NIM :
Boundary Demarcation
(Batas Negara)
Contoh Praktik :
Inggris pada tanggal 1 Maret 1604 yang meliputi perairan pantai Inggris
pada lebih kurang 27 semenanjung (Andi,I.M.A.,2010).
Di benua Amerika bagian selatan ada garis alokasi antara Spanyol dan
Portugis yang dibuat bulan September tahun 1882 (Huerta, 2006),
sedang di benua Amerika bagian utara, Inggris membagi menjadi dua
wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kanada dan Amerika Serikat
(Jones, 1945).
Perjanjian antara Perancis dan Portugis pada tanggal 12 Mei 1886
membagi wilayah Guinea di benua Afrika menjadi Guinea yang dikuasai
oleh Perancis dan Guinea-Bissau yang dikuasai oleh Portugis (Caflisch,
2006).
Perancis pada tahun 1887 dan 1895 melalui Sino- Frence Treaties
mengalokasi wilayah yang didudukinya menjadi beberapa daerah koloni
yang sekarang dikenal sebagai Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar
(Hoang Trong Lap dan Nguyen Hong Thao, 2006).
Sementara wilayah semenanjung Malaya dibagi antar Perancis dan
Inggris melalui perjanjian (treaty) tahun 1909 yang sekarang menjadi
negara Thailand dan Malaysia.
Pulau Borneo (Kalimantan) di bagi dua antar Inggris di sebelah utara
(sekarang Malaysia) dengan Belanda di sebelah selatan (sekarang
Indonesia) melalui perjanjian tahun 1891 (Nordin, A.F.,2006).
Pulau Papua dibagi dua antara Belanda di sebelah barat (sekarang
Indonesia) dan Inggris di sebelah timur (sekarang Papua Nugini) pada
garis bujur 1410 bujur timur melalui treaty tahun 1896.
Pada tahun 1854 dilakukan perjanjian batas antara Belanda dan
Portugal di Pulau Timor. Timor bagian barat dikuasai Belanda (sekarang
Indonesia) dan Timor bagian timur dikuasai Portugis (sekarang Timor
Leste). Perjanjanjian 1854 tersebut kemudian direvisi pada tahun 1899
dan 1905 (National Archive London dalam Sumaryo, 2010).
Ilustrasi Teori Boundary Making untuk konteks Indonesia pada era Otonomi Daerah
( Sutisna, 2007).
1. Alokasi
Alokasi wilayah adalah sebuah keputusan politik yang dalam praktek
kemudian dituangkan dalam suatu keputusan yang mengikat dan
konstitusional. Dalam praktek otonomi daerah di Indonesia alokasi
disebut juga dengan istilah cakupan wilayah. Dalam hal alokasi wilayah
daerah otonom keputusan politik tertuang dalam konstitusi UUD 1945
pasal 18 ayat 1 yang berbunyi:” Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Namun dalam prakteknya alokasi ini hanya untuk wilayah darat,
sedangkan alokasi wilayah laut (perairan) dituangkan dalam berbagai
Undang-undang pembentukan daerah. Apabila berbagi kepentingan
politik ini (alokasi) dipetakan secara geospasial, maka akan terjadi banyak
gap atau overlap di wilayah perairan.
2. Delimitasi (Penetapan).
Penetapan adalah sebuah keputusan hukum dan bagian dari adminstrasi
publik, sehingga hal ini merupakan domain Pemerintah (pusat). Namun
demikian dalam keputusan (sudah tertuang dalam Undang-undang),
biasanya dilakukan konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak
terkait (pemangku kepentingan). Secara konstitusional penetapan batas
dituangkan dalam undang-undang, baik yang bersifat “lex spesialis”
seperti pada undang-undang pembentukan daerah otonom beserta peta
cakupan wilayah yang dilampirkan, maupun bersifat “lex generalis” seperti
pada Pasal 8 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Ketidakjelasan peta lampiran undang-undang atau
ketidaksesuaian dengan daerah otonom lainnya di dalam NKRI
menjadikan sebuah batas daerah menjadi sumber sengketa, sehingga
sejak pada saat delimitasi tersebut dibutuhkan ketersediaan data dan
informasi geospasial.
Dalam berbagai kasus batas internasional maupun sub nasional, tahap
delimitasi merupakan tahapan yang paling kritis dan diperlukan kerja yang
sungguh-sungguh dan akurat (Blake,G.,1995). Ada tiga konsekuensi
politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus
diperhatikan yaitu, pertama, delimitasi batas daerah bukan berarti
membuat wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi
terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada
penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan,
yang pada gilirannya mempermudah koordinasi pelaksanaan
pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat
di daerah. Kedua, harus dibangun semangat persaudaraan,
kebersamaan sebagai bangsa dan mengkedepankan musyawarah.
Ketiga, selesaikan delimitasi cakupan wilayah administrasi dengan sikap
kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum (Subowo,
2009).
3. Penegasan (Demarkasi).
Hasil delimitasi batas daerah, selanjutnya dituliskan dalam dokumen
undang-undang pembentukan daerah. Selain dalam bentuk peta batas
daerah sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari undang-undang
pembentukan daerah, klausal cakupan wilayah daerah juga dituliskan
dalam pasal-pasalnya. Bila sudah diundangkan, maka hasil kegiatan
delimitasi sudah memiliki aspek legal. Tahap selanjutnya adalah kegiatan
demarkasi atau penegasan batas, yaitu memasang tanda-tanda batas di
lapangan.
Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas
daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di
lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak
dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik
koordinat batas di atas peta. Penegasan batas daerah berpedoman pada
batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang
Pembentukan Daerah (Permendagri No1/2006). Oleh karena hal ini
banyak terkait dengan pekerjaan pengukuran dan pemetaan serta bentuk
dan ukuran fisik di muka bumi, maka kegiatan penegasan batas daerah
menjadi proses/kegiatan yang menjadi domain/kompetensi bidang survei
pemetaan. Pendefinisian istilah penegasan batas di Indonesia
(khususnya untuk batas daerah) kini menjadi rancu. Di dalam Undang-
undang Pembentukan Daerah otonom selalu mengamanatkan bahwa
penegasan batas daerah di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri. Di dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dimana
Kementrian Dalam Negeri tidak mempunyai unit organisasi teknis bidang
survei pemetaan, semestinya pasal ini dibaca “ penegasan batas-batas
pasti di lapangan ditetapkan oleh Pemerintah”. Dengan demikian Menteri
Dalam Negeri selaku wakil Pemerintah dapat meminta Bakosurtanal
(Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) selaku lembaga
pemerintah untuk melakukannya. Tetapi hal ini dapat berarti juga
“penetapan” oleh Menteri Dalam Negeri dalam hal produk hukumnya,
sedangkan “penegasan”nya dilakukan secara bersama-sama oleh daerah
yang berbatasan dengan difasilitasi oleh instansi teknis di bidang survei
pemetaan dan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 9 dan
10, PP. No.78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah).
4. Administrasi
Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh
para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi
dan pengesahan undang-undang pembentukan daerah kemudian
dilakukan tahap demarkasi oleh ”the boundary engineers” akan diakhiri
dengan tahap administrasi dan manajeman batas dan daerah perbatasan
oleh masing-masing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses
panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan
teknis dan merupakan proses awal pengelolaan daerah perbatasan, yang
tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan
pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada
masyarakat, khususnya di daerah perbatasan.
Adminstrasi batas daerah adalah kegiatan mengurus dan memelihara
keberadaan batas daerah. Implementasinya dalam sistem otonomi
daerah antara lain adalah menjadikan batas daerah dibuatkan produk
hukum peraturan perundangan daerah (Perda). Disamping itu Pemerintah
Daerah mempunyai kewajiban untuk menciptakan situasi yang kondusif
di perbatasan. Hal ini tentu saja terkait aktivitas sosial budaya, pelayanan
publik, lingkungan dan terutama ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakatnya.
3. Turning Points
Bowder, Mike & Brown, Robin. (1993).From Cold War to Collapse: Theory and
World Politics In the 1980s. Cambridge: Cambridge University Press.