Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)


RSUD Dr.SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN

Disusun oleh :

1. Agus Triyanto 7. Permadi Nur Pamungkas


2. Dica Cahya Mareta 8. Putri Benia Ekawati Nurulfajria
3. Imanuel B. Y. Muhuweni 9. Reoja Oshi Pratama
4. Jumeidi 10. Reni Monika
5. Ita Rahmadani 11. Retno Damarsari
6. Maria S. Mabilehi 12. Sugian Saputra

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2016/2017
Fraktur

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung,
gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot
ekstrem (Bruner & Sudarth, 2010).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar
jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah,
dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Priscilla dan Karen, 2008).
Fraktur femur adalah kerusakan kontinuitas tulang pangkal paha yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi
tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis.
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur
femur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, yang disebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada
tulang pangkal paha.
B. Klasifikasi Fraktur
Menurut Smeltzer dan Bare (2007), berdasarkan ada tidaknya
hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar, fraktur dibagi menjadi 2
antara lain:
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih

2
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka:
a. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
c. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Menurut Smeltzer dan Bare (2007), fraktur dapat digolongkan
berdasarkan derajat kerusakan tulang yang dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.

3
2. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu
sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut
green stick.
Menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap
terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap
tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Menurut Smeltzer dan Bare (2007), fraktur dapat dibedakan menjadi 5
berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
yaitu:
1. Fraktur Transversal yaitu fraktur yang arahnya malintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik yaitu fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi
juga.
3. Fraktur Spiral yaitu fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di
sebabkan oleh trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi yaitu fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Afulsi yaitu fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
Menurut Smeltzer dan Bare (2007) berdasarkan jumlah garis
patahannya fraktur dibagi menjadi 3 antara lain:
1. Fraktur Komunitif yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2. Fraktur Segmental yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3. Fraktur Multiple yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu tetapi
tidak pada tulang yang sama.

4
C. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.

5
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan berikut :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
D. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2007).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan

6
serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani
dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner
dan Suddarth, 2010 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2007).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

7
E. Pathway

Kondisi patologis, Trauma


osteoporosis, neoplasma Langsung/ tidak langsung

Absorbsi calcium

Defisit volume
Rentan fraktur FRAKTUR perdarahan cairan

Konservatif Tindakan Bedah

Bidai Gips Traksi

Pre op Intra Op Post Op

Gg. Mobilitas Perfusi jaringan


Defisit pengetahuan Perdarahan Efek anestesi Luka insisi
fisik perifer tidak efektif

Cemas Mual, muntah Inflamasi bakteri


Defisit volume cairan

Nutrisi kurang dari kebutuhan


Resiko Cedera
Resiko8 infeksi
Tindakan Bedah

Perubahan status Cedera sel Diskontuinitas Luka terbuka Reaksi


kesehatan fragmen tulang peradangan

Kurang
informasi Degranulasi Terapi Lepasnya lipid Port de’ entri Gg. Integritas Edema
sel mast restrictif pada sum-sum kuman kulit
tulang

Kurang
pengeta Pelepasan Gg. Mobilitas Resiko Infeksi Penekanan pada
mediator fisik Terabsorbsi jaringan vaskuler
hunn masuk
kimia
kealiran darah
Nekrosis
Jaringan paru Penurunan
Nociceptor Oklusi arteri aliran darah
Korteks paru
serebri Emboli

Resiko
Medulla disfungsi
spinali Gangguan pertukaran Penurunan laju Luas permukaan
Nyeri gas difusi paru menurun neurovaskuler

(Sumber: Corwin, 2009; Bruner & Sudarth, 2002)

9
F. Manifestasi Klinis
Menurut Potter dan Perry (2005) manifestasi klinis fraktur adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus,
pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias
diketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Menurut Black (2010), tanda dan gejala fraktur antara lain:
1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : rotasi
pemendekan tulang dan penekanan tulang.
2. Bengkak : Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi
darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3. Echimosis dari perdarahan Subcutaneous.
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.

10
5. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur didaerah yang berdekatan.
6. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/
perdarahan ).
7. Pergerakan abnormal.
8. Hilangnya darah.
9. Krepitasi

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Daniel et al (2010) ada beberapa pemeriksaan penunjang
pada pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis
fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu :
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya.

11
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur
dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2007).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan
untuk fiksasi intrerna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan
diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang
pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars.
Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada
tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus
dan pelvis (Mansjoer, 2007).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin
yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau
zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain

12
dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi
untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai
temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai
definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi
pada tulang dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2007).
Menurut Daniels, et all (2010), ada empat tujuan utama dari penanganan
fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun
karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut.Untuk
mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri
dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang
fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai
atau gips.
a) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang.
b) Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah.Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan
bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotik

13
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips
adalah:
(a) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
(b) Gips patah tidak bisa digunakan
(c) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat
membahayakan klien
(d) Jangan merusak/menekan gips
(e) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam
gips/menggaruk
(f) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti
pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal
tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan
tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian
rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang
yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan
pada keadaan emergency
2) Traksi mekanik, ada 2 macam :
a) Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang
lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan
beban < 5 kg.
b) Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk

14
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal/penjepit
melalui tulang/jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
(1) Mengurangi nyeri akibat spasme otot
(2) Memperbaiki dan mencegah deformitas
(3) Immobilisasi
(4) Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
(5) Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
(a) Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan
gaya tarik
(b) Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang
dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan
(c) Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi
lapisan khusus
(d) Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
(e) Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang
logam pada pecahan-pecahan tulang.
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak
keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini
disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi
dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur.
Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati
diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi,
fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik
berupa pen, sekrup, pelat, dan paku. Keuntungan perawatan fraktur
dengan pembedahan antara lain :
1) Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah

15
2) Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang
berada didekatnya
3) Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
4) Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
5) Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama
pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan
kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot
hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan.
1) Fiksasi Interna
ORIF yaitu Open Reduction Internal Fixation.atau fiksasi internal
dengan pembedahan terbuka akanmengimmobilisasi fraktur dengan
melakukan pembedahan dengan memasukan paku, sekrup atau pin
ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang
yang fraktur secara bersamaan.
Indikasi ORIF
a) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
b) Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan
c) Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi
untuk fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan
lurus dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin
tidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika
hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak
mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal ini hampir
selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan
stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat
penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah
sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur.Kerugian meliput
anestesi, trauma bedah tambahan dan risiko infeksi.

16
Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat
dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur
transversal tanpa pemendekan.Comminuted fracture paling baik
dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan panjang
dan rotasi.
2) Fiksasi Eksterna
OREF yaitu Open Reduction Eksternal Fixation Reduksi
terbuka dengan fiksasi eksternal merupakan fiksasi eksternal yang
digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk
fraktur kominutif (hancur atau remuk)..Bila fraktur yang dirawat
dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada pemeriksaan
radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat
dipasang. Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak memberi
fiksasi yang rigid juga cocok untuk tindakan ini.
3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4
minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan.
Namun terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang,
sehingga dibutuhkan graft tulang.
4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan
kakunya sendi.Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin.

I. Komplikasi
Menurut Daniels, et all (2010) ada beberapa komplikasi dari fraktur
antara lain :
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak,
sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.

17
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bisa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra
sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan
kondisi fatal.Hal ini terjadi ketika gelembung-gelembung lemak
terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh-pembuluh darah pulmonary
yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh,
gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
c. Sindroma Kompartement
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi
saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh edema di daerah
fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan
pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini
menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian
syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri
hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau
kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas
yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan. Resiko
terjadinya sindrome kompartemen paling besar apabila terjadi
trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi
akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang
terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di

18
kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen
atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi (Corwin: 2009).
Menurut Pink (2005) dan Townsend (2004), terdapat lima
tanda (5P) compartment sindrom, yaitu Pain (rasa sakit), Paloor
(kepucatan/ perubahan warna), Paralysis (kelumpuhan/
ketidakmampuan untuk bergerak), Paresthesia (rasa kesemutan),
dan Pulselessness (tidak ada denyut) .
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi,
CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare,
2007).
2. Menurut Price dan Wilson (2006) komplikasi dalam waktu lama atau
lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non union.
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.

19
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang-kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak
adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.

J. Stadium Penyembuhan Fraktur


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan
jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.Tulang baru
dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang,
yaitu:
1. Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.
Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Waktu terjadinya
proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.

2. Proliferasi Seluler
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-
benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan

20
osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen
pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan
(osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang
rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat
patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur
kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial
elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah
terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.

3. Pembentukan Kallus
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur
dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal
dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi
lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.

21
4. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang
lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk
membawa beban yang normal.

5. Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

22
Gambar 2. Fase Penyembuhan Tulang

K. Pengkajian
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada
berbagai macam meliputi:
1. Riwayat penyakit sekarang Kaji kronologi terjadinya trauma yang
menyebabkan patah tulang kruris, pertolongan apa yang di dapatkan,
apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat
mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut
berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan
menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan
trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur
adalah kecelakaan lalu lintas darat.
2. Riwayat penyakit dahulu Pada beberapa keadaan, klien yang pernah
berobat ke dukun patah tulang sebelumnya sering mengalami mal-
union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan
fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis

23
akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat penyembuhan
tulang.
3. Riwayat penyakit keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan
dengan patah tulang cruris adalah salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik.
4. Pola kesehatan fungsional
a. Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder,
dari pembengkakan jaringan, nyeri)
b. Sirkulasi
1) Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
2) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
3) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang
terkena.
4) Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
1) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
2) Kebas/ kesemutan (parestesia)
3) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/
hilang fungsi.
4) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
d. Nyeri / kenyamanan
1) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi), tidak
ada nyeri akibat kerusakan syaraf .

24
2) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
e. Keamanan
1) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
2) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau
tiba- tiba).
f. Pola hubungan dan peran Klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat karena klien harus menjalani rawat
inap.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
h. Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
i. Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi
dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri dan
keterbatasan gerak yang di alami klien.

L. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan fraktur menurut NANDA (2012), yaitu:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : fraktur.
2. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik:
robekan.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan gangguan
musculoskeletal.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan gangguan
musculoskeletal.

25
5. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer dengan faktor resiko:
penurunan konsentrasi Hb dan 02
6. Resiko infeksi dengan faktor resiko pertahanan tubuh primer tidak
efektif dan prosedur invasif.

26
M. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pain Management
dengan agen cedera biologis x 24 jam, nyeri klien teratasi dengan kriteria 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
hasil: komprehensif termasuk lokasi,
a. Pain Level karakteristik, durasi, frekuensi,
1) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, kualitas dan faktor presipitasi
frekuensi dan tanda nyeri) 2. Observasi reaksi nonverbal dari
2) Tanda vital dalam rentang normal ketidaknyamanan
TD : 120/80 mmHg 3. Ajarkan klien dan keluarga tentang
HR : 60-100 x/ menit teknik non farmakologi
RR : 15-20 x/menit 4. Anjurkan klien meningkatkan istirahat
S : 36-37,50C 5. Anjurkan keluarga untuk
b. Pain control, memodifikasi lingkungan yang
1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyaman dan tenang.
nyeri, mampu menggunakan tehnik 6. Kolaborasi pemberian analgetik untuk
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri mengurangi nyeri
2) Klien dan keluarga mampu mencari
bantuan jika muncul masalah yang serius
3) Melaporkan bahwa nyeri berkurang
dengan menggunakan manajemen nyeri
2. Kerusakan integritas jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Wound Care
berhubungan dengan faktor 3x24 jam diharapkan kerusakan integritas 1. Observasi luka : lokasi, kedalaman,
mekanik: tindakan operasi jaringan dapat teratasi dengan kriteria hasil : karakteristik, warna cairan, granulasi,
Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes jaringan nekrotik, dan tanda-tanda
1. Perfusi jaringan baik infeksi lokal)
2. Ketebalan dan tekstur jaringan normal 2. Monitor kulit akan adanya kemerahan
3. Integritas kulit baik 3. Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
Wound Healing : Primaryd and secondary 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)

27
Intention setiap dua jam sekali untuk mencegah
a. Menunjukkan proses penyembuhan luka terjadinya dekubitus
b. Tidak ada tanda-tanda infeksi (kemerahan, 5. Lakukan perawatan luka
bengkak, teraba hangat, dan tidak ada pus) 6. Berikan posisi yang nyaman untuk
mengurangi tekanan pada luka
7. Anjurkan klien dan keluarga untuk
menjaga daerah luka agar tetap bersih
dan kering.
3. Defisit perawatan diri : mandi, Setelah dilakukan tindakan keperawatan Self Care Assistance : ADLs
makan, berpakaian, dan selama…x24 jam diharapkan klien dapat 1. Kaji kemampuan klien dalam
eleminasi melakukan perawatan diri secara mandiri dengan melakukan perawatan diri yang mandiri
(BAB&BAK)berhubungan kriteria hasil : 2. Kaji kemampuan klien dalam
dengan nyeri dan kelemahan. Self Care : Activity Of Daily Living (ADLs) melakukan personal hygiene
a. Klien terbebas dari bau badan 3. Bantu klien dalam melakukan
b. Menyatakan kenyamanan terhadap perawatan diri
kemampuan untuk melakukan ADLs 4. Anjurkan klien untuk melakukan
c. Klien mampu melakukan aktivitas perawatan perawatan diri dengan mandiri atau bisa
diri (makan, mandi, toileting, dan berhias) dengan bantuan minimal dari keluarga
dengan mandiri atau dengan bantuan minimal 5. Anjurkan kepada keluarga agar
d. Dapat melakukan ADLs dengan mandiri mendorong kemandirian klien untuk
ataupun dengan bantuan minimal memberikan bantuan kepada klien saat
pasien tidak mampu melakukannya
6. Ajarkan keluarga untuk membantu
perawatan diri klien
7. Berikan reinsforsmen positif saat klien
mampu melakukanperawatan dirisecara
mandiri
4. Resiko ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Circulatory Care :Arterial & Venous
jaringan perifer dengan faktor 3x 24 jam ketidakefektifan perfusi jaringan Insufficiency

28
resiko: penurunan konsentrasi perifer teratasi dengan kriteria hasil: 2. Lakukan pengkajian sirkulasi perifer
Hb dan 02 Tissue perfusion perhiperal. secara komprehensif : cek nadi perifer,
a. Capillary refill time kurang dari 3 detik edema, capillary refill, warna, dan
b. Nadi teraba kuat temperature.
c. Tekanan darah dalam batas normal 3. Evaluasi nadi dan pembengkakan
d. Tidak ada pucat perifer
e. Tidak ada nyeri extermitas 4. Inspeksi kulit terhadap adanya
Fluid balance kerusakan jaringan
a. Nadi perifer teraba kuat 5. Tempatkan ekstremitas pada posisi
b. Turgor kulit elastic tergantung
c. Hb dalam batas normal 11,5 -13,5 6. Lakukan perawatan luka yang sesuai
d. Hematokrit dalam batas normal 33-45 % 7. Ajarkan kepada klien tentang faktor-
faktor yang dapat mengganggu
sirkulasi.
8. Kolaborasi dengan tenaga medis lain
utuk menentukan intervensi
selanjutnya.

Peripheral sensation management


1. Kaji adanya daerah tertentu yang hanya
peka terhadap panas / dingin / tajam/
tumpul
2. Kaji adanya tromboplebitis
3. Kaji adanya parestesia : mati rasa,
kesemutan.
4. Ukur tanda tanda vital
5. Anjurkan klien untuk membatasi
gerakan pada kepala leher dan
punggung.

29
5. Resiko infeksi dengan faktor Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Infection Control
resikopertahanan tubuh primer 3 X 24 Jam klien tidak mengalami infeksi 1. Cuci tangan setiap sebelum dan
yang tidak adekuat : kerusakan dengan kriteria hasil: sesudah tindakan kperawtan
integritas kulit dan prosedur a. Immune Status 2. Pertahankan lingkungan aseptik
invasive : pembedahan. 1) Klien bebas dari tanda dan gejala selama pemasangan alat
infeksi (kemerahan, bengkak, teraba 3. Tingkatkan intake nutrisi
hangat, dan terdapat pus) 4. Ajarkan klien dan keluarga tentang
2) Jumlah leukosit dalam batas normal cuci tangan 6 langkah
b. Risk Control 5. Kolaborai pemberian terapi antibiotik
1) Menunjukkan kemampuan untuk bila perlu
mencegah infeksi Infection Protection:
2) Menunjukkan perilaku hidup sehat 1. Kaji tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal
2. Monitor hitung granulosit dan WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Lakukan perawatan luka dengan
teknik aseptik.
5. Ajarkan keluarga tanda dan gejala
infeksi

30
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2010).Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.EGC: Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC.

Daniels, et all. (2010). Nursing Fundamentals: Caring & Clinical Decision


Making. Delmar: USA.Mansjoer, A. (2007). Kapita Selekta Kedokteran
Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta.

Marilynn, E.D. (2010). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumnetasian Keperawatan Pasien Edisi III.
EGC:Jakarta.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

NANDA. (2012). Nursing Diagnosis 2012-2014: Definitions and classification.


Philadelphia: Mosby.

Pink P Mitchell, Abraham Edward. (2005). Compartment syndrome in Textbook


of critical care. Ed 5th. Elsevier Saunders. USA.

Potter, P. A & Perry, A. G. (2005). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses


dan Praktik. Jakarta: EGC.

Priscilla, L. M., dan Karen, B. (2008). Medical Surgical Nursing: Critical


Thinking in Client Care.4th Ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Price, S, Lorraine, M. (2006).Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit.Volume 1.Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.

Smeltzer, Bare.(2007). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Syamsuhidayat, R..,& Jong, W. (2007).Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi.


Jakarta: EGC.

Team Nursing Classification.(2009). Nursing Intenvention Classification.


Philadelphia: Elseveir.

Team Nursing Classification.(2009). Nursing Outcome Classification.


Philadelphia: Elseveir.

Townsend M Courtney, Beau Champ. (2004). Acute compartment syndrome in


Textbook of surgery. Ed 17th. Elsevier Saunders. USA.

Wijaya, A. S. & Putri, Y. M. (2013).Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta:


Nuha Medika.

31

Anda mungkin juga menyukai