Goo, Egedy
Goo, Egedy
”
(Gustavo Gutierrez)
TEOLOGI PEMBEBASAN1
Fr. Marius Goo
Abstraksi
Pada kesempatan ini saya memaparkan Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan Sebagai
sebuah ilmu yang memiliki kesejarahan dan metode. Teologi Pembebasan dikembangkan
oleh para Teolog Pembebas. Realitas nyata atau praksis hidup adalah lokus Teologi
Pembebasan. Teologi Pembebasan membeda realitas berdasarkan Ajaran Iman Kristiani,
yakni cinta kasih Allah, Kerajaan Allah, Salib, Gereja dan Praksis Hidup Yesus dalam
hubungannya dengan umat beriman. Teologi Pembebasan mengundang segenap umat untuk
mendirikan Kerajaan Allah secara nyata, real di dunia ini dan saat ini.
Kata Kunci: Teologi, Salib, Pembebasan, cinta kasih, Allah, Yesus Pembebas, Umat
Beriman, Realitas praksis.
Selayang Pandang
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad ke dua puluh dan memiliki studi
penting bagi agama-agama untuk melihat peran dalam memberbasakan manusia dari
ancaman globalisasi dan menyadarkna manusia dari berbagai dosa atau penyakit sosial, serta
menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak
oleh sistem dan ideologi dari perbuatan manusia sendiri. Sedangkan Amerika Latin dan Asia
untuk melawan kekuasaan hegemoni dan kekuasaan yang otoriter. Francis Wahono menulis,
Teologi Pembebasan Amerika Latin adalah Teologi yang paling banyak dibicarakan, dikritik
dan diagungkan; tetapi juga Teologi yang paling tidak dimengerti.2 Jika Teologi Pembebasan
Amerika Latin dimengerti maka Pembebasan adalah sebuah proses. Proses itu bukan pendek
dan mudah, melainkan panjang, sulit dan memiliki aneka tantangan. Para penganut Teologi
Pembebasan berjuang meruntuhkan atau melumpuhkan globalisasi ekonomi dan politik-
ideologi yang memenderitakan tanpa kekerasan.
1
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
Pilar Aguino. Asia Tissa Balasurya, Sadayandy Batumali, Aloisius Pieris, dan J. B.
Banawiratma dan Romo Wahono. Di Indonesia Romo Mangunwijaya, Abdurrahman Wahid,
T. H, Sumartana. Papua…? Mereka bertologi untuk memperjuangkan rakyat demi
kemanusiaan, melakukan perubahan ke arah keadilan dan kesejahteraan masyarakat sendiri.3
Pokok-pokok yang selalu ada pada setiap Teolog dalam berteologi, hampir sama, apa pun
cabangnya. Metodologi ini selalu dipergunakan dalam berteologi, yakni diantaranya: 1)
Materi subjek Teologi. (2) Konteks kultural sezaman. (3) Pendengar atau publik/audiens. (4)
Pelaku teologi. (5) Kategori penalaran. (6) Arah tindakan berteologi. Walau pun demikian,
karena konteks permasalah yang berbeda, kadang berbeda dalam berteologi pula. Teologi
Pembebasan sendiri juga memiliki metode yang berbeda. Misalnya, metode teologi Eropa
sebagaimana diajukan oleh Rahner (1969), Lonergan (1972), dan Tracy (1975).4
Teologi Pembebasan pun memiliki metode yang berbeda sesuai konteks dan subjek yang
berteologi. Misalnya,
2
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
1. Paradigma pembebasan
2. Praksis pembebasan
Pertama-tama harus diingat bahwa meskipun kemerdekaan, persaudaraan, keadilan sosial dan
kerakyatan adalah perjuangan manusia universal, semua merupakan hasil hermeneutika.
3
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
Letak atau prasksis pembebasan adalah kemandirian dan hormat pada semua manusia,
memperjuangkan hidup harmonis dalam kemajemukan. Yang dimaksud adalah tidak ada
manusia (pihak) yang merasa dirugikan, disakiti, bahkan dilukai dan dibunuh. Teolog
Pembebas memahami bahwa praktek otoritarian maupun praktek kekerasan melanggar
kemanusiaan.
Gustavo Gitierrez (peru, 1928) mencoba mengungkapkan situasi masyarakat Amerika Latin.
Gutiierrez mengarisbawahi melalui analisis ilmu-ilmu sosial membangun refleksi Teologi
sendiri.5 Gutierrez menjelaskan bahwa keterbelakangan Amerika Latin dan ketidakadilan
yang melanda adalah produk kemakmuran negara-negara kaya, produk dari sistem
kapitalisasi yang bercokol di Amerika Latin. Realitas ini Gustavo meminta untuk melakukan
perombakan, “hubungan antara negara kaya dan miskin yang ada sampai saat kini selalu
merugikan negara miskin. Kemajuan negara-negara dunia ke tiga akan terjadi, kalau bentuk-
bentuk hubungan dengan kegara kaya dirombak.” Negara-negara Amerika Latin dalam
kenyataannya dari dulu sampai sekarang sangat bergantung pada negara luar, dan situasi
ketergantungan inilah yang menjadi sebab kurang majunya mereka.6
Pada tahun 1967 di El Savador banyak orang mengadakan pencarian kemungkinan baru akan
kehidupan yang lebih adil, tanpa memandang latar belakang ekonomi dan politik. Dalam
Gereja umat bergulat untuk mengadaptasikan semangat baru yang dimulai oleh para bapa
Konsili Vatikan II (1962-1965), menempatkan diri dalam dunia yang beragam budaya dan
agama. Menjadi pemimpin yang “terbuka terhadap sejarah dan dalam sejarah kepada tanda-
tanda zaman.”7 Serikat Yesus mulai menganggapi zaman yang baru dan memilih berkarya
pastoral yang paling tanggap.8 Dalam situasi sosial-politik yang kacau, kenyataan yang akan
tercipta ialah martabat manusia direndahkan.
“Realitas sejarah menunjukkan, kenyataan El Savador, kenyataan dunia ke tiga, merupakan kenyataan
utama dunia ini, kenyataan yang paling utama dunia ini, kenaytaan yang laing universal, yang secara
mendasar ditandai dan dimenangkan oleh dominasi ketidakbenaran atas kebenaran, ketidakadilan atas
keadilan, penindasan atas kebebasan, kemiskinan atas kelimpahan. Kesimpulannya, dominasi
kejahatan atas kebaikan.”9
5
A., Suryawasita, Teologi Pembebasan: Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 20
6
Bdk., Gustavo Gutierrez, “Contestation in Latin Amerca” , consilium (i), Vol.8, No.7, 1997, hlm. 42
7
Hartono Budi, Teologi, Pendidikan & Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 74
8
Ignacio ellacuria, “Pedro Arrupe: Renovador de la Vida Religiosa” dalam Revista Latinoamericana de
Teologia 22 (Januari-April): 12
9
Ibid., Hartono Budi, Teologi, Pendidikan & Pembebasan, hlm. 74
4
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
Memiliki kesangsian atas situasi yang mapan. Tidak teralienasi dengan situasi yang ada, juga
tidak dialinasi dengan cara atau bentuk apa pun.
1. Kedosaan manusia: kita telah mengetahui bahwa dosa merupakan keadaan di mana
kerjaaan kejahatan memerintah dan berkuasa. Setan dan kebijakan setan mulai
dikerahkan untuk memperbutkan manusia menjadi bagian darinya. Terhadap dosa,
hukum dan akibat dosa tidik bisa ditoleransi.10 Dosa diciptakan oleh manusia yang
tidak mengenal kebaikan dan kemuliaan martabat manusia, baik diri juga sesama.
Dosa dipraktekan tanpa sadar, tersamar, bahkan dengan penuh kesadaran. Dosa harus
disadarkan dan dicerahkan, dosa harus dilawan dan dilenyapkan. Hilangnya dosa
bertanda Kerajaan Allah telah didirikan, secara nyata dan dialami oleh segenap
manusia tanpa terkecuali di seluruh dunia. Mendirikan Kerajaan Allah mulai dari
pribadi, keluarga sendiri, suku atau masyarakat sendiri dan seluruh dunia secara
bersama.
2. Kerajaan Allah: kita sudah lihat di atas bahwa Kerajaan Allah telah didirikan, maka
kerajaan setan dengan segala alat kelengkapan juga sistemnya digulingkan,
dilenyapkan tersipuh dibawa kekuasaan Allah. Manusia baik adalah pion-pion yang
ditugaskan, diutus oleh Allah untuk mendirikan Kerajaan-Nya secara nyata. Manusia
ambil bagian dalam Yesus Kristus, utusan Allah dalam mendirikan Kerajaan Allah
dan bahkan secara radikal, melalui “Jalan Salib.”
3. Yesus Kristus Sang Pembebas: Ungkapan ini seolah-olah dipahami bahwa Yesus
berpolitik atau Yesus sebagai politikus. Benar bahwa Yesus adalah seorang politikus,
Yesus mengajarkan politik Allah, yakni memperjuangkan kebaikan, kehidupan,
kesejahteraan, persamaan dan persaudaraan, keadilan dan keselamatan. Jika Yesus
Kristus dipahaminya dari segi “Penyelamat,” logos, ide, bersifat adikodrati, juga
transenden, terjadi “kegagalan pemahaman.” Sebab Yesus 100% Allah juga 100%
manusia. Yesus dipahami sebagai Pembebas (Mesias) merupakan suatu pemahaman
bahwa Yesus memang seorang Nabi, Pahlawan juga Politikus yang memperjuangkan
terwujudnya Kerajaan Allah di dunia. Bagaimana menjadi pahlawan, politikus sejati
juga pembebas hanya dapat ditemukan dalam diri Yesus. Karena itu Yesus menjadi
petunjuk sekaligus memberikan petunjuk dalam dua cara yang saling berhubungan
erat:
a. Salib Yesus: Salib Yesus menunjukkan kemanusiaan Yesus, dan bagaimana
memperjuangkan kehidupan untuk memperbutkan kehidupan yang dijajah oleh
dosa, kejahatan dan maut. Salib merupakan tanda perjuangan, usaha mencapai
keberhasilan, kemenangan, kemerdekaan atau puncak kebangkitan.
b. Kebangkitan Yesus: Kebangkitan Yesus merupakan suatu pengharapan utopis,
juga pengharapan profetis, namun sekaligus dialami oleh Yesus. Dengan
10
Jon Syubrino & juan hernandes, teologi solidaritas, (Yogya: Kanisius, 1988) hlm. 72
5
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
6
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
ditemukan secara langsung dalam diri Yesus Kristus. Allah telah mandatangi manusia
lebih dekat, untuk merasakan, dan mengalami kehidupan manusia secara nyata dan
membebaskan manusia dari belenggu kematian. Selanjutnya, para Teolog Pembebas
mengungkapkan manusia baru dalam rana pemerdekaan manusia oleh Allah dalam
diri Yesus Kristus. Pemerdekaan manusia oleh Kristus dibutuhkan pengiyaan manusia
dengan menjadi Kristen melalui “pembaptisan.” Dengan dibaptis manusia dibarui dan
menjadi anak Allah. Menjadi manusia baru dalam diri Kristus berarti harapan akan
kebangkitan diterima dan kematian bukan untuk ditakuti, bahkan lebih radikalnya
kematian harus dicari, namun dalam ranah pemerdekaan dan penyelamatan manusia,
dan Yesus telah mencontohkannya.
7. Misi Gereja: Misi Gereja erat hubungan dengan misi Allah (missio Dei).15 Misi Allah
adalah Kerajaan-Nya terbangun dan semua manusia menggapai Kerajaan Allah. Allah
yang adalah kasih, suci dan kudus, manusia membuka diri, sekaligus menawarkan
untuk memiliki harapan akan Kerajaan Allah. Misi Allah ditanggapi secara sempurna
oleh Yesus Putra tunggal-Nya dengan peristiwa “inkarnasi.” Allah menjadi manusia,
karena Allah menginginkan manusia mencapai Allah kembali, setelah manusia
kehilangan Allah akibat dosa. Misi Allah dilanjutkan oleh Gereja. Gereja mengambil
bagian dalam misi Allah untuk mengembalikan manusia kepada Allah.
Mengembalikan manusia kepada Allah adalah mengembalikan manusia pada keadaan
manusia awal, atau asali. Mengembalikan manusia di taman Eden, Firdaus dari
suasana neraka yang menindas, mengerikan, memendaritakan dan mematikan. Misi
Gereja adalah menyelamatkan manusia kembali kepada Allah yang menghendaki
keselamatan.
8. Kemiskinan Kristiani sebagai Langka Pastoral. Kemiskinan bukan sebuah ideologi,
bukan sebuah definisi atau konsep abstrak yang mengundang eksegese, tafsiran atau
penalaran logis, melain fakta, atau realitas nyata yang dialami. Kemiskinan kita lihat
dengan mata kepala sendiri adalah mereka yang ada, mereka yang tinggal di bawah
kolong jembatan, mereka yang mengemis, mereka yang putus sekolah, mereka yang
mengikat pinggang karena menahan lapar. Kemiskinan terjadi karena kebutuhan
pokok sandang, pangan dan papan belum terpenuhi. Masalah kemiskinan dan
penindasan merupakan cerminan dunia secara keseluruhan.16 Terhadap kemiskinan
itu harus disadarkan dicari jalan keluar, jalan pembebebasan atau pembaruan.
a. Upaya penyadaran: Upaya penyadaran disebut sosialisasi atau konsolidasi.
Upaya penyadaran dilakukan karena tercipta alienasi atau ketidaksadaran yang
berujung pada kematian buta. Para Teolog Pembebas hadir menggarami dunia
kemiskinan, hadir menjadi penerang dalam duni yang abu-abu dan tak
menentu. Teolog Pembebas membuka mata dan hati untuk melihat realitas
secara nyata dan utuh. Menyadarkan fakta-fakta kemiskinan juga struktur atau
15
Ibid., ensiklik Missi Dei
16
Ibid., Hartono Budi, Teologi, Pendidikan dan Pembebasan, hlm. 96
7
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
Teolog pembebasan yang mengembangkan cara ini adalah Jon Subrino. Ia menekankan
persaudaraan dan keharmonisan. Komunitas manusia dalam kemajemukan. Menurutnya
semua manusia harus merasakan dirinya sebagai manusia. Karena itu, kemanusiaan harus
dibelah, terutama yang mereka yang miskin dan tersisihkan “option for the poor.”
Sedangkan Leonardo Boff menekankan Salib. Jalan pembebasan tanpa kekerasan adalah
memanggul Salib. Menurutnya harus menderita, dan menderita dalam ungkapan keluhuran
manusia. Menderita yang dimaksud bukan dibuat oleh orang entah secara langsung melalui
represi militer atau terror dan intimidasi, maupun secara tidak langsung melalui sistem dan
struktur dayang tidak adil. melainkan menderita dalam arti bekerja. Allah pun bekerja maka
manusia yang memiliki keterbatasan wajib bekerja, wajib berjuang. Penderitaan dalam arti
kerja inilah yang dinamakan oleh orang Kristiani sebagai “salib.” Salib itu wajib dipikul
bahkan hingga di puncak Golgota, puncak pembebasan. Puncak pembebasan dimulai dari
taman Zaitun, taman pergulatan batin, yakni antara menanggung Salib atau menolaknya
untuk dipikul.
8
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
bahkan melahirkan kekerasan lebih rumit dan kompleks.” Jalan pembebasan tanpa kekerasan
menekankan penghargaan terhadap kemanusiaan dan rahmat kehidupan, bahwa semua
manusia merupakan ciptaan Tuhan, yang memiliki hak dan kehendak untuk hidup.
Jalan pembebasan tanpa kekerasan dapat ditemukan dalam Kristus. Menanggung semua
derita, namun dengan tujuan yang pasti adalah memproklamirkan kemerdekaan, yakni
menjadikan kembali semua manusia sebagai anak-anak Allah. Yesus adalah tokoh
revolusioner bangsa Romawi, sekaligus Penyelamat umat manusia. Dari segi kemanusian-
Nya, Yesus memperjuangkan kemerdekaan bangsa-Nya, sementara dari segi keAllahan-Nya,
Yesus memperbutkan manusia mencapai keselamatan sebagai anak-anak Allah.
Pertama-tama kita mengingat bahwa Teologi Pembebasan bukan dilahirkan oleh kaum
intelektual yang ada dalam kemapanan dan kesejahteraan, melainkan dicetuskan oleh mereka
yang lemah, miskin tersisikan dan menderita. Teologi Pembebasan dilahirkan dari perasaan
dan pengalaman ketertindasan. Teologi pembebasan merupakan pengungkapan perasaan
ketertindasan dan ketakberdayaan, suara-suara perih dari mereka yang diingkari
kemanusiaannya. Suara-suara kaum tersisikan itu didengarkan oleh para Teolog dan berusaha
untuk diungkapkan. Artinya, Teologi Pembebasan bukan lahir dari sebuah emosi kaum
1intelektual. Teologi Pembebasan juga tidak bisa diadopsi dan dicoppy-paste secara mentah.
Teologi Pembebasan tidak hanya cocok diterapkan di Papua, termasuk Indonesia juga di
seluruh dunia wajib diterapkan. Karena Teologi Pembebasan hadir mencerahkan realitas-
realitas yang menindas, baik secara fisik maupun psikis. Misalnya, pancasila di Indonesia
yang adalah dasar negara. Jika dasar negara tidak dihayati secara benar oleh warga Indonesia,
harus dicerahkan, harus direfleksikan dan dikritisi, sehingga Pancasila itu benar-benar
menjadi dasar negara yang mengayomi, menyatukan dan memberi peluang untuk mencapai
keadilan dan kesejahteraan sosial yang sama.
Demikian juga di Papua, ketika apa yang menjadi dasar kehidupan, terlebih agama, budaya
juga realitas nyata tidak dilaksanakan secara benar, tidak dihayati sepenuhnya, harus
dicerahkan, harus dikritisi dan disadarkan situasi untuk kembali kepada akar dan dasar
kehidupan orang Papua. Kebudayaan adalah dasar kehidupan orang Papua. kebudayaan
merupakan rahmat atau kekuatan menunjukkan eksistensinya di hadapan manusia lain.
Melalui budaya orang Papua akan menemukan epistemologi, moralitas juga praktek
keimanan yang membebaskan.
9
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
Penutup
Teologi Pembebasan di mulai dari akar rumput, mereka yang tidak memiliki apa apa dan
menderita. Teologi Pembebasan dicetuskan sebagai perwakilan ungkapan kaum tak bersuara
dan direndahkan oleh sistem dan struktur yang tidak mendukung, bahkan menindas. Semua
manusia adalah pelaku, pelaksanan Teologi sebagai orang yang percaya pada Allah. Iman
kita kepada Allah menuntut kita untuk mempraktekan dalam seluruh hidup. Namun
pengejawantahan iman secara salah akan berakibat pada penghancuran, tidak lain adalah
penjajahan terhadap martabat manusia, juga nilai-nilai injili.
Walupun demikian, ruang teologi adalah ruang privat bagi para gembala, yang dipanggil
secara khusus. Tugas utama adalah kemampuan para gembala untuk memahami teologi
pembebasan dan bagaimana mempraktekan dalam pelayanan. Gembala yang tidak
memahami secara memadai tentang teologi pembebasan tidak lain adalah mempraktekan
doktrinasi dan menjalankan formalisme baku yang membekukan. Kalau pun berjuang
mempraktekan namun tidak lain merupakan penyesatan dan pengalienasian.
10
“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)
Daftar Pustaka
Sumber buku
Ignacio, Ellacuria, Freedom Made Flesh: The Mission of Christ and His Church, Obis Books, New
York: 1973
Nitiprawiro, Francis Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, LKiS,
Yogyakarta, 2008
Subrino, Jon & Hernandes, Juan, Teologi Solidaritas, Kanisius, Yogyakarta, 1988
11