Anda di halaman 1dari 24

BAB VI

LANDASAN TEKNOLOGIS, TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN,


NEOROSCIENCE

Landasan Teknologi dalam Pembelajaran


A. Konsep Landasan Teknologi dalam Pembelajaran
Semua bentuk teknologi adalah system yang diciptakan oleh manusia
untuk sesuatu tujuan tertentu, yang pada intinnya adalah mempermudah manusia
dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga
serta sumber daya yang ada. Teknologi itu pada hakikatnya adalah bebas nilai,
namun penggunaannya akan sarat dengan aturan nilai dan estetika. Teknologi
merupakan suatu bidang yang tak terpisahkan dengan ilmu pengetahuan, seperti
misalnya teknologi pertanian, teknologi kesehatan, teknologi komunikasi, dan
tentunya juga teknologi pendidikan.
Setiap teknologi, tak terkecuali teknologi pendidikan, merupakan proses
untuk menghasilkan nilai tambah, sebagai produk atau piranti untuk dapat
digunakan dalam aneka keperluan, dan sebagai sistem yang terdiri atas berbagai
komponen yang saling berkaitan untuk suatu tujuan tertentu.
Miarso (2009:699) mengemukakan teknologi pendidikan sebagai disiplin
keilmuan berpegangan pada serangkaian postulat sebagai berikut: (1) lingkungan
kita senantiasa berubah; (2) jumlah penduduk semakin bertambah, meskipun
dengan prosentase yang mengecil; (3) sumber-sumber sedekala (tradisional)
semakin terbatas, karena itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan seoptimal
mungkin; (4) adalah hak setiap pribadi untuk dapat berkembang semaksimal
mungkin, selaras dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan; (5)
masyarakat berbudaya teknologi, yaitu bahwa teknologi merupakan bagian yang
tertanam dan tumbuh dalam setiap masyarakat dengan kadar yang berbeda.
Berdasarkan postulat itu kita ketahui bahwa ada serangkaian gejala belajar
yang belum tergarap secara baik. Gejala itu adalah: (1) adanya sejumlah besar
orang yang belum terpenuhi kesempatan belajarnya baik yang diperoleh melalui
suatu lembaga khusus, maupun yang dpat diperoleh secara mandiri; (2) adanya
berbagai sumber baik yang telah tersedia maupun yang dapat direkayasa, tetapi

52
53

belum dapat dimanfaatkan untuk keperluan belajar; (3) perlu adanya suatu usaha
khusus yang terarah dan terencana untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar
dapat terpenuhi hasrat belajar setiap orang; (4) perlu adanya pengelolaan atas
kegiatan khusus dalam mengembangkan dan memanfaatkan sumber untuk belajar
tersebut secara efektif, efisien dan selaras. Keempat gejala ini merupakan rujukan
bidang garapan teknologi pendidikan, yang antara lain berfungsi untuk
menjangkau peserta didik/warga belajar ditempat yang jauh dan terasing,
melayani sejumlah besar dari mereka yang belum memperoleh kesempatan
pendidikan, mendayagunakan berbagai sumber untuk keperluan belajar, serta
untuk memperoleh akses terhadap berbagai informasi sebagai bagian dari tuntutan
belajar.

B. Pengembangan Potensi Pancadaya Manusia Menurut Landasan


Teknologi
Lahirnya ilmu baru menuntut adanya bidang kajian atau bidang kajian
penelitian dengan segala perangkatnya. Hal ini menjadi pemikiran para ahli
bidang teknologi pendidikan yang dapat digunakan untuk panduan dan pedoman.
Landasan berfikir dalam bidang teknologi pendidikan (education
technologi) atau teknologi pembelajaran (instructional technologi) yang
menjadikan bidang garapan baru menjadi bidang ilmu atau menjadi disiplin ilmu
yang baru adalah rangkaian dalil yang dijadikan sebagai pembenar. Dasar falsafi
dasar keilmuan tersebut ada 3 jenis yaitu : Ontologi (apa) yaitu rumusan gejala
pengamatan pada suatu objek telaah, yang tidak digarap bidang telaah lain,
Epistemiologi (bagaimana) yaitu usaha untuk memperoleh kebenaran dalam objek
telaah dan Aksiologi (untuk apa) yaitu nilai-nilai yang menentukan kegunaan dari
objek telaah.
Ontologi merupakan bidang kajian ilmu itu apa, jika teknologi pendidikan
sebagai ilmu maka bidang kajiannya itu apa. Menurut Yusuf hadi Miarso : 2004
1. Adanya berbagai macam sumber untuk belajar termasuk orang (penulis
buku, prodoser media dan sebagainya) pesan (yang tertulis dalam buku
atau tersaji lewat media), media (buku, program televise, radio, dan
sebagainya), alat (televisi, radio), cara-cara tertentu dalam
54

mengolah/menyajikan pesan, serta lingkungan dimana proses pendidikan


itu berlangsung.
2. Perlunya sumber-sumber tersebut dikembangkan, baik secara konseptual
maupun secara factual.
3. Perlu dikelolanya kegiatan pengembangan, maupun sumber-sumber untuk
belajar itu agar dapat digunakan seoptimal mungkin guna keperluan
belajar.
Epistimologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Menurut
Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
1. Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
2. Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi,
pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
3. Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses
pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
Aksiologi menelaah tentang nilai guna, baik secara umum maunpun secara
khusus, baik secara kasad mata maupun secara abstrak. Teknologi Pembelajaran
secara aksiologis akan menjadikan pendidikan Produktif, Ilmiah, Individual,
Serentak / actual, Merata, Berdaya serap tinggi (Abdul Gafur:2007).
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan
yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang
dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana
memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
“agar setiap orang memperoleh kesempatan belajar, baik sendiri maupun
dalam ikatan organisasi, seoptimal mungkin melalui pendekatan yang sistematik
dan sistemik atas proses, sumber dan system belajar sedemikian rupa agar
tercapai efisiensi, efektivitas dan keselarasan dengan perkembangan masyarakat
dan lingkungan, kearah terbentuknya masyarakat belajar”
Peranan teknologi dalam belajar yang dirancang sebagai tujuan pengajaran
yang lebih efektif dan ekonomis merupakan peranan komunikasi yang sangat
penting sebab hakikat teknologi pengajaran adalah upaya mempengaruhi siswa
55

agar dapat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan sendiri adalah untuk
memfasilitasi pengembangan pancadaya siswa melalui penggunaan teknologi.
Teknologi pendidikan merupakan suatu cara mengajar dengan
menggunakan skill atau keahlian yang dimiliki oleh seorang guru agar dalam
proses pembelajaran bisa diterima oleh para peserta didiknya sehingga bisa
mencapai pada tujuan pendidikan itu sendiri. Teknologi pendidikan itu bisa
dikaitkan dengan sebuah cara atau strategi yang dimiliki seorang guru dalam
proses pembelajaran baik itu menggunakan media yang ada dalam kelas atau
ataupun cara lain agar dalam pembelajaran menjadi mudah diserap oleh para
peserta didiknya.

C. Implikasi dan Refleksi Landasan Teknologi dalam Pembelajaran


Guru sebagai pengelola pembelajaran pada era teknologi informasi saat
sekarang dalam mendesain pembelajaran harus mampu menghadirkan materi dari
berbagai sumber informasi yang bervariasi.
Langkah ini tentunya dilandasi pada sebuah prisnsip bahwa semakin
banyak informasi yang diperoleh siswa tentang sebuah masalah, maka semakin
mudah bagi siswa untuk memecahkan masalah tersebut Prinsip ini mensyaratkan
bahwa belajar adalah suatu proses pengolahan, pemanfaatan dan penggunaan
informasi. Dalam konteks ini, maka semakin beragamnya informasi yang diterima
oleh siswa dari berbagai sumber belajar tentunya akan semakin memperkaya
pengetahuan dan pemahaman siswa itu sendiri tentang suatu objek yang sedang
dibahas.
Untuk kepentingan itu, maka guru harus mampu memanfaatkan dan
mengembangakan berbagai teknologi informasi baik dalam bentuk CD
Pembelajaran maupun lewat WEB pembelajaran yang sedang trend saat ini.
Dengan meningkatnya daya muat untuk mengumpulan,
menyimpan,memanipulasikan dan meyajikan informasi pada era saat ini maka
seyogyanya guru harus mampu mendayagunakan kelebihan tersebut dalam
penyampaian materi pembelajaran kepada siswa. Misalnya desain pembelajaran
berbasis internet.
56

Sebagai media yang diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses
belajar mengajar di sekolah, internet mampu memberikan dukungan bagi
terselenggaranya proses komunikasi interaktif antara guru dan siswa sebagaimana
yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran.
Poin penting lainnya, desain pembelajaran dengan pendekatan teknologi
informasi adalah bahwa guru harus mampu mendesain materi sebaik mungkin,
materi yang mudah dicerna oleh siswa, materi yang dapat ditangkap oleh berbagai
indera yang dimiliki oleh siswa mulai indera pendengaran sampai indera
penglihatan, materi yang dianggap penting dan relevan dengan kebutuhan belajar
siswa. Dengan cara itu, maka informasi yang diperoleh siswa dalam bentuk materi
tersebut akan tersimpan lama dalam long term memory, yang pada gilirannya
nanti akan dapat dimanfaatkan oleh siswa secara tekstual.
Satu hal yang harus menjadi catatan penting bahwa esensi dari
pembelajaran adalah bagaimana terjadinya interaksi komunikatif antara beragai
unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran, baik interaksi antara siswa
dengan siswa maupun interaksi antara siswa dengan guru.
Lewat interaksi yang terbangun itu kemudian, siswa akan memperoleh
berbagai pengalaman belajar yang dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas
pengetahuan dan pemahamannya terhadap sebuah persoalan atau materi tertentu.
Meski trend saat ini, pembelajaran lebih bersifat online namun tidak serta merta
trend ini menjadi sesuatu yang harus diterapkan pada seluruh situasi
pembelajaran. Sebab, bagaimanapun juga sarana dan prasarana menjadi faktor
kunci bagi kelancaran kegiatan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang
bergitu canggih saat ini.
Untuk itu, dalam menjembatani hal ini tiada jalan lain,selain dengan
memaksimalkan dan mendayagunakan berbagai sumber belajar yang tersedia
disekitar lingkungan peserta didik. Proses memaksimalkan ini dapat dilakukan
baik dengan cara memanipulasi atau merekayasa media dan sumber belajar yang
tersedia ke arah yang lebih baik dan representatif sehingga kaya akan berbagai
informasi yang berimplikasi positif bagi kegiatan pembelajaran.
Di samping itu, harus dipahami pula bahwa teknologi informasi baik
berupa internet, email dan lain sebagainya hanya merupakan alat dan sarana
57

pendukung kelancaran kegiatan pembelajaran, yang terpenting adalah bagaimana


dalam proses pembelajaran terbangun proses yang kompleks dan terpadu.
Kompleks dan terpadu disini tentunya terkait dengan pelibatan orang,
prosedur, gagasan, peralatan meski seadanya namun telah dimanipulasi sehingga
kaya akan informasi-informasi yang relevan dengan kegiatan pembelajaran, dan
organisasi dalam menganalisis masalah, mencari jalan pemecahannya,
melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah yang
menyangkut semua aspek belajar siswa. Inilah inti dari teknologi pembelajaran,
bukan hanya dalam hal pemanfaatan teknologi informasi dalam bentuk peralatan
namun yang lebih penting bagaimana proses tersebut di atas dapat diwujudkan
sehingga keterbatasan sarana dan prasarana tidak menjadi kendala yang berarti
dalam membelajarkan peserta didik.
58

Landasan Teori Belajar dan Pembelajaran


A. Landasan Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh
Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman.Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
(stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan
diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu
hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
1. Prinsip Dasar Behaviorisme
a. Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai
perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak
b. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah
pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
c. Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah
satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
59

d. Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini


dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang
lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme
juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan
faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap
terjadi.
e. Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol
dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
f. Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi
behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan
yang lebih belakangan.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik (Gagne,
Berliner, 1984), meliputi: (a) Reinforcement and Punishment, (b)
Primary and Secondary Reinforcement, (c) Schedules of
Reinforcement, (d)Contingency Management, (e) Stimulus Control in
Operant Learning, dan (f) The Elimination of Responses.

2. Aplikasi dan Refleksi Aliran Behaviorisme


Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung
dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan
yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan
akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
60

diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis
dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu
secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan
pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk
perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta
didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri
pebelajar.

B. Landasan Belajar Kognitivisme


Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik
memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan,
dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi
diproses.
Teori kognitif melibatkan hal-hal mental atau pemikiran seseorang
individu. Teori ini ada kaitan dengan ingatan jangka pendek dan ingatan jangka
panjang. Good et. al. (1990) sesuatu pengetahuan yang diperolehi melalui
61

pengalaman atau pendidikan formal akan disimpan dan disusun melalui proses
pengumpulan pengetahuan supaya dapat digunakan kemudian.
Informasi yang diterima - Informasi diproses - Informasi disimpan
(input) 1. Jangka pendek
2. Jangka panjang
(output)
Kognitif mendeskripsikan belajar sebagai perubahan pengetahuan yang
tersimpan dalam memori. Oleh karena itu, proses belajar dipandang proses
pengolahan informasi yang meliputi tiga tahap, yaitu perhatian (attention),
penulisan dalam bentuk simbol (encoding), dan mendapatkan kembali informasi
(retrieval),
Model Kognitif ini amat berguna buat guru karena penguasaan terhadap
teori ini dapat meningkatkan lagi prestasi peserta didik dalam peserta didikan,
khususnya dalam pembelajaran yang dikelolanya. Dalam pelaksanaannya, guru
berperan sebagai penuntun (guide) dan pendukung proses kognitif yang
mendukung memori. Sehubungan dengan itu, guru harus mengorganisasi
informasi baru, menyambungkan informasi baru tersebut dengan pengetahuan
yang ada, dan menggunakan teknik untuk menuntun dan mendukung attention,
encoding, dan retriveral peserta didik pembelajaran mengarah kepada ingatan
jangka panjang dan sedikit pada ingatan jangka pendek, akan membantu peserta
didik dalam proses pembelajaran. Guru juga harus menyiapkan soalan ujian. Soal
ujian tersebut harus berisi soal dan latihan untuk menguji tingkat kesukaran yang
berbeda sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.

1. Aplikasi Teori Belajar Kognitivisme


Pada teori belajar dan pembelajaran kognitivisme ini terdapat 3 cara
pembelajaran, yaitu teori belajar kognitif, teori belajar kognitif Bruner, dan
teori bermakna Ausubel. Pada teori belajar kognitif perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan didalam dirinya.
Teori belajar kognitif Bruner sangat membebaskan peserta didik untuk
belajar sendiri. Teori ini mengarahkan peserta didik untuk belajar secara
62

discovery learning. Langkah-langkahnya adalah: (1) menentukan tujuan-


tujuan instruksional; (2) memilih materi pelajaran; (3) menentukan topik-
topik yang akan diberikan; (4) mencari contoh-contoh tugas yang dapat
digunakan peserta didik; (5) mengatur topik peserta didik dari konsep yang
paling kongkirt ke abstrak, dari yang sederhana ke kompleks; (6)
mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Teori bermakna Ausubel menuntut peserta didik belajar secara deduktif
(dari umum ke khusus) dan lebih mementingkan aspek struktur kognitif
peserta didik. Langkah-langkah (1) menentukan tujuan instruksional; (2)
mengukur kesiapan peserta didik (minat, kemampuan, struktur kognitif) baik
melalui tes awal, interview, pertanyaan, dll; (3) menuntut peserta didik belajar
secara deduktif (dari umum ke khusus) dan lebih mementingkan aspek
struktur kognitif peserta didik; (4) Mengidentifikasikan prinsip-prinsip yang
harus dikuasai peserta didik dari materi tsb; (5) Menyajikan suatu pandangan
secara menyelurh tentang apa yang harus dikuasai peserta didik; (6) Membuat
dan menggunakan "advanced organizer" paling tidak dengan cara membuat
rangkuman terhadap materi yang baru disajikan, dilengkapi dengan uraian
singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaiatan) materi yang sudah
diberikan dengan yang akan diberikan; (7) Mengajar peserta didik untuk
memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan dengan
memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada; (8)
Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

2. Refleksi Teori Belajar Kognitivisme


Belajar bukan hanya sekedar keterkaitan antara stimulus dan respons,
melainkan apa yang terjadi didalam fikiran atau mental orang yang belajar.
Menurut pandangan kognitivis, seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri
individu tersebut terjadi proses pengolahan informasi dari saat menerima
informasi baru, mengolah, menyimpan dan mengulang kembali. Menurut
pandangan ini, belajar akan baik apabila diseusuaikan dengan tingkat
perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang sama untuk anak SD,
63

SLTP, SMU, dan orang dewasa akan memiliki cara yang berbeda. Dalam
proses berfikirnya, dapat menganut pola fikir deduktif, maupun induktif. Jadi
siswa tidak sepenuhnya tergantung pada guru. Keberadaan guru hanyalah
sebagai fasilitator yang menyediakan kondisi untuk terjadinya proses insight.

C. Landasan Konstruktivisme dan Humanisme


Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan
pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya
memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif
membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan ide–ide mereka sendiri, dan mengajar
siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa ke
tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka
tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut
konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri
pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses
menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic
Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan
behaviorisme. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah
potensi yang dimilikinya. Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit”
seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian
64

setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya


untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang
disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme
biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif
ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi
positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan
menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan
kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran
interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah
meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanisme,
tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia
pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu
perkembangan, sementara humanisme melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi
bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak
dari para pendidik beraliran humanisme. Karena berpikir dan merasakan saling
beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu
potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan
mendapat keuntungan dari pendekatan humanisme ini sama seperti yang kita
dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi.

1. Implikasi dan Refleksi Teori Belajar Konstuktivisme


implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut
teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang
memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi
yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh
peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan
melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
65

menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi
sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif
untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode
konstruktivis hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan
pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan
konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan
kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan
kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam
pembelajaran; e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada
kehidupan social peserta didik; f) pembelajaran menggunakan barbagia
sarana; g) melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam
mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996).

2. Penerapan dan Refleksi Landasan Humanisme


Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterapkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas
kemauan sendiri.
Guru yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa
humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa
dengan mudah dan wajar. Ruang kelads lebih terbuka dan mampu
menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru
yang memiliki rasa humor yang rendah ,mudah menjadi tidak sabar ,suka
melukai perasaan siswa dengan komentsr ysng menyakitkan,bertindak agak
otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
Menurut aliran humanisme, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan
yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanisme melihat
bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih
66

baik, dan juga belajar. Jadi sekoah harus berhati-hati supaya tidak membunuh
insting ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap.
Jadi bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum
mereka siap secara fisiologis dan juga punya keinginan.
Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu
siswa untuk memenuhi kebutuhankebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai
konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada
behaviorisme. Secara singkatnya, pendekatan humanisme dalam pendidikan
menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada
potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka
punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup
kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang
ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga
masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini
menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan
keberhasilan akademik. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Para pendidik
hanya membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam
diri mereka.
67

Landasan Neurosicence
A. Konsep Landasan Neuroscience Pembelajaran
Ilmu neural (neural science) adalah menjelaskan perilaku manusia dari
sudut pandang aktivitas yang terjadi di otak. Neurosains merupakan bidang ilmu
yang mengkhususkan pada studi saintifik dari sistem syaraf.
Neurosains juga mengkaji mengenai kesadaran dan kepekaan otak dari
segi biologi, persepsi, ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran. Bagi teori
Neurosains, sistem saraf dan otak merupakan asas fisikal bagi proses
pembelajaran manusia. Neurosains dapat membuat hubungan diantara proses
kognitif yang terdapat di dalam otak dengan tingkah laku yang akan dihasilkan.
Hal ini dapat diartikan bahwa, setiap perintah yang diproses oleh otak akan
mengaktifkan daerah-daerah penting otak (Harun, 2003).
Neurosains adalah suatu bidang penelitian saintifik tentang sistem saraf,
utamanya otak. Neurosains merupakan penelitian tentang otak dan pikiran. Studi
tentang otak menjadi landasan dalam pemahaman tentang bagaimana kita merasa
dan berinteraksi dengan dunia luar dan khususnya apa yang dialami manusia dan
bagaimana manusia mempengaruhi yang lain (Schneider, 2011).
Neuroscience juga diartikan sebagai ilmu yang khusus mempelajari neuron
(sel saraf), sedangkan neuroscience pembelajaran adalah ilmu pengetahuan
tentang hubungan sistem saraf dengan pembelajaran dan perilaku. Umumnya para
neurosaintis memfokuskan pada sel saraf yang ada di otak. Sel saraf bukan
merupakan unit terkecil, karena yang disebut unit terkecil adalah sinapsis (titik
pertemuan dua sel saraf yang memindahkan dan meneruskan informasi). Bahkan,
ini berlangsung pada tingkat molekuler seperti gen-gen. Semua yang berlangsung
di tingkat sinapsis menjadi dasar dari sensasi, persepsi, proses belajar dan memori
serta kesadaran. Otak merupakan komponen fisik dan fungsional yang mendasari
proses belajar. Pengetahuan tentang otak tidak saja penting dalam proses
pembelajaran (learning), tetapi keseluruhan dalam proses pendidikan. Pendidikan
neuroscience atau neuroeducation juga muncul sebagai teori belajar yang baru.

B. Pengembangan Potensi Pancadaya Manusia dengan Neuroscience


68

Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak


secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak.
Penggunaan berbagai media pembelajaran merupakan salah satu usaha
membelajarkan seluruh bagian otak, baik otak kiri maupun otak kanan, rasional
maupun emosional atau bahkan spiritual. Permainan warna, bentuk, tekstur dan
suara sangat dianjurkan. Ciptakan suasana gembira karena akan merangsang
keluarnya endorfin dari kelenjar di otak dan selanjutnya mengaktifkan asetilkolin
di sinapsis. Seperti diketahui sinapsis yang merupakan penghubung antar sel saraf
menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmitternya. Dengan
aktifnya aseltilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh
suasana gembira akan mempengaruhi cara otak dalam memproses, menyimpan
dan mengambil kembali informasi. Tiga hal penting dalam belajar menurut Susan
(1997) adalah: 1) bagaimana mengambil dan menyimpan informasi dengan cepat,
menyeluruh dan efisien, 2) bagaimana menggunakannya untuk menyelesaikan
masalah, dan 3) bagaimana menggunakannya untuk menciptakan ide.
Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuatnya dalam keadaan waspada yang
relaks sebelum dimasuki informasi.
Terkait dengan optimalisasi pancadaya manusia tidak terlepas dari panca
indera manusia. Neuroscience juga memanfaatkan panca indera sebagai alat input
otak dimana manusia memiliki panca indera, yaitu: mata, telinga, lidah, hidung
dan kulit. Selain itu masih terdapat beberapa reseptor di dalam tubuh. Indera
merupakan alat pemasukan data bagi otak. Stimulasi pada indera akan
berpengaruh terhadap perkembangan otak dan kecerdasannya.
Stimulasi pada indera ini juga berpengaruh terhadap pancadaya manusia,
karena tanpa panca indera manusia tidak mampu mengembangkan potensi
pancadaya yang dimiliki. Selain kelima indera tersebut, tubuh manusia dilengkapi
dengan reseptor lain, seperti reseptor kimia (chemoreceptor) yang antara lain
berguna untuk mengetahui kadar gula dan kadar oksigen dalam darah. Jika kadar
gula darah rendah, kita merasa lapar. Masih ada lagi reseptor pada otot yang
disebut proprioreseptor yang juga berfungsi untuk mengetahui posisi tubuh. Tak
hanya itu, perkembangan motorik, gerakan, mempunyai unsur-unsur kekuatan,
refleks, tonus, keseimbangan, koordinasi. Gerakan dilaksanakan oleh otot-otot
69

yang melekat pada tulang. Otot mengerut dan mengiwang, kontraksi dan relaksasi,
diatur oleh sistem syaraf. Pusat gerakan di dalam otak seperti telah diterangkan di
atas ialah di daerah belakang bagian parietal yang berbatasan dengan baga ubun-
ubun.
Ada dua sistem gerak pada manusia, yaitu gerak reflex dan gerak sadar
(terkoordinasi). Refleks ialah aktifitas yang timbul langsung sebagai respon
terhadap rangsangan tanpa olahan syaraf sentral bagian korteks. Sistem gerak
kedua adalah gerak terkoordinasi, yang merupakan kerjasama antara otak, syaraf
tepi, otot, dan tulang (sistem syaraf dan sistem gerak).

C. Implikasi dan Refleksi Landasan Neuroscience


Adapun implikasi dari landasan neuroscience dalam pendidikan adalah
sebagai berikut:
1. Optimalisasi kecerdasan
Pendidikan sebaiknya mengembangkan kecerdasan, bukan hafalan,
yaitu melalui stimulasi otak untuk berpikir. Otak yang cerdas antara lain
mampu menciptakan sesuatu yang baru, menemukan alternatif yang tak
pernah dipikirkan orang, dan mengatasi masalah dengan elegan. Teknik
stimulasi otak ini antara lain melalui pendidikan yang divergen, resiprokal,
dan eksploratif. Metode pengembangan tersebut telah dikembangkan para
ahli. De Bono, misalnya, mengembangkan latihan otak yang disebut Lateral
thinking; Bruner mengembangkan High Order Tthinking (HOT); Case,
mengembangkan Problem solving; Gardner mengembangkan Multiple
Intelligences; dan Goleman mengembangkan Emotional Intlligences.
Semua kita gunakan untuk mencerdaskan generasi masa depan bangsa
Indonesia.
2. Keseimbangan fungsi otak kanan dan kiri
Otak kanan dan otak kiri memiliki fungsi yang berbeda. Otak kanan
lebih bersifat intuitif, acak, tak teratur, divergen. Sedangkan otak kiri bersifat
linier, teratur, dan konvergen. Oleh karena itu pendidikan hendaknya
mengembangkan kedua-belahan otak itu secara seimbang. Pembelajaran yang
70

bersifat eksploratori dan divergen, lebih dari satu kemungkinan jawaban


benar akan mengembangkan kedua belahan otak tersebut.
3. Keseimbangan otak triune
Pendidikan harus mengembangkan secara seimbang fungsi otak atas,
tengah dan bawah (logika, emosi, dan motorik) yang sering disebut juga
head, heart, and hands. Hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
yaitu mengambangkan manusia yang cerdas, terampil, dan beakhlak mulia.
4. Pengembangan motorik tangan
Keterampilan tangan manusia jauh lebih unggul dibanding binatang
manapun. Gerak tangan ini dikoordinasikan oleh otak bagian frontal yang
berkembang pesat. Oleh karenanya stimluasi melalui motorik tangan perlu
dilakukan sejak dini. Koordinasi tangan ini sifatnya berkebalikan, di mana
tangan kiri dikendalikan otak bagian kanan. Oleh karena itu tidak selayaknya
kita melarang anak menggunakan tangan kirinya karena hal itu justru sedang
mengembangkan otak kanannya.
5. Pengembangan kemampuan berbahasa
Kelebihan lain manusia atas binatang ialah kemampuan berbahasa.
Kemampuan ini dikontrol oleh pusat bahasa, yaitu pada lobus prefrontal.
Oleh karena bahasa dan kognisi saling mendukung, maka kemampuan bahasa
perlu dikembangkan sejak dini. Berbagai fasilitas yang mampu
mengembangkan kemampuan bahasa diperlukan untuk memacu munculnya
kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulis. Alat-alat tulis berbagai warna
dan ukuran, tape dan berbagai suara dan lagu untuk anak-anak, buku-buku
bacaan bergambar yang menarik, dan “environmental print” amat mendukung
munculnya literasi.
6. Multiple Intelligences (MI)
Setiap orang itu unik, ia memiliki bakat, potensi, dan keinginan
sendiri. Teori MI dari Howard Gardner (2000) mengingatkan kita akan
kecerdasan yang ganda. Pendidikan harus mempertimbangkan tipe
kecerdasan anak tersebut, bakat, dan keinginannya. Guru harus menggunakan
berbagai metode, media, dan objek belajar untuk mengembangkan kecerdasan
yang beragam.
71

7. Belajar sepanjang hayat


Otak dapat digunakan sepanjang hayat, bahkan akan terus
berkembang kemampuannya jika digunakan. Sebaliknya, otak akan
mereduksi dan cepat pikun jika tidak digunakan untuk berpikir. Oleh karena
itu, belajar sepanjang hayat merupakan salah satu cara menjaga agar otak
terus berfungsi dengan baik.
Secara umum ada 10 hukum dasar otak yang relevan dalam bidang
pendidikan. Hukum-hukum tersebut antara lain: 1) keunikan, 2) kekhususan,
3) sinergisitas, 4) hemisferik dan dominasi, 5) verba-grafis, 6) imajinasi dan
fakta, 7) plastisitas sel saraf, 8) kerja serempak, 9) simbiosis rasio-emosi-
spriritualitas, dan 10) otak laki-laki-otak perempuan. Otak bukan sekedar
struktur (benda-organik), tetapi fungsi dan sifat. Karena itu, otak merupakan
titik utama pengembangan manusia dalam bidang pendidikan. Tidak saja
untuk belajar mengajar tetapi juga bagi pendidikan secara keseluruhan.
Secara rinci hukum dasar otak yang relevan dalam bidang pendidikan dapat
diperikan sebagai berikut:
a) Keunikan
Otak merupakan sistem yang dinamis atau sistem yang hidup (living
system). Otak tidak saja tumbuh dan berkembang tetapi otak juga terbuka
terhadap intervensi dari luar. Karena dapat diintervensi dari luar, otak setiap
orang itu unik. Pengalaman, pendidikan dan gaya hidup yang berbeda
membuat otak menjai berbeda. Otak dapat berkembang tak terbatas tanpa
memperbesar ukuran tengkorak. Otak tidak pernah istirahat, bahkan ketika
tidurpun otak bekerja. Sebagai sistem yang hidup, otak harus di charge
supaya bisa hidup secara dinamis. Ahli otak memperkirakan bahwa manusia
rata-rata baru memakai 20-50% dari potensi otak. Potensi alam bawah sadar,
intuisi dan konektivitas belum dipakai secara baik. Hal tersebut menjadikan
setiap orang berbeda dalam banyak hal. Karena itu tidak ada teknik belajar
yang baku dan tunggal untuk semua orang. Pendidik harus dapat mengemas
teknik-teknik belajar yang memperhatikan keunikan ini.
b) Kekhususan
72

Para ahli (Howard Gardner, ahli saraf dan pendidikan dari sekolah
kedokteran Boston dan sekolah pendidikan Harvad) menemukan kemampuan
otak berkaitan dengan kekhususan seseorang dalam memanfaatkannya.
Kemampuan ini (Gardner menyebutnya Multiple Inteligence) didukung oleh
perbedaan struktur otak pada setiap orang. Perbedaan ini terjadi antara lain
karena manifestasi kekhususan genetik pada proses perkembangan susunan
syaraf pusat. Prinsip kedua ini menunjukkan adanya keunggulan yang bersifat
khas pada setiap orang. Anak yang unggul dalam bidang matematika tidaklah
berarti lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak lain yang pintar main
basket, menari, atau memainkan biola. Sekolah yang baik harus memberikan
ruang yang luas bagi pengembangan semua kecerdasan ini.
c) Sinergisitas
Otak dan seluruh bagian tubuh, terutama organ gerak dan organ indera
memiliki hubungan sinergis. Bagian motorik dan sensorik di otak memiliki
hubungan saraf melalui pelepasan zat-zat kimia bernama neurotransmitter
dengan indera dan organ gerak. Rangsangan pada beberapa organ secara
bersamaan akan memberikan efek lebih baik dibandingkan hanya 1 organ.
Otak lebih cepat menangkap informasi yang melibatkan dua kelompok organ
ini sekaligus.1[18] Keadaan otak dalam kondisi alfa (gelombang otak 8-14
kali per menit) merupakan keadaan yang paling optimal untuk belajar.
Keadaan ini akan merilekskan otot-otot, menstabilkan denyut jantung. Belajar
di bawah tekanan, pemaksaan dan dalam keadaan lelah akan merangsang otak
memasuki kondisi beta. Dalam kondisi beta ini proses penerimaan dan
pengelolaan informasi menjadi tidak efektif. Pembelajaran dan pendidikan
harus dapat mempertahankan sinergisitas otak- tubuh.
d) Hemisferik dan dominasi
Dalam prinsip ini setiap orang memiliki gaya dan cara yang unik
dalam belajar, pemerolehan informasi dan strategi pemecahan masalah. Tidak
ada otak yang sama. Karena itu, tidak ada teknik belajar mengajar yang sama.
e) Verba-grafis
73

Memori akan tertata dengan baik, efektif dan efisien jika


diformulasikan dalam bentuk kata dan gambar. Memori akan tertata dengan
baik, efektif dan efisien jika diformulasikan dalam bentuk kata dan gambar.
Pembuatan catatan yang baik tidak saja untuk melestarikan informasi di buku
tulis, tetapi juga memudahkan otak untuk mengkode, menyimpan dan
memanggil kembali informasi tersebut.
f) Imajinasi dan fakta
Imajinasi dan fakta merangsang kerja otak dengan cara yang sama.
Kejadian yang bersifat traumatis dan emosional akan merangsang otak
bekerja sama persis jika kejadian itu hanya dibayangkan.
g) Plastisitas sel saraf
Setiap keping informasi disimpan dalam sel-sel saraf. Tepatnya,
disimpan dalam bentuk perubahan molekul-molekul kimia di dalam dan di
luar sel saraf. Jika informasi diterima dengan cara yang cocok dengan
mekanisme otak, akan terjadi penguatan hubungan antar sel saraf melalui
perubahan molekuler. Semakin sering otak dipakai, semakin banyak
perubahan molekuler yang terjadi dan semakin kuatlah memori. Perubahan
akan semakin cepat terjadi jika berkaitan dengan informasi yang tidak lazim.
Hal-hal yang tak lazim lebih cepat merangsang otak.
h) Simultanitas
Ketika merespon sebuah informasi, seluruh bagian otak bekerja sama
secara serempak. Walaupun pusat pengaturan informasi berada di bagian
yang berbeda-beda di otak, bagian-bagian itu akan bekerja serempak ketika
menerima dan memproses informasi. Ketika melihat sebuah gambar bergerak,
bagian otak yang menyerapi bentuk, gerakan, warna dan nuansa emosi akan
segera bereaksi. Hasilnya adalah respons yangutuh. Kerja serempak otak ini
mirip dengan orkestra yang dipimpin oleh seorang dirigen. Jika seluruh
bagian otak dapat dirangsang untuk bekerja secara serempak, penyerapan
informasi akan menjadi lebih efektif. Otak memiliki kemampuan mendeteksi
perubahan secepat apapun, dalam hitunga detik.
i) Simbiosis rasio-emosi-spiritualitas
74

Rasio dan emosi menjadi penopang utama spiritualitas manusia. Jika


rasio dan emosi memberikan kepada manusia keunggulan yang bersifat teknik
dan diperlukan untuk mengarungi kehidupan dunia, maka spiritualitas
memerlukan makna bagi tindakan-tindakan manusia. Spiritualitas yang baik
biasanya tampak dari rasio dan emosi yang baik. Otak menyediakan piranti
emosi bagi manusia untuk melakukan tindakan yang mengarah pada
pemerolehan makna hidup, yaitu1) kesadaran diri, 2) manajemen suasana
hati, 3) motovasi diri, 4) empati, dan 5) manajemen relasi sosial. Untuk dapat
melakukan lima hal ini, rasio, emosi dan spiritualitas bekerja keras secara
simbiosis mutualistik. Ini adalah kunci-kunci sukses kehidupan.
j) Otak laki-laki-otak perempuan
Dalam belajar, perempuan dan lelaki memiliki learning dan thinking
style yang berbeda. Karena itu pengelolaan kelas akan jauh lebih efektif dan
optimal jika kedua jenis kelamin ini dibimbing menurut style masing-masing.
Model pembelajaran tutorial akan lebih optimal mengerahkan potensi kedua
jenis kelamin ini. Namun, ini tidak berarti harus ada pemisahan kelas antara
kedua jenis kelamin. Yang paling penting, pendidik harus bisa memahami
bagaimana mereka berpikir sehingga lebih mudah membimbing.
Pembelajaran dengan penggunaan peta konsep ini mampu meningkatkan
sikap kreatif dalam pemunculan ide-ide baru, pemecahan masalah dengan cara
yang khas, sikap imajinatif, dan meningkatkan produktivitas Belajar melibatkan
reaksi perjalanan impuls yang berasal dari stimulus lingkungan belajar.
Teori pembelajaran berbasis kemampuan otak (neuroscience) memiliki
kelebihan dan kelemahan. Kelebihan-kelebihannya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan suatu pemikiran baru tentang bagaimana otak manusia bekerja.
2. Memperhatikan kerja alamiah otak si pebelajar dalam proses pembelajaran.
3. Menciptakan iklim pembelajaran dimana pebelajar dihormati dan didukung.
4. Menghindari terjadinya pemforsiran terhadap kerja otak.
5. Dapat menggunakan berbagai model-model pembelajaran dalam
mengaplikasikan teori ini. Dianjurkan untuk memvariasikan model-model
pembelajaran tersebut, supaya potensi pebelajar dapat dibangunkan.
Dan kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut:
75

1. Tenaga kependidikan di Indonesia belum sepenuhnya mengetahui tentang


teori ini (masih baru).
2. Memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk dapat memahami (mempelajari)
bagaimana otak kita bekerja.
4. Memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam menciptakan lingkungan
pembelajaran yang baik bagi otak.
4. Memerlukan fasilitas yang memadai dalam mendukung praktek
pembelajarant teori ini.

Daftar Rujukan
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Hasbullah. 1999. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Khadijah, Nyanyu. 2009. Psikologi Pendidikan. Palembang: CV.Grafika Telindo.
Marshall, dkk. 2000. SQ: Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence,
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, dkk. SQ: Memamfaatkan Kecerdasan
Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai
Kehidupan, Bandung: Mizan.
Miarso, Yusufhadi, 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta:
Kencana.
Muhammad, A. 2011. Dahsyatnya Senam Otak. Yogyakarta: DIVA Press.
Narwanti, Sri. 2011. Creative Learning. Yogyakarta: Familia.
Oktavia, W. 2010. Mengenal Lebih Detail Fungsi-Fungsi Otak Tengah.
Yogyakarta: DIVA Press.
Pasiak, T. 2004. Revolusi IQ, EQ, dan SQ, antara Neurosains dan Al-Quran,
Bandung: Mizan.
Pasiak, Taufik. 2006. Manajemen Kecerdasan Memberdayakan IQ, EQ dan SQ
untuk Kesuksesan Hidup, Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Rianawaty, Ida. 2011. Teori Neurosains, (Online),
(http://idarianawaty.blogspot.com/2011/02/teori-neurosains.html), diakses
tanggal 03 November 2011
Suyanto, Slamet. 2012. Hasil Kajian Neuroscience dan Implikasinya dalam
Pendidikan. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Biologi, Jurusan Biologi FMIPA UNY, Yogyakarta, Juni 2008. Dalam
UNY database, (Online), (http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/678), diakses 3
April 2014.

Anda mungkin juga menyukai