LP TF Fix Jadi
LP TF Fix Jadi
Disusun Oleh:
18310126
Mahasiswa
C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Thposa/Eberthela
Thyposa yang merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora,
hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah
sedikit serta mati pada suhu 700C dan antiseptik. Salmonella Thposa memiliki
ciri:
1. Terdiri dari basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, serta tidak
berspora
2. Mempunyai sekurang - kurangnya tiga macam antigen, yaitu:
a) Antigen O:
Ohne Hauch (somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida)
antigen ini tidak menyebar ada dalam dinding sel kuman.
b) Antigen H:
Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil
c) Antigen Vi:
Kapsul merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
O antigen terhadap fagositosis.
Ketiga jenis antigen ini terdapat pada tubuh manusia yang akan
menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (zat anti)
(Susilaningrum, Nursalam, dan Utami, 2013).
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika disbanding
dengan orang dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10—20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodmol, yaitu perasaan tidak enak badan,
lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala klinis yang lain,
yaitu:
1. Demam
Demam lebih dari 7 hari. Pada kasus-kasus tertentu, demam
berlangsung selama 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak
seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga, suhu badan
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan saluran pencernaan.
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue, lidah
tifoid), ujung dan tepinya kemerehan, jarang disertai tremor. Pada
abdomen terjadi splenomegali dan hepatomegali dengan disertai nyeri
tekan dan kemudian mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Biasanya didapatkan kondisi konstipasi, kadang diare,
mual, dan muntah.
3. Gangguan kesadaran.
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau
gelisah.
4. Pada punggung terdapat roseola (bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam).
5. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam thypoid, akan
tetap berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua
setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut
teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak
dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
Soedarto (2017) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang
umum ditemui pada penderita demam typhoid biasanya disebut febris remitter
atau demam yang bertahap naiknya dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan
lingkungan dengan perincian :
1. Minggu pertama, demam lebih dari 40°C, nadi yang lemah bersifat
dikrotik, dengan denyut nadi 80-100 per menit.
2. Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah
tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan
limpa dapat diraba.
3. Minggu ketiga, jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan
keluhan berkurang. Jika keadaan memburuk : penderita mengalami delirim
,stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi inkontinensia alvi dan urine.
Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut meningkat,
disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal
dunia akibat terjadinya degenerasi mikardial toksik.
4. Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami
penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya
pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
E. Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus (Mansjoer, 2011). Setelah mencapai usus, salmonella typhosa
menembus ileum dan ditangkap oleh sel mononukler . Satelah menyebabkan
peradangan dan nekrose setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke
aliran darah (terjadi bakteremi primer) menuju ke organ-organ terutama hati
dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak dalam hati dan
limfa sehingga organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada akhir masa inkubasi (5—9 hari) kuman kembali masuk dalam darah
(bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam
kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas
Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi
usus. Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang
mempunyai peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini
berkembang.
Imunologi humoral local, diusus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi
mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik,
diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis salmonella oleh
makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh salmonella intraseluler.
Bakteri salmonella typhy (S typhi) dan salmonella paratyphi (sparatyphi)
masuk kedalam tubuh melalui makanan dan minuman yang sudah tekontamisa
oleh bakteri tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus selanjutnya akan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus halus kurang baik maka bakteri
akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya kelamina propia.
Dilamina propia bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosis
terutama oleh makrofak, kemudian bakteri yang hidup dan berkembang biak
di dalam makrofak di bawa ke plague peyeri ileum distal selanjutnya ke
kelenjar getah bening. Kemudian melalui duktus torasiklus bakteri didalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakiibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ retukuloendotelial
tubuh terutama organ hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri akan
meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel dan
selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan
bekterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik, didalam hati kuman masuk kendung empedu, berkembang
biak bersma cairan empedu diekresikan secara “intermitten” kedalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
kedalam sirkulasi setelah menmbus usus, proses yang sama akan terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivitasi dan hiperaktif maka saat
fagosistosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberpa mediator imflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti:
demam, malais, myalgia, sakit kepala, sakit perut instabilitas vaskuler,
gangguan mental dan koagulasi.
F. Pathway
Saluran pencernaan
Typhoid fever
H. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah pada usus halus, tapi jarang terjadi.
Apabila komplikasi ini dialami oleh seorang anak. Dapat berakibat fatal.
Gangguan pada usus halus ini dapat berupa berikut ini:
1. Perdarahan usus.
Bila sedikit, hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak maka terjadi melena yang dapat disertai
nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan
2. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dapat terjadi pada
bagian distal ileum.
3. Peritonitis
Biasanya disertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut. Yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defens muscular) dan nyeri tekan.
I. Penatalaksanaan
1. Tirah baring atau bed rest.
2. Cairan dan kalori
a. Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare bila perlu asupa
cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung
b. Pada ensolopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah
c. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskuler dan jaringan
d. Pertahankan fungsisirkulasi dengan baik
e. Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berika O2
f. Diit
1) Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
2) Setelah demam reda, dapat segera diberikan mkanan yang lebih
padat dengan kalori cukup
3. Obat-obat :
a) Antibiotik:
1) Kloramfenikol 50—100 mg/kgBB/hari, oral atau IV dibagi dalam
4 dosis selama 10—14 hari.
2) Kotrimoksasol 6 mg/kgBB/hari, oral dalam 10 hari
3) Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari , oral diberikan selama 10 hari.
4) Seftriakson 80 mg/KgBB/hari, intravena atau IM sekali sehari
selama 10 hari
5) Sefiksim 10 mg/kgBB/hari oral dibagi dalam dua dosis diberikan
selama 10 hari.
6) Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan
kesadaran
7) Dexametason 1—3 mg/KgBB/hari IV dibagi 3 dosis hingga
kesaaran membaik
a) Antipiretik diberika apabila demam > 39 oC, kecuali pada
pasien dengan kejang demam dapat diberikan lebih awal.
b) Vitamin B kompleks dan vitamin C
4. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam.
J. Fokus Pengkajian
a. Identitas klien.
b. Riwayat Keperawatan.
1) Keluhan utama.
Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apatis sampai
somnolen, dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau
tegang dan nyeri pada perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja
berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Ingesti makanan yang tidak dimasak misalnya daging, telur, atau
terkontaminasi dengan minuman.
3) Riwayat penyakit dahulu.
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun
menurun.
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita
demam tifoid dan menularkan kepada janin melalui darah. Umumnya
bersifat fatal.
5) Riwayat kesehatan lingkungan.
Demam tifoid saat ini terutama ditemukan di negara sedang
berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesehatan
lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Pengaruh cuaca
terutama pada musim hujan sedangkan dari kepustakaan barat
dilaporkan terutama pada musim panas.
6) Imunisasi.
Pada tifoid kongenital dapat lahir hidup sampai beberapa hari dengan
gejala tidak khas serta menyerupai sepsis neonatorium.
7) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
8) Nutrisi.
9) Gizi buruk atau meteorismus
c. Pemeriksaan fisik.
1) Sistem kardiovaskuler.
Takikardi, hipotensi dan shock jika perdarahan, infeksi sekunder atau
septikemia.
2) Sistem pernapasan.
Batuk nonproduktif, sesak napas.
3) Sistem pencernaan.
Umumnya konstipasi daripada diare, perut tegang, pembesaran limpa
dan hati, nyeri perut pada perabaan, bising usus melemah atau hilang,
muntah, lidah tifoid dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor,
mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah.
4) Sistem genitourinarius.
Distensi kandung kemih, retensi urine.
5) Sistem saraf.
Demam, nyeri kepala, kesadaran menurun : delirium hingga stupor,
gangguan kepribadian, katatonia, aphasia, kejang.
6) Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Nyeri sendi
7) Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
8) Sistem integumen.
Rose spot dimana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada dan
perut, turgor kulit menurun, membran mukosa kering.
9) Sistem pendengaran.
Tuli ringan atau otitis media.
10) Sistem penciuman.
d. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
1) Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
2) Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fosfat alkali
meningkat.
3) Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu
berikutnya menurun.
4) Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
5) Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang
memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H
meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200
menyokong diagnosis.
K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang biasa muncul yaitu :
1. Kekurangan volume cairan b/d kekurangan intake cairan.
2. Hipertermia b/d proses penyakit.
3. Nyeri akut b/d agen cidera biologis.
L. Fokus Intervensi
Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil Intervensi
Kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan Fluid management
cairan b/d kekurangan keperawatn …x24 jam, masalah 1. Berikan minuman per oral sesuai toleransi
intake cairan resiko tinggi kekurangan cairan 2. Atur pemberian cairan per infus sesuai order
klien dapat teratasi dengan criteria 3. Kaji tanda-tanda dehidrasi
hasil: 4. Hitung balance cairan klien
5. Ukur semua cairan output (muntah, diare, urine, ukur
Fluid balance
semua intake cairan.)
1. Keseimbangan cairan
Hydration management
terpenuhi
1. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
Hydration
2. Monitor turgor kulit klien
1. Integritas kulit baik
3. Kaji mukosa bibir
2. Mukosa bibir lembab
4. Kaji integritas kulit
3. Akral hangat
5. Kaji capillary refill klien
4. Capilarry refill < 3 detik
Hipertermia b/d proses Setelah dilakukan tindakan Fever Treatment
penyakit keperawatn …x24 jam, masalah 1. Monitor suhu sesering mungkin
hipertermia klien dapat teratasi 2. Monitor IWL, BC, warna dan suhu kulit
dengan criteria hasil: 3. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Thermoregulation 4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
Kriteria hasil: 5. Monitor intake dan output
1. Suhu normal (36,50C- 6. Lakukan tapid sponge
37,50C) 7. Kolaborasi pemberian obat dengan dokter untuk
2. Tidak terjadi kejang menurunkan demam klien
demam Temperature regulation
3. Kulit dingin dan bebas 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
dari keringat berlebihan 2. Monitor TD, nadi, dan RR, suhu
3. Monitor warna dan suhu kulit
4. Monitor tanda-tanda hipertermia
5. Berikan antipiretik jika perlu
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD, HR, RR dan Temperatur
2. Monitor kualitas dari nadi
3. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan tindakan Pain Management
cedera biologis keperawatn …x24 jam, masalah 1. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
nyeri akut klien dapat teratasi termasuk lokasi, karakteristik, kapan dimulain atau
dengan criteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, intensitas dan faktor
Pain Control pencetus
1. Mengenali awitan nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
2. Menggunakan tindakan 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
pencegahan mengetahui pengalaman nyeri klien
3. Melaporan nyeri dapat 4. Kontrol lingkungan yang dapat memperburuk nyeri
dikendalikan misalnya suhu ruangan atau kebisingan
4. Skala nyeri 0 5. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
5. Tanda – tanda vital dalam nonfarmakologi dan interpersonal)
batas normal 6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
7. Gunakan kontrol nyeri sebelum nyeri bertambah berat
DAFTAR PUSTAKA