Anda di halaman 1dari 112

Gentur Sudjatmiko

DOKTER SPESIALIS BEDAH PLASTIK

1--f------~---p ETU NJ UKP RAKTI S;.___..,\------1


PETUN}UK PRAKTIS ILMU BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSJ
PENUU S: Dr. Gent ur Sudjatmiko, SpBP

LAYOUT & DISAIN: Varna Design Consultancy


PERCETAKAN : Mahameru Offset Printing

ISBN: 978-979-16288-0-8

© 2007 Yayasan Khazanah Kebajikan


Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Dilarang mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan Edisi 1: 2007


KATA PENGANTAR
BISMILLAAHIR-RAHMAANIR-_R AHIIM

Semoga keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan


selalu dilimpahkan Allah yang Maha Kuasa pada anda yang
membaca. Puji syukur kepada Allah yang telah memberi
karunia begitu banyak kepada hamba-Nya sehingga buku
ini dapat terwujud. Semoga apa yang kami tuangkan dalam
buku ini diperkenankan-Nya.

Maksud d ari penulisan BUKU PETUNJUK PRAKTIS ILMU


BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI ini adalah memberikan
kemudahan bagi mereka yang belajar bedah plastik,
khususnya residen bedah umum, residen bedah plastik,
maupun mahasiswa fakulta s kedokteran. Belum banyak
tulisan tentang ilmu bedah plastik di Indonesia dewasa ini,
sehingga buku kecil ini diharapkan dapat menjadi jembatan
antara pengenalan masalah pasien di klinik,
dengan informasi ilmiah dalam buku. Textbook yang relatif
tebal dan mahal, sukar untuk dibawa berkeliling antar
ruangan di Rumah Sakit, untu k itulah disusun bentuk yang
simpel dan penting dari tiap bab dalam buku ini.

llmu Bedah Plastik (Rekonstruktif) adalah pengembangan


dalam salah satu bidang di ilmu Bedah Umum, dengan
fi losof i yang mendasarinya yaitu mengubah bentuk yang
tidak normal karena sesuatu hal menjadi mendekati normal,
dari segi fungsi maupun penampakannya. Hasil akhir dari
perubahan bentuk yang dikerjakan akan dinilai beberapa
lama kemud ian setelah bekas lukanya sudah matang. Bedah
Plastik sering disebut sebagai spesialisasi yang unik menurut
CH Thorne dalam Grabb abd Smith's Plastic Surgery Edisi 6.
Dalam buku tersebut McCarthy menyebut spesialisasi Bedah
Plastik sebagai "problem solving speciality" yaitu pengerjaan
problem pasien yang tidak lagi dilakukan oleh spesialis lain.

Apa yang dikerjakan Bedah Plastik t idak terikat pada sistem


organ, akan tetapi dia mengerjakan sesuat u dari apa yang
ada dan hasilnya dinilai di kemudian hari. Hal tersebut bisa

iii
dianggap mengurangi pekerjaan profesi lain, sehingga
konsekuensi seorang plastikus, selain bebas bekerja dia
juga mudah bersinggungan dengan disiplin lain, bahkan
pekerjaan seorang plastikus sering dikerjakan oleh seseorang
yang bukan dokter sekalipun. Untuk hal tersebut, seorang
plastikus yang benar akan selalu memelihara kelebi hannya
dengan terus mengembangkan teknik dan inovasi barunya.

Kelainan yang sering d ijumpai di klinik Bedah Plastik maupun


di praktek dokter spesialis Bedah Plastik dibahas satu per
satu dalam buku ini, dalam bentuk bahasan per bab sebagai
cara untuk mempermudah pemahamannya. Pembahasan
tentang penyembuhan luka khususnya pada kulit, sampai
skin graft dan penutupan defek menggunakan flap,
dikemukakan dalam buku ini.

Penulis berharap para pengguna buku kecil ini mendapatkan


bekal untuk lebih mengenal ilmu Bedah Plastik khususnya
rekonstruktif , sehingga kelak dapat diaplikasikan pada
pengobatan penderita.

Masih banyak kekurangan dalam buku ini yang perlu


diperbaiki, untuk itu penulis akan menerima kritik dengan
senang hati agar penyempurnaan ke depan bisa lebih
'· bermanfaat bagi semua pihak.

Gentur Sudjatmiko SPESIALIS BEDAH PLASTIK


UCAPAN TERIMAKASIH
1. Kepada Dr. Arief Wicaksono, asi ~ten
peneliti yang t elah membantu
mempersiapkan naskah dan penget ikan
awal Buku Petunjuk Praktis Bedah
Plastik ini

2. Kepada Dr. Radi Muharris Mulyana,


asisten peneliti yang telah melengka pi
naskah sampai selesainya proposal
buku ini dicetak

Semoga amal baik semua yang telah


membantu penulis dibalas dengan
berlimpah oleh Allah SWT.

Ami en.

v
DAFTAR ISI

DASAR, PRINSIP & TEKNIK DALAM BEDAH PLASTIK 1


Anatomi Kulit 2
Luka dan Penyembuhannya 4
Keloid 12
Parut Hipertrofik 14
Teknik Dasar Pembedahan 15
Anestesi Lokal 23
Defek Kulit (Kehilangan Kulit/Epitel Ku lit) 26
Skin Graft 27
Flap 30
Bedah Mikro 33
LESI KULIT 37
Neurofibroma 38
Nevus 40
Lipoma 41
Fibroma 44
Kista Ateroma 45
Karsinoma Sel Basal (Basalioma) 47
Karsinoma Sel Skuamosa 49
Melanoma 51
Hemangioma 54
. ' ..
;.,
REKONSTRUKSI KELAINAN Dl MUKA 59
Rekonstruksi Kelainan di Muka 60
Noma 63
KELAINAN KRANIOFASIAL 65
Bibir dan Langit-langit Sum bing 66
Sumbing Muka dan Kranial 71
Fraktur Tulang Muka 74
LUKA BAKAR 79
Luka Bakar 80
Kontraktur Akibat Luka Bakar 88
KELAINAN BADAN, GENITALIA, DAN EKSTREMITAS 91
Hipospadia 92
Ulkus Dekubitalis 95
Lesi Kuku: Ingrowing Toenail 99
KEPUSTAKAAN 101

vi TUNJUKPR.o\KTJ51lM\J l.lDAH PLASTlK JtEtc.ONSUtUI(SI


Anatomi Kulit

Luka dan Penyembuhannya

Keloid

Parut Hipertrofik

Teknik Dasar Pembedahan

Anastesi Lokal

Defek Kulit (Kehilangan Kulit/Epitel Kulit)

Skin Graft

Flap

Bedah Mikro
ANATOMI KULIT

EPIDERMIS
1. Berlapis, berkeratin, dan avaskular
2. Stratum korneum : Lapisan keratin yang hampir aseluler
3. Stratum lusidum: Lapisan sel-sel mati tanpa inti sel
4. Stratum granulosum: Sitoplasma mengandung granula yang akan
berkontribusi dalam pembentukan keratin
5. Stratum spinosum: Desmosom menghubungkan sel-selnya sehingga
tampak seperti duri
6. Stratum germinativum (l apisan basal)
a. Hemidesmosom menghubungkan sel-sel basal dengan membran basal
b. Melanosit menghasilkan melanin, yang akan difagosit oleh keratinosit di
sekitarnya.

DERMIS
1. Papila dermis: lapisan tipis superfisial yang terdiri atas jaringan vaskular
long gar
2. Retikula de rm is: lapisan tebal yang lebih dalam, kurang vaskular
3. Mengandung fibroblas, adiposit, makrofag, kolagen, dan substansi dasar
4. Terdapat kelenjar keringat, folikel rambut, kelenjar sebasea, ujung saraf,
dan pembuluh darah
5. Pembuluh darah berasal dari aa. perforator ke luar dari otot menembus
fascia atau langsung sebagai pembuluh arteri kulit direkta.

ADNEKSA
A. Folikel Rambut
1. Adanya pertumbuhan sel-sel epidermis ke dalam jaringan dermis dan
subkutan di sekeliling rambut
2. Kelenjar sebasea yang berdekatan bersekresi ke folikel rambut
3. Dipertahankan pada thick split-thickness skin graft; dapat mengubah diri
menjadi epitel kulit permukaan.

B. Kelenjar ke rin gat ekrin


1. Struktur sekretori, bentuk kumparan pada jaringan subkutan, dengan
satu saluran yang menuju permukaan
2. Berkurang atau tidak ada pada skin graft, sehingga kulit menjadi kering;
ada pada kulit hasil skin graft.

2 N K ll1tA ILM MDAH P' A IK UKON RUKS


GAMBAR 1. PENAMPANG KULIT, terdiri atas:
(1 )Stratum Korneum, (2 ) Epidermis,
(3) Papila Dermis, [4) Kelenjar Sebasea,
(5) Folikel Rambut, (6) Pleksus Papila Dermis,
(7) Arteri Kutaneus Direkta, (BJ A. Perforator
yang menghidupi satu area, [9] Fascia dan Otot,
[10) Kelenjar Keringat, [11) Korpus Paccini

C. Kelenjar keringat apokrin


1. Ditemukan di d aerah aksila dan inguinal
2. Bersekresi ke folike l rambut
3. Aktif saat pubertas.

D . Semua struktur adne ksa menjadi sumber epitelisasi pada luka dengan
kehilangan sebagian ketebalan kulit partial-thickness.

KOLAGEN PADA KULIT


A. Terdapat 13 tipe, dengan tipe predominan sebagai berikut:
1. Tipe 1: kulit , tendon, d an parut yang matang (4:1 tip e 1-11 1)
2. Tipe II : Tulang rawan
3. Tipe Ill: Pembuluh darah dan parut yang belum matang
4. Tipe IV: membran basal

B. Terdapat prokolagen yang merupakan ranta i asam amino tunggal

C. Tropokolagen adalah tiga rantai prokolagen dihubungkan oleh ikatan


disulfida, membentuk triple helix
1. Disekresi sel, dan bergabung membentuk filamen
2. Filamen b ergabung mem bentuk fibri l, yang kemud ian bergabung
membentuk serat

D. Vitamin C (asam askorbat): koenzi m dalam hidroksilasi prolin dan lisin,


yaitu asam-asam amino yang membant u cross-linking ko lagen.
LUKADANPENYEMBUHANNYA

PENYEMBUHAN LUKA NORMAL

PENUTUPAN LUKA
I. Penutupan primer: luka ditutup segera setelah ada luka.
II. Penutupan primer tertunda
1. Luka dibiarkan terbuka beberapa hari (sampai 3 hari) sebelum ditutup
2. Mengurangi risiko infeksi pada luka yang terkontaminasi berat, pada
luka yang tidak mampu dilakukan debridement dengan baik, atau
karena perdarahan yang tidak dapat dikuasai.
Ill. Penutupan sekunder
1. Luka menutup sendiri setelah ada epitelisasi dari samping
2. Sesuai untuk luka yang terinfeksi atau terkontaminasi
3. Memungkinkan drainase eksudat
4. Memungkinkan debridement saat penggantian penutup luka
5. Proses inflamasi yang diperpanjang, meningkatkan terjadinya parut
dan kontraktur.
IV. Penutupan pada kehilangan epitel kulit misalnya pada luka bakar derajat 2
atau luka donor split thickness skin graft.
V. Penutupan luka dari I sampai IV dikenali dengan keringnya bekas luka,
karena telah ada epitel yang menutupi luka tersebut. Luka biasanya
mengering antara 7 hari sampai beberapa minggu. Luka yang kering bukan
berarti sembuh, yang dimaksud dengan sembuh adalah bila telah melalui
;.., proses remodelling antara 6 bulan sampai 1 tahun, bahkan bisa mencapai 2
tahun lamanya.
VI. Luka telah benar-benar sembuh apabila dijumpai hal-hal sebagai berikut:
1. Gatal sangat berkurang
2. Warna kemerahan tidak ada lagi
3. Lebih rata dan menipis
4. Bila ditekan teraba lunak.

FASE PENYEMBUHAN LUKA


A. Fase lnflamasi
1. Dimulai saat mulai terjadi luka, bertahan 2 hingga 3 hari
2. Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis (efek
epinefrin dan tromboksan)
3. Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah diaktifkan,
sehingga terjadi deposisi fibrin

4
4. Keping darah melepaskan platelet-derived growth factor (PDGF) dan
transforming growth factor B (TGF-B) dari granula alfa, yang menarik
sel-sel inflamasi, terutama makrofag
5. Setelah hemostasis tercapai, terjadi vasodilatasi dan permeabilitas
pembuluh darah meningkat (akibat histamin, platelet-activating factor,
bradikinin, prostaglandin 12, prostaglandin E2, dan nitrit oksida),
membantu infiltrasi sel-sel inflamasi ke daerah luka
6. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam dan membantu debridement
7. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag, dan jumlahnya memuncak
dalam 2 hingga 3 hari
8. Sejumlah kecil limfosit juga memasuki luka, akan tetapi perannya tidak
diketahui
9. Makrofag menghasilkan PDG F dan TGF- B, akan menarik fibroblas dan
merangsang pembentukan kolagen .

B. Fase Proliferasi
1. Dimulai pada hari ke-3, setelah fibroblas datang, dan bertahan hingga
minggu ke-3
2 . Fibroblas: ditarik dan diaktifkan PDGF dan TGF- B: memasuki luka pada
hari ke-3, mencapai jumlah terbanyak pada hari ke-7
3. Terjadi sintesis kolagen (terutama tipe Ill), angiogenesis, dan epitelisasi
4. Jumlah kolagen total meni ngkat selama 3 minggu, hingga produksi
dan pemecahan kolagen mencapai keseimbangan, yang menandai
dimulainya fase remodelling.

C. Fase Remodelling
1. Peningkatan produksi maupun penyerapan kolagen berlangsung selama
6 bulan hingga 1 tahun
2. Kolagen tipe I menggantikan kolagen ti pe Ill hingga mencapai
perbandingan 4:1 (seperti pada kulit normal dan parut yang matang)
3. Kekuatan luka meni.ngkat sejalan dengan reorganisasi kolagen
sepanjang garis tegangan kulit dan terjadinya cross-link kolagen
4 .. Penurunan vaskularitas
5. Fibroblas dan miofibroblas menyebabkan kontraksi luka selama fase
remodelling.

PENYEMBUHAN Dl JARINGAN TERTENTU


A. Kulit
1. Selain pembentukan jaringan penyambung dan kontraksi luka, terjadi
epitelisasi.
2. Selapis sel tumbu h dari tepi luka (dan struktur adneksa pada luka
partial-thickness). kemudian me~bentuk lapisan-lapisan setelah lapisan
pertama lengkap.
3. Luka partial-thickness mengalami re-epitelisasi selama satu hingga
beberapa minggu, bergantung pada keda laman luka dan banyaknya
struktur adneksa yang t ersedia.
4. Bila epitelisasi menjadi lebih panjang, misal nya pada penyembuhan
sekunder atau pada luka partial-thickness yang dalam atau pada luka
bakar, fase inflamasi bertahan lebih lam a sehingga produksi kolagen
dan kontraksi luka meningkat, akhirnya menjadi parut hipertrof ik.

B. Tulang
1. Pada lokasi fraktu r t erjadi fase inflamasi dengan adanya invasi neutrofil
dan makrofag
2. O steoinduksi: sel-sel prekursor di endosteum, periosteum, dan jaringan
sekitarnya menjadi osteoblas
3. Osteokonduksi: Osteoblas memasuki daerah fraktur
4. Pembentukan kalus yang mengandung fibroblas, osteoblas, dan sel-sel
lainnya
5. Kondroblas menghasilkan substansi dasar, f ibroblas menghasilkan
kolagen, dan ost eob las menghasilkan hidroksi apatit
6. Aposisi tulang dan penulangan endokondral terjadi
7. Pad a awalnya kalus terdiri atas anyaman tulang yang tidak terorganisir,
kemudi<;m terjadi remodelling oleh osteoklas dan osteoblas menjadi
·tulang lamelar
8. Semakin fraktur t erfiksasi kaku d an tereduksi, pembentukan kalus
dan osifikasi endokondral semakin sedikit , penyembuhan selanjut nya
berlangsung terutam a dengan aposisi
9. Setelah remodelling selesai, struktur tulang yang telah menyembuh
sama dengan tulang normal, tanpa parut pada tu lang.

C. Tendon
1. Tendon mengalami penyembuhan melalui kombinasi dua mekanisme,
yaitu penyembuhan intrinsik dan ekstrinsik.
2. Penyembuhan int rinsik:
a. Fase inflamasi minimal
b. Sel-sel epit enon berpindah ke lokasi cedera dan mulai menghasilkan
kolagen, seperti fi broblas
c. Penyembuhan int rinsik meningkat dengan adanya pergerakan
tendon.

6
3. Penyembuhan ekstrinsik
a. Terjadi fase inflamasi, proliferasi, dan remodelling
b. Setelah hemostasis, sel-sel inflamasi memasuki luka
c. Fibroblas tertarik dan menghasilkan kolagen, yang kemudian
mengalami remodelling
d. Terjadi adhesi antara daerah yang cedera dengan daerah sekitarnya,
dan berfungsi sebagai jalur migrasi sel dan revaskularisasi
e. Adhesi yang terjadi pada penyembuhan ekstrinsik meningkat
dengan imobilisasi.

D. Saraf
1. Akson di distal cedera akan difagosit oleh makrofag dan sel Schwann
(terjadi degenerasi Wallerian)
2. Akson proksimal menghasilkan satu atau lebih serat regenerasi
bermielin dengan pusat pertumbuhan pada ujung masing-masing serat,
secara keseluruhan serat regenerasi tersebut disebut unit regenerasi
saraf
3 . Unit regenerasi tumbuh ke arah distal, diarahkan oleh faktor-faktor
kimiawi lokal.

E. Hati
1. Hati adalah satu-satunya organ dewasa yang mengalami regenerasi
2 . Seluruh sel di hati, termasuk hepatosit, sel bilier, dan sel-sel lainnya,
terlibat dalam menciptakan kembali susunan hati yang normal secara
histologis tanpa terbentuk parut
3. Parut (sirosis) terjadi pada kerusakan kronik atau parah.

KARAKTER MEKANIK
A. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi
dan proliferasi)
B. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling
C. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam
beberapa minggu setelahnya
D. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
E. Kekuatan maksimal adalah 7 5% dari jaringan biasa.

PENYEMBUHAN LUKA PADA JANIN


A. Kulit umumnya mengalami regenerasi tanpa parut, hal ini terbatas pada
dua trimester pertama.

t'ETVNJIJK '"AKns ILMU I! OAt< •I.ASTII( oti!Y.ONSTitl!!<. 7


B. Banyak aspek jaringan pad a jan in dan lingkungan yang dapat berkontribusi
pada penyembuhan tanpa parut
1. Lingkungan bayi (cairan amnion) steri l
2. Cairan amnion mengandung faktor pertumb uhan d an molekul matriks
ekstrasel
3. Fase inflamasi minimal, makrofag d iduga seb agai sel pengorgan isasi
utama upad a proses penyembuhan fetus
4 . Faktor pertumbuhan dan sitokin berbeda pada fetus, meski maknanya
t idak diketahui.

GANGGUANPENYEMBUHANLUKA

FAKTOR LOKAL
A . lnsufisiensi arteri
1. lskemia lokal menyebabkan terha mbatnya produksi kolagen dan
terjadinya infeksi
2. Pemeriksaan ankle-b rachial index harus dila kukan pada pasien dengan
luka d i tungkai b awah dan pada pasien dengan risiko insufisiensi
vaskuler
3. Koreksi kelainan yang mendasari iskemi dengan graft pintas atau
penggunaan stent sebelum penyembuhan cedera iskem ik dapat
berlangsung.
B. lnsufisiensi vena
1. Peningkat an t ekanan vena menyebabkan ekstravasasi protein dan
'mengurangi d ifusi oksien
:., 2. Penl ngkat an t ekanan vena dapat menyeb abkan edema.
C. Edema
1. Menyebabkan iskemi dengan cara meningkatkan volume ekstrasel,
mengurangi d ifusi dan konsentrasi oksigen
2. Penting untuk melakukan kompresi dan elevasi untuk menghindari
edema .
D . lnfeksi
lnfeksi in vas if terjadi bila kuant itas bakteri lebih dari 10 5 per gram jaringan
a. Penyembuhan terganggu akibat berbagai mekanisme, termasuk
peningkatan pemecahan kolagen dan berkurangnya epitelisasi
b. Pembentukan parut hipertrofi meningkat
c. Penutupan menggunakan g raft at au f lap sulit berhasil
d. Luka terinfeksi yang terbuka harus d itangani dengan antibiotik yang
tepat dan dilakukan debridemen hingga konsent rasi bakteri ku rang
dari 105 sebelum .

8 lK RE NSTRU
FAKTO R SISTEMIK
A . Diabetes me llitus
1. Gangguan mikrovaskular dan makrovaskular yang berhubungan dengan
diabetes mellitus dapat menyebabkan iskemi lokal
2. Hemoglobin terglikosilasi memiliki afinitas terhadap oksigen lebih tinggi
dari normal, sehingga pengantaran oksigen terganggu
3. Fungsi neutrofil terganggu, sehingga kemungkinan mendapat infeksi
meningkat
4. Neuropati perifer menyebabkan peningkatan lama dan kuat tekanan
pada jaringan karena sinyal untuk mengurangi nyeri dan tekanan
berkurang atau tidak ada
5. Bila luka memiliki vaskularisasi yang memadai dan gula darah
terkendali (<180 mg/dl), luka operasi pada pasien diabetes dapat
sembuh secara baik.

B. M alnutrisi
1. Persediaan protein cukup penting pada penyembuhan luka
a. Kadar albumin normal lebih dari 3,5 'g/dl
b. Usia paruh albumin adalah 20 hari, sehingga tidak menggambarkan
perubahan nutrisi protein akut
c. Pengukuran kadar prealbumin lebih baik untuk mengetahui
perubahan nutrisi protein akut karena usia paruhnya lebih singkat
(2-3 hari)
d. Kadar prealbumin kurang dari 17 g/dl (normal 17-45) menandakan
adanya malnutrisi protein
2. Orang dewasa sehat tanpa luka memerlukan 35 kcal per kg per hari
untuk mempertahankan berat badan, dan memerlukan 0,8-2 gram
protein per kg per hari
3. Kebutuhan kalori dan protein meningkat pada penderita luka kronik,
cedera yang luas, dan luka bakar
4. Secara umum penutupan luka kronik tidak boleh dilakukan kecuali kadar
albumin pasien sudah normal.

C. D efisiensi vitamin dan mineral


1. Vitamin C, Cu, zat besi, tiamin, dan zinc penting dalam penyembuhan luka
2. Pemberian suplemen vitamin atau mineral jarang diperlukan dan tidak
memperbaiki penyembuhan luka kecuali jika diketahui ada defisiensi
yang spesifik
a. Defisiensi vit amin C menyebabkan skorbut, dan gangguan
penyembuhan luka karena berkurangnya cross-linkin g kolagen
b. Tidak ada bukti bahwa pemberian vitamin C meningkatkan
penyembuhan luka pada pasien tanpa skorbut
3. Pemberian vitamin A dapat menguntungkan meski tanpa defisiensi.
Pemberian vitamin A baik secara oral maupun topikal (bersama dengan
antimikroba topikal) dapat mengurangi beberapa efek merugikan
glukokortikoid pada penyembuhan luka.

D. Kemoterapi
1. Dengan menghambat kemampuan sumsum tulang untuk menghasilkan
sel-sel inflamasi, fase inflamasi pada penyembuhan luka terhambat
2. lnfeksi luka juga meningkat.

E. Merokok
1. Merokok meningkatkan karboksihemoglobin, sehingga mengurangi
pengantaran oksigen ke jaringan perifer
2. Nikotin, termasuk patch dan permen karet nikotin, menyebabkan
vasokonstriksi perifer
3. Nikotin dapat menghambat penerimaan flap dan skin graft, di mana
sangat dibutuhkan vaskularisasi
4. Agar hasil optimal, pasien harus berhenti merokok setidaknya 2 minggu
sebelum pembedahan dan tidak merokok hingga luka sembuh
5. Kadar kotinin pada urin dapat diukur praoperasi untuk melihat
kepatuhan pasien.

F. Penuaan
:• 1. Berkurangnya fase inflamasi pada orang tua menghambat p roses
penyembuhan
2. Baik kulit yang sehat maupun luka berkurang kekuatannya
3. Penuaan saja tidak menghambat penyembuhan luka, tapi dapat
berkontribusi pada gangguan penyembuhan luka bila dikombinaiskan
dengan faktor lainnya
4. Mengingat fase inflamasi berkurang, parut hipertrofik jarang terjadi.

G. Glukokortikoid

I
1. Menghambat fase inflamasi pada penyembuhan luka
2. Menghambat sintesis kolagen oleh fibroblas, mengakibatkan
berkurangnya kekuatan luka
3. Penyembuhan dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin A.

10
LUKA KRONIK
I. Luka kronik adalah luka yang tidak menyembuh dalam waktu kurang lebih
3 bulan, contohnya adalah ulkus dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang
mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka traumatik
atau luka operasi lama
II. Penatalaksanaan:
A. Debridement yang adekuat: luka kronik umumnya memiliki banyak
jaringan parut, debris, dan jaringan nekrotik yang menghambat
penyembuhan
B. Penanganan infeksi:
1. Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi
2 . Kultur jaringan dan perhitungan kuantitatif sebaiknya dilakukan
C. Penutupan luka yang baik
1. Desikasi adalah faktor yang seringkali menyebabkan gangguan
penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik
2. Penutup luka harus dapat menjaga luka tetap lembab dan tidak
terjadi desikasi
3. Penutup luka produk dari pabrik juga dapat digunakan untuk
melakukan debridement, memberikan antibiotik, atau menyerap
eksudatsesuai keadaan luka.
D. Penanganan faktor lokal dan sistemik yang dapat menghambat
penyembuhan luka, misalnya gangguan vaskular, edema, diabetes,
malnutrisi, tekanan lokal, dan gravitasi.
E. Penggunaan Vacuum Assisted Closure (VAC)
1. VAC adalah suatu pendekatan noninvasif yang bertujuan membantu
penutupan luka melalui pemberian secara topikal tekanan sub-
atmosferik atau tekanan negatif ke permukaan luka
2. Mekanisme kerja VAC adalah mengurangi eksudat, merangsang
angiogenesis, mengurang i kolonisasi bakteri, dan meningkatkan
pembentukan jaringan granulasi
3. Keuntungan menggunakan VAC adalah kita dapat menutup luka
dengan lebih cepat, bahkan pada luka yang kecil dapat epitelisasi
sendiri.

~ 11
KELOID

DEFINISI Keloid adalah jaringa n parut yang tumbuh melebihi area luka/
cedera pada kulit yang menyembuh. Keloidosis adalah keloid multi pel atau
pertumbuhan berulang keloid meski tidak pada tempat yang sama .

ETIOLOGI Dapat timbul pada luka/ cedera pada kulit, pada pembedahan,
luka traumatik, daerah vaksinasi, terbakar, cacar, jerawat atau goresan kecil
sekalipun. Terdapat peran growth factor pada pembentukan keloid, yaitu
peningkatan kadar TGF-B.

INSIDEN Lebih sering pada wanita muda dan ras afroamerika. Kebanyakan
awalnya berbentuk datar dan kurang diperhatikan selama beberapa tahun/
periode awal keloid. Risiko terjadinya keloid pada kulit berwarna 15x daripada
kulit putih.

PREDILEKSI Predileksi pada dada, deltoid dan lobulus telinga. lritasi karena
garukan atau gesekan baju, bisa memperluas keloidnya. Paparan matahari
selama tahun pertama pembentukan ke loid menyebabkan warna lebih gelap
pada daerah sekitarnya di kulit. Warna gelap dapat menjadi permanen.

TANDA & GEJALA Pada lesi kulit: warna keloid seperti otot, kemerahan
atau merah muda. Berbentuk nodular atau berkelompok. Dapat gatal dan nyeri
selama pertumbuhannya. Benjolannya lebih besar dari luka awal sehingga
:., berbentuk seperti bunga kol.

PEMERIKSAAN Diagnosis berdasarkan penampakan pada kulit atau bekas


luka. Biopsi kulit bisa diperlukan untuk menyingkirkan kelainan pertumbuhan
kulit la innya (tumor).

GAMBAR2.
[KIRIJ KELOID RESIDIF di dada
perlu dikecilkan dengan operasi
[KANAN] Setelah operasi
pengecilan massa d ilanjut kan
terapi kombinasi lainnya, bisa
dipilih injeksi steroid intralesi,
krim anti keloid, salep steroid,
lembar silikon, atau penekanan.

12 PAA llM 8 A "LA: K A ON •


GAM BAR 3. Penatalaksanaan keloid pada daun telinga dengan melakukan eksisi intralesi dan
dilanjutkan krim anti keloid sebagai kombinasi. Pada kasus ini sukar dilakukan penekanan ataupun
pemakaian lembar silikon pada permukaan yang tidak rata dan tipis. Suntikan steroid intralesi juga
dapat diaplikasikan, dengan tidak terlalu sa kit pasca pengecilan benjolannya.

MANAJEMEN
• Dapat dikecilkan ukurannya dengan pembedahan, setelah itu diberikan
salep anti keloid selama 2-3 bulan (Gambar 2 dan 3). Atau dapat
dilanjutkan dengan injeksi kortikosteroid lokal. Pada keloid yang besar
dapat dikombinasi dengan radiasi. Keloid bisa muncul kembali setelah
pembedahan.
• Perubahan warna karena paparan matahari dapat dicegah dengan 'patch
atau bandage' atau penggunaan tabir surya (sun block) ketika aktivitas
siang hari/di luar ruangan. Perlindungan sekurangnya 6 bulan setelah
pembedahan pada orang dewasa atau sampai usia 18 tahun pada anak.

PROGNOSIS
• Bukan hal berbahaya secara medis, namun dapat berefek pada
penampilan. Pada beberapa kasus dapat mengecil sendiri namun dapat
juga bersifat permanen. Pada pembedahan dapat menimbulkan bekas
luka keloid lebih besar sehingga operasi pengecilannya dengan menyayat
bukan pada kulit yang normal.
• Perlu ditekankan pada pasien bahwa terapi kombinasi lebih memberi
harapan pada hasilnya.

KOMPLIKASI Gangguan psikologis dapat terjadi jika keloid besar dan


menonjol atau tampak jelas, rekuren. Pasien juga dapat merasa tidak nyaman.

13
PARUT HIPERTROFIK

DEFINJSI Pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak melebihi batas


luka aslinya. Tidak seperti keloid, parut hipertrofik dapat mencapai ukuran
tertentu dan kemudian st abil atau mengecil karena proses pertumbuhannya
berhenti/matur.

ETIOLOGI Parut hipertrofik dihubungkan dengan penyembuhan luka yang


tidak normal misalnya tegangnya tepi luka ketika dit autkan, adanya infeksi,
benang jahit ya ng mengiritasi, epitelisasi yang terj adi lama set elah kehilangan
lapisan. k~lit (seperti pada luka bakar).

TANDA Parut Iebar yang menebal, tampak tid ak baik dan dapat
mengganggu rasa percaya diri pasiennya.

PEMERIKSAAN Pemeriksaan dibawah mikroskop memberi hasil minimal,


sehingga tampilan klinis serta pengamatan pertumbuhannya lebih penting.

MANAJEMEN Parut hipertrofik biasanya membaik dengan terapi . lnjeksi


intralesi 5-FU atau kortikosteroid aman dan efektif pada terapi dan pencegahan
parut hipertrofik. Terapi dapat dilanjutkan dengan menggunakan penutup
silikon dan dilakukan penekanan selama 6 bulan atau lebih, kadang tidak
d iperlukan sesuatu yang khusus pasca pembedahan (Gam bar 4).

GAMBAR4.
[KIRI) PARUT HIPERTROFIK pasca
luka bakar, tampak seperti keloid
pada awalnya.
[KANAN) Pasca eksisi 3 minggu,
ternyata tidak kambuh, demikian
pula pada kontrol 1 tahun.

14 'UN K l'1tAKTIS SLM If DAti PLA5nK 116. NSTAUilSI


TEKNIK DASAR PEMBEDAHAN

Teknik dasar pembedahan yang dikemukakan adalah teknik pada kulit


dan jaringan lunak, yaitu:
1. Eksisi lesi kulit
2. Penutupan luka pada kulit dengan penjahitan.

EKSISI LESI KULIT


Membuat parut yang halus
Tampilan akhir parut bergantung pada:
a. Tekn ik atraumatik
b . Teknik menjahit, khususnya pada lapisan dermis yang menggunakan
benang yang diserap lama atau yang tidak diserap sama sekali
c. Eversi tepi luka waktu menutup
d. Penempatan parut sesuai arah garis kulit.

Tekni k Atraumati k
Pentingnya penanganan jaringan secara hati-hati
Konsep yang digunakan adalah memanipulasi kulit dan jaringan
subkutan yang secara histologis t idak mencederai sel atau jaringan ikat
Meminimalkan trauma: pisau, gunting, jarum, hak yang tajam, serta
jahitan dengan ukuran benang dan jarum yang tepat
Posisi operator dan asisten diatur untuk mengurangi tremor, hal ini
dapat membantu hasil yang atraumatik.

Penempatan parut sesuai arah garis kulit; Parut akan lebih tidak terlihat, jika:
Garis parut yang tipis (hasil dari perencanaan eksisi atau insisi yang baik)
Mengikuti garis kulit bertegangan rendah/Re/axed Skin Tension Line (RSTL).

GARIS KONTUR LINES OF DEPENDENCY GARIS KERUT AKIBAT


(Garis akibat Gravitasi) KONTRAKSI OTOT

D:!cmukan pada orang


Ga• s pembag: pada
yang ~eb:h tua ak1bat gaya Umumny<~ terletilk
pertemuan b1dang tubun.
gravitdSI yang bckerja pada tegak lurus dengiln surnbu
ditemuk.:m pada pertemuan
v~ringan kulit dan jeringan panjang otot d1 bawahnya,
pipi-tel111g,1, kul:t kepala
lemak (Turkey Gobbler Fold), disebabkan pengerutan yang
telinga, g,1ns kul>t vermd:on
contoh. rnenggelambirnya rnenyerta1 kontraks> otot di
(Vermilion Cutaneous Lmc).
kul1t leher pada lak>-lak1 yang bawahnya
dan sebaga1nya
sangat tua

PETUNJUK PRAK'Tts t~ BEDAH P"owASTIIC REKONSTMJ 15


GAMBAR 5. Garis kerut pada kulit muka orang tua.

Hal-hal yang mempengaruhi parut dan t idak dapat d iu bah


a. Usia (Gambar 5)
b. Regio pada tubuh
c. Tipe kulit
d . Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan komplikasi
e. Sekitar persendian.

Regio tubuh
• Parut pada kelopak mata, telapak tangan, vermilion, serta mukosa lebih
:..,. tidak tampak
• Daerah risiko tingg i untuk parut yang jelek yaitu daerah sternal wan ita,
(butterfly-shaped keloid), deltoid, dan lobulus.

Panjang parut
• Semakin kecillukanya, semakin kecil parutnya
• Penempatan parut yang lebih panjang pada garis ke rut lebih dipi lih
karena dapat menyamarkan
• Hati-hati bila melakukan insisi panjang pada permukaan yang bersendi

Parut bentuk U
Tampak buruk, pada proses penyembuhan akan berkerut dan tampak sebagai
lekuk yang m engelilingi kulit yang mencembung, sehingga mengganggu
penampilan. Untuk mengatasi hal ini adalah dengan z-plasty di bagian tengah
parut.
Tipe kulit
Kulit yang tebal dan berminyak banyak mengandung kelenjar sebasea yang
hipertrofi dan hiperaktif. Luka pada jenis kulit tersebut akan menyembuh
dengan parut jelas tampak dan melekuk ke dalam (cekung). Sering dijumpai
pada puncak hidung.

Gangguan penyembuhan kulit dan parut yang terbentuk


• Pada kelainan biosintesis jaringan fibrosa dan jaringan elastik dapat
terbentuk parut yang menjadi Iebar
• Penyakit yang mendasari harus diketahui sebelum operasi
• Pada sindrom Ehlers-Danlos, kulit menyembuh secara lambat dengan
parut yang Iebar.

Metode Eksisi
a. Lesi dapat diangkat dengan membuat eksisi elips, baji, atau lainnya
b. Disesuaikan dengan karakteristik kerutan dan penuaan kulit (Gam bar 5)
c. Kulit diregangkan menggunakan ibu jari dan telunjuk sewaktu insisi.

Eksisi elips sederhana (Gambar 6)


• Digunakan untuk mengangkat lesi kulit tidak terlalu besar
• Sumbu panjang elips ditempatkan sejajar garis kerut, garis kontur, atau lines
of dependency
• Sumbu panjang 4 kali lebih panjang dari sumbu pendek, bila terlalu pendek
maka akan terbentuk 'dog ear', yaitu tonjolan seperti telinga anjing pada
kedua ujung parut

o---o
GAM BAR 6.
IKIRIJ EKSISJELIPS DAN PENUTUPANNYA. Membuat eksisi elips dengan sudut minimal
30 derajat (atau panjang:lebar=4:1) akan memungkinkan penutupan yang baik.
!KANAN] Eksisi elips yang terlalu pendek dibanding lesinya akan menyulitkan penutupan,
sehingga terbentuk dog ears. Garis putus-putus menunjukkan cara menutup dog ears.

PET NJUt( -.m5 ILMU IIE.DAIHU.S IIU:ON IIIJ 17


GAMBAR 7. [KIR I[ Lokasi eksisi baji pada muka. [KANAN) Eksisi Sirkuler dan penutupannya.

Teknik Eksisi Multipel pada satu lesi (Eksisi Serial)


• Dapat diterapkan pada lesi kulit misal d i tung kai
• Secara teoritis kulit yang mendapat tegangan akan me leba r dalam
beberapa bulan
• Digunakan pada kulit yang tidak tumbuh ram but
• Diperlukan prosedur yang direncanakan dengan baik dan dimengerti
pasien
• Hasil akhir diha rapkan berupa satu garis lurus saja.

Eksisi Baji (Gam bar 7)


Lesi pada lokasi atau daerah yang berdekatan dengan tepi kulit bebas,
misalnya bibir, tepi nostril, kelopak mata, telinga, bibir bawah dapat dieksisi
dan ditutup dengan menjahit primer

Eksisi sirkuler
• Bila lesi di wajah berdekatan misalnya dengan tulang rawan di bawahnya
sehingga tidak bisa ditutup primer.
• Setelah penga ngkatan lesi kulit yang besar pada suatu bag ian tubuh.

Penutupan defek setelah eksisi sirku ler:


• Flap kulit lokal
• Sliding subcutaneous pedicle skin flaps
• Two triangular subcutaneous pedicle flap

18
GAMBAR 8. lnstrumen Eksisi Lesi Kulit.

• Penutupan defek segitiga menggunakan teknik V-Y (Gambar 7)


• Flap transpos isi lokal (hati-hati menggunakan f lap ini pada wajah)
• Tissue ekspansion atau f lap rotasi dapat bermanfaat.

TEKNIK OPERASI UNTUK EKSISI LESI KULIT

lnstrumen Gunakanlah gunting yang tajam, bilah pisau yang dapat dilepas,
jarum yang tajam, pemegang jarum yang berujung halus, dan pinset berujung
kecil bergigi.

Teknik insisi: lnsisi elips dan insisi baji.

METODE HEMOSTASIS

Elektrokauter
• Arus listrik frekuensi tinggi, dengan am per relatif t inggi dan voltase rendah
• Metode yang efektif untuk melakukan hemostasis pada pembuluh darah
kecil dan sedang
• Dapat meminimalkan trauma dan meningkatkan kecepatan operasi.

Ligasi
Ligasi pembuluh darah menggunakan benang tipis misalnya 5.0 (baca lima nol)

19
·,

yang tidak diserap, monofilamen atau yang diserap sekitar 2 bulan.

Penekanan dengan balutan


• Penekanan luka terus ·menerus dapat mengendalikan kebocoran kapiler
dengan efektif
• Penekanan dilakukan hingga terjadi koagu lasi (+ 5 menit)
• Untuk mencegah perdarahan pada daerah yang aktif berdarah, skin graft
dapat dilakukan setelah penekanan 24-48 jam (delayed skin grafting).

Vaso konstriktor
• Epinef rin dapat bekerja baik wa lau diencerkan hingga 1 :500.000, tunggu
selama +7 menit baru menyayat
• Epinef rin topikal (1:1 00.000) pad a luka terbuka mengg unakan spons yang
lembab untuk mengurangi perdarahan dari pembuluh darah kecil
• 5emakin lama kerja vasokonstriktor, kemungkinan cedera iskemi semakin
luas.

PENUTUPAN LUKA PADA KULIT


Luka dapat d itutup menggunakan jahitan, plester kulit steril, klip kulit, atau
perekat luka.

Jahitan
Tipe benang jahit: diserap dan tidak diserap.

EPIDERMIS

DERM IS

LEMAK

GAM BAR 9. [KIRIJ JAHITAN SUBKUTIS untuk mencegah terjadinya dead space.
[KANAN) JAHITAN DERMAL DALAM d ianjurkan digunakan sebelum menjahit kulit dari sisi
luar, untuk melawan regangan sampai luka matur. Perhatikan arah memasukkan jarum.

20
Benang jahit diserap
• Dibuat dari kolagen, asam poliglikolat, atau polidioksanon
• Digunakan di bawah permukaan untuk menutup lapisan subkutan atau
untuk memperbaiki mukosa
• Lebih menguntungkan, tak perlu membuka, asalkan diletakkan pada lapisan
kulit sebelah dalam
• Benang jahit d iserap yang sering digunakan adalah asam poliglikolat
• Plain catgut diserap lebih cepat
• Dexon dan Vycril dapat direntangkan hingga membentuk benang
kemudian dipilin membentuk benang jahit, lebih kuat daripada catgut
• Dexon memiliki daya ikat selama 30 hari, dan diabsorbsi dalam 90 hari
• Vicryl, memiliki daya ikat selama 32 hari, diabsorbsi dalam 70 hari.

Benang jahit tak diserap


• Benang jahit sintetik (nilon, dacron, atau polipropilen)
• Benang jahit dari logam (stainless stee~
• Staples stainless steel.

Faktor yang menentukan kualitas bekas jahitan pada kulit:


• Lamanya benang jahit berada pada tempat jahitan
• Tegangan jahitan
• Hubungan benang jahit dengan tepi luka apakah inert atau reaktif
• Lokasi pada tubuh, misalnya dekat sendi
• lnfeksi
• Kecenderungan pembentukan keloid
• Benang jahit yang ada di bawah kulit
• Eversi tepi luka
• Penutupan tepi luka dengan ketebalan berbeda.

TEKNIK OPERASI UNTUK MENJAHIT LUKA PADA KULIT


Metode menjahit luka (Gambar 10)
• Jahitan satu-satu. Metode ini sering digunakan dan aman
• Jahitan matras vertikal. Tujuannya untuk mempertemukan sebanyak·
mungkin tepi luka. Jangan d igunakan pada tepi yang tegang
• Jahitan matras horizontal
• Jahitan matras horizontal setengah terbenam. Digunakan bila tidak
menginginkan bekas pada salah satu sisi luka. Jarang digunakan
• Jahitan jelujur subkutikular. Bertujuan menghindari bekas jahitan yang
tampak tebal, dan agar tidak perlu membuka atau mengangkat jahitan
• Jahitan karung. Bertujuan untuk cepat menyelesaikan tindakan .

21
Simpul
• Menggunakan needle holder untuk _mengikat simpul
• Yang sering digunakan adalah square knot dengan tambahan half knot
• Harus hati-hati dalam menempatkan awalan square knot
• Ikat setidaknya 5 kali simpul pada jahitan catgut, pada asam poliglikolat 4 kali.

Perekat Jaringan
Masih belum banyak digunakan pada manusia karena tidak mentautkan dan
memegang lama kedua tepi dermis.

Jahitan satu-satu Jahltan matras vertlkal

Jahitan matras horizontal Jahitan karung

Jahitan jelujur subkutikuiar Jahltan matras horizontal


setengah terbenam

GAMBAR 10. Teknik operasi untuk menjahit luka pada kulit

22 N KP I MU BEPAH PLASTiK REKONSTR\IKSI


ANASTESI LOKAL

SIFAT KIMIA
A. Molekul zat anestesi lokal terd iri atas bagian aromatik lipofilik, rantai
intermediate yang terdiri atas este r atau amid, dan bagian amin hidrofilik.
Berdasarkan jenis rantai intermediate nya, zat anestesi lokal dibedakan
menjadi jenis amino amid dan amino ester.
B. Zat anestesi lokal ya~ sering digunakan:
1. Amino amid: lidokain
2. Amino ester: prokain, kokain.

MEKANISME KERJA
A. Menghambat konduksi saraf . Zat anestesi lokal berdifusi secara pasif
melalui membran sel dalam keadaan non-ionik, kemudian menjadi
bermuatan dan menghambat kanal natrium dalam sel saraf, sehingga
menghambat terjadinya potensial aksi.
B. Serat saraf berdiameter kecil lebih sensitif terhadap zat anestesi lokal,
sement ara serat saraf berm ielin berd iam eter besar lebih sulit·d ihambat.
C. Zat anestesi lokal menghambat sensasi nyeri terlebih dahulu, kemudian
dingin, panas, sentuhan, dan tekanan.

FARMAKOLOGI
I. FARMAKOKINETIK
A. Potensi zat anestesi lokal bergantung pada kelarutannya d alam lemak,
semakin larut lemak maka semakin cepat zat tersebut melewati membran.
B. Kecepatan aw itan kerja
1. Ditentukan oleh pKa
a. Semakin besar konsentrasi molekul zat anestesi lokal yang tidak
terionisasi, semakin cepat awitan kerjanya
b. Semakin rendah pKa, konsentrasi zat anestesi lokal pada pH tertentu
semakin tinggi, sehingga awitan kerja lebih cepat
c. Penambahan natrium bikarbonat akan meningkatkan pH, sehingga
meningkatkan kecepatan awitan kerja, dan dapat mengurangi nyeri
saat infiltrasi
2. Jaringan yang terinflamasi memiliki pH yang rendah, sehingga
mengurangi konsentrasi zat anestesi tidak terionisasi, dan mengurangi
efek anestesi lokal.

~ 23
C. Lama kerja
1. Efek vasodilatasi intrinsik pada .zat anestesi lokal umumnya dapat
mengurangi lama kerjanya
2. lkatan protein meningkatkan lama kerja zat anestesi lokal.

II. METABOLISME
A Seluruh amid dan sat u ester dimetabolisme di hati
B. Sebagian b esar ester dimetabolisme plasm a kolinesterase
C. Gangguan fungsi hati dapat mengganggu met abolisme golongan
aminoamid.

Ill. REAKSI ALERGI


A Biasanya akibat rantai ester, bukan amid
B. Amid dapat merangsang terjadinya hipertermia maligna.

PEMBERIAN ZAT ANASTESI LOKAL


A Metode pemberian zat anestesi lokal yaitu blok saraf perifer, anestesi
topikal, atau anestesi lokal inf iltrasi
B. Blok saraf perifer terdiri at as blok saraf perifer minor yaitu blok satu saraf,
dan blok saraf perifer mayor yaitu blok dua atau lebih saraf atau blok satu
pleksus saraf
C. Anestesi topikal yang digunakan di antaranya Eutectic Mixture of Lokal
Anesthetics (EMLA), ELA-max, tetrakain dan kokain, dan iontoforesis
D. Anestesi lokal infiltrasi adalah pemberian zat anestesi lokal pada lokasi
operasi tanpa melakukan blok saraf secara selektif. lnjeksi dapat dilakukan
:., secara int radermal, subkutan, atau kombinasi keduanya
E.. Pilihan zat anestesi lokal disesuaikan dengan lamanya kebutuhan anestesi.
Dapat ditambahkan epinefrin untuk memperpanjang masa kerja
zat anestesi lokal
F. Pemberian Lidokain umumnya digunakan konsentrasi 1-2%, dengan dosis
maksimal tanpa epinefrin 5 mg/kgBB, dengan epinefrin 7 mg/kgBB,
dosis maksimal dewasa 300-500 mg (15-25 cc lidokain 2%), dengan lama
kerja 2-4 jam
G. Perhitu ngan dosis maksimum = BB x konsent rasi zat anestesi lokal (%) x
konsentrasi maksimum zat anestesi lokal (mg/kgBB).

TOKSISITAS ZAT ANASTESI LOKAL


A Toksisitas sistem saraf pusat: dapat berupa stimulasi atau depresi, gejalanya
dapat berupa gelisah, sakit kepala, kejang, tremor, apnoe
B. Toksisitas kardiovaskuler: depresi miokardium, dilatasi arteriol

--------------------------------------------------------------------~-
24 N UK PRA.I< 5 IU"AH IILAST REKON-STRUI(SI
1
C. Toksisitas neuromuskuler: berkurangnya eksitabilitas dan kontraktilitas otot
D. Terapi:
1. Pemberian oksigen menggunakan ambubag hiperventilasi
2. Diazepam 0,1 mg/kgBB
3. Bila hipotensi dapat diberikan infus cairan, posisi Trendelenburg, dan
epinefrin.

TEKNIK PEMBERIAN ZAT ANASTESI LOKAL


A. Cara memasukkan obat ke jaringan:
1. Pakai jarum kecil misalnya nomor 25, juga pakai spuit kecil 2,5 cc
yang berulir
2. Masukkan jarum sampai ke bag ian distallesi kemudian semprotkan obat
perlahan-lahan sambil menarik jarum agar obat tidak masuk ke dalam
pembuluh darah.

B. Cara mencampur obat anestesi lokal dengan vasokonstriktor


1. Isap adrenalim 1/1000 sebanyak 1 strip pad a spuit 2,5 cc
2. Kemudian isap lidokain 2% sebanyak 2 cc
3. Obat siap disuntikkan pada pasien.
)EFEK KULIT

Setiap defek pada kulit (kehilangan ku lit/epitel ku lit) harus ditangani sesuai
dengan komponen yang hi lang, penyebab yang mendasari, lokasi anatomis,
estetika, gangguan fungsi yang berhubungan, dan ketersediaan jaringan donor
dan resipien. Kesesuaian donor dan resipien dapat d inilai dari warna kulit,
tekstur, ketebalan, dan kerapatan tumbuhnya rambut. Kesehatan pasien secara
umum juga perlu diperhatikan.

Konsep yang umum digunakan adalah skema anak tangga (Reconstructive


Ladder, Gam bar 11 ), yaitu urutan pilihan rekonstruksi dari teknik yang
sederhana hingga kompleks. Urutan teknik tersebut adalah penyembuhan
sekunder, penutupan jaringan secara langsung, skin graft, pemindahan jaringan
lokal, pemindahan jaringan regional, dan free tissue transfer. Reconstructive
ladder berfungsi sebagai panduan dalam terapi defek pada kulit, meski kadang
teknik yang lebih kompleks langsung digunakan bila diperlukan.

PEMINDAHAN
JARINGAN BEBAS
A..
PEMINDAHAN
JARINGAN JAUH
A

PEMINDAHAN
JARINGAN LOKAL
A

SKIN GRAFT

PENUTUPAN

I
LUKA LANGSUNG
A
PENUTUPAN
LUKA SEKUNDER

GAMBAR 11. Skema anak tangga dalam penanganan d efek kulit


SKIN GRAFT

DEFINISI Skin graft adalah tindakan memindahkan sebagian tebal kulit


dari satu tempat ke tempat lain, di mana jaringan tersebut bergantung pada
pertumbuhan pembuluh darah kapiler baru dari jaringan penerima untuk
menjamin kehidupannya. Bagian kulit yang diangkat meliputi epidermis dan
sebagian/seluruh dermis, tergantung ketebalan kulit yang dibutuhkan.

JENIS
1. SPLIT THICKNESS SKIN GRAFT (STSG), yaitu skin graft yang terdiri atas
epidermis dan sebagian dermis, dibagi lagi menjadi:
Thick : Epidermis + % bagian lapisan dermis
Medium : Epidermis + Y2 bagian lapisan dermis
Thin : Epidermis + % bagian lapisan dermis
2. FULL THICKNESS SKIN GRAFT (FTSG), yaitu skin graft yang terdiri atas
epidermis dan seluruh bagian tebal dermis.
3. COMPOSITE GRAFT, yaitu skin graft yang terdiri atas epidermis, dermis,
dan lemak subkutan.

INDIKASI
a. Pili han tindakan setelah penutupan luka secara primer tidak dapat dilakukan
b. Tak terdapat jaringan sekitar luka yang bisa dipakai menutup luka Uumlah,
kualitas, lokasi, dan penampakan).
c. Luka pasca pengangkatan tumor ganas yang tidak dapat diyakini bebas
tumor.
d. Bila cara lainnya lebih merugikan dari sisi morbiditas, risiko, hasil, atau
komplikasinya.
e. Faktor lain: status gizi, umur, comorbid condition, perokok, kepatuhan, atau
biaya (seandainya dengan cara lain lebih mahal).

SPLIT THICKNESS SKIN GRAFT


KEUNTUNGAN:
• Kemungkinan take lebih besar.
• Dapat dipakai untuk menutup defek yang luas. ·
• Donor dapat diambil dari daerah tubuh mana saja.
• Daerah donor dapat sembuh sendiri/epitelisasi,
KERUGIAN:
• Punya kecenderungan kontraksi lebih besar.
• Punya kecenderungan terjadi perubahan warna.

27
• Permukaan kulit mengkilat.
• Secara estetik kurang baik.

FULL THICKNESS SKIN GRAFT


KEUNTUNGAN:
• Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil.
• Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil.
• Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil.
• Secara estetik lebih baik dari split thickness skin graft.
KERUGIAN:
• Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan STSG .
• Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas.
• Donor harus dijahit atau sebagian ditutup oleh STSG bila luka donor agak
luas sehingga tidak dapat ditutup primer.
• Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti inguinal,
supraklavikular, retroaurikular.

ASAL SKIN GRAFT


1. Autograft: Graft berasal dari individu yang sama .
2. Homograft: berasal dari individu lain yang sama spesiesnya.
3. Heterograft (xenograft): berasal dari mahluk lain yang berbeda spesies .

••• •••••••
I
••
.. ••
••

••••• •••

._ GAMBAR 12. Lokasi pengambilan kulit graft

SYARATTAKE
a. Vaskularisasi resipien yang baik.
b. Kontak yang akurat antara skin graft dengan resipien .
c. lmobilisasi.
d. Tidak ada perdarahan atau hematom.
e. Tidak ada infeksi.

28 UNJ\.K P'RAkllS IL.MU IE.DA.H Pl.ASlU( lfP::ON51ltl.NCSl


TEKNIK STSG
a. Pengambilan: dapat menggunakan pisau/skalpel (pisau Hambey, pisau no.22
atau no.1 0), drum dermatome, air driven dermatome, electricity driven
dermatome.
b. Penggunaan meshed graft meningkatkan luas daerah yang dicakup
sementara meminimalkan luas jaringan yang diambil, dapat dilakukan pada
permukaan ireguler, mengurangi kemungkinan hematom atau seroma,
dapat mengurangi ukuran luka akibat adanya kontraksi luka sekunder, dan
lebih baik secara estetika (Gambar 13).
c. Perawatan daerah donor: dapat digunakan occlusive dressings,
semiocclusive dressings, semiopen dressings, atau open dressings, dengan
masing-masing konsekuensinya. Biasanya dibuka setelah 2-3 minggu.
d. Perawatan daerah resipien: penutup yang tidak menempel, cukup lembab,
dan memberikan tekanan yang merata. Penutup dibuka pada hari ke
empat, sedangkan kasa lema k (tulle) atau penutup yang tidak menempel
bisa dipertahankan lebih lama agar tidak menggeser graftnya.

TEKNIKFTSG
a. Persiapan luka: pembersihan, debridement, dan hemostasis.
b. Pengambilan: jaringan lemak dipisahkan dari kulit agar jaringan dapat
bertahan melalui imbibisi di daerah resipien.
c. Perawatan luka : di daerah donor ditutup secara primer, di daerah resipien
diberikan penutup dengan tekanan yang merata. Biasa dibantu dengan
jahitan pada graft ke dasarnya atau memakai tie over untuk memfiksasi.
d . Tissue Expansion di daerah donor yang dilakukan sebelum pengambilan
dapat meningkatkan luas daerah donor dan memungkinkan penutupan
secara primer.

GAM BAR 13. (KIRI] Pengambilan kulit untuk split thickness skin graft.
[TENGAH] Penggunaan mesh.(KANAN] Pemasangan kulit pada resipien.

PEl\JN UK P«AKTIS tLMU BEOAH rt.ASTlK III:EKONSTRU 29


FLAP

DEFINISI Flap adalah segmeri~]aringan "mobile" sebagai hasil suatu tindakan


bedah, d i mana jaringan te rsebut tetap berhubungan dengan suplai pembuluh
darah asalnya melalui pedikel. Sebagai basis sebuah flap, selain mengandung
pembuluh darah, pedike l juga dapat mengandung kulit, jaringan subkutis,
fasia, otot, saraf maupun tulang.

Definisi lainnya adalah jaringan kulit dan subkutan yang dipindahkan dari satu
bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya dengan satu sisinya dilepaskan dari
landasan vaskuler, dan dari sisi lain tetap melekat dengan landasan vasku lernya
dengan tujuan untuk memberi kehidupan flap tersebut.

JENIS FLAP
Dibedakan berdasarkan:
1. VASKULARISASINYA
Random Skin Flap: tidak memiliki sumber pembuluh darah tertentu
yang dominan.
Axial Skin Flap : memiliki sumber pembuluh darah yang dominan,
jenisnya antara lain peninsular axial, island axial, free flap.
Reverse-flow flaps: sumber pembuluh darah proksimal dipotong, flap
bertahan dengan sumber kehidupan dari perdarahan dari distal.

2. CARA BERPINDAH
Rotasi dengan Pivot Point: Rotasi, Transposisi, lnterpolasi.
Advancement Flap: Single pedicle, V-Y advancement, Y-V
advancement, Bipedicle advancement.
Tak langsung: Kulit ditempel ke pergelangan tangan, 3 minggu
kemudian dilepas kemudian ditempel ke tempat baru, dengan tangan
sebagai pembawa/perantara kehidupan flap.

3. JARAK DARI DEFEK


Lokal, terdiri atas
• Flap yang bertumpu di satu titik: flap rotasi, transposisi, interpo lasi
• Flap advancement: single-pedicle, V-Y, Y-V, bipedicle.
Flap Regional.
Flap jauh (distant skin flaps).
Free flap.

30 UPIJUt( -I<TlS ILMU BWAH l'lASTlK •(l(OHSTIIIJt(SI


4. JARINGAN YANG DIMILIKI
Cutaneous
Fasciocutaneous
Musculocutaneous
Osteocutaneous
Osteomusculocutaneous
Omentum.

FLAP KULIT
lndikasi:
1. Rekonstruksi defek lokal dengan jaringan yang serupa tampilannya.
2. Menutup jaringan yang relatif kurang vasku lar, m isalnya tula ng
tanpa periosteum.

Jenis cutaneous flap:


1. Random-pattern flap.
2. Axial-pattern flap.
3. Advancement flap: single-pedicle, bipedicle, V-Y advancement flap.
4 . Rotation flap: basic (unilobe), bilobed flap.
5. Transposition flap: Z-plasty, Limberg (rhomboid), Dufourmentel, interpolasi.

FLAP FASCIO-CUTANEOUS Flap yang meliputi fascia-dalam sehingga


mengikutkan pembuluh darah dalam fascia yang memperdarahi kulit flap.
Dapat disertakan juga saraf kutan, sehingga bagian kulit dapat merasakan
sensasi raba. Dapat digunakan pada flap lokal, regional, atau free flap

FLAP MUSCULO-CUTANEOUS (Gambar 14)


lndikasi:
1. Diperlukan massa yang besar
2. Menghilangkan ruang rugi dan infeksi
3. Mengembalikan fungsi motorik.

Keuntungan:
1. Massa yang cukup besar untuk menutupi defek
2 . Dapat menyesuaikan dengan luka tidak beraturan
3. Vaskularisasi ba ik
4. Dapat mengikutkan tulang pada transfer
5. Dapat mentransfer saraf motorik dan saraf sensorik.
Kerugian:
Mengorbankan sebagian atau seluruh fungsi otot tersebut.
.'

GAMBAR 14. FLAP MUSKULOKUTANEUS. [ATAS] Defek Inguinal kanan pasca eksisi keganasan. Akan ditutup
dengan flap kulit dengan perdarahan dari Perforator Arteri Epigastrika Inferior Profunda (DIEP).
tTENGAH] Pengambilan flap DIEP. Perhatikan pedikel yang berisi pembuluh darah di sisi kiri pada gambar.
[BAWAH] Bekas luka donor ditutup langsung dan defek telah ditutup flap.

32
BEDAHMIKRO

DEFINISI Bedah mikro adalah pemindahan jaringan beserta pembuluh darah


yang menghidupinya kemud ian d isambungkan dengan pembuluh darah
resipien, menggunakan mikroskop operasi atau kaca pembesarllup.

Teknik ini tidak tergantung pada jarak donor ke resipien, tetapi yang
dipertimbangkan adalah:
a. Kebutuhan pada defek
b. Tebal tipisnya flap dan kualitasnya
c. Besarnya pembuluh darah donor
d. Pembuluh darah resipien yang akan dipergunakan
e. Tidak perlu operasi dengan tahapan.

Walaupun jenis operasi ini seolah tidak mengenal batas jarak donor ke resipien,
faktor lamanya operasi, mahalnya mikroskop dan instrumen mikro, hasil operasi
yang ekstrem flap bisa hidup baik di tempat baru tapi bisa juga gaga I total
dengan kematian flap menyebabkan ahli bedah plastik harus mempertimbangkan
dari awal cocok tidaknya jerih payah di atas dengan hasil akhirnya.

INSTRUMEN
A. PEMBESARAN
1. Mikroskop: pembesaran 6-40x
2. Lup: pembesaran 2,5-3,5x.
B. INSTRUMEN BEDAH MIKRO biasanya kecil dan halus, terpisah dari
instrument biasa dengan perawatan khusus agar tidak cepat rusak.
C. BENANG JAHIT biasa digunakan benang yang tidak diserap dengan
ukuran sangat kecil sehingga dapat digunakan untuk menjahit rambut
kepala sekalipun
1. Terbuat dari Nilon atau polipropilen monofilamen
2. Ukuran 8-0: pembuluh darah dan saraf lengan atau pergelangan
3. Ukuran 9-0 atau 10-0: pembuluh darah atau saraf jari
4. Ukuran 11-0: pembuluh darah jari distal dan pada anak.
D. OBAT-OBATAN DAN LARUTA N
1. NaCI atau ringer laktat ditambah heparin 100 U/m l , dijaga hangat, untuk
irigasi tepi pembuluh darah agar tidak terjadi trombosis
2. Lidocaine 2% untuk mengurangi vasospasme
3. Papaverin untuk melawan efek vasospasme, di mana papaverin bila
bertemu heparin akan mengendap.

33
PERSIAPAN BEDAH MD<RO
A. PERSIAPAN OPERATOR
1. Jangan stres; pekerjaan lain diwakilkan, dan sebagainya
2. Jangan melakukan olahraga terutama olahraga berat 2-3 hari sebelum operasi
3 . Buat skenario operasi detail per jam
4. Ergonomi harus baik: tangan dan kaki ditopang dengan baik, badan lurus,
sesuaikan meja dan mikroskop, hal ini penting untuk kerja berjam-jam.

B. PERSIAPAN PEMBULUH DARAH


1. Potong pembuluh darah secukupnya untuk mengurangi tegangan
anastomosis, akan tetapi jangan berlebihan karena dapat menyebabkan
vasospasme
2. Buang lapisan periadventisia pada ujung pembuluh darah
3. Periksa kecukupan aliran dengan cara melepaskan klem sesaat
4. Periksa lumen akan adanya debris atau kerusakan intima, kemudian
semprot dengan larutan NaCI atau RL
5. Dilatasi pembuluh darah hanya menggunakan dilator pembuluh darah.

TEKNIK ANASMOSIS MIKROVASKULAR


A. UMUM
1. Jarum harus memasuki pembuluh darah pada sudut yang sesuai pada tepi
luka, dengan jarak sedikit lebih dari ketebalan dinding pembuluh darah
2. Endotel tidak boleh terkena instrumen tajam, hanya boleh dikenai oleh
dilator pembuluh darah
3. Jarum harus menembus seluruh ketebalan dinding pembuluh darah
:., 4. Gunakan tiga ikatan untuk setiap simpul
5. Selalu visualisasi lumen dengan cara menyemprot menggunakan larutan
NaCI atau RL
6. Setelah selesai, lepaskan klem distal terlebih dahulu untuk melihat aliran
balik, setelah diperbaiki, klem proksimal dapat dibuka
7. Bila tidak ada kebocoran yang besar, biarkan pembuluh darah yang
teranastomosis selama 10 me nit dengan dilembabkan menggunakan spons
basah, setelah itu dapat diperiksa patensinya.

B. ANASTOMOSIS TEPI KE TEPI


1. Teknik setengah-setengah (Halving Technique)
a. Umum digunakan
b. Dua jahitan kunci ditempatkan dengan jarak 160-180°, pembuluh darah
disambung setengah bag ian atas, kemudian d ibalik dan setengah
bagian lainnya disambung.
2. Teknik segitiga (Triangulation Technique)
a Tiga jahitan kunci ditempatka n pada jarak masing-masing 120°
b. Retraksi jahitan sisi posterior dan sisi belakang dengan bantuan asisten
dapat mencegah terjadinya backwalling.

3. Teknik bawah ke atas (Back Wall Up Technique)


a. Bermanfaat pada daerah sempit atau lubang yang dalam di mana
pembuluh darah tidak dapat dibalik
b. Jahitan pertama ditempatkan pada dinding bawah, kemudian jahitan
berikutnya berurutan ke arah atas.

C. ANASTOMOSIS TEPI KE SISI


1. Mempertahankan aliran darah dari pembuluh darah resipien ke jaringan
2. Memungkinkan anastomosis pembuluh darah berbeda ukuran .

Klem Pembuluh Darah

Pemegang Jarum

Pembuluh darah dengan


diameter 1,5 mm

Jahitan Kendali/Kunci

Pin set

GAM BAR 15. Anastomosis tepi ke tepi


Pembuluh Darah Flap

Pembuluh Darah Resipien

GAMBAR 16. Anastom osis tepi ke sisi

36
Neurofibroma

Nevus

Lipoma

Fibroma

Kista Ateroma

Karsinoma Sel Basal (Basalioma)

Karsinoma Sel Skuamosa

Mela noma

Hemangioma
NEUROFIBROMA

DEFINISI Neurofibroma adalah tumor saraf perifer jinak, tumbuh lambat


sejak usia muda, berasal dari sel Schwann dan Proliferasi Fibroblas Perineural
pada saraf Perifer. Neurofibroma merupakan tumor saraf tersering.
Neurofibroma dengan lesi multipel dapat terjadi pad a Neurofibromatosis von
Recklinghausen .

ETIOLOGI Belum jelas, pada sindrom kongenital yang langka terdapat


kena ikan insiden.

PATOGENESIS Bentuk tunggal belum diketahui, sedangkan bentuk multi pel


diwariskan.

LOKASI
• Di beberapa bag ian submukosa atau subkutan; dapat juga timbul di t ulang
• Di badan dan ekstremitas.

GEJALA KLINIS Nodul submukosa satu atau banyak yang tertutup oleh
mukosa atau kulit normal. Tumbuh lambat, kadang terasa nyeri atau terasa
seperti terkena sengatan listrik. Biasanya t idak menimbulkan gansguan
neurologis. Kadang-kadang tertutup bercak kulit 'Cafe-au-Lait'. Lesi ini dapat
muncul pada usia bera papun, biasanya t imbul antara usia 20-30 tahun.

GAM BAR 17. [KIRII Neurofibroma bentuk nodul. [KANAN] Bentuk Pleksiform.

38 NJUK PRAKT S ILMU AU Pl.ASTt!( RrKONSTRU.CS1


PEMERIKSAAN TAMBAHAN
• Penilaian Radiografi: Tidak tampak; pada sentral tulang dapat terlihat
radiolusen namun jarang
• Penilaian Mikroskop: Tidak berkapsul, pe nampakan sel fibrosa seperti saraf.

TERAPI
• Bedah eksisi untuk lesi tunggal; sedangkan pada lesi multipel atau
pleksiform dilakukan e ksisi paliatif, karena kita tidak mampu mengenali
batas saraf yang terlibat.
• Bila neurofibroma tidak mengenai serabut saraf besar, saraf yang
mengandung tumor biasanya dioperasi. Bila sera but saraf besar terkena,
biasanya tumor dipisahkan dari saraf kemudian diangkat, atau dibiarkan bila
tidak bergejala.

KOMPLIKASI Dapat berulang; bentuk multipel dapat berbentuk kurang


bag us, mengge layut (menarik ke bawah) palpebra, hidung, mulut dan
sebagainya dan berdegenerasi menjadi ganas.

PROGNOSIS Lesi tunggal baik, sedangkan lesi multipel kurang baik.

GAMBAR 18. (KIRI] Nodul multipel difus. (KANAN] Bercak Cafe-au-lait.

PETUNJUk PRAI{"""S II,.MU BEOAH PLASTlK REK0Nrlt1.: 39


NEVUS

DEFINISI Nevus adalah tumor yang paling sering dijumpai pada manusia,
merupakan tumor yang berasal dari sel-sel melanosit. Nevus umumnya muncul
saat lahir atau segera setelah lahir, terbanyak pada dewasa muda, dan menu run
pada orang tua.

JENIS
1. Junctional nevi: sel-sel nevus terdapat di antara lapisan epidermis dan dermis
2. Intradermal nevi: sel-sel nevus terdapat di lapisan dermis
3 . Compound nevi: sel-sel nevus terdapat di antara lapisan epidermis dan
dermis dan di lapisan dermis.

PERJALANAN PENYAKIT Sel-sel nevus yang terletak antara dermis


dan epidermis dapat berubah menjadi Melanoma Maligna, meski jarang.
Tanda-tanda yang mengarahkan kecurigaan tersebut:
1. Ulserasi dan perdarahan spontan
2. Membesar dan warna lebih gelap
3. Pigmen menyebar dari lesi ke kulit sekitarnya
4. Lesi satelit berpigmen
5. lnflamasi tanpa didahului trauma
6. Nyeri dan gatal.

TERAPI
:.\' Nevus umumnya tidak memerlukan terapi kecuali bila pasien menginginkan
nevus diangkat atau dokter mencurigai metaplasi ke arah keganasan . Terapi
yang dipilih adalah eksisi sederhana.
• Nevus yang dicurigai ganas harus dibiopsi dan sekalian diangkat/dioperasi.

GAMBAR 19. N evus.

40 UNJtnC PAAKTIS tLMU BE0AH PLASllK R£KONSTRUKSI


r
LIPOMA

DEFINISf Lipoma adalah tumor jinak j aringan lemak yang dikelilingi kapsul
fibrosa tipis. Sering dijumpai di daerah kepala, leher, bahu, dan punggung.

EPIDEMIOLOGI Lipoma dapat muncul pada segala usia akan tetapi sering
dijumpai pada usia 40-60 tahun. Dapat juga dijumpai Lipoma Kongenital.
Lipoma So liter ditemukan dengan perbandingan sama pada laki-laki dan
perempuan. Lipoma Multipel lebih sering ditemukan pada laki-laki.

ETIOLOGI Penyebab lipoma belum p asti, akan tetapi kecenderungan


mendapat lipoma dapat diturunka n. Beberapa jenis lipoma dapat terjadi akibat
trauma tumpul. Orang yang gemuk tidak meningkatkan kemungkinan terjadi
lipoma.

KLASIFIKASI Terdapat beberapa variasi lipoma, yaitu Angiolipoma, Lipoma


Neomorfik, dan Adenolipoma.

DIAGNOSIS
• Lipoma tumbuh lam bat dan hampir selalu jinak. Biasanya tampak sebagai
benjolan yang bulat, tidak nyeri, dan dapat digerakkan. Pada perabaan
terasa lunak dan terdapat Pseudofluktuasi. Kadang lipoma dapat
dihubungkan dengan beberapa sindrom misalnya Lipomatosis Herediter
Multipel, Adiposis Dolorosa, dan Sindrom Madelung.
• Lipoma dapat juga ditemukan pada jaringan yang lebih dalam, misalnya
Septum lntermuskular, Organ Abdomen, rongga mulut, Kanal Auditori
lnterna, sudut Serebelopontin, dan rongga dada.
• Secara mikroskopis, lipoma terdiri atas sel-sellemak matur yang tersusun
dalam lobus-lobus, dan banyak di antaranya dikelilingi kapsul fibrosa.
Kadang lipoma yang tidak berkapsul dapat menginfiltrasi otot, yang
disebut lipoma berinfiltrasi.
• Lipoma dapat dibedakan dengan keganasan liposarkoma meski
penampakannya mirip, di antaranya nyeri, tumbuh cepat , dan terfiksasi.
Bila terdapat keraguan dapat d ilakukan biopsi jarum ha lus ata u CT scan.

TATALAKSANA
a. Pada umumnya lipoma tidak memerlukan tindakan apapun, kecuali bila
lipoma membesar dan nyeri. Pilihan terapi yang dapat dilakukan adalah
bedah maupun non bedah.

PETUNJUK PRAKTIS tlMV 8 OAH PLA nft R KONSTR 41


b. Tindakan bedah dengan melakukan eksisi atau enukleasi.
c. Persiapan bedah
1. Gam bar batas lipoma dan rencana eksisi pada permukaan kulit
2. Bersihkan kulit dengan povidone iodine atau klorheksidin, kemudian
dipasang duk steril
3 . Anestesi lokal menggunakan lidokain 2% dengan epinefrin, dilakukan
dengan field block, dengan cara menginfiltrasi subkut.an di sekeliling
daerah operasi .

Daerah yang di ber i antiseptik

Eksisi Elipsoid

GAM BAR 20. Persiapan Eksisi Lipoma.

:., d. · Enukleasi
Lipoma ukuran kecil dapat diangkat dengan cara enukleasi. lnsisi d ilakukan
sepanjang 3-4 mm di atas benjolan. Kemudian lipoma dibebaskan dari
jaringan sekitarnya menggunakan kuret. Setelah bebas, tumor dikeluarkan
melalui celah insisi menggunakan kuret. Jahitan biasanya diperlukan, dan
digunakan balut bertekanan untuk mencegah terjadinya hematoma.
e. Eksisi
Lipoma yang lebih besar diangkat dengan eksisi.
Prosedurnya sebagai berikut:
1. lnsisi d ilakukan pada kulit di atas benjolan dengan bentuk elips
mengikuti garis tegangan kulit, dengan ukuran lebih keci l dari benjolan
di bawahnya.
2. Kulit bagian tengah yang akan d ieksisi dipegang dengan hemostat atau
klem Allis untuk memberikan traksi agar tumor dapat diangkat.

42 T\JNJUK PRAKllS ILMU BEDAH P\.ASTIK REKONSTRUK51


GAMBAR 21 . Langkah-langkah Eksisi Lipoma.

3. Pemotongan d ilakukan di luar lemak subkutan t umor menggunakan


skalpel no 15 atau gunting, dengan menghindari saraf atau pembuluh
darah yang mungkin terdapat di sekeliling tumor.
4. Setelah lipoma dilepaskan dari jaringan sekitar, klem hemostat dapat
dipindahkan ke tumor untuk membantu memegang tumor.
5. Lipoma dikeluarkan secara utuh, dan dipastikan tidak ada jaringan yang
tertinggal.
6. Dilakukan hemostasis terhadap perdarahan yang mungkin terjadi.
7. Ruang di bawah kulit ditutup dengan jahitan satu-satu menggunakan
benang yang diserap 2-5 bulan.
8. Kulit kemudian ditutup dengan jahitan satu-satu menggunakan benang
yang tidak diserap.
9. Digunakan balut bertekanan untuk mencegah terjadinya hematoma.
10. Luka d iperiksa setelah 2-7 hari.
11. Benang dapat diangkat setelah 7 hari, bergantung pada lokasi di tubuh.
12. Lipoma yang dikeluarkan diperiksa secara Histopatologis.

KOMPLIKASI Komplikasi pengangkatan lipoma jarang terjadi, di antaranya


infeksi, terbentuk hematoma, cedera saraf atau pembuluh darah sekitar,
deformitas, parut bekas operasi, cedera atau iritasi otot, emboli lemak,
periostitis atau osteomielitis, atau kekambuhan.

PET\JNJUK P•AnJS ll.MU BEOAH PlASTlK .a<ONSTRU 43


FIBROMA

DEFINISI Fibroma adalah pertumbuhan reaktif fibroblas pada ku lit.

EPIDEMIOLOGI Muncul saat dewasa.

ETIOLOGI Pada banyak kasus dilaporkan adanya riwayat gigitan


serangga atau tumbuhnya rambut sebelum muncul gejala. Oleh karena
itu dermatofibroma oleh sebagian ahli dianggap sebagai reaksi inflamasi,
sementara sebagian lainnya menganggapnya sebagai neoplasma.

KLASIFIKASI Terdapat variasi histologis yaitu sel bening, sel granular,


xanthomatous, berosifikasi, dan berpalisade.

DIAGNOSIS
A. Umumnya dermatofibroma dapat didiagnosis secara klinis. Dermatofibroma
berupa nodul sol iter atau mult i pel yang keras, tidak nyeri. Biasanya di
ekstremitas. Ukuran kurang dari 5 mm. Warna merah atau merah coklat,
dapat juga biru kehitaman karen a deposisi hemosiderin. Dimple sign
positif, yaitu bila ku lit sekitar lesi dicubit maka benjolan akan melekuk ke
dalam.
B. Pada pemeriksaan histologi, tampak proliferasi fibroblas dan miofibroblas.
Pada tepi. lesi terdapat lapisan tebal kolagen berhialin . Epidermis di atasnya
mengalami hiperpigmentasi.
,, C. Diagnosis diferensial
Lesi jinak: kista, parut hipertrofik, neurilemmoma (atau schwannoma),
neurofibroma, Piloleiomioma, tofus, eritema elevatum diutinum
Lesi g anas: karsinoma sel basal, dermatofibrosarkoma protuberans,
giant cell tumor pada kulit, melanoma nodular, karsinoma saluran keringat
bersklerosis.

TATALAKSANA Penatalaksanaan dermatofibroma d ilakukan dengan


eksisi untuk mengangkat seluruh benjolan pada kulit. lnsisi dilakukan berbentuk
elips dengan sumbu panjangnya para lei terhadap garis kulit bertegangan
rendah (Relaxed Skin Tension Line). Penutupan d i lakukan 2 lapis dengan
jahitan satu-satu.

44 PETUNJUI< rRAKliS lt.MU BEDAH P\ASTUC REkONSTRUKSI


KISTA ATEROMA

DEFINISI Bentukan yang kurang lebih bulat dan berdinding tipis yang
terbentuk dari ke lenjar sebasea, terbentuk akibat sumbatan pada muara
ke lenjar sebasea . Kista ate rom disebut juga kista sebasea.

EPIDEMIOLOGI Kista ateroma banyak ditemukan di Indonesia. Jumlah


insidennya tidak diketahui pasti.

ETIOLOGI Sumbatan pada muara kelenjar sebasea, dapat disebabkan oleh


infeksi atau trauma

DIAGNOSIS
A Banyak dijumpai di daerah yang banyak mengandung kelenjar sebasea,
misalnya di muka, kepala atau punggung. Kadang disertai bau asam.
B. Bentuk bulat, berbatas tegas, berdinding tipis, bebas dari dasar, melekat
pada dermis di atasnya. Daerah muara yang tersumbat terdapat puncta.
lsi bubur eksudat warna putih abu-abu, berbau asam .

MANAJEMEN
A Penatalaksanaan kista ateroma dilakukan dengan eksisi menyertakan kulit
dan puncta untuk mengangkat seluruh bag ian kista hingga ke dindingnya
secara utuh. Bila dinding kista tertinggal saat eksisi, kista dapat kambuh,
oleh karena itu harus dipastikan seluruh dinding kista telah terangkat.
B. Bila terjadi infeksi sekunde r dan terbentuk abses, dilakukan insisi,
evakuasi, dan drainase. Setelah tenang misalnya 3-6 bulan, dapat
dilakukan operasi definitif.

GAM BAR 22. Gamba ran histologis Kista Aterom.

PEIJNJVK PRAKTIS llMU 8 -,Afi PLAST K REKONSTRt. 45


Punctum
PENAMPANG MELINTANG
I

I
,~
~ ............

, I
I
,,' ~
~


''
- -• .I

•• I
• .I

••
I

'•• ,
~
~
...... ~~'
,,
I

- -• .I

lnsi si elips dengan Jahitan kulit luar setelah


menggunakan pisau no.15 dibuat jahitan dalam

GAMBAR 23. Pengangkatan Kista Ateroma.

46 UNJU1< l'tiAKTIS 11.MU IIUWII'\ASllK REKOHSTI<UKSI


KARSINOMA SEL BASAL [BASALIOMA]

DEFINISI Karsinoma Sel Basal (KSB) adalah tumor ganas lokal yang destruktif,
biasanya tidak bermetastasis. Merupakan salah satu tumo r kulit ganas terbanyak.

ETIOLOGI
1. Predisposisi genetik ya itu sedikitnya pigmen pada kulit: orang dengan
pigmen kulit sedikit dan lebih banyak terpapar radiasi ultra violet sehingga
lebih mudah terkena KS B
2. Kulit yang terpapar radiasi ultra violet
3. Zat arsenik
4. Pengobatan lama imunosupresi dapat menambah risiko KSB.
KSB juga dihubungkan j uga dengan xeroderma pigmentosa dan sindrom
Sel Basal Nevus.

EPIDEMIOLOGI Di Jerman terdapat 100 kasus baru setiap 100.000


penduduk per tahun. Rata-rata usia sekitar 60 tahun. Laki dan perempuan
mendapat kemungkinan terkena yang sama. Sebanyak 80% ka:;us t erpap ar di
daerah kepala dan leher. Bisa menyebabkan kematian, terutama bila terdapat
di daerah vital.

TIPE KASINOMA SEL BASAL


Karsinoma sel basal nodular
Karsinoma sel basal penyebaran superfisial
Karsinoma sel basal morfeaform
Karsinoma sel basa l berpigmen
Karsinoma sel basal tipe adneksa

MANISFESTASI KLINIS Biasanya, pertumbuhan tumor dimulai tanpa


stadium pre kanker dan jarang diperhat ikan. KSB mula-mula tumbuh sebagai
nodus kecil, dengan teleangektasi karakteristik. Pada pertumbuhan lebih lanjut
t erjad i ulserasi sentral (ulkus rodens), sedang pinggirnya yang menonjolkecil
atau tampak tidak ada adalah khas untuk stad ium ini. Tidak jarang KSB ini
bermula pada parut dan Nevus Sebacei.

Tipikal KSB, timbul, tampak jelas, lesi berwarna kuning kemerahan dengan
batas seperti pucat. Pertumbuhannya lambat, jarang bermetastasis.
Bisa saja berpigmen melanin (KSB dengan pigmentasi), multifokal atau
sklerotiklmorfoik. Timbul di usia pertengahan hingga t ua. Biasanya di area
kepala dan leher. Pemeriksaan meliputi: ukuran tumor (diameter horisontal),
lokalisasi, tipe basalioma, penyebara~ ke jaringan lebih dalam (diameter
vertikal), batas keamanan terapi eksisi (biasanya 5 mm pada jaringan sehat).

MANAJEMEN Tindakan pembedahan eksisi, dapat ditambahkan radioterapi .

PROGNOSIS KSB pada kulit berkembang dalam beberapa bulan atau tahun
dan menjadi ulkus rodens yang dapat merusak struktur jaringan lebih dalam.
lnsiden metastasis diperkirakan kurang dari 1:1 000.

GAM BAR 24.


Karsinoma sel basal pada puncak hidung pra o pe rasi.
[KIRI[
[KANAN) Pasca operasi hari ke lima dengan skin graft take diatas d efek.

48 U~JU~ PIIAKTlS ILMU !EDAH PIAS"1K ~Ofm'IWKSI


KARSINOMA SEL SKUAMOSA

DEFINISI Keganasan yang berasal dari lapisan sel skuamosa berkeratin pada
permukaan kulit.

EPIDEMIOLOGI Keganasan kulit t erbanya k kedua setelah karsi noma


sel basal.

FAKTOR RESIKO
1. Radiasi UV
2. Pajanan zat kimia: beberap a pestisida, hidrokarbon organik misalnya tar,
bahan bakar minyak, parafin, arsen
3. lnfeksi virus: infeksi human papilloma virus (HPV), herpes simpleks
4. Radiasi
5. Ulkus M arjo lin : terjadi pada luka kronik, di mana perubahan seluler terjadi
karena inflamasi kronik
6. Gangguan imunitas: imunosupresan, A IDS
7. Genetik: kulit putih, albino, xeroderma pigmentosum

PATOFISIOLOGI Penyebab utama karsinoma sel skuamosa adalah radiasi


matahari. Karsinoma sel skuamosa umumnya muncul di daerah yang terpajan
sinar matahari. lnflamasi dan indurasi yang terjadi menandai perubahan lesi
prekanker menjadi karsinoma sel skuamosa.

KLASIFIKASI Tipe karsinoma sel skuamosa


1. Ve rukosa: tumbuh lam bat, eksofitik, jarang bermetastasis
2. Ulseratif: tumbuh cepat, invasif lokal

DIAGNOSIS
LESI PREKURSOR
1. Keratosis aktinik (4% menjadi karsinoma sel skuamosa)
2. Penyakit Bowen
3. Leukoplakia (15% menjadi keganasan)
4. Keratoakantoma.

Ulserasi kecil pada kulit dan lesi lain yang dicurigai sebagai kanker terlebih
dahulu dirawat dengan menggunakan antibiotik topikal dan penutup luka.
Bila dalam 2-3 minggu lesi kulit tidak membaik, maka lesi tersebut dianggap
keganasan hingga terbukti seba liknya.
MANAJEMEN
Teknik yang digunakan
1. Eksisi dengan tepi yang sehat sejauh 20 mm
2. Pembedahan Mohs: eksisi horizontal berturutan, dilakukan pada
karsinoma sel skuamosa risiko tinggi
3. Terapi ajuvan radioterapi dilakukan pada karsinoma sel skuamosa
dengan faktor risiko tinggi.

PROGNOSIS Sebanyak 5-1 0% karsinoma sel skuamosa


bermetastasis. Karsinoma sel skuamosa yang terjadi dari ulkus
Marjolin atau xeroderma pigmentosum memiliki kemungkinan
metastasis lebih tinggi.

50 ' U><JUK PIIAKTIS llMU BEDAH PU.SllK R!KONrntuKSI


MELANOMA

DEFINISI Melanoma adalah keganasan pada sel-sel melanosit yang terdapat


pada kulit dan organ tubuh lainnya. Biasanya lesi primer terdapat di kulit.

EPIDEMlOLOGI Melanoma merupakan keganasan terbanyak ke-8 di AS,


dengan pertambahan setidaknya 40.000 kasus baru setiap tahunnya. Risiko
terkena melanoma selama hidup mencapai 0,5%. Di Indonesia jarang dijumpai.

FAKTOR RESIKO
A. Demografik: kulit putih, mata dan rambut berwarna muda, tinggal di
ketinggian dan letak lintang lebih tinggi, laki-laki, status sosioekonomi lebih
tinggi, dan riwayat paparan radiasi ultraviolet
B. Genetik: riwayat melanoma pada keluarga dekat, sindrom nevus displastik,
Xeroderma Pigmentosum.

PATOFISIOLOGJ
A. Melanoma disebabkan oleh berbagai proses yang menyebabkan
transformasi melanosit menjadi ganas. Paparan sinar matahari pada orang
dengan predisposisi genetik dapat menyebabkan proses keganasan
tersebut. Riwayat melanoma sebelumnya memberi kemungkinan terjadinya
melanoma kedua sebanyak 3-5%.
B. Lesi prekursor yang berisiko menjadi melanoma: nevus kongenital
(5-20%), nevus melanositik akuisita (semakin banyak semakin berisiko),
Nevus displastiklatipikal, Hiperplasia Atipik Melanosit Junctional,
Nevus Spitz.

KLASIFIKASI
A. Tipe melanoma yang utama:
1. Melanoma permukaan (superficial spreading melanoma)
2. Melanoma. nodular (nodular melanoma)
3. Melanoma maligna lentigo (lentigo malignant melanoma)
4. Melanoma lentigo akral (acrallentiginous melanoma).
B. Melanoma lainnya:
1. Melanoma mukosa
2. Melanoma okular
3. Melanoma dengan primer tak diketahui.
C. Staging dan faktor prognostik
1. Faktor prognostik: ketebalan (kedalaman), nodus/in-transit metastases
(paling bermakna), lokasi anatomi (di ekstremitas lebih baik daripada di

I'£TUN.I\JK PIIAI<'lS II.MU BEOAH I'IASTIK ltKONSll!l; 51


ns Melanoma in situ a: tanpa ulserasi dan Clark levelll/lll

b: dengan ulserasi dan Clark leveiiVN

Tl < l,Omm a: tanpa ulserasi

b: dengan ulserasi

T2 1,01 ·2,0mm a: tanpa ulserasi

b: dengan ulserasi

2,01·4,0mm a: tanpa ulserasi

b: dengan ulserasi

>4,0mm a: tanpa ulserasi

b: dengan ulserasi

a: mikrometastasis

b: makrometastasis

a: mikrometastasis

b: makrometastasis

IB Tl b NO MO, T2a NO MO

IIA T2b NO MO, T3a NO MO

liB T3b NO MO, T4a NO MO

II( T4bNOMO

lilA T1-4a Nl a MO, Tl ·4a N2a MO

IIIB T4b Nla MO, T1-4b N2a MO,T1·4a Nlb MO

T1-4a N2b MO, T1 ·4a/b N2c MO

IIIC T1-4b Nlb MO, T1· 4b N2b MO, setiapT N3 MO

IV setiap T setiap N Ml a, setiap T setiap N Ml b

setiap T setiap N M 1c

lABEL 1. Sistem staging Melanoma dari AJCC tahun 2002

52 ;n;NJUK PRAKTIS ILMU BEDAH PLASnK REKONSTRUKSI


badan), dan jenis kelamin (perempuan lebih baik dari laki-laki)
2. Terdapat sistem staging TNM dari American Joint Committee on Cancer (AJCC).

DIAGNOSIS
Tampilan klinis utama yaitu:
1. Asimetri
2. Batas ireguler
3. Perubahan warna
4. Diameter lebih dari 6 mm.

Diagnosis pada melanoma primer dilakukan dengan melakukan analisis


histopatologi pada spesimen biopsi seluruh ketebalan.

MANAJEMEN
A. Penatalaksanaan definitif
1. Eksisi lokal luas (wide local excision) sebagai terapi pilihan
2. Jarak tepi kulit saat pembedahan disesuaikan dengan ketebalan melanoma.

B. Penatalaksanaan nodus limfatik


1. Pembedahan elektif (Elective lymph Node Dissection/ ELND).
2. Biopsi sentinel (Sentinel lymph Node Biopsy/ SLNB).

C. Tindak lanjut pasca operasi


1. Pasien tanpa keluhan diperiksa setiap 3-4 bulan selama 2 tahun pertama,
setiap 6 bulan pada 3 tahun berikut, dan berikutnya setiap 1 tahun.
2. Foto radiologi toraks dan tes fungsi hati (LDH dan alkali fosfatase).
3. Rekurensi lokal dapat muncul dalam jarak 5 em dari lesi utama dalam
3-5 tahun pertama, biasanya di kulit, subkutan, atau nodus limfatik jauh.
4. Dapat ditambahkan kemoterapi atau imunoterapi.

KOMPLIKASI Pada melanoma diseminata dapat terjadi gagal napas dan


komplikasi pada sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan kematian.

ft TUNJUK PRAKTIS tlMU IEDAH PLASnte REKONSTRU 53


HEMANGIOMA

DEFINISI Suatu tumor pembuluh darah dengan ciri proliferasi endotel yang
meningkat pesat pada waktu bayi (1 tahun pertama), dan dapat mengalami
involusi secara perlahan pada masa kanak-kanak melalui proses kematian sel
secara progresif atau terjadinya fibrosis (sampai usia 6-7 tahun).

EPIDEMIOLOGI lnsiden hemangioma di AS (bersama dengan malformasi


vaskular) terjadi 0,54 setiap 1.000 kelahiran . lnsiden pada bayi kulit putih
10-12%, sedangkan pada bayi prematur dengan be rat badan < 1OOOgram
insidennya sebanyak 22%. Hemangioma lebih banyak terjadi pada anak
perempuan dengan perbandingan 2-5:1.

PATOGENESIS Hemangioma merupakan suatu tipe angiogenesis murni,


yaitu m eningkatnya faktor angiogenesis dan berkuran gnya faktor supresi
sel-sel. Hemangioma yang berproliferasi terdi ri atas ku mpulan sel-sel endotel
yang membelah dengan cepat. Saat mengalami involusi, aktivitas endotel
berkurang, dan sel-selnya menjadi lebih rata dan matur. Bekas hemangioma
yang tela h involusi berupa kulit yang agak tipis, pig men b isa berkurang, atau
ada b ag ian yang sedikit lebih gelap, d engan permu kaan tidak terlalu rata.

GAM BAR 25.


IKIRI] Hemangioma leher kanan dengan kerusakan p ermukaan/aberasi pre operasi.
!KANAN] Pasca operasi dengan flap transp osisi.

54 NJUK PIW<TIS ILMU BEDAH 1'\AST!" l<fKONSTRUI(SI


KLASIFIKASI MULLIKEN PADA KELAINAN VASKULER
A. Hemangioma, menunjukkan proliferasi endotel yang meningkat. Tumbuh
sangat cepat pada tahun pertama, melambat pada masa kanak-kanak dan
mengalami involusi sampai usia 6-7 tahun.

B. Malformasi Vaskular, terdiri atas pembuluh displastik tapi siklus endotelnya


normal. Biasanya tidak selalu tampak saat lahir. Malformasi Vaskular tidak
pernah mengalami regresi dan sering meluas/mengembang, dan tumbuh
proporsional dengan kecepatan tumbuh pasiennya.

PERJALANAN PENYAKIT HEMANGIOMA


A. Hemangioma biasanya ditemukan pada 2 minggu pertama masa neonatal,
tapi pada hemangioma subkutan atau viseral baru muncul pada usia 2
hingga 3 bulan. Saat kelahiran hemangioma dapat tampak sebagai bintik
pucat, bercak merah, atau daerah kemerahan yang menyerupai memar.
Sebanyak 70% saat lahir sudah ada titik kemerahan, 56% terdapat di muka.

B. Fase proliferat if : Hemangioma tumbuh cepat pada 6-8 bulan pertama.


Kulit menjadi menonjol dan berwarna merah mud a terang. Bila letaknya
lebih dalam maka kulit hanya sedikit menonjol dan berwarna kebiruan.

C. Fase involusi: Warna kulit berubah menjadi keunguan, dan tumor menjadi
melunak. lnvolusi terjadi pada SO% anak usia 5 tahun dan 70% anak usia
7 tahun. Pada SO% anak kulit akan kembali seperti semula. Sisanya dapat
meninggalkan kemerahan, keriput, daerah kekuningan yang hipoplastik,
parut (bila terjadi ulserasi}, atau sisa fibrosis jaringan lemak.

MASALAH
a. Bintik kecil seperti jarum pentul kemerahan di kulit muka biasa diabaikan
orang tua pasien. Tiba-tiba membesar cepat dan keluarga pasien tersebut
menjadi stres.
b. Bila tumor membesar (dan kita tidak pernah tahu seberapa luas
pembesarannya), dapat merugikan karena jaringan normal lebih banyak
yang rusak dan teregang, misal palpebra .
c. Kecemasan orang tua, perdarahan, tidak adanya involusi bila menyangkut
mukosa atau berada sekitar mulut dan mata sehingga menutupi Ia pang
pandangan dan sering menyebabkan kebutaan karena mata tidak kena sinar.
d. Dokter pertama yang menemukan hamangioma pada pasiennya, kurang
mempertimbangkan keuntungan dieksisi (operatif).
GAMBAR26.
jKIRI] Hemangioma
pada columella,
sulit dieksisi dan
rekonstruksi pra
operasi.
!KANAN] involusi
pasca injeksi steroid
intra lesional.

DIAGNOSIS Hemangioma umumnya dapat didiagnosis dengan anamnesis


dan pemeriksaan fisik yang baik. Pada hemangioma dalam, diperlukan CT scan
dan MRI untuk lebih memastikan apakah melibatkan struktur lebih dalam.

MANAJEMEN
Meski umumnya mengalami involusi spontan, tindakan operatif dilakukan
segera d an secara agresif pada keadaan sebagai berikut:
1. Obstruksi jalan napas
2 . Gaga I jantung
3. Utserasi dan perdarahan yang tidak terkendali
'· 4: lnfeksi berulang yang sulit dikendalikan
5. Trombositop enia
6. Obstruksi struktur vital, misalnya mata atau kana lis audit orius
7. Obstruksi aksis visual
8. Gangguan pertumbuhan tulang
9. Lesi kecil (sehingga mudah d iangkat tanpa risiko kosmetik
maupun fungsional)
10. Nyeri.

Manajeme n hemangioma:
1. Te rapi bedah (Gambar 25 dan 27): Operasi tanpa perlu takut banyak
perdarahan sebagaimana malf ormasi vasku lar. Begitu diketahui besarnya
masih sebesar t iti k merah, bisa dioperasi dan bekasnya hanya b erupa garis
merah 3-5 mm. Bila hemangioma te lah memb esar dan dioperasi karena
alasan perdarahan, infeksi at aupun kemungkinan menutupi pandangan

56 UNJt..K PAAtcrS II.MU BEDAH PLASTlK REKONSTRUKSI


r
GAMBAR27.
(KIRI ATAS) •
Hemangioma di
pelipis kiri, pasien
usia 2 bulan, p ra
operasi.
(KANAN ATAS) Pasca
operasi eksisi dan
tutup primer.

(KIRI BAWAHJ
Hemangioma
lidah, pasien usia 2
bulan,pra operasi.
(KANAN BAWAHJ
operasi mencegah
perdarahan. Post
operasi 2 minggu,
tidak mengganggu
fungsi lidah.

mata, maka defek kulit epitel yang terjadi dapat ditutup dengan Skin Graft
atau Flap.
2. Penanganan perdarahan dan ulserasi (Gambar 25).
3. Mengatasi komplikasi.
4. Terapi non bedah (Gambar 26): kostikosteroid, interferon alfa, laser,
kemoterapi, pressure therapy, thermal therapy/cryotherapy, radiasi,
embolisasi dan skleroterapi, tentunya dengan mempertimbangkan efek
negatif sistemik.
5. Observasi secara berkala untuk memantau perjalanan penyakit.

PROGNOSIS Perbaikannya tergantung kecepatan mendiagnosa dan


ketepatan mengangkatnya secara operatif. Pasien harus ditindaklanjuti selama
beberapa tahun untuk evaluasi.

KOMPLIKASI
a. Problem psikososial pada keluarganya
b. Gangguan penglihatan (amblyopia, strabismus) bila terlambat dioperasi
c. Perdarahan
d. Perubahan bentuk organ misalnya bibir dan p a lpebra.

Pn\JNJUK PRAKnS I.MU BEOAH f't.ASTIK REKONSTRt. 57


GAMBAR28.
[KIRI) Hemangioma palpebra terlambat dioperasi.
[KANAN) Pasca operasi hasil m emadai namun ambliopia.

58 VNJVK Pfi.AKliS ILMU &£0AH Pl.A$11K REKONSTRlJXSI


Rekonstruksi Kelainan di Muka

Noma
REKONSTRUKSI KELAINAN DI MUKA

REKONSTRUKSI KELOPAK MATA


I. ANATOMI KELOPAK MATA YANG PENTING DIKETAHUI
A. Kulit kelopak mata adalah yang paling tipis di selu ruh tubuh
B. Otot-otot konstriktor: m. orbicularis oculi, m. corrugator supercilii,
m. procerus
C. Septum orbita: jaringan fibrosa berlapis yang membatasi mata dan orbita
D. Jaringan lemak orbita: posterior dari septum dan anterior dari otot
retraktor
E. Otot-otot retraktor: m. levator palpebra, m. Muller (atas),
fasia kapsulopapebra, m. tarsal inferior (bawah)
F. Tarsus: penyangga struktur kelopak mata menyerupa i kartilago, terdapat
kelenjar Meibom di dalamnya
G. Konjungtiva: sel epitel gepeng berlapis
H. Tendon kantus: berhubungan dengan tarsus atas dan bawah, di medial
dan lateral
I. Peredaran darah: a. oftalmika dan cabang-cabangnya (a. supraorbita dan
a. lakrimalis), a. temporalis, dan a. angular
J. Persarafan:
1. Sensorik: N V1 (atas). N V2 (bawa h)
2. Motorik: N Ill, N VII.

II. KELAINAN PADA KELOPAK MATA


:., A. Entropion: tepi kelopak mata melekuk ke dalam
B. Ektropion: tepi kelopak mata melekuk ke lua r
C. Ptosis: kelopak mata t idak dapat membuka sempurn a
D. Leserasi/ ruptur palpe bra.

Ill. REKONSTRUKSI KELOPAK MATA


A. Perbaikan laserasi tepi kelopak mata
1. Kedua tepi kelopak mata disejajarkan posisinya
2. Tarsus dijahit dengan jahitan tidak menembus konjungtiva, dengan
benang halus misal 6-0
3. Tepi kelopak mata dijahit dengan jahitan matras vertikal
4. Kulit dijahit dengan jahitan satu-satu, juga dengan benang halus
(misal 6-0) dan jarum atraumatik.
B. Rekonstruksi kelopak mata
1. Defek kecil dijahit secara primer
2. Defek besar memerlukan bantuan Flap Miokutan atau
Graft Tarsokonjungtival dari kelopak mata sebelahnya yang sehat
3. Defek besar di kelopak mata bawah dapat ditutup dengan flap rotasi
dari pipi.

C. Defek kantus
1. Pada defek kantus medial bila terdapat kerusakan pada sistem drainase
lakrimal, maka harus diperbaiki lebih dahulu
2. Tendon kantus medial dan lateral harus dipast ikan tetap melekat pada
tulang
3. Bila defek kulit kecil di atas kantus dapat dijahit langsung, sedangkan
bila besar dapat ditutup d engan flap atau full thickness skin graft.

REKONSTRUKSI lllDUNG
I. ANATOMI HIDUNG
A. Hidung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu atas (tulang hidung dan septum
tulang), tengah (tulang rawan lateral atas dan septum tulartg rawan), dan
bawah (tulang rawan alar).
B. Jenis kulit dibagi dua, yaitu kulit tipis (dorsum nasi dan kolu mela), dan
kulit tebal (ujung hidung dan ala).
C. Peredaran darah: a. angular cabang a. fasialis, a. labial is superior,
a. oftalmika cabang dorsonasal, dan a. maksilaris interna cabang infraorbita.
D. Persarafan:
1. Sensorik: N V (trigeminus) yaitu N V1 (oftalmika) dan V2 (maksilaris)
2. Motorik: N VIII (fasialis).

II. REKONSTRUKSI HIDUNG


A. Tujuan
1. Mempertahankan terbukanya jalan napas dan bentuk estetika yang baik
2. Mengganti kulit dengan warna, ketebalan, dan tekstur yang sama
3. Mencegah terjadinya deformitas pasca operasi.

B. Rekonstruksi yang baik harus mengganti seluruh lapisan kulit yang hilang
dengan jaringan yang serupa, yaitu termasuk mukosa hidung, penyangga
struktur hidung, dan ku lit penutup hidung.

C. Rekonstruksi dilakukan segera, kecuali pada keadaan pasca reseksi tumor


di mana batas tumor meragukan atau direncanakan radioterapi, serta

61
adanya invasi tumor ke tulang.

D. Rekonstru ksi dap at dilakukan dengan menggunakan flap jaringan sekitar


atau dengan pre fabricated f ree flap yaitu dibentuk terlebih dahulu ku lit
cuping hidung, sete lah beberapa lama, dipindahkan satu unit kulit hidung
baru dengan pembuluh d arahnya ke temp at lokasi hidung dan d isambung
pembuluh darahnya ke resipien.

REKONSTRUKSI PIPI
I. Tujuan rekonstruksi pada pipi adalah menutup defek, mengemb alikan
fungsi, dan mempertahankan estetika.
II. Defek kecil pada pipi dapat d itutup secara primer setelah dilakukan insisi
elips. Ahli bedah harus mengusahakan parut yang pendek dan sejajar
dengan arah lipatan kulit. Defek yang lebih besar dapat ditutup dengan
menggunaka n graft atau lebih baik menggunakan flap.
Ill. Pada defek jaringan lunak yang lebih besar, penggunaan konsep unit
estetika dalam rekonstruksi dapat mengurangi kemungkinan terjad inya
deformitas. Unit estetika pipi d ibagi menjadi 3 daerah yang saling
bertumpuk, yaitu daerah subo rbita l, p reaurikular, dan buccomandibular.
Parut yang ditempatkan pada perbatasan un it-unit est etika dapat lebih
menyamarkan penampakannya.

REKONSTRUI<SI TELINGA
I. Kelainan pada telinga dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau
didap·at.
'· a. Kelainan b aw aan: Mikrotia, telinga menonjol, Kriptotia, tel inga seperti
kele lawar.
b. Kelainan didapat: keganasan, trauma, ata u cedera suhu.

II. Rekonstruksi telinga akibat kelainan bawaan dilakukan sesuai lokasi kelainan
dan luasnya defek. Umumnya d ilakukan pada usia 7 tahun, digunakan flap,
dan bila perlu ditambahkan graft tulang rawa n dari sisi yang sehat.

Ill. Pada rekonstruksi total dapat digunakan jaringan tulang rawan dari daerah
iga sebagai kerangka telinga, dan ditutup dengan flap dan graft dari kulit
sekitar telinga.

62 IJHJUK I'IIAKTIS MU lt.DAH I'I.AIT1K •W-ONITI!III(SO


NOMA

DEFINISI Penyakit infeksi (Cancrum Oris) yang merusak jaringan Orofasial


serta struktur sekitarnya dengan penyebabnya kuman Fusobacterium
Necrophorum pada anak dengan gangguan imunitas.

EPIDEMIOLOGI Noma biasanya ditemukan di daerah penduduk miskin


dengan malnutrisi kronis, disertai higiene mulut jelek, dan lebih sering
ditemukan pada anak-anak. Angka kejadian di beberapa negara Afrika berkisar
antara 2-4 setiap 10.000 anak. Penelitian di Senegal menunjukkan kejadian 2,8-
8,4 kasus setiap 10.000 anak usia 1-5 tahun, sedangkan di Nigeria sebanyak
7-14 setiap 10000 anak usia 0-6 tahun.

PATOFISIOLOGI
1. Sering didahului penyakit berat, misalnya campak, malaria, cacar air,
tuberkulosis (pada campak terjadi penurunan interleukin 12 yang diperlukan
dalam mediasi imunitas seluler).
2. Terjadinya acute necrotizing gingivitis. Dalam hal ini peranan virus herpes
mung kin saja terjadi, yaitu pada anak-anak dengan higiene mulut yang
jelek.
3. Ditemukan pula kuman lain sebagai penyerta yaitu Prevotella lntermedia,
Alpha Hemolytic Streptococcus, Actinomyces sp.
4. Penelitian di Afrika oleh Cyril 0. Enwonwo dkk. Tahun 1999 menemukan
penurunan kadar Zinc (<1 0,8 umoi/L}, Retinol (<1 ,05 umoi/L), Ascorbate
(<11 umoi/L), dan peningkatan kadar kortisol bebas pada saliva pasien
dengan noma.
5. Setelah terjadi nekrosis pada jaringan lunak, nekrosis dapat berlanjut pada
tulang sehingga terjadi Fusi Maksila sehingga mandibula dan pasien akan
terkunci mulutnya.

DIAGNOSIS Pasien datang dengan adanya defek pada bibir, komisura


mulut, hidung, pipi, dan kadang kelopak mata bagian bawah, yang didahului
dengan riwayat luka yang menghitam. Kerusakan otot pengunyah juga dapat
menyebabkan trismus. Pasien yang datang pada keadaan yang lebih dini dapat
ditemukan gingivitis akut, Nekrosis Mukosa, dan Ulserasi Mukosa mulut yang
luas.

MANAJEMEN
1. Pada stadium akut terapi oleh bagian anak dengan eradikasi infeksi,

63
perbaikan gizi, dan nekrotomi.
2. Pada kasus lanjut, jaringan parut bisa dipakai sebagai inner lining, fusi
tulang dibebaskan, dan dilakukan penutupan raw surface tanpa usaha untuk
memperbaiki defek atau kekurangan jaringan lunaknya pada saat yang
bersamaan. Pasien sekaligus dilatih membuka dan menutup mulut.

PROGNOSIS Pasien noma yang sampai ke tangan plastikus biasanya


dalam usia yang sudah dewasa dengan defek sekitar mulut. Banyak diantara
mereka yang mengalami trismus akibat penyatuan mandibula dengan maxilla
dan adanya jaringan ikat tebal dan keras sekitar defek. Secara fungsional
pasca rekonstruksi, mereka bisa membuka dan menutup mulut kembali serta
penutupan defek jaringan lunaknya memerlukan beberapa kali operasi dengan
jarak tiap operasi 6 bulan.

GAMBAR29.
Pasien noma dewasa, pasca e ksisi jaringan parut, membebaskan fusi mandibula
[KIRI]
maksila, dan dilatih buka mulut kurang lebih 6 bulan.
[KANAN] Pasca caterpilllar/jump flap dari inguinal ke pergelangan tangan lalu ke defek
mulut untuk menutup inner lining dan outer lining.

64
KELAINAN

Bib ir Sumbing dan Langit-Langit

Sumbing Muka dan Kranial

Fraktur Tulang Muka


BIBIR DAN LANGIT-LANGIT SUMBING

DEFINISI Bib ir sum bing adalah terd apatnya celah pada bibir atas yang sering
disertai cel ah palatum, yaitu terd apat ce lah pada atap/l angit -langit mulut
sehingga t erdapat hubung an langsung antara hidung dan mulut.

EPIDEMIOLOGI lnsiden bervariasi pad a et nis yang berbeda. lnsiden bibir


sumbing terjadi seb anyak 2,1 dalam 1.000 kela hiran pad a etnis Asia, 1:1 .000
pada etnis Kaukasia, dan 0,41:1.000 pada etnis Afrika-Amerika. Sum bing b ibir
saja ditemukan pad a 21% pend erita, sum bing bibi r dan palatum 46%, dan
sumbing palatum (Isolated Cleft Palate) 33% dari seluruh penderita.

ETIOLOGI Bibir sumbing t erjad i secara multifaktorial. Di antara faktor


penyebabnya adalah keturunan, obat-obatan tertentu (Fenitoin, Talidomid,
lsotretino in), alko hol, rokok, defisiensi asam folat d an vitamin B6 serta
defisiensi Zinc.

FAKTOR RESIKO
a. Riwayat Penyakit Keluarga (contoh : Sind rom Van der Woude), tingkat
rekurensi 2-6% tergantung p ada riwayat kelu arga .
b. Etnik/Ras: Asia > Kaukasia
c. Penggunaan ant ikonvu lsan pada penderit a epilepsi dan pada ibu hamil
d. Usia orang .tua: usia kedua orang tua > 30 tahu n, risiko semakin tinggi
e. Riwayat .sum bing pada orang tua/keluarga.

PATOFISIOLOGI
A. Timbul b ila ada gangguan saat perkembangan wajah d i usia keham ilan
3-8 minggu (terut ama usia kehamilan S-6 minggu).
B. Terjadi akibat:
1. Gagalnya penyatuan tonjo lan nasal medial dan tonjolan maksila pada
sat u sisi (sum bing bibir unilateral) atau pada kedua sisi (sumbing bibir
b ilateral).
2 . Gagalnya penyatu an tonjolan palatum median (b erasal dari tonjolan
Frontonasa l dan tonjolan Nasal Medial) dan t onjolan palatum lateral
(berasal dari tonjo lan maksila) yang menyebabkan sumbing palatum.

KLASIFIKASI
a. Sumbing bibir unilateral: Microform cleft lip, Incomplete cleft lip,
Complete cleft lip

66 \INJUt< PfW<TlS I MU BE!l.OH fLAsnt( I!EKOHSTRUKSI


b. Sumbing bibir bilate ral: Incomplete bilateral cleft, Complete bilateral cleft
c. Sumbing pa latum: Unilateral cleft lip and palate, Bilateral cleft lip and
palate, Isolated cleft palate, Submucous cleft palate.

DIAGNOSIS
A. Bibir sumbing (dengan atau tanpa s umbing palatum/cleft palate)
1. Jaringan yang t e rlibat:
a. Dapat meliputi hanya batas vermilion
b. Beberapa kasus sampai pada palatum dan dasar hidung.
2. Dapat dihubungkan dengan gangguan/abnormalitas gigi.
3. Sumbing dapat unilateral atau bilateral.
4. Sering d ihubungkan dengan abnormalitas kolumela.

B. Sumbing langit-langit/Palatoschizis (sumbing palatum)


1. Defek ga ris tengah berawal di uvula
2. Dapat melibatkan jaringan lunak dan keras palatum serta foramen
insisivus.

GAMBAR30.
(KIRI ATAS) Bibir sumbing satu sisi tidak lengkap (Incomplete Unilateral cleft lip), pra-operasi.
(KANAN ATASI pasca-operasi. (KIRI BAWAH) Bibir sumbing satu sisi lengkap (Complete Unilateral cleft
lip and palate), pra-operasi. (KANAN BAWAH] Pasca-operasi.

67
GAMBAR31 .
(KIRI] Bibir sumbing dua sisi tidak lengkap (Incomplete Unilateral cleft lip], pra-operasi.
(KANAN) Pasca-operasi.

KONDISI YANG BERHUBUNGAN


A . Pierre Robin Syndrome (dibaca: Pierre Robang)
1. Micrognathia
2. Sumbing palatum U-shape
3. Glossoptosis.

B. Sindrom EEC
1. Ectrodactyly (split tangan dan kaki)
2. Ectodermal dysplasia
3. Sum bing bibir dan palatum (cleft).

C. Sindrom Trisomi 13
1. Holoprosencephaly
2. Amnion Rupture Sequence.

D. Abnormalitas Hypothalamus dan Pituitary


1. Defisit Hormon Hipotala mus
2. Panhypopituarism
3. Septo-optic dysplasia
4. Sindrom Kallmann.

TATALAKSANA ASUPAN MAKANAN


A . AIR SUSU IBU
Laktasi untuk b ayi dengan b ibir sum bing atau palatum baik d iberikan, bila
perlu dibantu dengan melakukan pe nekanan pada payudara
B. BOTOL SUSU BAYI
1. Pertimbangan obturator plastik untuk menutup palatum.

68 UN
GAM BAR 32. Sindrom Pierre-Robin.

2. Puting buatan halus dengan lubang besar.


3. Menggunakan botol dengan bagian ujungnya bisa dipencet.

TATALAKSANA PEMBEDAHAN
A. PERIOPERATIF
1. Kriteria Pre-operatif yang siap dioperasi
a. Tak ada tanda infeksi sistemik dengan tanda demam yang bisa disertai
leukositosis.
b. Hidrasi/cairan tubuh anak baik, Ht ~ 30%.
2. Pasca operatif
a. Pernafasan nasal yang baik.
b. Asupan cairan pada 3 minggu pertama pasca bedah yang adekuat.
c. Menjaga bagian yang dibedah agar tidak tersentuh oleh anak (siku
dibidai dengan karton, dibungkus kapas).

GAMBAR33.
Teknik Modifikasi Rotation Advancement
Millard pada sumbing sisi kiri komplit.
Tujuan desain adalah menurunkan titik 3
agar satu level dengan titik 2.

69
B. OPERASI BIBIR SUMBING
1. Metoda Rotation Advancement meyupakan dasar dari desain operasi.
2. Dapat dikerjakan pada usia sekitar 3 bulan, berat badan > 5 kg,
Hb>10gr%.
3. Revisi dapat dilakukan pada usia pra sekolah
A. Koreksi pembedahan hidung
Pada saat perbaikan palatum atau pada masa remaja
B. Perbaikan sumbing palatum
1. Waktu perbaikan tergantung tipe variasi kerusakannya
2. Biasanya diperbaiki sekitar usia 1,5 tahun (saat mulai belajar bicara)
3. Gangguan bicara dapat terjadi jika perbaikan ditunda hingga usia
3 tahun.

KOMPLIKASI AWAL
a. Jebol
b. lnfeksi
c. Perdarahan
d. Kematian.

KOMPLIKASI HASIL AKHlR


a. Asimetri bibir at au nostril
b. Parut yang tidak baik
c. Bicara sengau atau tidak mampu mengucapkan huruf/suara tertentu
d. Hipoplasi maksila dan maloklusi geligi.

:.-, TUJUANPERBAIKAN
1. Menyeimbangkan cupid's bow, yaitu satu levelnya titik 3 dan titik 2
2. Menyamakan ketinggian vertikal bibir, antara bagian yang sumbing
dan tidak
3. Menyamakan ketinggian vermilion pada bagian lain yang d iperbaiki
4. Menjaga lajur dan lesung filtrum
5. Menyamakan panjang columella bagian yang sumbing dan tidak
6. Penempatan parut yang tidak terli hat pada garis kulit alami, yaitu pada lajur
filtrum
7. Mengembalikan fungsi dan orientasi otot Orbicularis oris
8. Mengembalikan sulcus labiobuccal
9. Menyeimbangkan dan reposisi basis ala nasi
10. Menaikan /ower lateral cartilage terdepresi pada cuping hidung
11 . Menyamakan kemba li segmen maxilla yang biasanya hipoplasi.

70 AH Pt.ASlliiC REM:ONS'TM.IK5~
SUMBING MUKA DAN KRANIAL

DEFINISI Sumbing muka dan kranial atau sumbing kran iofasial adalah
terdapatnya celah pada struktur muka dan kranial. Sumbing muka dan
kranial yang melibatkan tulang dan jaringan lunak terdapat di sepanjang
garis-garis penyatuan struktur kraniofasial. Sumbing di daerah orbita dapat
mempengaruhi bola mata dan otot-otot ekstraokular.

EPIDEMJOLOGI lnsiden sum bing muka 1,5-5 per 1000 kelahiran,


biasanya nonfamilial. ·

KLASIFIKASI
Biasanya digunakan klasifikasi Tessier
1. Sum bing di atas tepi kelopak mata disebut sumbing kranial
2. Sumbing di bawah tepi kelopak mata disebut sumbing muka
3. Sumbing kranial dan muka biasanya muncul bersamaan, yaitu pada dua
lokasi dengan jumlah angka 14 (misalnya sumbing di garis 0 dan 14,
4dan10).

Klasifikasi Tessier paling bermanfaat bagi ahli bedah plastik ka rena klasifikasi
tersebut menghubungkan penampakan klinis dengan anatomi pembedahan.
Klasifikasi Tessier juga mengintegrasikan topogr~fi observasi klinis dengan
gangguan skeletal yang mungkin terjadi.

Adanya kelainan jaringan lunak dapat digunakan untuk memperkirakan


kelainan pada tulang di bawahnya, misalnya:
1. Sekumpulan rambut abnormal.
2. Garis rambut atau alis yang ireguler.
3. Tepi kelopak mata yang ireguler.

MANAJEMEN
Untuk memudahkan pembahasan dan penatalaksanaan di lapangan, maka
sumbing muka dan kranial dibagi dalam empat grup besar sesuai dengan
klasifikasi Tessier, yaitu
1. SUMBING ORAL-NASAL
a. Karakteristik grup ini ditandai adanya sumbing di daerah antara garis
tengah dan cupid's bow, akibatnya terjadi gangguan struktur pada bibir
dan hidung
b. Dalam klasifikasi Tessier mencakup sumbing nomor 0,1 ,2, dan 3

PElUNJUK ""AKT llMU lllOAH PVSl!< M£ Of<STltl.! 71


GAM BAR 34. Klasifikasi sum bing muka
menu rut Tessier, ditandai dengan nomor
0 hingga 14. [GAM BAR ATAS] adalah lokasi
sum bing pada jaringan lunak muka,
sedangkan ]GAM BAR BAWAH] adalah
lokasi sumbing pada tulang.

c. Operasi sulit dan dapat terjadi komplikasi akibat pertumbuhan dan


perkembangan di daerah kelainan tersebut.

2. SUMBING ORAL-OKULAR
a. Grup ini mencakup kelainan yang menghubungkan rongga mulut dan
'· orbita tanpa ada gangguan pada hidung. Kelainan ini mumcullateral
dari cupid's bow, sedangka n struktur muka bagian tengah secara umum
t etap baik.
b. Dalam klasifikasi Tessier mencakup sumbing nomor 4, 5, dan 6.
c. Operasi dilakukan secara bertahap, bekerjasama dengan dokter mata
karena sering ditemukan kelainan pada mata itu sendiri. Tujuan operasi
adalah untuk menjaga stru ktur bola mata dan kemampuan penglihatan.
d. Operasi harus segera dilakukan karena kemungkinan menyebabkan
gangguan penglihatan.

3. SUMBING MUKA LATERAL


a. Sumbing muka lateral meliputi sumbing nomor 7, 8, dan 9 pada
klasifikasi Tessier, dan digambarkan dalam beberapa sindrom misalnya
sindrom Treacher Collins, sindrom Goldenhar, mikrosomia hemifasial,
dan displasia fasial nekrotik.

72
b. Perbaikan sumbing muka nomor 7 dilakukan pada awal kehidupan,
dengan menyatukan kulit, mukosa, dan otot.
c. Perbaikan sum bing nomor 8 dan 9 melibatkan rekonstruksi kantus
lateral dan memperbaiki posisinya pada orbita.

4. SUMBING ORBITA KRANIAL


a. Grup ini meliput i sumbing di superior mulai dari orbita lateral hingga
garis tengah, dan dapat berhubungan dengan sumbing muka
d i bawah orbita
b. Sum bing muka ini meliputi kelainan Tessier nomor 10-14
c. Dapat terjadi gangguan neurologi karena te rjadi gangguan
perkembangan otak.

GAMBAR 35. [KIRI[ Sumbing bibir bilateral


disertai sumbing muka kanan Tessier 3-11
pra·operasi. Perhatikan parut d i kedua
bibi r, dan aksis mata kanan dan kiri yang
tidak segaris. [KANAN[ Pasca operasi.
FRAKTUR TULANG MUKA

DEFINISI Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang


menyebabkan satu hingga banyak tulang wajah patah komplit atau tidak
komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan
lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala
yang tidak membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi
dan mandibula).

Tulang muka sifatnya berbeda dengan tulang panjang, sifatnya spongiosa dan
lebih vaskuler dibandingkan tulang cortical/tulang panjang sehingga dalam
waktu 5-6 minggu penyembuhan fraktur sudah selesai, sudah rigid.

PENYEBAB, TIPE PREVALENSI, KARAK.TERISTIK


Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda motor
tanpa menggunakan helm (pelindung kepala). Penyebab lain adalah trauma
langsung misalnya akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga,
kecelakaan industrial dan luka tembak.

Penelitian/studi di RSCM Jakarta oleh Makagiansar dan Sudjatmiko (2002):


Terdapat 203 kasus trauma tulang muka yang terjadi pada periode
selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001, dengan rerata 11-12 kasus
tiap bulannya
Sebanyak 26,6% terjadi fraktur muka dengan cedera lain, kebanyakan
'· trauma dengan cedera otak.

Penelitian terdahulu fraktur muka, oleh:


Lee et al. (1987) mendapati kasus yang terbanyak adalah fraktur tulang
pada muka bagian atas sedangkan fraktur mandibula/muka bagian
tengah lebih sedikit berpengaruh pada cedera otak
Davidoff et al (1988), mendapati sebanyak 55% kasus terjadi cedera
kepala tertutup dengan fraktur muka
Haug et al (1994), mendapati hanya 17,5% terjadi cedera kepala
tertutup dengan fraktur muka
Nakhgevany et al (1994), mendapati sebanyak 68% trauma muka
berhubungan dengan cedera kepala
Keenan et al (1999), berpendapat bahwa risiko terjadinya trauma otak
bertambah pada pasien dengan fraktur tulang muka, sedangkan risiko
tertinggi trauma otak pada fraktur maksila.

74
Karakteristik 385 pasien fraktur tulang muka, pada penelitian oleh Fawzy dan
Sudjatmiko di RSCM Jakarta sejak April 2004-Maret 2006, mendapati:
348 pasien pria (90,4%), 37 pasien perempuan (9,6%)
107 pasien (27,8%) menderita cedera kepala sedang sampai berat
278 pasien (72,2%) menderita cedera kepala ringan
90 pasien menderita fraktur mandibula, 267 pasien menderita fraktur
midface (muka bagian tengah), 28 pasien merupakan kombinasi
232 pasien (60,3%) menggunakan helm, 153 pasien (39,7%) tanpa
menggunakan helm.

GEJALA DAN TANDA KLINIS


A. Adanya riwayat trauma pada muka.

B. Tampak deformitas muka, bisa berupa:


1. Bengkak, asimetri, miring disertai lecet kulit sampai ke luka
jaringan lunak
2. Hematoma atau perdarahan di luka atau dari lubang hidung dan mulut
sebagai jalan keluar perdarahan dari sinus maxilla/fraktur.

C. Pemeriksaan fisik, bisa dijumpai:


1. Nyeri, krepitasi (tanpa penekanan yang kuat karen a tulang pi pi h), "step
in" atau diskontinuitas tepi tulang mandibula dan tulang rima orbita.
Periksa sekaligus sisi kanan dan kiri serta bandingkan.
2. Tonjolan pipi yang menghilang.
3. Pada rongga mulut tampak gangguan oklusi (maloklusi) yaitu tonjolan
gigi premolar yang tidak bertemu dengan cekungan gigi lawan/
pasangannya, juga bisa tampak laserasi g inggiva daerah fraktur, kadang
dijumpai maxilla yang mengambang dalam hematom (floating maxilla).
4. Hipestesi pada cuping hidung.

GAM BAR 37. FRAKTUR LEFORT KOMPLEKS 1·111. Secara klinis garis patah tidak harus seperti gambar ini.
D. Radiologis:
1. Foto AP: walaupun garis patab kadang tidak jelas, dengan
membandiingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas
tulang secara radiologis. Perhatikan pengisian sinus oleh darah yang
menyebabkan pengaburan gamba r sinus.
2. CT Sca n bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto
radiologi biasa. CT Scan 3-Dimensi akan menggambarkan bentuk
tukang muka keseluruhan dan lubang tu lang yang patah atau melesak
dapat dikenali dengan lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus.

GAMBAR 37. Blow Out Fracture

MANAJEMEN
A. Penanganan awal
a. Pri mary survey: Airway, Breathing, Circulation dan selanjutnya t etap
diawasi.
b. Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita, telinga,
hidung, wajah bagian tengah, mandibula, rongga mulut, dan oklusi.
Adanya cedera kepala (brain injury) dapat menu nda timing operasi
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada fraktur tu lang muka.
c. Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu
terapi definitif.
d. Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak mengganggu
jalan napas.
e. Bila ada hematoma sept um nasi atau hemato ma auricula, harus d ilakukan
drainase dan di lanjutkan dengan balut tekan/tamponade hidung.

76 UNJl.k R.AI<T'S tUoiU IEDAH 1'1..AST11( Jttl<ONniWI<St


B. Penanganan lanjut yaitu pada minggu pertama pasca trauma
a. Fraktur Mandibula: Reduksi kemudian fiksasi pada geligi dengan wire
ataupun Arch Bar menghasilkan "union" dan "occlusi" yang dicapai
dalam ± 5 minggu.
Reduksi kemudian fiksasi dengan mini plate screw tidak mernerlukan
penguncian geligi sebagaimana pada wire dan arch bar.
b . Fraktur Maxilla: Reduksi dengan pendekatan sulcus ginggivobuccalis
dan infra cilliar palpebra inferior; dapat juga difiksasi dengan wire atau
mini p late screw.
c. Fraktur Rima Orbita penting dilakukan operasi reposisi dan fiksasi
untuk mengembalikan bentuk orbita dan memulihkan fungsi gerak mata
yang terganggu.
d. Fraktur Nasal sebaiknya direparasi tidak terla lu lama sejak traumanya,
mengingat tulang nasal adalah p ipih dan sering patahnya berbentuk
impresi, deviasi atau remuk.

PROGNOSIS Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk


dilakukan dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis
dapat baik. Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka
penyembuhannya jadi masalah.

Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat
menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan p rosedur
bedah multipel dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak
karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli
bedah plastik.

GAMBAR 38. Laki-laki, 25 tahun dengan


riwayat kecelakaan lalu lintas. Terdapat
deformitas muka dan ekskoriasi hematom
palpebra superior dextra, step in rima orbita
lateral d extra, depresi nasal. Gamba ran
rad iologis: garis fraktur d i sutura zygomatica
frontalis dextra, kompleks zygoma maxilla
dextra, kompleks nasoethmoid dextra,
mandibula intak.

77
PENCEGAHAN Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman
kepala) yang melindungi sampai rahq_ng bawah dapat unt uk mencegah trauma
maxillofacial.

GA M BAR 39.
Laki-laki, 30 tahun. Riwayat kecelakaan lalu lintas, dengan nyeri dan sedikit perdarahan
dari mulut. Pemeriksaan fisik: jelas terdapat maloklusi. Pada angulus mandibula kiri tampak
jelas garis fraktur, juga pada simfisis mandibula.
[KIRI ATASI Pra operasi. [KANAN ATASJ Pasca operasi dengan fiksator archbar pada geligi
agar tercapai oklusi yang baik. [PEMERIKSAAN RADIO LOGISJ Dijumpai garis fraktur jelas
pada angulus mandibula kiri dan simfisis (fraktur segmental)

78 UNJUI< P'IIAK115 OIU llllAH I'IASTII< ll£l<OHSliUK51


Luka Bakar

Kontraktur Akibat Luka Bakar


LUKABAKAR

DEFINISI Luka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan oleh api,
atau oleh penyebab lain seperti oleh air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi.
Kerusakan dapat menyertakan jaringan d i bawah kulit.

Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas
tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase
lanjut . Luka bakar juga dapat menyebabkan koagulasi nekrosis pada kul it dan
terpaparnya jaringan hingga lapisan dalam termasuk efek terhadap sistem
organ lainnya .

Fungsi kul it adalah:


1. Penutup jaringan dibawahnya
2. Melindungi trauma
3. Mencegah penguapan
4. M encegah invasi bakteri, virus, jamur
5. Mengatur penguapan cairan.

PATOFISIOLOGI
• Keparahan luka bakar berhubungan dengan suhu dan lamanya pajanan
terhadap sumber panas.
• Kulit memiliki kandungan air yang tinggi,' sehingga mengalami overheat
secara perlahan, dan sebaliknya juga mendingin secara perlahan.
'· • Panas akan terus menembus jaringan yang lebih dalam meski sumber
panas telah disingkirkan. Pendinginan yang segera setelah luka bakar dapat
mengurangi suhu kulit yang terkena panas, akan tetapi kurang bermanfaat
pada luka bakar yang luas.
• Daerah luka bakar terbagi 3: sentral (Zona Koagulasi),
tengah (Zona Stasis), dan luar (Zona Hiperemia).
• Perubahan mikrosirkulasi: penurunan aliran darah diikuti vasodilatasi
ar:teriol. Mediator endogen meningkatkan permeabilitas kapiler
yang menyebabkan edema dan hipoproteinemia. Hipoproteinemia
menyebabkan berpindahnya cairan ke jaringan interstisial.

PENILAIAN LUKA BAKAR


a. Anamnesis/Penyebabnya
b. Kedalaman
c. Luas luka

80
d. Lokasi
e. Usia.

ANAMNESJS/PENYEBABNYA
Luka bakar dapat disebabkan oleh api, cairan panas, bahan kimia, uap panas,
ledakan, dan sebagainya. Penting juga diketahui lamanya dan lokasi pajanan.
Konsumsi obat-obatan atau alkohol terakhir juga perlu ditanyakan. Mekanisme
cedera yang berhubungan juga perlu ditanyakan, misalnya ledakan, jatuh,
kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya .

KEDALAMAN LUKA BAKAR (Gambar 40)


Klasifikasi:
a. Derajat 1
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis. Kulit tampak kemerahan. Nyeri
hi lang dalam 48-72 jam. Sembuh tanpa cacat.

B. Derajat 2
Kerusakan mengenai seluruh epidermis disertai sebagian dermis, terasa
nyeri, kulit kemerahan, edematous, dan timbu l bulae. Luka bakar derajat 2
dibagi 2 jenis, yaitu :
• Superfisial,. Kulit kemerahan, edematous, timbul bulae, nyeri. Banyak
sel basal selamat, alat-alat di bagian dermis masih baik, pelebaran
pembuluh darah. Sembuh dalam 2 minggu dengan tanpa parut atau
parut minimal.

Derajat 1
Derajat 2
Dangkal

Derajat 2
Dalam

Derajat 3
GAM BAR 40. Kedalaman
luka bakar pada kulit,
dibagi atas derajat 1,
derajat 2 dangkal, derajat
2 dalam, dan derajat 3.

81
• Dalam. Kerusakan lapisan epidermis dan sebagian dermis, masih basah
tapi tampak pucat, nyeri kuran..9 dibandingkan derajat 2 superfisia l.
Dapat sembuh dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan disertai
jaringan parut.

c. Derajat 3
Kerusakan se luruh lapisan dermis atau lebih dalam. Tampak epitel
terkelupas dan, daerah putih karena koagulasi protein dermis. Derm is yang
terbakar akan mengering dan menciut disebut eskar. Tidak ada perfusi

GAMBAR41.
Luka bakar derajat 1.
[KIRI ATAS]
[KANAN ATAS] Derajat 2 dangkal.
[KIRI BAWAH] Derajat 2 dalam.
[KANAN BAWAH] Derajat 3.

darah dan tak ada sensasi rasa nyeri. Penyembuhan spontan tidak mungkin
terjadi.
Setelah minggu kedua tampak jaringan granulasi yang harus d itutup
dengan skin graft, bila dibiarkan akan terjadi kontraktur Qaringan parut yang
meneba l dan menyempit).

LUAS LUKA BAKAR


Persentasi dari total area permukaan tubuh yang terbakar (TBSA).
Untuk memudahkan perhitungan, satu telapak tangan pasi en adalah
± % % TBSA (Gam bar 42).

82 VN.1LH< PftAJ(llS lt.MI.IBEOAH Pt.ASTlK ltEKONSTRUKSI


Perhitungan berdasarkan "Rule of Nines" (Wallace):
• Kepala, leher : 9%
• Lengan, tangan : 2 x 9%
• Paha, betis, khaki : 4 x 9%
• Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9%
• Genitalia : 1%

Penilaian berbeda pada anak karena ukuran kepala-dada dan tungkai berbeda
Anak 5 tahun:
• Kepala : 14%.
• Tungkai, kaki : 16%.
• Bagian lain sama dengan dewasa.

Bayi 1 tahun:
• Kepala, leher : 18%.
• Tungkai khaki: 14%.
• Bagian lain sama dengan dewasa.

Cara perhitungan yang lain menggunakan Lund and Browder Chart, mungkin
lebih tepat, tapi sukar dipakai sebagai acuan dalam praktek sehari-hari
(Gambar 41).

GAMBAR42.
Menggunakan t elapak tangan untuk mengukur luas luka
bakar. Satu telapak tangan pend erita = 0.78% Total Body
Surface Area/TBSA (Amirsheybani HR, Crecelius GM,
Timothy NH, Pfeiffer M, Saggers GC, Manders EK. Plast ic
& Reconstructive Surgery. 107(3):726-733, Mar 2001).

PC'TlJN.JUK. NA!r"S ILMlJ ltDAH PL.u-JC REKONS1'R1... 83


IGNORE SIMPLE._ERYTHEMA

c c

IIIII DEEP

SUPERFICIAL

REGION %
HEAD
NECK
ANT. TRUNK
POST. TRUNK
RIGHT ARM
LEFT ARM
BUTIOCKS
GENITALIA
RIGHT LEG
LEFT LEG
TOTAL BURN

Persentase Luas Permukaasn Tubuh Berdasarkan Usia


AREA AGEO 10 1S ADULT

A • l> of Head 9.5 8.5 6.5 5.5 4.5 3.5


B • Y, ofThigh 2.75 3.~5 4.5 4.5 4.75
C - Y, of One Leg 2.5 2.5 2.75 3.25 3.25 3.5

GAMBAR43.
LUND AND BROWDER CHART

84
USIA
Luka bakar terjadi pada usia ekstrem dapat membawa morbiditas dan
mortalitas lebih besar. Perhatian terhadap usia <3 atau >60 tahun, karena
imunitas kurang dibanding usia lainnya .

LOKASI
Wajah dan leher, tangan, kaki dan Perineum (area primer) memerlukan
perhatian khusus.

PEMBAGIAN BERAT LUKA BAKAR


BERAT/KRITIS
• Derajat 2 lebih 25%
• Derajat 3 lebih dari 10% a tau terdapat di muka, kaki tangan
• Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak luas, atau fraktur
• Luka bakar akibat listrik.

SEDANG
• Derajat 2 :15-25%
• Derajat 3 kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan.

RINGAN
• Derajat 2 kurang dari 15%.

FAKTOR KO-MORBID
Penyakit kardiovaskuler, respirasi, renal, penyakit metabolik.

INDIKASI RAWAT INAP


• Usia 10-40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih dari 15% TBSA, luka bakar
derajat 3 lebih dari 3% TBSA
• Usia <1 0 tahun dan >40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih dari 10%
TBSA. setiap luka bakar derajat 3
• Luka bakar yang mengenai wajah , tangan, kaki, atau perineum
• Luka bakar sirkumferens ial di ekstremitas
• Luka bakar akibat listrik
• Luka bakar yang menyebabkan penderita tidak dapat merawat diri
sendiri atau tidak dapat menopang kehidupannya sendiri di rumah .

MANAJEMEN
1. Pertolongan Pertama
• Jauhkan dari s umber trauma

PE N UK PRAKTIS LM £\ED~ PLASTIK REKONSTR 85


• Bebaskan jalan nafas
• Perbaiki pernafasan
• Perbaiki sirkulasi
• Bilas dengan air mengalir terus menerus sampai pertolongan
selanjutnya yang memadai
• Penutup luka/t ubuh diganti dengan yang steril
• Pemberian analgetik dan prof ilaksis tetanus
• Ant ibiotika intravena profilaksis tidak diperlukan.

2. Perawatan Luka
• Cuci dengan larutan detergen encer, bilas dengan air mengalir (kran)
• Ku lit yang terkelupas dibuang, bulae jangan d ikel upas
• Bula utuh dengan cairan > 5 cc dihisap, < Sec dibiarkan
• Luka dikeringkan, d iolesi m ercurochrom atau SSD
• Perawatan terbuka atau tertutup dengan balutan
• Pasien dipindahkan ke tempat steril.

3 . Terapi cairan dan elektrolit


• Tujuannya unt uk memperbaiki sirkulasi dan mempertahankannya
• Bila, derajat 2/3 > 25%
• Bila, tidak dapat minum.

Menurut EVANS, perkiraan kebutuhan cairan sebagai berikut:


HARI1
BB x% luka bakar x 1 cc (elektrolit/NaCI)
BB x% luka bakar x 1 cc (Keloid)
2000cc Glukosa 10%.
HARI2
BB x % luka bakar x Y2 cc (elektrolit/NACL)
BB x % luka bakar x Y2 cc (Keloid)
2000cc Glukosa 10%
Monitor urine; Y2 -1 cc/jam.

• Pemberian disesuaikan dengan monitoring


• Yz vol. Diberikan 8 jam pertama sejak trauma
• Y2 vol sisa diberikan 16 jam berikutnya
• Monitor: kateter urine, CVP
• Monitor sirkulasi: Tensi, nadi, pengisian vena, pengisian kapiler,
kesadaran, Diurese, CVP, Hb dan Ht tiap jam

86
• Bila d iuresis < 1cc/kgBB 2 jam berturut-turut, tetesan dipercepat 50%
• Bila diuresis > 2cc/kgBB 2 jam berturut-turut, tetesan diperlambat 50%.

Menurut BAXTER, perkiraan kebutuhan cairan sebagai berikut:


HARI1 BB (kg) x 4 cc (RL).
HARI2 Koloid 500-2000cc + Glukosa 5% untuk maintenance.

4. N utrisi
• Cara pemberian: enteral dan parenteral
• Persamaan Harris-Benedict untuk kebutuhan kalori: kebutuhan kalori 24
jam= (25 kka l x kg BB) + (40 kkal x %TBSA)
• Protein: 2,5-3 g/Kg per hari (dewasa), 3-4 g/Kg per hari (anak)
• Pada pasien dengan luka bakar luas dapat dilakukan pemantauan kadar
prealbumin untuk memantau keadaan nutrisi pasien.

5. Eksisi dan graft


• Eksisi luka bakar secara tangensial dan graft dilakukakan setelah
hemodinamik stabil, biasanya dilakukan mulai hari ke 2-4
• Eksisi dilakukan lapis demi lapis hingga tercapai lapisan kulit yang masih
viable
• Sebelum dilakukan graft harus dilakukan debridement luka yang baik,
infeksi d iatasi, dan keadaan nutrisi harus baik.

KOMPLIKASI
• Parut yang sukar diperba iki
• Kontraktur
• Cacat tubuh
• Kematian.

PROGNOSIS Hasil terbaik tergantung pada ukuran luka bakar dan usia
pasien sendiri.
KONTRAKTUR AKIBAT LUKA BAKAR

DEFINISI Komplikasi serius pada luka bakar yang terjadi akibat reorganisasi
kolagen. Terjadi pada saat scartelah matang, menebal, dan akan mengencang
dan menahan gerakan. Kontraktur dibagi menjadi 2:
1. Kontraktur ekstrinsik: Parut yang berbat as tegas, menarik ja ringan
sekitar (kulit yang memendek). Membutuhkan pembebasan segera.
2. Kontraktur intrinsik: Kontraktur langsung dari suatu organ, misalnya
tendon. Butuh rekonstruksi khusus dalam pembebasannya.

PENYEBAB Parut sudah kering tapi belum matang. Akibat gerakan sendi
maupun gravitasi, kapiler baru pecah sehingga timbul perdarahan dan
penyembuhan luka yang mulai dari awal lagi . Jaringan fibrosa akan teballalu
mengkerut.

INDIKASI PENGOBATAN OPERATlF KONTRAKTUR


PRIORITAS PROSEDUR PEMBEDAHAN:
a . Penting: pembebasan pada fase akut untuk memelihara kehidupan
jaringan dan fungsinya. Contohnya pada kornea dan kartilago telinga.
b. Esensial: pembebasan untuk mengembalikan fungsi. Contohnya pada
kontraktur sendi.
c. Diinginkan: memperbaiki penampilan mendekati normal. Contohnya pada
rambut di kepala atau a lis .

..

GAMBAR 44. [KIRI) Kontraktur pada Aksila. [KANAN) Pasca release kontraktur de ngan flap da n gra ft.

88 ' J I'<WCTIS llMU B£0AH Pt.AST1K ""t<ONSTRUKS


GAMBAR45.
Balut tekan pada tungkai selama 1-2 tahun agar bekas luka tidak
kontraktur karena gravitasi.

MENCEGAH KONTRAKTUR
a. Balut tekan hingga lemas atau menggunakan pressure garment
b. Bidai 3 minggu dilanjutkan bidai di malam hari saja.

WAKTU OPERASI
a. Disarankan untuk menunda intervensi bedah setelah parut telah
sepenuhnya matang, biasanya 18-24 bulan setelah terbakar.
b. Operasi dapat dipercepat b ila terdapat masalah kelangsungan hidup
jaringan tubuh dan gangguan fungsi, contohnya pada kontraktur sendi
proksimal interfa lang.
c. Menunggu waktu operasi dapat mengganggu keadaan psikologis dan
pekerjaan pasien. Pertimbangkan untuk dilakukan konsultasi psikiatrik.
d. Kepastian waktu operasi disesuaikan dengan keadaan pasien.

89
METODE OPERAS!
PEMBEDAHAN UNTUK KON TRAKTUR
a. Dilakukan eksisi parut untuk merelease kontraktur sehingga gerakan sendi
bisa bebas
b. Luka ditutup skin g raft
c. Rekonstruksi dengan flap untuk menutup bekas parut tersebut.

TUJUAN
a. Memaksimalkan fungsi
b. Memfnimalkan kerusakan/kecacatan
c. Memp erbaiki penampilan.

GAM BAR 46. [KIRII Kontraktur pada


ekstremitas bawah. [KANAN! Pasca release
kontraktur dengan flap.

90 P ·TIJI"'IIJtJI( f'R,fd('flS M..MU llfDAH PlASTlK REfC.ONSTRUK51


Hipospadia

Ulkus Dekubitalis

Lesi Kuku: Ingrowing Toena il


HIPOSPADIA

DEFINISI Suatu kelainan bawaan di mana Meatus Uretra Eksternus terletak


di permukaan ventral penis dan lebih proksimal dari tempatnya yang normal
pada ujung penis. Hipospadia biasanya disertai bentuk abnormal penis yang
disebabkan adanya Chordee dan adanya kulit di bagian dorsal penis yang
relatif berlebih dan bagian ventral yang kurang.

EPIDEMIOLOGI Di AS terjadi pada setiap 300-350 ke lahiran bayi laki-laki


hidup. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainan nya dan makin
jarang frekuensinya.

POTENSJ PENYEBAB
a. Produksi androgen abnormal
b. Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada jaringan yang
berhubungan, misalnya tuberkulum genital
c. Estrogen dari lingkungan.

PATOFISIOLOGI
a. Lipatan uretra bisanya bergabung pada raphe di garis tengah, dari
perineum hingga glans. Hipospadia terjadi karena lipatan uretra gagal
menyatu secara lengkap.
b. Perkembangan dipengaruhi testosteron yang menginduksi virilisasi
genitalia eksterna.

KLASIFIKASI
Sesuai posisi meatus uretra eksterna
a. Anterior: Glanular, koronal, subkoronal.
b. Tengah: distal penile, midshaft, proximal penile.
c. Posterior: penoskrotal, skrotal, perineal.

GAM BAR 47. [KIRIJ Hipospadia tipe glanular. [TENGAH) Tipe penile. [KANAN) Tipe penoskrotal.

92 UNJUK P~AI<liS II.MU I DAH 1'\ASTIK II<KONSTR\IIC


DIAGNOSIS
Tanda/gejala Hipospadia yang khas:
Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian
ventral menyerupai meatus uretra eksternus.
Preputium tidak ada dibagian ventral, menumpuk di bagian dorsal.
Adanya Chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi Meatus dan
membentang ke distal sampai basis glans penis, teraba lebih keras dari
jaringan sekitar.
Kulit penis d i bagian ventral, distal dari meatus sangat tipis.
Tunika dartos, fasia Buch dan Korpus Spongiosum tidak ada.
Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada basis dari glans penis.
Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
Sering disertai undescended testis.
Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.

KELAINAN PENYERTA
1. Tidak ada yang spesifik, harus dicari misalnya atresip ani
2. Pembesaran prostatic utricle (1 0-15%). Hal ini menyulitkan kateterisasi
3. Intersex (9%), genitalia meragukan antara pria atau wanita
4. Undescended testis.

MANAJEMEN Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat


berkemih dengan normal, bentuk penis norma l, dan memungkinkan fungsi
seksual yang normal. Hasil pembedahan yang diharapkan adalah penis yang
lurus, simetris, dan memiliki Meatus Uretra Eksternus pada tempat yang
seharusnya, yaitu di ujung penis.

Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula,


Thiersch-Duplay, Dennis Brown, Cecil Culp.

A. TEKNIK TUNNELING SIDIK-CHAULA DILAKUKAN OPERASI 2 TAHAP.


1. Tahap pertama: release Chordee dan bisa sekaligus dibuatkan
terowongan yang berepitel pada glans penis
• Dilakukan pada usia 1Yz -2 tahun
• Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang
abnormal
• Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagial") dorsal dan
kulit penis.

2. Tahap kedua: dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut

93
sudah lunak
• Dibuat insisi paralel pada..tiap sisi uretra sampai ke glans, lalu dibuat
pipa dari kulit dibagian tengah
• Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit
preputium dibagian lateral yang ditarik ke ventral dan dipertemukan
pada garis median
Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas
luka operasi I telah matang.

B. TEKNIK HORTON DAN DEVINE, DILAKUKAN 1 TAHAP, dilakuka n pada


anak lebih b esar d engan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan
hipospadi jenis Dist al. Uretra dibuat dari flap Mukosa dan kulit bag ian dorsal
dan distal penis deng an pedikel kemud ian ditransfer ke Ventral.

KOMPUKASI
1. Fistula uretrocutaneous
2. Stenosis uretra
3. Striktur uretra
4. Twisted penis.


ULKUS DEKUBITALIS

DEFINISI Nekrosis atau Ulserasi akibat t ekanan yang lama, biasanya t erjadi
pada pasien yang mengalami imobilisasi.

EPIDEMIOLOGI Data di Amerika tahun 1994, Ulkus Dekubitalis terjadi pada


kurang lebih 10% pasien yang dirawat, di mana 60% di antaranya berusia di
atas 70 tahun.

ETIOLOGI
A. ETIOLOGI UTAMA
1. Tekanan
a. Tekanan kapiler normal 12-32 mmHg, bila tekanan jaringan lebih dari 32
mmHg, sirkulasi setempat menurun dan terjadi iskemi
b. Saat terlentang tekanan pada tum it dan sakrum mencapai 40-60 mmHg,
sedangkan saat duduk tekanan pada iskium dapat mencapai 100 mmHg
c. Semakin tinggi tekanan, semakin singkat waktu yang diperlukan untuk
terjadi iskemi
d. Meski tekanan melebih i tekanan kapiler, terjadinya Ulkus Dekubitalis
dapat dicegah dengan menghilangkan tekanan secara periodik (ubah
posisi setiap 2 jam).
2. Regangan: meregangkan pembuluh darah, menyebabkan trombosis
dan iskemi.
3. Gesekan: trauma mekanik pada epidermis saat pemindahan posisi pasien.
4. Kelembaban: menyebabkan maserasi, dapat t erjadi akibat lnkontinensia
atau infeksi, dan selanjutnya menjadi ulkus.

B. ETIOLOGI TAMBAHAN
1. Malnutrisi
2. Gangguan saraf sensoris (cedera daerah Vertebra)
3. lnfeksi pada luka
4. Usia
5. lmobilisasi
6. Penyakit sistemik: Diabetes Mellit us, merokok, penyakit pembuluh darah.

KLASIFIKASI Klasifikasi ulkus sesuai National Pressure Ulcer Advisory Panel


system di Amerika:
Stage I Eritema yang bertahan lebih dari 1 jam setelah tekanan
dihilangkan, kulit utuh
Stage II Kehilangan kulit partial thickness
Stage Ill Kehi langan kulit full thickness hingga subkutan tapi belum
mencapai fascia
Stage IV Kerusa kan m elewati fascia mengenai ot ot, tu lang, tendon,
atau persendian.

DIAGNOSIS Terdapat kemera han at au ulserasi pada pasien ya ng mengalami


imobilisasi. Pad a posisi terlentang biasanya terdapat d i sakrum dan tumit , pada
pasien posisi duduk sering terdapat di iskium dan t rokanter.

'
GAM BAR 48.
Lokasi ulkus dekubitalis yang paling sering.
Kiri pad a.Posisi supinasi (terlentang), kanan
pada pasien dengan posisi duduk.

MANAJEMEN
A. PENCEGAHAN:
1. Mengatasi faktor risiko utama
a. Hilangkan tekanan: pasien terlentang berubah posisi setiap 2 jam,
pasien duduk diangkat setiap 10 men it selama lebih dari 10 detik
b. Minimalkan ke lembaban dengan·sering mengganti pakaian dan seprai
c. Minimalkan regangan dengan penempatan posisi yang nyaman dan
sesuai
d. Minimalkan gesekan dengan cara pemindahan yang hati-hati.

96 .UK I'RAI<TIS tL111 8EDAH P\ASTIK MKONS11tVKS


2. Mengatasi faktor risiko sekunder
a. Obati infeksi
b. Perbaiki nutrisi, usahakan optimal
c. Hentikan rokok
d. Kendali gula darah pada pasien diabetes mellitus
e. Obati penyakit vaskular yang mungkin ada.

B. PENANGANAN ULKUS DEKUBITALIS


1. Pastikan ada yang mengubah posisi pasien secara berkala setiap 2 jam.
2. Ulkus Dekubitalis partial thickness
a. Atasi semua etiologi
b. Penutup luka, bisa dit ambah d engan silver sulfadiazin
c. Biasanya sembuh dalam 2-3 minggu secara konservatif.
3. Ulkus Dekubitalis full thickness
a. Atasi semua etiologi
b. Debridement untuk membuang semua jaringan mati
c. Penutup luka lemb ab-b asah, antibiotik bila infeksi, penutup oklusif
untuk luka pasca-debridement t idak terinfeksi, mengobati infeksi
jaringan lunak (debridement, drainase, antibiotik), mengobati bila
terjadi osteomielitis (debridement agresif, antibiotik sistemik), atau
p enggunaan Vacuum Assisted Closure pada luka decubitus t ertentu
d . Jaringan yang terbuka dapat ditutup dengan flap, atau pada kasus
sederhana bisa dengan graft (Gambar 49).

GAMBAR49.
Ulkus dekubita/is pada punggung dan sakrum-iskium.
[KIRI] Pra-operasi. [KANAN] Pasca skin graft pada daerah sakrum-iskium kanan. Pasien tidak
mengalami gangguan sensibilitas permanen.

GAM BAR 50.


Ulkus Dekubitalis pada sakrum-iskium. (KIRI] Pra-operasi. (KANAN ( Pasca operasi dengan
flap V-W advancement gluteus maksimus pada daerah sakrum .

98 lit REKONSTRUXII
LESI KUKU: INGROWING TOENAIL

DEFINISI Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih
dan melukai tepi jari.

EPIDEMIOLOGI Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol


kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya.

ETIOLOGI Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate


tumbuh lebih Iebar dari nail bed.

FAKTOR RESIKO
1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai jaringan lunak
waktu berdiri
2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan mudahnya
tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi
3. Sepatu yang terlalu sempit
4. Kebersihan kaki yang buruk
5. Pergerakan kaki yang salah
6. Deformitas di kaki .

PATOFISIOLOGI
1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi lateral nail
groove, kemudian bakteri dan jamur dapat masuk.
Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda asing dan menghambat
penyembuhan luka.

G AMBAR 51. INGROWING TOENAIL pada jari kaki kiri bagian medial, sampai ke bagian proksimal. Perlu
dilakukan operasi "nail plasty." Perhatikan pada gambar kiri, daerah yang mengalami inflamasi.
[TAMPAK DEPAN) penonjolan jaringan lunak tepi kuku akibat proses peradangan.

99
2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien tidak dapat
memotong seluruh kukunya ·dan menyisakan sisa kuku yang berbentuk
seperti duri yang disebut "fishhook nail". Keadaan tersebut menyebabkan
ingrowing toenail bertambah parah.

MANAJEMEN
1. Prinsip manajemen adalah menghilangkan dan mencegah adanya kuku
yang melukai sisi lat eral nail groove.

2. Bila ingrowing toenail pada bagian distal saja, maka dapat dilakukan
manajemen konservatif, diantaranya:
a. Mengganjal batas kuku dan lateral nail groove menggunakan kapas
yang diberi pelembab
b. Splinting mengunakan potongan selang i nfus yang diletakkan di antara
kuku dan lateral nail groove, dipertahankan selama 3-4 minggu
c. Abrasi untuk menipiskan permukaan kuku (kecuali bagian tepi) dapat
membuat kuku lebih fleksibel
d. Menarik lateral nail groove ke arah plantar dengan menggunakan
perekat kulitlplester.

3. Pada ingrowing toenail terjadi sampai bagian proksimal, maka dapat


dilakukan pembedahan (Gambar 52).

GAM BAR 52. NAI L PLASTY.


[KIRI ATASI Setelah anestesi blok
dan torniquet menggunakan
kasa yang dipe lintir, 3mm kuku
dipotong menanjang sampai
dengan nail fold. [KANAN ATASJ
Kuku patologis diambil. [KIRI
BAWAHJ Penjahitan kuku dan kulit
secara "through and through."
[KANAN BAWAHJ luka d iberi
antibiotik topikal dan ditutup
perban ketat melingkar. lstirahat
beberapa hari sangat membantu
proses penyembuhan.

100
:-.;\I 0.1\11 ~ Ll.ll
Sammer D. Tissue Injury and Repair: Skin Structure. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor.
Michigan Manual of Plastic Swrgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia 2004.
(Hal. 1-2)

l'l " " \h• IH'- l J.;'


Sam mer D. Tissue Injury and Repair. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan
Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia 2004. (Hat. 1-8/

.l:.llllll D \:\ 11·\lll TI ll PUll ROl l.


1. Darzi A, Chowdri A, Kaul K, et.al. Evaluation of various methods of treating keloids
and Hypertrophic Scars: a 10-year follow up study. Br J Plast Surg. 1992; 45:374-9.
2. Reiken R, Wolfert F, et.al. Control Hypertrophic Scar growth using Selectively Photo
Thermolysis. Lasers Surg Med. 1997; 21:7-12.
3. Rockwell WB, Cohen K, Ehrlich HP. Keloid and Hypertrophic Scars: A Comprehensive
Review. Plas Recons Surg. 1989; 84:827-37.
4. Ketchum LD, Robinson DW, et.al. Follow up on treatment of Hypertrophic Scars and
Keloids with Triamcinolone. Plas Recons Surg. 1971 ;48:256-9.
5. Blackburn WR, Cosman B. Histologic Basis of Keloid and Hypertrophic Scar
differentiation. Clinicopathologic Correlation. Arch Pathol. 1966;82:6S-71.
6. Cosman B, Cricklair GF, et.al. The Surgical Treatment of Keloids. Plas Recons Surg.
1961; 27:335-9.
7. Hudson U. Keloid and Hypertrophic Scar Compared. (Online). Dapat diakses di: www.
phudson.com/scar/keloidvhyper.html
8. Keloid and Hypertrophic Scars. AOCD. (Online). Dapat diakses di: www.aocd.org/
skin/dermatologic_diseases/keloid_and_hypert.html
9. Kantor J. Keloid. (Online). 2004. Dapat diakses di: www.nlm.nih.gov/medlineplus/
ency/article/000849 .htm
10. Manuskratti, W., Fitzpatrick, R. Treatment of Hypertrophic Scars and Keloid: A
Multifaceted Approach. (Online). Dapat diakses di: www.thaicosderm.org/med.topikl
keloidRX.htm

rfi\.:-.J I. I> \'> \R PI \ 111·1 >\It'


Trussler AP. Surgical Tecnoques and Wound Management. Dalam Brown DL, Borschel GH,
editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins.
Philadelphia 2004./Hal. 9·15/

'"'' r.~ l'"-"


Thorne AC. Local Anesthetics. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb
and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hat. 99-103/

"1\1 <,RAI I 1> \:\ 111\P


1. Chang E. Grafts. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic
Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. /Hal. 16-20/
2. Lynch J. Flaps. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic
Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. /Hal. 22-30/
3. Spector J, Levine J. Cutaneous Defects: Flap, Grafts, and Expansion. Current Therapy
in Plastic Surgery. Saunders, Philadelphia. 2006. (Hat. 11-20)
4. Perdanakusuma D. Skin Grafting. Airlangga University Press. Surabaya. 1998. (Hal. 7-27/
5. Smith JD, Pribaz JJ. Flaps. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ,
Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indicat ions, Operations, and Outcomes.
Mosby. St. Louis: 2000. (Hal. 261-290/
6. M atheus J, Foad N . Text book of application of Flap. 2nd ed. CV. Mosby Company,
St. Louis. 1998. (Hal. 585-1>09/
7. Grande D. Skin Grafting. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: www.emedicine.
com/derm/topic867 .htm
8. Hart JP. Skin Graft. (Online). 6 Okt 2005. Dapat diakses di: www.nlm.nih.gov/
medlineplus/ency/article/002982.htm

1\HHH \111-.RO
1. Borschel GH. M icrosurgery. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual
of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 38-431
2. 5henaq SM, Sharma SK. Principles of Microvascular Surgery. Dalam Aston SJ, Beasley
RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven.
Philadelphia: 1997. (Hal. 73-771

"lt,ROI IIIR0\1'
1. Petro A. Benign Skin Lesions: Neurofibroma. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor.
Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004.
(Hal. 78]
2. Zarem HA, Lowe NJ. Benign Growth and Generalized Skin Disorders. Dalam Aston
SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5.
Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hal. 150-15 1)
3. Alphen, HAM. Tumor Susunan Saraf. Onkologi. Edisi 5. Panit ia Kanker RSUP dr.
Sardjito. Yogyakarta.1999. (Hal. 565-87]
4. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.usc.edu/hsddental/opath/cards/
neurofibroma.html
5. Neurofibroma. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: http:/len.wikipedia.org/wiki/
neurofibroma
6. Neurofibroma. Chilren's Hospital Boston. (Online). Dapat diakses d i: www.
childrenshospital.org/az/site 1085/printerfriendlypageS1 085PO.html
7. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.maxillofacialcenter.com/bondbookl
softtissue/neurofib.html

"' \l.i~
Netscher D, Spira M, Cohen V. Benign and Premalignant Skin Lesion: Tumors of
Melanocyte System . Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell
RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St.
Louis: 2000. (Hal. 305-307]

111'0.\1.-\
1. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004.
2. American Family Pysician. Lipoma Excision. (Online). 1 Mar 2002. Dapat diakses d i:
http://www.aafp.org/afp/20020301 /901.html
3. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://www.maxillofacialcenter.com/BondBookl
softtissue/lipoma.html
4. Lipoma--Topic Overview. (Online). Dapat diakses di: http://www.webmd.comlhw/skin_
and_beauty/tp21226.asp
5. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://www.mayoclinic.com /health/lipoma/
DS00634

FIBROMA
Cather JC. Papule on the dorsal foot. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2006;19:151-152.

"--STA ATEROMA
Pieter J ., Prasetyono TO H, Bisono, Halimun M . Kista. Dalam Sjamsuhidajat, DeJong W.
Buku Ajar llmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta 2005. (Hal. 3211

KARSINOMA SLL BASAl.


1. Casson P. Basal Cell Carcinoma. Clin Plast Surg. 1980; 7:301-31 1.
2. Neering H, Kroon B. Tumor Kulit. Onkologi. Panitia Kanker RSUP dr Sardjito.
Yokyakarta·. 1996. h. 448-452.
3. Flemming ID, Amonette R, Monaghan T, et.al. Principles of management of basal and
Squamous Cell Carcin_oma of the Skin. Cancer. 1995. 75:699-704.
4. Richmond JD, Davie RM. The Significance of lncomplex excision in Patients with Basal
Cell Carcinoma. Br J Plast Surg. 1987. 40:63-67
5. Riefkohl R, Pollack, et.al. A rationale for the Treatment of Difficult Basal Cell and
Squamous Cell Carcinoma of Skin. Ann Plast Surg. 1985. 15:99-104
6. Wilkinson J, Shaw S, et.al. Tumour (Basal Cell Carcinoma). Dermatology in Focus.
Elsevier Churchill Livingstone. Edinburg. 2005.p.130.
7. Breuninger K, Dietz. Prediction of Subclinical Tumor Infiltration in Basal Cell
Carcinoma. J Dermatol Surg Oneal. 1991. 17:574-57

I \ ,J 0\ I \ '' I \t-. l 10\ \


Hedrick MH, Lorenz HP, Miller TA. Malignant Skin Conditions. Dalam Achauer BM,
Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery:
Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. (Hal. 315-324/

1. Janiga TA. Malignant Skin and Soft Tissue Lesions. Dalam Brown DL, Borschel GH,
editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia:
2004. (Hal. 61-73/
2. Mecht SD. Melanoma. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ,
Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes.
Mosby. St. Louis: 2000. (Hal. 325-355/

I 1\ l l I I
1. Cavaliere CM. Vascular Anomalies. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan
Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 80.81/
2. Mulliken JB. Vascular Anomalies. Da lam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor.
Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997.
(Hal. 191-196/
3. Dufresne CR. The Management of Hemangiomas and Vascular Malformations of the
Head and Neck. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby.
St.Louis. 2000. (Hal. 973-995/
4. Kantor J. Hemangioma. University of Maryland Medical Centre. (Online). 2004. Dapat
diakse~ di: www.umm.edu/ency/article/001459.htm
'•

ttl·~ 0:-i' IIH 1\\1 Kl-1 \1 "UJ \ll t-. \


Brown DL, Borschel GH. Facial Reconstruction (Section). Dalam Brown DL, Borschel GH,
editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia 2004.
(Hal. 109-34}

\1
1. Enwonwu CO, Falkler WA Jr, ldigbe EO, Afolabi BM, Ibrahim M, Onwujekwe D, dkk.
Pathogenesis of Cancrum Oris (Noma): Confounding Interactions of Malnutrition with
Infection. Am. J. Trap. Med. Hyg., 60(2), 1999, (Hal. 223-232/
2. Bourgeois DM, Diallo B, Frieh C, Leclercq MH. Epidemiology of the incidence of oro-
facial noma: a study of cases. Am. J . Trop. Med. Hyg., 61 (6), 1999, {Hal. 909-913/
3. Devi SR, Gogoi M. Aesthetic restoration of fa cial defect caused by cancrum oris: A case
report. Indian Journal of Plastic Surgery, Vol. 36, No. 2, Dec, 2003, (Hal. 13 1-133/

l I{ \l \1111 l
1. Jeffers LC. Cleft Lip. Dalam: Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of
Plastic Surgery. Philadelphia: Lippincott-Williams&Wilkins; 2004. (Hal 151-9/
2. La Rossa D. Unilateral Cleft Lip Repair. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron
B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications,
Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. {Hal. 755-67/
3. Afifi GY, Hardesty RA. Bilateral Cleft Lip. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron
B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications,
Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. {Hal. 769-97/
4. Grayson BH, Santiago P. Presurgical Orthopedics for Cleft Lip and Palate. Dalam:
Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plast ic Surgery. Ed. 5.
New York: Lippincott-Raven; 1997. {Hal. 237-44/
5. Byrd, HS. Unilateral Cleft Up. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor.
Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed . 5. New York: Lippincott-Raven; 1997.
{Hal. 245-253/
6. Cutting CB. Primary Bilateral Cleft Up and Nose Repair. Dalam: Aston SJ, Beasley RW,
Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: Lippincott-
Raven; 1997. {Hal. 255-263/
7. Behrman. Nelson Pediatrics. 2000 . {Hal. 1111-1112/
8. Kirschner. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1191-215
9. Weintraub. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1171 -89
10. Cleft Lip Cleft Palate. (Online). Dapat diakses di: www.fpnotebook.com/ NIC7.htm

ll "\ \l \II' I~<.


1. Cavaliere CM. Craniosynostosis and Craniofacial Syndromes. Dalam Brown DL,
Borschel GH, editor. Michigan Manua l of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins.
Philadelphia: 2004. {Hal. 165-173/
2. Kawamoto Jr HK. Craniofacial Cleft. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor.
Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997.
/Hal. 349-363/
3. Argenta LC, David LR. Craniofacial Clefts and Other Related Deformities. Dalam
Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell RC, VanderKolk CA.
Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. {Hal.
741-754/

l\1\11 It Ill\'\< .\ 111\.\


1. Manson PN. Facial Fractures. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb
and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia : 1997. {Hal. 383-406/
2. Edward SP. Facial Trauma. Dalam Brown DL, Borschel GH, edit or. Michigan Manual of
Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. {Hal. 174/
3. Mas'ud AF, Sudjatmi ko G, Prasetyono T, Susanto I. Association beetwen Facial Bone
Fracture and Traumatic Bone Inj ury. Makalah PIT Bali 2006. Divisi Bedah Plastik RSCM.
Jakarta. 2006
4. Richardson ML. Facial and Mandibular Fractures. University of Washington School of
Medical. (Online). 2000. Dapat diakses di: www.rad.washington.edu/mskbooklfacialfx.
html
5. Darmadiputra, Bisono, et.al. Fraktur Tulang Wajah. Buku Ajar llmu Bedah. Ed.2. EGC.
Jakarta. 2003. {Hal. 337-339/
6. Setiamihardja S. Trauma/Fraktur Tulang Muka. Kumpulan Kuliah llmu Bedah. FKUI
Bag. llmu Bedah RSCM. 1995{Hal. 425-7/
7. Dolan KD, Jacoby CG, et.al. The Radiology of Facial Fractures Radiographies.
1984;4:575-663.
8. Facial Fracture Symptoms. (Online). Dapat diakses di: www.emedicinehealth.com/
facial_fracture/page3_em.htm
9. Harris, Troetscher. Face and Mandible. (Online). Dapat diakses di: www.uth.tmc.
edu/radiology/test/er_primer/face/facetxt.html
10. Mitchell, B. Maxillofacial Trauma . Gale Encyclopedia of Medicine. (Online). Des 2002.
Dapat diakses di: www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/maxillofacial_trauma.jsp
11 . Facial Bone Fracture. (Online). Dapat diakses di: www.health_care_clinic.org/injuries/
facial-bone-fracture.ht m

P£1UNJUK "'AI<TtS II:MU llfi)At4 rLASTII( II£~0N<Tl 1 OS


l.UKA 1\.U, \U
1. , Pacella, S. ~ul;l! Bu!ns. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of
• • Plastic Surgery. Lipptr;cott W illiams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 380-386}
,.·: 2. 5etiamihardja S. Luka bakar. Kumpulan Kuliah llmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995.
1 1 (Hal. 435-40} •
1
I 3.
About Burn Injuries. (Orji'\_e). Dapat diakses di: www.burn_recovery.org/injuries.htm
.• 1 Burns management. (O~Ii ~). Dapat diakses di: www.health.nsw.gov.au/public_health/
4.
J J\ burns/burnsmgt.pdf . : .r
1 , \ 5. Www.brnj.bmjjournalsoq:>m6cgi/contentlfull/329/7460/274?etoc.
t'··~\J ~-~~sacflUs~ l{ljwry ~eporting System. 2001 . Annual Report. (Online). Dapat
;t · ' ,- diakl~ di: 'www.ma"!~!fov/jJ fslosfm/firedata/mbirslmbirs_2001 ar.pdf
• • \ 7. wwvtmecl,scape.corrfvievt3rticle/535519?rss
:;. ' \ B. ~-~"Ur;r~~rtoa1i~:~om/pic.asp?icat=6&ipic•7
\.~~~I It ;:··,f R -:-. ' ' ; }
· :"" flarr . Burn lre,eo'?Struction. British Medical Journals. 31 July 2004; 329; 274-276.
: :2.\ 'WoJ! r G. B ~e~nstruction. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan

~
an c ~u~ery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 390-396}
. B' • ~ctiojl> (Online). Dapat diakses di: www.btinternet.com/-bmphilp/
• eburn i'lrn_re~~struction.html
_;
H lJ.!~ • •
1. Coleman DJ, Banwell PE. Hypospadias. In Mathes SJ, editor, Plastic Surgery. 2nd ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia. 2006. [Hal. !259-!2791
2. Hollenbeck BK. Nelson CP. Hypospadias. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor.
Michigan Manual c;>f Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004.
(Hal. 372-374}
3. Horton Sr CE, Horton Jr CE, Devine CJ Jr. Hypospadias, Epispadias and Exstrophy
of the Bladder. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's
Plastic Surgery: Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hal. !!Ol-1lOS}
4. Baskin, LS. Hypospadias. Anatomy, Embryology and Reconstructive Techniques.
University of California. USA. (Online) 2000. Dapat diakses di: www.brazjurol.com.
br/novembro/ baskin_621 _629 .htm
5. Sastrasupena, H. Hipospadia. Kumpulan Kuliah llmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995.

..
~.
6.
(Hal. 428-434}
Www.mercksource.com/pp/us/cns
7. Soomro, NA., Neal, DE. Treatment of Hypospadias: an Update of Current Practice.
Hosp Med. 1998; 59:553-556. '
8. Hypospadias. Www.surgicaltutor.org.ukldefaulthome.htm? system/hnep/hypospadias.
htm-right.
9. www.pennhealth.com/. ../hypospadiasrepair_4.html

1:-\G ltO~ 1:\:(, I< I '\\II


Krull EA. Toenail Surgery. Dalam Krull EA, Zook EG, Baran R, Haneke E, editor. Nail
Surgery, A Text and Atlas. Philadelphia: Lippincott-Williams&Wilkins; 2001. (Hal. !35-!6!]

106

Anda mungkin juga menyukai