Anda di halaman 1dari 17

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998,

banyaknya perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari

desentralisasi kekuasaan pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara

sungguh‐sungguh merealisasikan konsep otonomi daerah secara jujur, penuh

kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep otonomi daerah memiliki

sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini.

Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1

Tahun 1945 sampai dengan UU No. 5 Tahun 1974, semangat otonomi daerah

sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme

konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum seringkas

dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah

tangga (Marbun, 2005:45).

Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri

dari Provinsi-Provinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan daerah otonom dan

memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk

memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajukan

daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah, peran aktif masyarakat

di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi tersebut. Otonomi


2

daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah yang mencoba

merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini,

diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi

ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi

pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga

muncul formulasi dan model pembangunan daerah yang efisien dan

terdesentralisasi.

Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan

di era Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama

kali diturunkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pemerintah Pusat memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk

mengelola dan memanajemen potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang

diwadahi oleh Pemerintah Daerah. Bagian Penjelasan Umum Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya

dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

Pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah


3

untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada

dasarnya merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat

sering terjadi kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut

dikarenakan masih minimnya pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau

mungkin karena kurang siapnya baik itu masyarakat atau pemimpin daerah dalam

menjalankan proses otonomi daerah.

Berangkat dari kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk

menelaah kembali makna otonomi daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun

sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang

berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengkaji lebih dalam

mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul “Otonomi Daerah di Indonesia

Pada Masa Reformasi”.

B. Perumusan Masalah Penulisan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penulisan makalah ini, antara lain:

“Bagaimana Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa Reformasi”

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan daripada penulisan makalah ini, yaitu:

Untuk Mengetahui Bagaimana Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa

Reformasi?
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah

terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Baru

menjalankan mesin sentralistiknya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul dengan UU Nomor 5 tahun

1979 Tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi

kekuasaan Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya

tumbuh sebelum Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah

kontrol kekuasaan.

Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan)

menjadi alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa

yang tumbuh dari rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam

mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999.

Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan

politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi

oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk

efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai

birokrasi yang panjang.

Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, otonomi daerah

telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan

demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen


5

dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi

tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa

dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami

sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya

membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will)

penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya

harapan bagi kemajuan daerah.

Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004,

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan

revisi, paling tidak ada dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32

Tahun 2004) yakni, proses penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-

tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar pemilu.

Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan

menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan

demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada

waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau demisioner.

Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan

anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan

perubahan (revisi) terhadap UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun

2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara

de facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan

mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.


6

Tibalah saatnya Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan

amanat politik rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan

desentralisasi. Pasang surut desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur

kepentingan pusat dan daerah harus segera digantikan dengan penciptaan sistem

Pemerintahan di tingkat lokal yang demokratis. Sehubungan dengan itu, maka

diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap

pelaksanaan desentralisasi yang berlangsung selama ini.

Dibutuhkan indikator desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat

untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political

equality), mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local

accountability), dan meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang

berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (local responsibility). Selain harus

tercermin dalam produk kebijakan, indikator-indikator itu juga harus

terimplementasi dalam praktek desentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintahan

Lokal.

B. Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan

Pendidikan

1. Bidang Politik

Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang

luasdiantaranya terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu

yang menyangkut masalah kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan

perundangan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Hal ini

dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75 UU No.22 Tahun 1999 yang menyatakan
7

“Norma, standar dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan,

pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan

kewajiban, serta kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil Daerah, ditetapkan

dengan Perundang-Undangan.

2. Bidang Ekonomi

Sektor perekonomian sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses

otonomi daerah. Pembangunan ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik

apabila diselenggarakan dengan konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi

adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang

mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja.

Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi

lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989)

3. Bidang Pendidikan

Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua

jenis yaitu, pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua

desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih

besar ditingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan penyelenggaraan

Pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud dari demokratisasi, kebijakaan

yang dimaksud lebih pada kebijakaan pendidikan dan aspek pendanaannya dari

Pemerintah Pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap pemberian

kewenangan yang lebih besar ditingkat manejemen sekolah untuk meningkatkan

kualitas pendidikannya.
8

C. Permasalahan Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam

Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi

1. Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah

adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan Peraturan Perundang-Undangan. Setelah berlakunya Peraturan tersebut,

daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya, hal

ini menimbulkan berbagai masalah timbul akibat kewenangan tersebut.

Permasalahan yang timbul antara lain:

a. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang

sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung

oleh kondisi SDM Aparatur Pemerintah yang memiliki kualitas yang

cakap sehingga dapat menjalankan berbagai kewenangan Pemerintah

Daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan.

Pentingnya posisi manusia karena manusia merupakan unsur

dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek

penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh sebab itu kualitas

mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya

melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan

otonomi daerah. Manusia pelaksana Pemerintah Daerah dapat di

kelompokkan menjadi:
9

1) Pemerintah Daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan dewan

perwakilan daerah (DPRD). Dalam kenyataan syarat syarat yang di

tentukan bagi seorang Kepala Daerah belum cukup menjamin

tuntutan kualitas yang ada.

2) Alat-alat perlengkapan daerah yakni Aparatur Daerah dan pegawai

daerah.

3) Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental

(lingkungan) yang merupakan sumber energi terpenting bagi

daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.

Para aparatur Pemerintah Daerah pada umumnya memiliki kualitas

yang belum memadai, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan

daerah dalam merekrut pegawai baru yang berada di luar struktur

Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja (2003:37) Daerah

mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun

belum cukup jelas kewenangannya untuk merekrut Perangkat Daerah baru

yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut

dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi, kalangan Swasta Profesional dan

lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk mendapatkan calon-

calon pegawai yang cakap.

b. Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah

Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah Pusat bergeser ke

daerah karena daerah diberikan wewenang sendiri dalam mengatur

keuangannya. Banyak pejabat daerah yang masih mempunyai kebiasaan


10

menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri dengan alasan

studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang sangat

penting bagi Kepala Daerah. Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan

pribadi antara Kepala Daerah dan pengusaha yang ingin berinvestasi di

daerah. Dengan begitu maka akan terjadi pemerasan dan penyuapan.

c. Eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang

lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses

pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan

daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah

muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya

maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya

ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang

cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan.

Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah,

pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan

anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap

menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang

membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya

Pemerintah Daerah kemudian berusaha mencari pendapatan daerah

sebanyak mungkin, seperti melalui pemungutan pajak, retribusi, hingga

eksploitasi daerah yang maksimal.


11

d. Kurangnya Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan

Otonomi Daerah

Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara

Kesatuan yang terdesentralisasi. Pada kenyataan pemahaman terhadap

desentralisasi dan otonomi daerah masih kurang. Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah masih belum memaksimalkan perannya dalam

Pemerintahan. Mentalitas dari aparat Pemerintah baik pusat maupun

daerah masih belum mengalami perubahan yang mendasar.

Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak dibarengi penguatan

kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem Pemerintahan yang

baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya

mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai

pengguna jasa adalah pelayanan publik yang ideal. Untuk merealisasikan

bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi diperlukan

perubahan paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur

utama dalam pencapaian tata Pemerintahan Lokal.

e. Penyediaan Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Belum

Memadai

Pada awalnya peraturan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di

tetapkan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan


12

Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Selanjutnya lahirlah UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan

Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan

pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah,

ditetapkan berdasarkan kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya

mengatur diri sendiri sebagai dampak negatif dari sentralisasi yang

dirasakan terlalu lama semasa Orde Baru.

Oleh karena tuntutan masyarakat itu terlalu mendesak dan harus

direspon dalam waktu singkat, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR-

RI mengeluarkan undang-undang tentang Pemerintah Daerah. Namun

sesuai dengan prosesnya yang mendesak, tentu saja materi isi dan

substansinya masih banyak kekurangan dan kelemahan dan perlu

diantisipasi oleh daerah. (Widjaja, 1999:1-2).

Menurut Widjaja (2003:35-37) ada beberapa hal yang harus

dicermati mengenai peraturan pelaksanaan Pemerintah Daerah yang telah

di susun, antara lain:

1) Pembagian Daerah.

2) Pembentukan dan Susunan Daerah

3) Kewenangan Daerah

4) Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah


13

f. Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah

Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme

atau fenomena primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi

etnosentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daerah yang

menyangkut pemekaran daerah, pemilihan Kepala Daerah, rekruitmen

birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya.

Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik.

Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang kepada daerah

menyebabkan daerah menjadi terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni

ketimpangan pembangunan antara daerah yang sumber dayanya kaya

dengan daerah yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.

Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan

menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing.

Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi daerah tuntutan

pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.

Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi

wilayah yang berkeping-keping. Satu Provinsi pecah menjadi dua-tiga

Provinsi, satu Kabupaten pecah menjadi dua-tiga Kabupaten, dan

seterusnya, semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme

dan perpecahan terjadi.


14

2. Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah

Pada Masa Reformasi

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan

dalam otonomi daerah adalah sebagai berikut :

a. Pemerintah pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh

keikhlasan agar daerah dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber

daya di daerah secara optimal.

b. Bahwa tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah

hasrat untuk menggali sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan

untuk meningkatkan PAD masing-masing daerah menuju peningkatan

kesejahteraan masing-masing daerah menuju peningkatan masyarakat

daerah, oleh karena itu untuk mencegah kondisi disintesif, pemda

dalam rangka otonomi daerah perlu mengembangkan strategi efesiensi

dalam segala bidang.

c. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan

ekonomi kerakyatan secara sistematis, mensinergikan kegiatan

Lembaga/Institusi riset pada PTN/PTS di daerah dengan industri kecil

menengah dan tradisional.

d. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar

ekonomi yang sudah rapuh, dengan mengembangkan usaha

kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif serta berupaya

terus untuk memberantas kemiskinan struktural.


15

e. Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar

supaya sumber kekayaan yang tersebut dapat dimanfaatkan secara

optimal dan secara lestari.

f. Mendorong desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan

lembaga di daerah khususnya DPRD untuk memiliki wewenang dan

kemandirian dalam membuat produk hukum pembangunan di daerah.

Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan, pengelolaan,

pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah

pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.


16

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat

mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara

optimal. Pemberian otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan

peran masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pada

hakikatnya tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan

mensejahterakan rakyat.

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah

dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya

undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan

Pemerintah Daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek,

diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan.

Dalam desentralisasi politik adanya sebuah birokrasi yang

muncul, dalampendidikan otonomi daerah menempatkan sekolah sebagai garis

depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga

memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman


17

kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan munculnya

kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.

Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan

potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya

tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah

dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah,

melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan

daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu

terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.

Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya

kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai

pelanggaran, munculnya pertentangan antara Pemerintah Daerah dengan pusat,

serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dengan

daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan

yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-

permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari

otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai