OBJEKTIVITAS AUDITOR?
Selama ini, literature akuntansi melihat adanya keterbatasan atau ancaman dalam
objektivitas auditor disebabkan oleh faktor ketergantungan finansial dan hubungan dekat dengan
klien. Lebih lanjut, beberapa penelitian berpendapat auditor yang telah mengaudit suatu
perusahaan dalam periode yang panjang menjadi salah satu penyebab munculnya ancaman dalam
objektivitas yang secara lebih lanjut mengancam kualitas judgement. Hal ini terjadi karena dengan
masa perikatan yang lama akan membuat hubungan auditor-klien menjadi semakin dekat dan hal
ini tentu saja memengaruhi objektivitas auditor.
Tetapi, pandangan lain saat ini telah muncul. Pandangan ini berpendapat bahwa masa atau
lamanya perikatan audit tidak dapat menjamin tingkat objektivitas auditor. Jurnal ini memberikan
salah satu variabel lain yang dianggap memiliki hubungan dengan tingkat objektivitas auditor,
yaitu budaya etis di dalam perusahaan audit (audit firms). Peneliti beranggapan bahwa selama ini
literature akuntansi hanya berfokus pada masa perikatan audit yang panjang sebagai penyebab
adanya ancaman dalam objektivitas, tetapi literature cenderung mengabaikan bahwa ancaman ini
juga dapat muncul dalam audit dengan masa perikatan yang pendek. Dengan kata lain, peneliti
beranggapan bahwa variabel keperilakuan yang ia ajukan, yaitu budaya etis dalam perusahaan
audit, merupakan salah satu kontribusi baru dalam literature.
Konstruksi budaya etis yang dikembangkan oleh Trevin˜o et al. (1998) digambarkan
sebagai dua dimensi. Dimensi satu adalah lingkungan etika umum (GEE), yang mencakup sejauh
mana perilaku yang tidak etis dihukum, sejauh mana perilaku etis dihargai, pemodelan peran para
pemimpin, dan norma-norma etika. Berdasarkan bukti sebelumnya mengenai pengaruh budaya
etis terhadap perilaku etis, peneliti berharap menemukan bahwa budaya etis yang lebih mendukung
perilaku etis cenderung menjadi lingkungan di mana auditor lebih cenderung membuat penilaian
obyektif. Kami berharap menemukan bahwa dimensi GEE secara positif memengaruhi
objektivitas auditor ketika GEE kuat, dan bahwa budaya dengan penekanan kuat pada OA
dikaitkan dengan penilaian auditor yang kurang objektif. Karenanya, peneliti dalam penelitian ini
merumuskan hipotesis sebagai berikut:
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang dikelola sendiri secara anonim.
Peneliti kemudian memilih sampel acak dari 1.200 auditor dan mengirim email kepada mereka
instrumen menggunakan perangkat lunak survei email. Sebelum administrasi, kuesioner diuji coba
menggunakan dua auditor yang berwenang. Kuesioner yang dikelola sendiri didistribusikan
melalui email pada Mei 2012. Kuesioner membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk diselesaikan.
Secara total, 281 tanggapan lengkap diperoleh, mewakili tingkat respons 23,4%, dicapai dengan
bantuan empat pengingat yang dihasilkan oleh perangkat lunak survei email selama dua minggu.
Bagian kuesioner ini berisi item tentang hadiah dan hukuman untuk perilaku etis, perilaku
teman sebaya, sejauh mana pemimpin organisasi berfungsi sebagai model peran untuk etika
perilaku, sejauh mana norma-norma mendukung perilaku etis, korespondensi antara kode etik
profesi dan norma-norma informal, dan sejauh mana karyawan diharapkan mematuhi figur otoritas
tanpa pertanyaan. Selain itu, kuesioner berisi kasus pendek, tersedia dalam Lampiran, diadaptasi
dari penelitian menjadi perilaku auditor dalam situasi konflik audit (Bamber & Iyer, 2007; Knapp,
1985).
Sementara itu, jawaban non-responden diambil untuk diwakili oleh jawaban responden
akhir dan perbedaan yang signifikan secara statistik antara responden awal dan awal dianggap
sebagai indikasi bias non-respons. ANOVA dihitung untuk menguji perbedaan antara responden
akhir dan responden awal. Responden yang terlambat didefinisikan sebagai 40 responden terakhir
untuk mengirimkan kuesioner mereka, yaitu, setelah beberapa pengingat, sedangkan responden
awal adalah 40 responden pertama. Hasil tes untuk responden yang terlambat secara statistik tidak
dapat dibedakan dari yang untuk responden awal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara budaya etis (GEE dan OA) dan
persetujuan klien auditor adalah signifikan sehingga mendukung hipotesis mengenai terdapat
dampak budaya etis terhadap objektivitas auditor. GEE mewakili budaya yang mendukung
keputusan etis individu, sementara OA mewakili budaya di mana sedikit ruang yang diizinkan
untuk penilaian etis auditor. Hasil regresi penelitian juga menjelaskan dampak negatif GEE pada
kemungkinan bahwa auditor akan menyetujui perlakuan yang disukai klien. Ini menunjukkan