Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2018


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

AKALASIA

Oleh :

Alfian Umar, S.Ked


10542 045813

Pembimbing :
dr. Adnan Ibrahim, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:

Nama : Alfian Umar

NIM : 10542 0458 13

Judul Laporan kasus : Akalasia

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2018

Pembimbing,

(dr. Adnan Ibrahim, Sp.PD)


BAB I

PEDAHULUAN

Akalasia adalah suatu kedaan khas yang ditandai dengn tidak adanya peristaltis korpus
esophagus bagian awah dan sfingter esophagus bagian bawag (SEB) yang hipertnik sehingga
tidak bias mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan.1 Akalasia
esophagus atau dikenal dengan nama simple ectasia, Kardiospasme, Megaesofagus, dilatasi
esophagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esophagus idiopatik adalah suatu gangguan
neomuskuler. Istilah akalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophagus spincter (dinding otot antara esophagus bagian bawah
dan lambung) untuk membuka dan membiarkan nakanan lewat ke dalam lambung.2 Sebagian
besar diderita pada usia 25-60 tahun dan sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak diturunkan
dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.1

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Hanya pada penyakit Chagas,
penyebabnya telah diketahui. Secara histologk, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel
ganglion plexus Auerbach sepanjang esophagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan
bahwa factor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degenerative adalah kemungkinan
penyebab dari akalasia.2,3,4,5,6 Gejala klinis subjektif yang terutama ditemukan adalah disfagia,
baik untuk makanan padat maupun cair yang didapatkan pada lebih dari 90% kasus. Biasanya
cairan lebih sukar ditelan daripada makanan padat. Letak obstruksi biasanya dirasakan pada
retrosternal bagian bawah. Gejala lain yang sering didapatkan adalah regurgitasi yaitu pada 70%
kasus. Regurgitasi ini berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari
karena adanya akumulasi makanan pada esophagus yang melebar.

Penurunan berat badan adalah gejala ketiga yang sering ditemukan. Hal ini disebabkan
pasien takut makan akibat timbulnya odinofagia. Nyeri dada didapatkan pada 30% kasus yang
biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien. Pada stadium lanjut, akan timbul rasa nyeri hebat
pada daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pectoris.

Gejala lain yang biasa didapatkan adalah rasa penuh substernal akibat komplikasi retensi
makanan dalam bentuk batuk-batuk dan pneumonia aspirasi. Pada anak yang paling sering
adalah muntah persisten.1,2,3,4,9,10,11,12
Untuk menegakkan diagnosis selain gejala klinis yang dapat memberikan keurigaan
adanya akalasia perlu beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi
(esofagogram), endoskopi saluran cerna atas dan manometri. Pemeriksaan radiologi dengan foto
polos dada akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti
mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan dan udara. Keadaan ini didapatkan pada
stadium lanjut.1

Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan


juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan mampu membedakan
antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu juga
dapat diberikan calcium channel blocker (nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi
tekanan pada sfingter esofagus bawah. Terapi bedah yaitu dengan suatu laparoscopic Heller
myotomy dan partial fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus.
Keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit tidak lama, dan waktu pemulihan yang
cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus.
Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi, operasi
kedua, atau pengangkatan esofagus (mis:esofagektomi).11,14

Prognosis akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan
motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin kecil gangguan motilitasnya maka
prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Akalasia adalah suatu kedaan khas yang ditandai dengn tidak adanya peristaltis korpus
esophagus bagian bawah dan sfingter esophagus bagian bawah (SEB) yang hipertonik sehingga
tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan.1

Akalasia esophagus atau dikenal dengan nama simple ectasia, Kardiospasme,


Megaesofagus, dilatasi esophagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esophagus idiopatik adalah
suatu gangguan neomuskuler. Istilah akalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophagus spincter (dinding otot antara esophagus bagian bawah
dan lambung) untuk membuka dan membiarkan nakanan lewat ke dalam lambung.2

B. EPIDEMIOLOGI

Dari data divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI/RSCM


didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada
umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang hamper sama. Di Amerika Serikat
ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun, sebagian besar pada usia 25-60 tahun dan
sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu
bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.1

Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur
kelahiran sampai decade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus
didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.2,4

C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Hanya pada penyakit Chagas,
penyebabnya telah diketahui. Secara histologk, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel
ganglion plexus Auerbach sepanjang esophagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan
bahwa factor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degenerative adalah kemungkinan
penyebab dari akalasia.2,3,4,5,6

1. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung
bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetic. Kemungkinan ini berkisar
antara 1-2% dari populasi penderita akalasia.
2. Teori Infeksi
Factor-faktor terkait yaitu bakteri (diphtheria pertussis, clostridia, tuberculosis, dan
syphilis. Virus (herpes, varicella zoster, polio, dan measles). Zat-zat toksik (gas kombat),
trauma esophagus esophagus dan iskemik esophagus uterine pada saat rotasi saluran
pencernaan intrauterine. Bukti yang paling kuat mendukung factor infeksi neurotrofic
sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esophagus dan fakta bahwa satu-satunya
bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang
memungkinkan infiltrasi factor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat
pada akalasia dapat menjelaskan factor neurotrpik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan
serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien
akalasia.
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa sumber. Pertama, respon
inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui
berperan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang
diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus
akalasia ditemukan autoantibody dari pleksus mienterikus.
4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS, menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan proses
penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson dan
depresi.

Bila ditinjau dari etiologi, akalasia ini dapat dibagi jadi dua bagian, yaitu:
Akalasia Primer: penyebab yang jelas kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus
neurotropik yang berakibat lesi pada nucleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia
misenterikus di esophagus, di samping itu factor keturunan juga cukup berpengaruh pada
kelainan ini.1

Akalasia Sekunder: kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi tumor intraluminer seperti tumor
kardia dan pendorongan ekstra luminer, seperti pseudokista pancreas. Kemungkinan lain dapat
disebabkan oleh obat antikolinergik atau pada vagotomi.1

D. PATOFISIOLOGI
1. Neuropatologi
Beberapa macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak dikemukakan. Beberapa
dari perubahan ini mungkin primer (misalnya hilangnya sel-sel ganglion dan inflamasi sel
mienterikus), dimana yag lainnya (missal: perubahan degenerative, dari n. vagus dan
nucleus motoris dorsalis dari n. vagus, ataupun kelainan otot dan mukosa), biasanya
merupakan penyebab sekunder dari stasis da obstruksi esofagus dan lama.2
2. Kelainan pada Innervasi Ekstrinsik
Saraf eferen dari n. vagus , dengan badan-badan selnya di nucleus motoris dorsalis,
menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan peristaltic yang merupakan respon dari
proses menelan. Dengan mikroskop cahaya, serabut saraf vagus terlihat normal pada
pasien akalasia. Namun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektrn, ditemukan
adanya degenerasi Wallerian dari nervus vagus dengan disintegrasi dari perubahan
aksoplasma pada sel-sel Schwann dan degenerasi dari selubung myelin yang merupakan
perubahan-perubahan yang serupa dengan percobaan transeksi saraf.2
3. Kelainan pada Innervasi Intrinsik
Neuron nitrergik pada pleksus pada pleksus menterikus menstimulasi inhibisi di
sepanjang badan esofagus dan LES yang timbul pada proses menelan. Inhibisi ini penting
untuk menghasilkan peningkatan kontraksi yang stabil sepanjang esofagus, di mana
menghasilkan gerakan peristaltic dan relaksasi dari LES. Pada akalasia, system saraf
inhibitor intrinsic dari esofagus menjadi rusak yang disertai inflamasi dan hilangnya sel-
sel ganglion di sepanjang pleksus mienterikus Auerbach.2,10
4. Kelainan Otot Polos Esofagus
Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya menebal pada
pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara mendetail beberapa kelainan otot pada
pasien akalasia setelah proses esofagektomi. Hipertrofi otot muncul pada semua kasus,
dan 79% dari specimen memberikan bukti bahwa adanya degenerasi otot yang biasanya
melibatkan fibrosis tapi termasuk juga nekrosis likuefaktif, perubahan vacuolar, dan
kalsifikasi distrofik. Disebutkan juga bahwa perubahan degenerative disebabkan oleh otot
yang memperbesar suplai darahnya oleh karena obstruksi yang lama dan dilatasi
esofagus. Kemungkinan lai menyebutkan bahwa hipertrofi otot merupakan reaksi dari
hilangnya persarafan.2
5. Kelainan pada Mukosa Esofagus
Kelainan mukosa, diperkirakan akibat sekunder dari statis luminal kronik yang telah
digamarkan pada akalasia. Pada semua kasus, mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu
melebihi sel CD20+. Situasi ini signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan
berhubungan dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien akalasia.2
6. Kelainan Otot Skelet
Fungsi otot skelet padfa proksimal esofagus dan sfingter esofagus atas terganggu pada
pasien akalasia. Meskipun peristaltic pada otot skelet normal tetapi amplitude kontraksi
peristaltic mengecil. Massey dkk juga melaporkan bahwa refleks sendawa juga
terganggu. Ini menyebabkan esofagus berdilatasi secara massif dan obstruksi jalan napas
akut.2
7. Kelainan Neurofisiologik
Pada esofagus yang sehat, neuron kolinergik eksftatori melepaskan asetilkolin
menyebabkan kontraksi otot dan meningkatkan tonus LES, dimana inhibisi neuron
NO/VIP memediasi inhibisi sehingga menghambat respon menelan sepanjang esofagus,
yang menghasilkan gerakan peristaltic dan relaksasi LES. Kunci kelainan dari akalasia
adalah kerusakan dari neuron inhibitor postganglionic dari otot sikuler LES.2
E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis subjektif yang terutama ditemukan adalah disfagia, baik untuk makanan
padat maupun cair yang didapatkan pada lebih dari 90% kasus. Biasanya cairan lebih sukar
ditelan daripada makanan padat. Sifatnya pada permukaan hilang timbul yang dapat terjadi
bertahun-tahun sebelum diagnosis diketahui secara jelas. Letak obstruksi biasanya dirasakan
pada retrosternal bagian bawah. Gejala lain yang sering didapatkan adalah regurgitasi yaitu pada
70% kasus. Regurgitasi ini berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari
karena adanya akumulasi makanan pada esophagus yang melebar. Hal ini dihubungkan dengan
posisi berbaring. Sebagai tanda bahwa regurgitasi berasal dari esofagus adalah pasien tidak
merasa asam atau pahit. Keadaan ini dapat berakibat aspirasi pneumonia.1,2

Penurunan berat badan adalah gejala ketiga yang sering ditemukan. Hal ini disebabkan
pasien takut makan akibat timbulnya odinofagia. Nyeri dada didapatkan pada 30% kasus yang
biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien. Pada stadium lanjut, akan timbul rasa nyeri hebat
pada daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pectoris. Sifat
nyeri dengan lokasi substernal dan dapat menjalar ke belakang bahu, rahang, tangan yang
biasanya dirasakan bila minum air dingin. Gejala lain yang biasa didapatkan adalah rasa penuh
substernal akibat komplikasi retensi makanan dalam bentuk batuk-batuk dan pneumonia aspirasi.
Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.1,2,3,4,9,10,11,12

F. DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis selain gejala klinis yang dapat memberikan keurigaan
adanya akalasia perlu beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi
(esofagogram), endoskopi saluran cerna atas dan manometri. Pemeriksaan radiologi dengan foto
polos dada akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti
mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan dan udara. Keadaan ini didapatkan pada
stadium lanjut.1

Pada pemeriksaan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi esophagus. Pada


pemeriksaan radiologi dengan barium pada akalasia berat akan terlihat adanya dilatasi
esophagus, sering berkelok-kelok, dan memanjang dengan ujung distal meruncing disertai
permukaan halus berbentuk paruh burung. Pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan
adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang mengandung radioisotope dan akan
memperlihatkan dilatasi esophagus tanpa kontraksi. Di samping itu didapatakan pemanjangan
transit makanan ke dalam gaster akibat gagguan pengosongan esophagus.1

Pemeriksaan esofagoskopi

Esofagoskopi merpakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh
karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitits retensi dan derajat obstruksi,
dan untuk menentukan ada tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini terdapat tanda-tanda
pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang meneyempit, terdaapat sisa-sisa makanan
dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan.9,14

Pemeriksaan Manometrik

Gunanya untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan
di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas
secara kuantitatif dan kualitatif. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan
esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltic sepanjang esofagus sebagai reaksi proses
menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah norma atau meninggi dan tidak terjadi
relaksasi sfingter pada waktu menelan.3,14

G. PENGOBATAN
1. Terapi Non Bedah
a. Terapi Medikasi
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan
juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan mampu
membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus
bawah. Selain itu juga dapat diberikan calcium channel blocker (nifedipine 10-30 mgSL)
dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah. Terapi ini sebaiknya
digunakan untuk pasien lansia yang menpunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation
atau pembedahan.2,3
b. Injeksi Botulinum Toxin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat
pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan
mengembalikan keseimbangan antara neurotransmitter eksitasi dan inhibisi. Terapi ini
sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau
pembedahan.2,3
c. Pneumatic Dilatation
Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk
merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal
adalah 70-80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah
beberapa kali dilatasi. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilatation
biasanya diterapi dengan miotomi Heller.2,3

2. Terapi Bedah
Suatu laparoscopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah suatu prosedur
pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot
(mis:miotomi) dari sfingter esofags bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm),
yang diikuti partial fundoplication untuk mencegah refluks. Keberhasilan yang sangat
baik, perawatan rumah sakit tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini
dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal
dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi, operasi kedua, atau
pengangkatan esofagus (mis:esofagektomi).11,14

H. KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi dari akalasia sebagai akibat sebagai akibat retensi makanan pada esofagus
adalah sebagai berikut:2

1. Obstruksi saluran pernapasan


2. Bronchitis
3. Pneumonia aspirasi
4. Abses paru
5. Divertikulum
6. Perforasi esofagus
7. Small cell carcinoma
8. Sudden death

I. PROGNOSIS

Prognosis akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan
motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin kecil gangguan motilitasnya maka
prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller).
Memberikan hasil yang sangat baik. Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya ebih baik dilakukan daripada
pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum
sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic dilatation dan
laparoscopic Heller myotomi (Lansia). Follow-up secara periodic dengan menggunakan
esofagoscopi diperlukan untuk melihat perkembangan terjadinya kanker esofagus.10,15
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. S
2. JenisKelamin : Laki-laki
3. Usia : 58 Tahun
4. Alamat : Jl. BR Romang
5. Status : Menikah
6. Pekerjaan : TNI
7. Suku : Jawa
8. Tanggal MRS : 6 Mei 2018
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Susah menelan
Anamnesis Terpimpin :
Pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan susah menelan yang hilang timbul
selama bertahun-tahun dan memberat dalam 3 hari terakhir. Keluhan ini dirasakan terutama
saat bekerja berat dan begadang. Pasien juga mengeluh mual dan muntah sebanyak 4 kali,
kadang nyeri pada tenggorokan dan membuatnya susah menelan. Pasien mengeluh lemas
dan nyeri seluruh badan, demam dan menggigil, serta batuk berlendir. Terdapat riwayat
merokok. Tidak ada penyakit yang sama dalam keluarga
C. KEADAAN UMUM
Sakit (Ringan/Sedang/Berat)
Kesadaran (Composmentis/Uncomposmentis)
Hygiene (Buruk/Sedang/Baik)
Status Gizi (Underweight/Normal/Overweight/Obesitas I/ObesitasII)
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit reguler,kuat angkat
Pernapasan : 22 x/menit, Tipe : Thoracoabdominal
Suhu : 37,7 oC (axilla)
1. Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Rambut : Hitam Putih, tipis, tidak rontok
Simetris : Kiri - Kanan
Deformitas : -
2. Mata
Eksoptalmus/enoptalmus : Eksoptalmus (-)
Konjungtiva : Anemis (-/-),
Sklera : Ikterus (-/-), perdarahan (-)
Pupil : Bulat Isokor kiri-kanan
3. Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Nyeri tekan : (-/-)
4. Hidung
Bentuk : Simetris
Perdarahan : -
5. Mulut
Bibir : Kering (-), sianosis (-),
Lidah kotor : (-)
Caries gigi : -
6. Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
DVS : R-4 cm
7. Kulit
Hiperpigmentasi :-
Ikterus :-
Petekhie :-
Sianosis :-
Pucat :-
8. Thorax
Inspeksi : Dada simetris kiri-kanan. Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Vocal fremitus kiri – kanan simetris
Perkusi : Sonor kiri-kanan, Batas Paru – Hepar ICS 4

Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),


Wheezing (-/-)
9. Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : sulit di evaluasi
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis kiri,
Batas atas : ICS II linea parasternalis kanan

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)


10. Abdomen

Inspeksi : simetris, mengikuti gerak napas, tidak ada


tanda- radang, benjolan (+) Regio hypochondrium
dextra, caput medusae (-)
Palpasi : Hepar : Teraba ,nyeri tekan regio hypochondrium dextra
dan regio epigastrium
Lien: Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
11. Punggung

Tampak dalam batas normal


Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang
12. Genitalia

Tidak dievaluasi
13. Ekstremitas atas dan bawah

Pitting edema kedua extremitas inferior (-)


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. 7 Mei 2018 (Laboratorium Klinik RS PELAMONIA)


Hasil Nilai Normal
Natrium 149,5 mmol/L 136-145 mmol/L
Kalium 3,56 mmol/L 3,5-5,1 mmol/L
Klorida 114,1 mmol/L 98-106 mmol/L

2. 7 Mei 2018 (Laboratorium Klinik RS PELAMONIA)


Hasil Nilai Normal
Ureum 23,0 mg/dl 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,9 mg/dl L: 0,7-1,3 P: 0,6-1,1 mg/dl
Protein Total 6,6 mg/dl 6,6-8,7 mg/dl
Albumin 3,5 mg/dl 3,5-5,0 mg/dl
Globulin 3,2 mg/dl 1,5-3,0 mg/dl

2. Pemeriksaan EKG

Hasil: WNL
Kesan: Pleuropneumonia Sinistra

Kesan: Akalasia
E. DIAGNOSA KERJA

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien di diagnosis
Akalasia Esofagus

F. PENATALAKSANAAN

 IVFD NaCl 0,9% 16 tpm


 Neurobion Amp/24 jam/drips
 Xepazym 3x1
 Mecobalamin 500 mg 2x1
 Clobazam 2x1
 Sotatic Amp/12 jam/IV
 Rebamipide 3x1
 Amlodipine 5 mg 1/2-0-1/2
G. FOLLOW UP

Tanggal 6 Mei 2018


Lemas (+), demam (+), batuk (+), Pusing (+) ,Sakit kepala (+ ) ,
S
mual (+) , muntah (+) ,Nafsu makan kurang ,Kurang tidur
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 100 x/menit
Pernapasan 20 x/menit
Temperature 38,3 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Eksoftalmus (-) sclera ikterik (-), anemis (-)
Leher JVP (R-4))
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan, batas paru-
hepar pada ICS 4
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Pembesaran regio hypochondrium dextra


Palpasi : Hepar teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas Hangat

A Suspect Akalasia + Hipoalbuminemia


IVFD DS 20 tpm
Drips Paracetamol 1 gr/IV Ekstra
P Ceftriaxone 1 gr Amp/12 jam/IV
Drips Neurobion/24 jam
Ambroxol syr 3x1C
Tanggal 7 Mei 2018

S Nafsu makan menurun, sulit menelan (+)


O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernapasan 20 x/menit
Temperature 36 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Eksoftalmus (-) sclera ikterik (-), anemis (-)
Leher JVP (R-4))
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan, batas paru-
hepar pada ICS 4
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Pembesaran regio hypochondrium dextra


Palpasi : Hepar teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas Hangat

A Akalasia
IVFD NaCl 16 tpm
Drips Neurobion/24 jam
Xepaxym 3x1
P Clobazam 2x1
Sotatic Amp/12 jam/IV
Rebamipide 3x1
Tanggal 8 Mei 2018

S Sulit menelan (+), batuk sesekali


O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernapasan 20 x/menit
Temperature 36 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Eksoftalmus (-) sclera ikterik (-), anemis (-)
Leher JVP (R-4))
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan, batas paru-
hepar pada ICS 4
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Pembesaran regio hypochondrium dextra


Palpasi : Hepar teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas Hangat

A Akalasia
IVFD NaCl 16 tpm
Drips Neurobion/24 jam
Xepaxym 3x1
Clobazam 2x1
P Sotatic Amp/12 jam/IV
Rebamipide 3x1
Mecobalamin 500 mg 2x1
Amlodipine 5 mg 1/2-0-1/2
Tanggal 9 Mei 2018

S Sulit menelan (+)


O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 66 x/menit
Pernapasan 19 x/menit
Temperature 36,3 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Eksoftalmus (-) sclera ikterik (-), anemis (-)
Leher JVP (R-4))
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan, batas paru-
hepar pada ICS 4
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Pembesaran regio hypochondrium dextra


Palpasi : Hepar teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas Hangat

A Akalasia
IVFD NaCl 16 tpm
Drips Neurobion/24 jam
Xepaxym 3x1
Clobazam 2x1
P
Sotatic Amp/12 jam/IV
Rebamipide 3x1
Mecobalamin 500 mg 2x1
Amlodipine 5 mg 1/2-0-1/2
Tanggal 10 Mei 2018

S Sulit menelan (+), mual (-), muntah (+)


O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 90/60 mmHg
Nadi 77 x/menit
Pernapasan 20 x/menit
Temperature 36,2 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Eksoftalmus (-) sclera ikterik (-), anemis (-)
Leher JVP (R-4))
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan, batas paru-
hepar pada ICS 4
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Pembesaran regio hypochondrium dextra


Palpasi : Hepar teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas Hangat

A Akalasia
IVFD NaCl 16 tpm
Drips Neurobion/24 jam
Xepaxym 3x1
Clobazam 2x1
P
Sotatic Amp/12 jam/IV
Rebamipide 3x1
Mecobalamin 500 mg 2x1
Amlodipine 5 mg 1/2-0-1/2
Tanggal 11 Mei 2018

S Sulit menelan (+), mual (-),muntah (+)


O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/80 mmHg
Nadi 78 x/menit
Pernapasan 22 x/menit
Temperature 36,5 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Eksoftalmus (-) sclera ikterik (-), anemis (-)
Leher JVP (R-4))
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan, batas paru-
hepar pada ICS 4
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Pembesaran regio hypochondrium dextra


Palpasi : Hepar teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas Hangat

A Akalasia
IVFD NaCl 16 tpm
Drips Neurobion/24 jam
Xepaxym 3x1
Clobazam 2x1
P
Sotatic Amp/12 jam/IV
Rebamipide 3x
Mecobalamin 500 mg 2x1
Amlodipine 5 mg 1/2-0-1/2
RESUME

Pasien masuk ke rumah sakit oleh keuarganya dengan keluhan susah menelan yang
hilang timbul yang dialami selama bertahun-tahun dan memberat dalam 3 hari terakhir.
Keluhan ini dirasakan terutama saat bekerja berat dan begadang. Pasien juga mengeluh mual
dan muntah sebanyak 4 kali, kadang nyeri tenggorokan. Pasien mengeluh lemas dan nyeri
seluruh badan, demam, dan menggigil, serta batuk berlendir. Terdapat riwayat merokok
lama. Pasien beum BAB dalam 4 hari terakhir, BAK normal.
Dari anamnesis juga didapatkan pasien sering minum kopi untuk memancing agar
makanan dapat ditelan. Nafsu makan kadang menurun tergantung dari keparahan
penyakitnya. Tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga. Terdapat riwayat
kolesterol tinggi dan asam urat tinggi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum
pasien dalam keadaan sakit sedang, kesadaran compos mentis, berat badan 46 kg, tinggi
badan 165 cm, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 80x/menit, pernapasan 20x/menit, dan
suhu axilla 36,2 C. pada pemeriksaan leher tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar
getah bening dan pembesaran kelenjar thyroid. Pada pemeriksaan thorax didapatkan batas
paru hepar pada ICS 4. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan pembesaran organ dan
nyeri tekan, peristaltic dalam batas normal. Pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan.
Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menunjang diagnosis pasien ini,
pada pemeriksaan elektrolit didapatkan natrium 149,5 mmol/L, kalium 3,56 mmol/L, dan
clorida 114,1 mmol/L. Pada pemeriksaan urin didapatkan ureum 23 mg/dl, kreatinin 0,9
mg/dl, protein total 6,6 gr/dl, albumin 3,5 gr/dl, dan globulin 3,2 gr/dl.
DISKUSI

Akalasia adalah suatu kedaan khas yang ditandai dengn tidak adanya peristaltis korpus
esophagus bagian bawah dan sfingter esophagus bagian bawah (SEB) yang hipertonik sehingga
tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan. Pada kasus
akalasia, sebagian besar pada usia 25-60 tahun dan sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak
diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.

Dari kasus yang didapatkan, pasien berusia >50 tahun di mana telah menderita penyakit
akalasia sejak berumur 21 tahun namun gejala yang bersifat ringan dan memberat seiring
bertambahnya usia. Dari keluarga pasien, hanya pasien yang menderita penyakit akalasia dan
tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.

Pasien mengeluh susah menelan ataupun makan dan hal ini dirasakan lebih sulit menelan
minuman dibandingkan dengan menelan makanan. Dari hasil anamnesis juga disebutkan bahwa
pasien telah menderita penyakit ini sejak usia mudah dan gejala memberat saat bekerja berat dan
lama ataupun begadang. Gejala tidak terjadi setiap hari. Biasanya terjadi setiap 2-3 tahun sekali
dan dipengaruhi oleh aktivitas dan daya tahan tubuh yang rendah dapat menjadi pemicu
timbulnya gejala utama yaitu sulit menelan dan lama-kelamaan membuat pasien merasa lemas.
Pasien juga mengeluh kadang timbul nyeri dada dan nyeri pada ulu hati saat gejalanya
memberat. Berat badan pasien semakin menurun seiring dengan bertambah beratnya gejala dan
semakin menurunnya intake makanan.

Hal ini sesuai dengan kepustakaan, di mana gejala klinis subjektif yang terutama
ditemukan adalah disfagia, baik untuk makanan padat maupun cair yang didapatkan pada lebih
dari 90% kasus. Biasanya cairan lebih sukar ditelan daripada makanan padat. Sifatnya pada
permukaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis diketahui secara
jelas. Penurunan berat badan adalah gejala ketiga yang sering ditemukan. Hal ini disebabkan
pasien takut makan akibat timbulnya odinofagia. Nyeri dada didapatkan pada 30% kasus yang
biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien. Pada stadium lanjut, akan timbul rasa nyeri hebat
pada daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pectoris.
KESIMPULAN

Akalasia adalah suatu kedaan khas yang ditandai dengn tidak adanya peristaltis korpus
esophagus bagian awah dan sfingter esophagus bagian bawag (SEB) yang hipertnik sehingga
tidak bias mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan.1 Akalasia
esophagus atau dikenal dengan nama simple ectasia, Kardiospasme, Megaesofagus, dilatasi
esophagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esophagus idiopatik adalah suatu gangguan
neomuskuler. Istilah akalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophagus spincter (dinding otot antara esophagus bagian bawah
dan lambung) untuk membuka dan membiarkan nakanan lewat ke dalam lambung.2 Sebagian
besar diderita pada usia 25-60 tahun dan sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak diturunkan
dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.

Secara histologk, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach
sepanjang esophagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa factor-faktor seperti
herediter, infeksi, autoimun, dan degenerative adalah kemungkinan penyebab dari akalasia.
Gejala klinis subjektif yang terutama ditemukan adalah disfagia, baik untuk makanan padat
maupun cair yang didapatkan pada lebih dari 90% kasus. Biasanya cairan lebih sukar ditelan
daripada makanan padat. Letak obstruksi biasanya dirasakan pada retrosternal bagian bawah.
Gejala lain yang sering didapatkan adalah regurgitasi yaitu pada 70% kasus. Regurgitasi ini
berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari karena adanya akumulasi
makanan pada esophagus yang melebar. Penurunan berat badan adalah gejala ketiga yang sering
ditemukan. Hal ini disebabkan pasien takut makan akibat timbulnya odinofagia. Nyeri dada
didapatkan pada 30% kasus yang biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien. Pada stadium
lanjut, akan timbul rasa nyeri hebat pada daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai
serangan angina pectoris. Untuk menegakkan diagnosis selain gejala klinis yang dapat
memberikan keurigaan adanya akalasia perlu beberapa pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan radiologi (esofagogram), endoskopi saluran cerna atas dan manometri. Prognosis
akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan motilitas, semakin
singkat durasi penyakitnya dan semakin kecil gangguan motilitasnya maka prognosis untuk
kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller).
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Cotran RS, Robbin SL. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 2.
Jakarta: EGC.
2. Ritcher,I.E.1999.Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus, 4th edition.
Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. Pg. 6-221
3. Siegel, G. Leighton. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagia Bawah, Esofagus dan
Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adam. L., Boies, Lawrence R., Higler,
P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta. EGC. Hal.4-462
4. Sjamsuhidajat. 1997. Wim De Jong Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal 9-676
5. D., Emslie, Smith, et all. 1988. Textbook of Physiology, 11th edition. Churchill
Livingstone, English Language Book Society. London. Pg. 52-239
6. Soepardi. A.Efiaty, Iskandar, Nurbaiti. 2001. Akalasia Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok: Kepala Leher. Fakultas Kedokteran. UI. Jakarta:2-240
7. Jacob. J. Ballenger.1997. Esofagologi. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok
Kepala Leher, Edisi 13, Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal. 76-645
8. Nelson.2005. ilmu Kesehatan Anak Volume 2. EGC. Jakarta. Hal. 1298
9. Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi Ketiga. Balai Penerbit
FK UI. Jakarta. Hal 320-322
10. Patti, Marco. Achalasia. http://emedicine.com.
11. Marks, Jay W., Lee, Dennis. Achalasia. http://emedicine.com.
12. Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. Hal. 406
13. Caffey, John.1973. pediatric X-ray Diagnostic Volume 2. Year Book Medical Publisher
Incorporated. Chicago. USA. Hal. 1696-1673
14. Goyal, Raj K.1994. Diseases of The Esophagus. In: Jeffers, J.D., Boynton, S.D.
Harrisons Principles of Internal Medicine, 13th edition. McGraw-Hill, Inc. New York. Pg.
1358
15. J., Finley R..2002. Achalasia: Thoracoscopic and Laparoscopic Myotomi. In: Pearson F.
G. MD, Cooper J.D. MD, et all. Esophageal Surgery, 2nd edition. Churchill Livingstone.
New York. Pg. 76-569

Anda mungkin juga menyukai