. Dengan laju filtrasi glomerulus ≤ 15
mL/menit/1,73m2, ginjal dinilai tidak lagi mampu berfungsi normal sehingga
membutuhkan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis untuk menopang
kehidupan. Gejala-gejala klinis seperti retensi garam dan air yang mengakibatkan
edema dan gagal jantung, anoreksia, mual, pruritus (rasa gatal tanpa penyakit kulit),
meningkatnya kadar urea dalam darah serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini disebut
dengan sindrom uremik. 20,21,22
Meskipun stadium dini dan penyebab dari penyakit ginjal cukup bervariasi,
tetapi stadium akhir hampir sama semuanya hingga penyebabnya tidak dapat
diidentifikasi lagi.1
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi pengurangan massa ginjal yang
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi
sehingga proses penyaringan menjadi tidak lagi normal. Dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, hasil sisa metabolit yang seharusnya dibuang melalui urin
mengendap dalam darah dan menyebabkan gejala-gejala yang mempengaruhi sistem
organ tubuh.2
pH plasma. Gejala seperti anoreksia, mual, lelah dan pernapasan kussmul sering
ditemukan pada pasien uremia yang disebabkan oleh asidosis.1,25
Pada sindrom uremik sering disertai dengan kelainan kardiovaskular seperti
hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sekitar 90% hipertensi bergantung kepada
volume, retensi air dan natrium dan kurang dari 10% bergantung kepada renin.
Kombinasi hipertensi, anemia dan beban sirkulasi yang disebabkan retensi natrium
dan air berperan dalam meningkatnya resiko gagal jantung kongestif. Kelainan-
kelainan kardiovaskular ini disebabkan oleh ketidak seimbangan K+, Na+, Ca++ dan
Mg++.1,25
Gambar 5. Erythemopultaceous.26
dengan kecepatan yang konstan dan pengumpulan urin pada saat-saat tertentu
dengan kateter.1
Cara lain yang lazim digunakan adalah menggunakan persamaan
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan persamaan Cockcroft-Gault.
Persamaan-persamaan ini dapat mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, jenis
kelamin dan etnis.19,27,28
Persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) saat ini lebih
sering digunakan dalam mengukur LFG menggantikan persamaan Cockcroft-Gault.
Persamaan ini dapat menyesuaikan empat variabel sekaligus yaitu, luas area
permukaan tubuh normal (1,73 m2), ras, jenis kelamin dan usia sehingga dapat
meminimalisir ketidakakuratan.2,19,27,28
Persamaan MDRD.19
b. Serum Kreatinin
Konsentrasi serum kreatinin dapat digunakan sebagai petunjuk laju filtrasi
glomerulus. Serum kreatinin merupakan indeks yang lebih cermat dibandingkan
pemeriksaan urea nitrogen darah dalam menentukan laju filtrasi glomerulus
dikarenakan kecepatan produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot
sehingga jarang sekali mengalami perubahan. Konsentrasi serum kreatinin normal
adalah 0,7-1,5 mg/dl. Seseorang dapat dikategorikan menderita penyakit ginjal
sedang apabila konsentrasi serum kreatinin berada pada nilai 2,5-5,0 mg/dl dan
dikategorikan menderita gagal ginjal kronik apabila konsentrasi serum kreatinin >
5,0 mg/dl. 1,29
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal dengan tujuan
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air
dan elektrolit. Hemodialisis terbukti sangat bermanfaat dalam memperpanjang usia
dan meningkatkan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.
Hemodialisis merupakan suatu mesin ginjal buatan yang terdiri dari
membran semi permiabel dengan darah di satu sisi dan cairan dialisis disisi lain.
Jenis cairan dialisis yang sering digunakan adalah asetat dan biokarbonat.1,2,23
Terdapat dua tipe dasar alat dialisis yang dipergunakan saat ini, yaitu alat
analisis lempeng paralel dan capillary dialyzer atau biasa disebut dengan hollow
dialyzer . Namun capillary dialyzer merupakan alat dialisis yang paling sering
digunakan saat ini.1
Suatu sistem dialisis terdiri atas dua sirkuit, yaitu untuk darah dan cairan
dialisat. Saat sistem bekerja, darah mengalir dari tubuh penderita melalui tabung
plastik (jalur arteri), melalui hollow fiber pada alat dialisis kemudian kembali
melalui jalur vena. Air yang telah difiltrasi dan dihangatkan hingga sesuai suhu
tubuh kemudian dicampur dengan konsentrat hingga terbentuk menjadi dialisat.
Dialisat tersebut kemudian dimasukan kedalam alat dialisis, cairan tersebut akan
mengalir di luar hollow fiber sebelum akhirnya keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membran dialisis
melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Pada suatu membran semipermiabel
yang di letakan diantara darah penderita pada satu sisi dan dialisat pada sisi satunya,
maka substansi yang dapat menembus membran akan bergerak dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah.1,23
Komponen Jumlah
Na+ 138 – 145 mEq/l
K+ 0 – 4,0 mEq/l
Ca++ 100 – 107 mEq/l
Mg++ 2,5 – 3,5 mEq/l
Cl- 0,4 – 1,0 mEq/l
Asetat 30 – 37 mEq/l
Glukosa 100 – 250 mg/dl
Pada umumnya indikasi gagal ginjal kronik adalah fungsi ginjal kurang dari
15 mL/mnt/1,73m2 namun keadaan pasien tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu gejala seperti keadaan umum buruk
dan gejala klinis nyata, K+ serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dL, pH darah <
7, anuria berkepanjangan (>5 hari) dan fluid overloaded. Di Indonesia, hemodialisis
biasa dilakukan 2 kali seminggu selama 4 hingga 5 jam per sesi.2
2. Diet
Pada penderita gagal ginjal kronik, jumlah nefron yang berfungsi normal
kurang dari 10 persen sehingga penderita akan mengalami retensi cairan (edema),
kalium, natriumdan fosfor. Zat-zat yang seharusnya dikeluarkan dari dalam tubuh
akhirnya menumpuk didalam darah, terutama urea (yang berasal dari pemecahan
protein) sehingga blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin akan meningkat. Pada
tahap ini, penderita membutuhkan pengaturan diet protein, kalium, natrium dan
cairan. 1,2,30
Pengaturan diet protein akan dimulai dengan pembatasan diet protein pada
penderita. Rekomendasi klinis terbaru mengenai jumlah protein yang diperbolehkan
adalah 0,6 g/kgBB/hari.1
Pengaturan diet kalium juga dibutuhkan untuk menghindari terjadinya
hiperkalemia pada penderita gagal ginjal kronik seperti menghindari pemberian
obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium. Jumlah kalium yang diperbolehkan
dalam diet adalah 40-80 mEq/hari (1-1,5 g/hari).1,2
Asupan natrium yang bebas dapat menyebabkan retensi cairan, edem perifer,
edem paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif pada penderita gagal ginjal
kronik. Jumlah natrium yang biasa diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2
g/hari). Penderita akan diinstruksikan untuk mengindari makanan yang mengandung
kadar natrium yang tinggi seperti mie instan, makanan kalengan makanan ringan
dalam kemasan seperti chips dan creakers dan junk food. 1,2,30
Asupan cairan juga akan diatur sedemikian rupa. Aturan umum untuk asupan
cairan adalah keluaran urin dalam 24 jam + 500 mL. Asupan cairan yang bebas
dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edem dan toksikasi cairan.1,2,30
2.3 Saliva
2.3.1 Fisiologis Saliva
Saliva merupakan cairan yang disekresikan oleh kelenjar saliva yang
menjaga kelembaban rongga mulut. Saliva terdiri dari 99% air dan 1 % komponen
organik serta anorganik. Komponen organik saliva yaitu protein, secretory IgA,
MUC5B, MUC7, amilase, lisozim, laktoferin, staterin, albumin, glukosa, laktat,
lipid, asam amino, urea dan amonia. Komponen anorganik saliva yaitu sodium,
potasium, kalsium, magnesium, klorida, bikarbonat, fosfat, tiosianat, iodida dan
fluor .30 93% saliva disekresikan oleh kelenjar saliva mayor yaitu kelenjar parotid,
submandibular dan sublingual sedangkan 7% lainnya disekresikan oleh beberapa
kelenjar saliva minor yang tersebar di mukosa rongga mulut.10,32,33,34
Saliva memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara dan menjaga
kesehatan rongga mulut baik itu jaringan keras maupun jaringan lunak. Beberapa
fungsi saliva diantaranya sebagai lubrikasi dan pelidung jaringan lunak rongga
Jumlah aliran saliva tanpa distimulasi normal berkisar 0,25–0,35 ml/menit, rendah
0,1–0,25 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,1 ml/menit. Sedangkan jumlah
aliran saliva dengan stimulasi yang normal berkisar lebih dari 1-3 ml/menit, rendah
0,7-1,0 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,7 ml/menit pada keadaan
hiposalivasi.10
Penurunan laju aliran saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa keadaan,
seperti posisi tubuh, cahaya dan kebiasaan merokok, proses menua, latihan fisik
berlebihan, radioterapi, kemoterapi, konsumsi alkohol, berpuasa, penyakit sistemik
seperti penyakit ginjal dan penggunaan obat-obatan yang bersifat antikolinergik
diantaranya antidepresan, antipsikosis, antihipertensi serta antihistamin.10
2.2.3 pH Saliva
Pada keadaan normal, saliva yang distimulasi memiliki pH berkisar 6,0 –
7,0. Konsentrasi bikarbonat pada saliva bersifat rendah, sehingga suplai bikarbonat
kepada kapasitas buffer saliva paling tinggi hanya mencapai 50%. pH saliva akan
meningkat bersamaan dengan kenaikan kecepatan sekresi. Selain kapasitas buffer,
faktor – faktor lain yang mempengaruhi derajat keasaman diantaranya adalah irama
siang dan malam, diet, rangsangan kecepatan sekresi, jenis kelamin, status psikologi,
perubahan hormonal, kebersihan rongga mulut maupun penyakit sistemik.10,32,39
Telah menjalani
Penderita gagal ginjal hemodialisis ≥ 6 bulan.
kronik (stadium 5) GFR < 15
mL/menit/1,73m2
pagi
Pemeriksaan saliva
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling.
Keterangan :
n : jumlah sampel minimal yang dibutuhkan
μ0 + μa : selisih rerata
S : standar deviasi
Zα : deviat baku normal untuk α 10%, sehingga Zα = 1,64
Zβ : deviat baku normal untuk β 20%, sehingga Zβ = 0,842
3.4.2 Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Pasien yang memerlukan terapi hemodialisis sementara karena kondisi
penyakit akut.
2. Pasien dengan transplantasi ginjal.
3. Pasien penyakit ginjal kronis yang belum memerlukan terapi
hemodialisis.
4. Pasien penyakit ginjal kronis dengan etiologi dari penyakit menular.
Variabel Terikat
Variabel bebas
1. Kadar urea dalam
Penderita Gagal Ginjal saliva
Kronik 2. pH saliva
3. Laju aliran saliva
5. Pengukuran pH Saliva
pH saliva adalah derajat keasaman dan kebasaan saliva. pH saliva akan
diukur menggunakan pH meter digital. Sebelum digunakan, pH meter digital
dibersihkan dengan cara mencuci sensor elekroda dibawah air mengalir lalu
dikeringkan. Setelah itu, pH meter dicelupkan kedalam larutan buffer untuk proses
kalibrasi. pH meter dicelupkan dalam pot berisi saliva hingga sensor elektroda
tercelup, lalu diamati derajat pH yang tertera.
6. Pengukuran Urea
Urea Diagnostic Kit. Urea diagnostic kit yang digunakan adalah merek
Glory yang telah disertifikasi ISO 9001 ISO 13485. Didalamnya telah terdapat
reagen-reagen yang telah dibutuhkan. Reagen 1 adalah buffered urease/GIDH
dengan komposisi TRIS buffer 125 mmol/L pH 7.4, 2-oxoglutarate 10 mmol/L,
urease>140 U/mL, glutamate dehydrogenease > 120 U/mL, Biocides. Reagen 2
adalah koenzim dengan komposisi NADH 1,50 mmol/L. Urea standar dengan
komposisi urea 50 mg/dL (8.3 mmol).
Kadar urea. Olah reagen menjadi working reagent sesuai dengan prosedur
yakni dengan mencampurkan 4 mL reagen 1 dan 1 mL reagen 2. Kemudian pre-
inkubasi working reagen, sampel dan standard pada suhu 37°C. Siapkan
spektrofotometer pada titik absorbsi 0 dengan menggunakan air suling. Hitung
perbedaan nilai absorbansi standar dengan cara pipetkan 1 mL working reagent dan
10 μL standard ke dalam cuvet kemudian aduk merata. Lihat absorbansi pada 340
nm kemudian catat nilai masing-masing setelah 30 detik (A1) dan 90 detik (A2)
kemudian jumlahkan perbedaan dari absorbansi tersebut. Cara yang sama digunakan
dalam mengukur perbedaan absorbansi dari sampel. Pipetkan 1 mL working reagent
dan 10 μL sampel k edalam cuvet kemudian aduk merata. Lihat absorbansi pada 340
nm kemudian catat nilai masing-masing setelah 30 detik (A1) dan 90 detik (A2)
kemudian jumlahkan perbedaan dari absorbansi tersebut.
mg/dL urea
7. Pengolahan Data
Data kadar urea dan nilai pH saliva pada pasien gagal ginjal dan kelompok
kontrol dibagi menjadi dua kelompok. Kemudian seluruh data dimasukan kedalam
software statistik di komputer untuk dianalisis.
Satu hari sebelum penelitian, sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi diberi penjelasan tentang maksud penelitian kemudian diintruksikan
untuk tidak makan, minum (kecuali air putih), merokok dan menyikat gigi 2
jam sebelum penelitian.
Pada hari penelitian pasien akan dijelaskan kembali tentang maksud penelitian
dan menandatangani surat persetuan. Setelah itu, pasien akan ditanyai sesuai
dengan isi kuisioner.
Pot diberi label dan dimasukan dalam termos berisi dry ice dan dibawa ke
laboratorium kimia UNIMED
Kesimpulan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pemeriksaan N Rerata ± SD
59,93 ± 2,44
Urea darah (BUN) 29
mg/dl
9,87 ± 0,60
Serum kreatinin (Scr) 29
mg/dl
4,72 ± 0,84
Laju filtrasi glomerulus (LFG) 29
mL/menit/1,73m2
4.2 Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik
Rasyida Medan
Pada tabel 6 menunjukkan laju aliran saliva yang distimulasi pada penderita
gagal ginjal kronik adalah 0,76 ± 0,09 mL/menit. Hal ini memperlihatkan bahwa
terjadi penurunan laju aliran saliva yang distimulasi hingga termasuk kedalam
kriteria laju aliran saliva rendah (0,7-1,0mL). Nilai normal laju aliran saliva yang
distimulasi adalah 1,0-3,0 mL/menit.
Tabel 6. Laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida
Medan
N Rerata ± SD
Tabel 7. pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan
N Rerata ± SD
pH saliva 29 7,17 ± 0,23
4.4 Kadar Urea Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik
Rasyida Medan
Pada tabel 8 menunjukan nilai kadar urea saliva yang distimulasi pada
penderita gagal ginjal kronik adalah 21,70 ± 0,97 (mmol/l). Hal ini memperlihatkan
bahwa terjadi peningkatan kadar urea saliva yang distimulasi melebihi nilai normal
(> 2,65 ± 0,92 mmol/l).
Tabel 8. Kadar urea saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida
Medan
N Rerata ± SD
4.5 Hubungan Antara Laju Aliran dan pH Saliva Pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan
Hubungan antara laju aliran dan pH saliva diperoleh dengan menggunakan uji
Spearman. Pada tabel 9 diperoleh bahwa terdapat hubungan antara laju aliran dan pH
saliva. Hubungan antara laju aliran dan pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik
tersebut menunjukan hubungan signifikan dengan korelasi yang terbalik (-0,750).
Gambar 8 menunjukan hubungan terbalik antara laju aliran saliva dan pH saliva,
dimana semakin rendah laju aliran, semakin tinggi pH saliva.
Tabel 9. Hubungan antara laju aliran dan pH saliva pada penderita gagal
ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan
Korelasi Spearman Laju aliran saliva pH saliva
r 1 -0,750*
Laju aliran saliva p 0,000
n 29 29
r -0,750* 1
pH Saliva p 0,000
n 29 29
*)signifikan
4.6 Hubungan Antara Laju Aliran dan Kadar Urea Pada Penderita
Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan
Hubungan antara laju aliran dan kadar urea diperoleh dengan menggunakan
uji Spearman. Pada tabel 10 diperoleh bahwa terdapat hubungan antara laju aliran
dan kadar urea saliva. Hubungan antara laju aliran dan kadar urea saliva pada
penderita gagal ginjal kronik tersebut menunjukan hubungan signifikan dengan
korelasi yang terbalik (-0,735). Gambar 9 menunjukan hubungan terbalik antara laju
aliran saliva dan kadar urea saliva, dimana semakin rendah laju aliran, semakin
tinggi kadar urea saliva.
Tabel 10. Hubungan antara laju aliran dan kadar urea saliva pada
penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan
r 1 -0,735*
Laju aliran saliva p 0,000
n 29 29
r -0,735* 1
Kadar urea saliva p 0,000
n 29 29
*)signifikan
4.7 Hubungan Antara Kadar Urea dan pH Pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik di Klinik Rasyida Medan
Hasil penelitian ini diperoleh dengan menggunakan uji Spearman. Pada tabel
11 diperoleh bahwa terdapat hubungan antara kadar urea dan pH saliva. Hubungan
antara kadar urea dan pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik tersebut
menunjukan hubungan signifikan dengan korelasi searah (0,829). Gambar 10
menunjukan hubungan searah antara kadar urea dan pH saliva, dimana semakin
tinggi kadar urea , semakin tinggi pH saliva.
Tabel 11. Hubungan antara laju aliran dan kadar urea saliva pada
penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan laju aliran, pH dan kadar
urea saliva yang distimulasi pada pasien gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida
Medan. Penelitian ini dilakukan pada 29 orang penderita gagal ginjal kronik (GGK).
Setiap subjek yang diteliti diberikan pertanyaan sesuai dengan kuisioner terlebih
dahulu dan subjek harus memenuhi beberapa kriteria inklusi, yaitu laju filrasi
glomerulus (LFG) subjek ≤ 15 mL/menit/1,73m2, telah menjalani hemodialisis di
klinik Rasyida Medan lebih dari 6 bulan serta menyatakan kesediaan untuk
berpartisipasi dalam penelitian.
Pemeriksaan laju aliran, pH dan kadar urea saliva penderita gagal ginjal
kronik dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri Medan. Hasil
pemeriksaan kadar urea saliva dengan satuan mg/dl kemudian dikonversi menjadi
satuan mmol/L. Hasil penelitian ini kemudian diolah menggunakan SPSS 16
Windows.
Saliva memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara dan menjaga
kesehatan rongga mulut baik itu jaringan keras maupun jaringan lunak. Beberapa
fungsi saliva diantaranya sebagai lubrikasi dan pelindung jaringan lunak rongga
mulut, menjaga keseimbangan pH rongga mulut dan integrasi enamel gigi,
menghambat pertumbuhan bakteri serta berperan dalam proses pencernaan dan
sensasi pengecapan.32
meskipun tidak dalam jumlah yang signifikan. Penyebab pasti mengapa laki-laki
lebih rentan menderita gagal ginjal kronik masih menjadi perdebatan, kemungkinan
hal ini dipengaruhi oleh riwayat keluarga, usia, kebiasaan merokok, menahan buang
air kecil dan faktor resiko lainnya. Hal ini sejalan dengan data yang dihimpun oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI tahun 2013, prevalensi gagal
ginjal kronik pada pria (0,3%) lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada wanita
(0,2%). 1,5
Hasil penelitian (tabel 4) menunjukan penderita gagal ginjal kronik dengan
usia diatas 51 tahun (62,04%) lebih banyak dibandingkan penderita dengan usia 31
hingga 50 tahun. Hal ini disebabkan oleh dengan meningkatnya usia, maka fungsi
organ tubuh juga menurun. Selain itu penyakit lain seperti hipertensi, diabetes,
glomeronefritis dan penyakit-penyakit lainnya yang menjadi faktor etiologi penyakit
ginjal kronik umumnya terlihat pada usia tersebut akan memperberat kondisi
kegagalan ginjal.1,2 Hasil penelitian (tabel 4) menujukan bahwa 13 orang (44,8%)
subjek penelitian memiliki hipertensi sebagai etiologi gagal ginjal, 9 orang (31%)
memiliki diabetes, 1 orang (3,4%) memiliki glomeronefritis dan 6 orang (20,7%)
memiliki lebih dari dua penyakit etiologi. Berdasarkan data Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) tahun 2000, Hipertensi, diabetes melitus, hipertensi, obstruksi
dan infeksi merupakan penyakit etiologi tersering dari penyakit ginjal kronik.2
Meskipun stadium dini dan penyebab dari penyakit ginjal cukup bervariasi, tetapi
stadium akhir hampir sama semuanya hingga penyebabnya tidak dapat diidentifikasi
lagi.1
Secara umum pasien yang merupakan subjek penelitian mempunyai kondisi
umum baik seperti tidak menderita HIV/AIDS (100%) dan cukup kooperatif dalam
menjalani terapi HD secara teratur, mengikuti anjuran asupan cairan serta mengikuti
anjuran diet protein yang sesuai. Hasil penelitian (tabel 4) menunjukan bahwa 27
orang (93,1%) subjek mengikuti terapi hemodialisis secara teratur, 26 orang (89,7%)
subjek mengikuti anjuran asupan air minum dan sebanyak 28 orang (96,6%) subjek
mengikuti anjuran diet protein.
5.2 Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik
Rasyida Medan
Hasil penelitian (tabel 6) menunjukan nilai rerata laju aliran saliva yang
distimulasi pada penderita gagal ginjal kronik adalah 0,76 ± 0,088 mL/menit lebih
rendah dibandingkan nilai normal laju aliran saliva yang distimulasi (1,0-3,0
mL/menit). Laju aliran ini dapat dikategorikan sebagai laju aliran saliva rendah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bayraktar, dkk di Istambul, Turki tahun
2009 pada 100 orang penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
dimana rerata laju aliran saliva stimulasi subjek adalah 0,70 ± 0,32 mL/menit.11
Pada penderita gagal ginjal kronik rendahnya laju aliran saliva disebabkan
pembatasan air minum untuk mengurangi resiko terjadinya kelebihan beban
sirkulasi, edem dan toksikasi cairan. Penyakit ginjal kronik umumnya disebabkan
oleh diabetes, hipertensi, glomeronefritis, obstruksi dan infeksi ginjal yang mana
pengobatan penyakit tersebut menggunakan obat-obat seperti antihipertensi,
antidepresan, antihistamin dan antipsikotik yang diketahui juga dapat menyebabkan
produksi saliva menurun. Obat-obatan tersebut memengaruhi aliran saliva dengan
meniru aksi sistem syaraf autonom atau dengan secara langsung beraksi pada proses
seluler yang diperlukan untuk saliva. Obat-obatan juga dapat secara tidak langsung
mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau
dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar. 1,10,42,43
ginjal kronik yang menjalani hemodialisis juga menunjukan nilai pH saliva diatas
normal yaitu 7,28 ± 0,25. 43
Peningkatan konsentrasi urea, fosfor, sodium, potasium pada penderita gagal
ginjal kronik menyebabkan peningkatan nilai pH. Hidrolisis urea yang berlebihan
menjadi amoniak oleh bakteri urease (staphylococcus salivarius dan actinomyces
naeslundii) menyebabkan kondisi alkali/basa pada rongga mulut. Pada penderita
gagal ginjal kronik pembatasan air minum untuk mengurangi resiko terjadinya
kelebihan beban sirkulasi, edem dan toksikasi cairan, juga menyebabkan penurunan
laju aliran saliva dan perubahan komposisi saliva. 1,10,32,42
Peningkatan nilai pH saliva yang tidak signifikan pada penelitian ini
kemungkinan dapat disebabkan oleh pengaruh kondisi psikologis subjek. Penelitian
yang dilakukan oleh Bonsola, dkk pada tahun 2010 pada penderita gagal ginjal
kronik menunjukan bahwa 52,3% subjek mengalami depresi, 42,5% subjek
mengalami kecemasan ringan dan 48,7% subjek mengalami kecemasan tingkat
sedang hingga parah. Gangguan psikologis yang dialami penderita disebabkan oleh
keterbatasan pergerakan, fisik, penurunan kualitas hidup dan keharusan menjalani
terapi hemodialisis secara terus menerus.43 Kondisi psikologis seperti stress,
kecemasan dan depresi diketahui dapat menginduksi meningkatan alpha-amylase
saliva yang dapat menurunkan nilai pH. Stress dapat menyebabkan penurunan laju
aliran saliva dan sekresi protein dari sel asinar sehingga alpha-amylase saliva juga
ikut disekresikan sebagai kompensasi.45
5.4 Kadar Urea Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik
Rasyida Medan
Hasil penelitian (tabel 8) menunjukan bahwa rerata nilai kadar urea saliva
adalah 21,70 ± 0,968 mmol/L, jauh lebih tinggi dibandingkan nilai normal saliva
2,65 ± 0,92 mmol/L. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Karen J Manley, dkk di Australia pada tahun 2012, yaitu nilai kadar urea pada
penderita gagal ginjal kronik adalah 29,42 ± 1,93 mmol/L sedangkan pada kelompok
kontrol diketahui nilai kadar urea saliva adalah 7,50 ± 0,64 mmol/L.
Tingginya kadar urea pada saliva disebabkan oleh ginjal yang sudah tidak
mampu untuk menjalankan fungsi normal sebagai organ yang mengatur
keseimbangan cairan tubuh menyebabkan retensi sisa nitrogen metabolit seperti urea
pada darah, dimana seharusnya zat ini disekresikan oleh ginjal bersama urin. Retensi
sisa nitrogen metabolit ini menyebabkan peningkatan kadar urea darah dimana
peningkatan kadar urea darah akan menyebabkan peningkatan kadar urea saliva.
1,10,12,37
5.6 Hubungan Kadar Urea dan Laju Aliran Saliva di Klinik Rasyida
Medan
Hasil uji-korelasi Spearman (tabel 10) menunjukan bahwa terdapat hubungan
terbalik yang signifikan (p<0,05) antara laju aliran dan kadar urea saliva, dimana
semakin rendah laju aliran saliva, maka nilai kadar urea saliva (SUN) akan semakin
meningkat. Tingginya kadar urea pada saliva disebabkan oleh meningkatnya kadar
urea didalam darah. Selain itu, pada penderita gagal ginjal kronik, laju aliran saliva
menurun karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti pembatasan asupan air
minum untuk mencegah terjadinya edem, kelebihan beban sirkulasi dan toksikasi
cairan serta mengkonsumsi obat-obatan antihipertensi, antidepresan, antihistamin
didalam saliva. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suresh
G, dll di Ashwini Hospitals, Guntur, India pada tahun 2014. Penelitian ini
menunjukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan (p<0,05) antara kadar urea
darah dengan kadar urea saliva. Pada penelitian ini, nilai kadar urea darah adalah
71,75 ± 23,15 mg/dL dan nilai kadar urea saliva adalah 97,15 ± 34,12 mg/dL atau
setara dengan 34,6 ± 12,18 mmol/L. Keduanya berada diatas nilai normal.37
Penurunan fungsi ginjal pada penderita gagal ginjal kronik disebabkan oleh
pengurangan massa ginjal yang mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus serta proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi sehingga proses penyaringan menjadi tidak
lagi normal. Dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, hasil sisa metabolit
yang seharusnya dibuang melalui urin mengendap dalam darah dan menyebabkan
gejala-gejala yang mempengaruhi sistem organ tubuh. Retensi dari sisa nitrogen
metabolit menyebabkan peningkatan kadar urea darah dan berujung pada sindrom
uremik, dimana retensi tersebut mempengaruhi sebagian fungsi dari organ tubuh.
Komponen organik saliva disintestis oleh sel sekretori kelenjar saliva yang
memperoleh nutrisi dari pembuluh darah (arteri karotis eksterna, arteri lingualis dan
arteri fasialis). Ketika sel-sel sekretori distimulasi, saliva yang diproduksi akan
dikeluarkan melalui sel asinar sehingga meningkatnya k adar urea darah akan
menyebabkan peningkatan kadar urea saliva.1,2,33
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini
pada saliva yang distimulasi pada penderita gagal ginjal kronik maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Nilai rerata kadar urea saliva adalah 21,70 ± 0,97 mmol/L lebih rendah
dibandingkan nilai normal kadar urea saliva (2,65 ± 0,92 mmol/L).
2. Nilai rerata pH saliva adalah 7,17 ± 0,23 lebih tinggi dibandingkan nilai
normal laju aliran saliva (6,0-7,0).
3. Nilai rerata laju aliran saliva adalah 0,76 ± 0,09 mL/menit lebih rendah
dibandingkan nilai normal laju aliran saliva (1,0-3,0 mL/menit).
4. Terdapat hubungan signifikan dengan korelasi terbalik (P<0,05) antara laju
aliran dan pH saliva dimana semakin rendah laju aliran saliva maka akan semakin
tinggi pH saliva. Terdapat hubungan signifikan dengan korelasi terbalik (P<0,05)
antara laju aliran dan kadar urea saliva dimana semakin rendah laju aliran saliva
maka akan semakin tinggi kadar urea saliva. Terdapat hubungan signifikan dengan
korelasi searah (P<0,05) antara kadar urea dan pH saliva dimana semakin tinggi
kadar urea maka akan semakin tinggi pH saliva.
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
12. Manley KJ, Haryono RY, Keast RSJ. Taste changes and saliva composition in
chronic kidney disease. Renal Society of Australia J 2012; 8(2): 56-60.
13. Tanner GA, Kidney function. In: Roardes RA, David DR. Medical physiology
for clinical medicine. Ed.3. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 2008:
391-419.
14. Annonymous.Filtration
membrane.http://courses.washington.edu/conj/bess/filtration/filtration.htm.(13
Januari 2014).
15. Kidney Health New Zealand. The Kidney and Kidney Disease.
www.kidney.co.nz/resourses/file/kidney/kidney_and_kidney_disease.pdf.
(20Januari 2014).
16. USH National Kidney Urologic Disease Information Clearinghouse. The kidney
and how they work. NIH Publication; 09-3195: 1-8.
17. Mclyntire N. Acute renal failure. In: Thomas N. Renal nursing. China: 2012:
104-13.
18. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan RI
no.812/MENKES/PER/VII/2010.
19. Carroll LE. The stages of chronic kidney disease and the estimated glomerular
filtration rate. The Journal of Lancaster General Hospital 2006; 1(2): 64-9.
20. The Kidney Foundation in Canada. What is kidney
disease.http://www.kidney.ca/page.aspx?pid=320. (8 April 2014)
21. The CARI Guidelines. Classification of ckd based on evaluation of kidney
fuction. Evaluation of Renal Funtion 2005: 1.
22. The Management of CKD Working Group Departemen of Veteran Affairs and
Departement of Defence. Va/DoD clinical practice guidelines for management
of ckd. 2007: 11-20.
23. Foothe EF, Manley ED. Hemodialysis and peritoneal dyalisis. In: Dipiro JT,
dkk. Pharmacotheraphy: a pathophysiology approach. Ed.7. New York: The
Mcgraw-Hill Companies Inc, 2008: 103-13.
36. Garett JR, Ekstrom J, Anderson LC. Neural mechanisms of salivary gland
secretion. Basel: Karger, 1999;35-47.
37. Suresh G, Ravi Kiran A, Samata Y, Purnachandrarao Naik N, Vijay Kumar A.
Analisis of blood and salivary urea levels in patient under going haemodyalisis
and kidney transplant. Journal of Clinical and Diagnostic Research 2014;8(7):
18-20.
38. Ekstrom J, dkk. Saliva and the control of its Secretion. Berlin: Springer Verlag,
2012; 20-42.
39. Wong DT. Salivary diagnostic. USA:Wiley-Blackwell. 2008. 60.
40. Kusnanto MW. Analisis spektroskopi UV-vis penentuan konsentrasi
permanganat (KMnO4). http://www.share-pdf.com/8a7bfdda05144b139
1261997884cfbdb/laporan-UV-Vis.htm. (19 April 2014).
41. Bambang Madiyono. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S.
Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Ed.4. Jakarta: Sagung Seto, 2011: 359.
42. Bossola M, Tazza L. Xerostomia in patient chronic hemodialysis Nature
Reviews : Nephrology 2012; 8: 176-81.
43. Kaushik A, Reddy SS, Umesh L, Devi BKY, Santana N, Rakesh N. Oral and
salivary changes among renal patient undergoing hemodialysis : a cross
sectional study. Indian Journal of Nephrology 2013;23(2): 125-9.
44. Wang LJ. Chen CK. The psycological impacts of hemodialysis on patients with
chronic kidney disease. In: Polenakovic. Renal failure : the facts, Rijeka:
InTech, 2012: 217, 219, 222, 224.
45. Rohleder N, Wolf JM, Maldonado EF, Kirschbaum C. The psychososial stress-
induced increase of salivary alpha-amylase is independent of salivary flow rat
e.Psychophysiology 2006; 43: 645-6.