TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Thalasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan
pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara 1925-
1927. Kata thalasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut dengan
penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut. Dalam 30 tahun
terakhir persebaran penyakit thalasemia di Mediterania mengalami perubahan pola
penyakit yang bermakna. Peningkatan kebersihan dan pelayanan kesehatan
menyebabkan penyakit infeksi dan malnutrisi berkurang. Thalasemia merupakan
kelainan sintesis hemoglobin heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih
rantai globin. Pada penderita thalasemia, hemoglobin mengalami penghancuran
(hemolisis). penghancuran terjadi karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin
atau rantai globin. Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yang merupakan 98%
dari seluruh hemoglobinya. HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada bayi baru
lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%) [ CITATION Has07 \m
Placeholder1 \l 1057 ].
1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat frekuensi peyakit sangat bervariasi, tergantung dari
populasi etnis. Beta Thalassemia biasanya terjadi pada penduduk di daerah
Mediterenia, Afrika, dan Asia Tenggara.Di dunia penyakit ini paling banyak
ditemukan di daerah Mediterenia, Afrika, dan Asia Tenggara, mungkin sebagai
asosiasi adaptif terhadap malaria endemik. Frekuensi penyakit pada daerah ini
mencapai 10% (Kenichi ,2002).
Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka
ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia
(Permono & Ugrasena, 2012).
Gen beta thalassemia terjadi di seluruh dunia, meskipun paling sering terjadi
pada masyarakat Mediterenia, Afrika, dan Asia Tenggara. Pasien dari Mediterenia
akan lebih cenderung anemia dengan thalassemia trait dari pada masyarakat Afrika
karena memiliki beta-zero thalassemia dan bukan beta-plus thalassemia. Gangguan
genetik pada masyarakat Mediterenia disebabkan oleh mutasi yang menyebabkan
tempat sambungan yang tidak normal atau sebuah mutasi menciptakan suatu kodon
penghentian translasi premature. Penduduk Asia Tenggara juga mempunyai
prevalensi Hb E dan alpha thalassemia yang signifikan. Penduduk Afrika biasanya
memiliki gangguan genetik lebih tinggi yang menyebabkan alpha thalassemia
(Kenichi, 2002).
Gangguan genetik ini disebabkan abnormalitas pada gen beta-globin, yang
terletak pada kromosom 11. Hal ini bukan merupakan sifat genetik yang terkait
dengan jenis kelamin. Manifestasi penyakit mungkin tidak jelas hingga dapat terjadi
perubahan seluruhnya dari sintesis Hb dari janin ke dewasa. Perubahan ini biasanya
terjadi pada enam bulan setelah kelahiran (Kenichi, 2002).
1.3 Patofisiologi
Hemoglobin terbuat dari dua unsur protein yang berbeda, yang disebut globin
alpha dan beta. Pembuatan protein globin tersebut, berada pada bagian kromosom
yang berbeda. Jika ada kesalahan pada kromosom gen, maka akan terjadi penurunan
produksi dari gen tersebut.
Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin dalam
ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung. Satu molekul
hemoglobin mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit tersusun atas satu
molekul globin dan satu molekul heme.
Globulin terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida, yaitu sepasang rantai α dan
sepasang rantai non alpha (β,γ,δ). Kombinasi rantai polipeptida tersebut akan
menentukan jenis hemoglobin. Hb A (2α2β) merupakan lebih dari 96 % Hb total, Hb
F (2α2γ) kurang dari 2% dan Hb A2 (2α2δ) kurang dari 3%. Pada janin trisemester III
kehamilan hampir 100% Hb adalah Hb F. Setelah lahir, sintesis globin γ makin
menurun digantikan oleh globin δ.
Rantai polipeptida α tersusun atas 141 asam amino, sedangkan rantai non α
tersusun atas 146 asam amino. Sintesis rantai α disandi oleh gen α1 dan gen α2 di
kromosom 16, sedangkan gen yang mensintesis rantai β, rantai γ dan rantai δ terletak
di kromosom 11. Pada orang normal sintesis rantai α sama dengan rantai non alpha.
Thalasemia akan terjadi bila sintesis salah satu rantai polipeptida menurun.
Struktur kimia hemoglobin memungkinkan molekul hemoglobin memiliki
kemampuan untuk mengikat oksigen secara reversible. Zat besi dalam molekul heme
secara langsung berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin memiliki struktur
kuartener empat rantai polipeptida, masing-masing dengan satu tempat pegikatan
oksigen. Sehingga satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen.
Hemoglobin yang merupakan suatu protein, disintesis berdasarkan informasi genetik.
Masing-masing polipeptida penyusun Hb berbeda dalam urutan asam aminonya.
Dengan demikian ada beberapa lokus gen terpisah dalam kromosom yang mengatur
sintesis rantai polipeptida dari hemoglobin (Yaish, 2010).
Lokus α β γ δ
Genotip
1.4 Klasifikasi
Thalasemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang
heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.
Terdapat 3 tingkatan klasifikasi thalasemia. Secara klinis dibagi menjadi 3
grup [ CITATION Per12 \l 1057 ] :
- Thalasemia mayor sangat tergantung pada transfusi
- Thalasemia minor/karier tanpa gejala
- Thalasemia intermedia
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas [ CITATION Has07 \l
1057 ]:
- Thalasemia α (gangguan pembentukan rantai α)
- Thalasemia β (gangguan pembentukan rantai β)
- Thalasemia β – δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gennya diduga
berdekatan)
- Thalasemia δ (gangguan pembentukan rantai δ)
Sebagaimana telah disebutkan di atas, secara garis besar terdapat dua tipe
utama thalasemia yaitu α thalasemia dan β thalasemia. Selain itu juga terdapat tipe
thalasemia lain seperti thalasemia intermediate.
Thalasemia-α
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin-α banyak
ditemukan di Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi
gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin-α
pada individu normal, dan empat bentuk thalasemia-α yang berbeda telah diketahui
sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini (Bleibel, 2009).
Tabel 3.2 Thalasemia-α
Genotip Jumlah gen α Presentasi Hemoglobin Elektroforesis
Saat Lahir > 6 bulan
Klinis
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb Barts N
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb N
–α/-α Barts
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Hb H
Bart
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -
Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4
a. Silent carrier thalasemia-α
- Merupakan tipe thalasemia subklinik yang paling umum, biasanya ditemukan
secara kebetulan diantara populasi, seringnya pada etnik Afro-Amerika.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 gen α yang terletak pada
kromosom 16.
- Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16 menghilang,
menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat secara hematologis,
hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel darah merah) yang rendah dalam
beberapa pemeriksaan.
- Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan
elektroforesis Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa
juga dicari akan adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga (misalnya
orangtua) untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap pada salah
satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia dan mikrositosis tanpa
penyebab yang jelas merupakan bukti yang cukup kuat menuju diagnosis
thalassemia (Bleibel, 2009).
b. Trait thalasemia-α
- Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah
yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α pada satu
kromosom 16 atau satu gen α pada masing-masing kromosom. Kelainan ini
sering ditemukan di Asia Tenggara, subbenua India, dan Timur Tengah.
- Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (γ4) dapat
ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak
terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal (Bleibel, 2009).
c. Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α,
merepresentasikan thalasemia-α intermedia, dengan anemia sedang sampai
berat, splenomegali, ikterus, dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada
sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital akan
tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb H) yang
tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga menampilkan
gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai Heinz bodies
(Bleibel, 2009).
Gambar 8. Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H yang
menunjukkan Heinz-Bodies
d. Thalasemia-α mayor
- Bentuk thalasemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen
globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama sekali.
- Karena Hb F, Hb A, dan Hb A 2 semuanya mengandung rantai α, maka tidak
satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4) mendominasi pada bayi yang
menderita, dan karena γ4 memiliki afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi-
bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung sejumlah
kecil Hb embrional normal (Hb Portland = ζ 2γ2), yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen.
- Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang lahir
hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan
gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup dengan
manajemen neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung dengan
transfuse (Bleibel, 2009).
Thalasemia-β
Sama dengan thalasemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalasemia-β;
antara lain :
Gambar 11. Deformitas tulang pada thalasemia beta mayor (Facies Cooley)
- Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau
tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang
disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung,
termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh
siderosis miokardium sering merupakan kejadian terminal.
- Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalasemia-β° homozigot yang
tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis
berat, banyak ditemukan poikilosit yang terfragmentasi, aneh (sel bizarre) dan
sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama
setelah splenektomi. Inklusi intraeritrositik, yang merupakan presipitasi
kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb turun secara
cepat menjadi < 5 gr/dL kecuali mendapat transfusi. Kadar serum besi tinggi
dengan saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding capacity). Gambaran
biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi dalam
eritrosit (Takeshita, 2010)
Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit Packed Red
Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada echokardiogram (ECG) hanya
ditemukan sedikit penebalan pada dinding ventrikel kiri, dan elektrokardiogram
(EKG) dalam 24 jam normal.
Stadium II
Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC dan
memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan dan dilatasi pada
dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial dan ventrikular abnormal pada
EKG dalam 24 jam.
Stadium III
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia
ialah:
1. Darah (Yaish, 2010)
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
thalasemia adalah :
- Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan penurunan jumlah eritrosit,
peningkatan jumlah lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi
hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.
- Indeks eritrosit : MCV, MCH dan MCHC menurun, RDW meningkat. Bila tidak
menggunakan cell counter, dilakukan uji resistensi osmotik I tabung (fragilitas)
[ CITATION Pud09 \l 1057 ]..
- Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
- Gambaran darah tepi
Gambaran yang dapat ditemukan adalah sediaan apus darah tepi (mikrositer,
hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas, fragmentosit, sel
target) [ CITATION Pud09 \l 1057 ]. Anemia pada thalasemia mayor mempunyai
sifat mikrositik hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan
retikulosit, poikilositosis, tear drops sel dan target sel.
Gambar 13. Sapuan darah tepi pada thalasemia
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat dan
menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga
terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.
2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.
Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalasemia saja, namun juga
pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis
hemoglobin dan kadar HbA2. Petunjuk adanya thalasemia α adalah ditemukannya Hb
Barts dan Hb H. Pada thalasemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan
dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1% (Yaish, 2010)
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal
biasanya nilai perbandingannya 10 : 3 (Yaish, 2010).
Gambar 14. Sapuan sumsum tulang May-Giemsa stain, x1000
2. Radiologis
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar (Permono, 2010).
Gambar 15. Gambar rontgen kepala “Hair on end” dan tulang panjang yang terjadi
penipisan korteks.
4. HLA typing untuk pasien yang akan di transplantasi sumsum tulang (Yaish, 2010)..
5. Pemeriksaan lainnya seperti mata, pendengaran, fungsi ginjal dan test darah rutin
untuk memonitor efek terapi deferoxamine (DFO) dan shelating agent (Yaish, 2010).
5.2 Penatalaksanaan
Hingga sekarang tidak ada obat yang menyembuhkan thalasemia. Tramsfusi
diberikan apabila kadar Hb rendah (<6 gr%) dan bila anak mengeluh tidak mau
makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari dalam jaringan tubuh diberikan iron
chelating agent. Splenektomi dilakukan pada anak yang berusia > 2tahun, sebelum
didapatkan tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda tersebut tidak
tampak, maka splenektomi tidak banyak gunanya lagi. Setelah transfusi frekuensi
transfusi darah menjadi lebih jarang [ CITATION Has07 \l 1057 ].
A. Transfusi Sel Darah Merah
Pemberian transfusi sel darah merah yang teratur mengurangi komplikasi anemia
dan eritropoiesis yang inefektif, membantu pertumbuhan dan perkembangan selama
masa anak-anak dan memperpanjang ketahanan hidup pada thalasemia mayor.
Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, vaksin
hepatitis B diberikan dan fenotip sel darah merah secara lengkap ditentukan, sehingga
alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi [ CITATION Per12 \l 1057 ].
Transfusi berkepanjangan mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan dan
komplikasi neurologi pada thalasemia mayor. Sejak dimulai, komplikasi yang
berhubungan dengan transfusi menjadi sumber utama dari morbiditas. Standar harus
dipertimbangkan untuk memastikan keamanan dan pendekatan yang rasional untuk
menggunakan transfusi darah pada managemen thalasemia[ CITATION Vic12 \l 1057
].
Transfusi darah dapat diberikan pertama kali bila [ CITATION Pud09 \l 1057 ] :
- Hb < 7 g/dl yang diperiksa 2 kali berturutan dengan jarak 2 minggu
- Hb ≥ 7 g/dl yang disertai gejala klinis :
Perubahan muka/facies cooley
Gangguan tumbuh kembang
Fraktur tulang
Curiga adanya hematopoietik ekstramedular antara lain adanya massa
mediastinum.
Pencegahan
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalasemia. Seperti
dijelaskan sebelumnya, kondisi klinis penderita thalasemia sangat bervariasi dari
ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa, tergantung pula pada
terapi dan komplikasi yang terjadi. Bayi dengan thalasemia α mayor kebanyakn lahir
mati atau lahir hidup dan meninggal dalam beberapa jam. Anak dengan thalasemia
dengan transfuse darah biasanya hanya bertahan sampai usia 20 tahun, biasanya
meninggal karena penimbunan besi (Yaish, 2010).
BAB 4
PEMBAHASAN
Anamnesis
Teori Kasus
- Pucat yang lama (kronis) - Pucat sekitar 3 hari terakhir
- Terlihat kuning
disertai badan terasa lesu dan
- Mudah infeksi
- Perut membesar akibat lemas. Selain itu pasien juga
hepatosplenomegali mengaluhkan batuk dalam 2 hari
- Pertumbuhan terhambat/pubertas
terakhir namun sudah diberikan obat
terlambat
batuk.
- Riwayat transfusi berulang (jika sudah
- Keluhan pucat dan lemas sudah
pernah transfusi sebelumnya)
dirasakan pasien sejak usia 4,5
- Riwayat keluarga yang menderita thalasemia
tahun.
- Di usia 5 tahun gejala semakin
memberat saat itu pasien tampak
sangat pucat, lemah, perut pasien
tampak mulai membesar, badan
pasien berwarna kuning dan
pasien juga merasakan sesak
- Saat itu pasien sempat dirawat sekitar
25 hari dan menjalani pemeriksaan
sampai pada akhirnya pasien
didiagnosa Thalasemia.
- Saat ini pasien rutin melakukan
transfusi darah setiap bulannya.
- Ketika pasien telat melakukan
trasnfusi pasien akan tampak pucat,
lemas dan terkadang merasakan
pusing.
- OT mengatakan untuk perkembangan
dan sosial anaknya dalam batas
normal, namun untuk
pertumbuhannya pasien tampak
lebih kecil dari teman-teman
seusianya.
- Saat ini pasien belum pubertas.
- Saat ini juga pasien sudah tidak
bersekolah lagi sejak kelas 5 SD
karena pasien sulit berkonsentrasi
saat belajar, dan mudah lelah saat
sekolah sehingga tidak dapat
mengikuti kegiatan belajar mengajar
dengan baik.
Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
- Anemia/pucat Keadaan Umum : Pucat, tampak
- Ikterus
- Facies cooley sakit sedang
- Hepatosplenomegali Kesadaran : Composmentis
- Gizi kurang/buruk
- Perawakan pendek GCS: E4V5M6
- Hiperpigmentasi kulit
- Pubertas terlambat Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 86 x/menit, nadi
kuat angkat
Frekuensi Napas: 24 x/menit
Temperatur : 36 oC
SpO2 : 98 %
Antropometri
Berat badan : 20 kg
Panjang badan : 114 cm
LILA : 17 cm
Regio Kepala/Leher
Wajah pucat, Konjungtiva anemis
(+/+), sklera ikterik (-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (-), pernapasasan
cuping hidung (-), faring hiperemis
(-)
Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normal,
pergerakan dinding dada simetris
dekstra = sinistra, retraksi intercosta,
suprasternal dan supraklavikula (-),
ciri seks sekunder berupa
pertumbuhan payudara belum
tampak
Palpasi : Pergerakan nafas
simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh
lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+)
rhonki (+/-),wheezing
(-/-), suara jantung S1
S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-).
Regio Abdomen
Inspeksi : Tambak besar,
cembung, soefl
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
kesan normal
Perkusi : Distribusi timpani di
keempat kuadran
Palpasi : Soefl, nyeri tekan
empat kuadran (-),
hepatomegali (+, 7
cm/4 jari dibawah
arcus costae),
splenomegali (+,
titik scuffner 4),
pembesaran KGB
inguinal (-)
Regio Ekstremitas
Inspeksi : Tampak kurus,
edema (-), deformitas (-)
Palpasi : Akral hangat,
sianosis perifer (-), edema (-), CRT
<2 detik.
Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
1. Darah Leukosit 16.39
- Darah rutin Eritrosit 3.68
Hemoglobin 7.7
Kadar hemoglobin menurun. penurunan Hematokrit 23.3
jumlah eritrosit, peningkatan jumlah MCV 79.4
MCH 26.9
lekosit dan peningkatan dari sel PMN. Bila MCHC 33.8
terjadi hipersplenisme akan terjadi Trombosit 268
penurunan dari jumlah trombosit. RDW-SD 40.3
RDW-CV 13.3
- Indeks eritrosit PDW 16.2
MCV, MCH dan MCHC menurun, RDW MPV 9.0
P-LCR 24
meningkat. Bila tidak menggunakan cell PCT 0.24
counter, dilakukan uji resistensi osmotik I Neutrofil# 4.6
Neutrofil% 53
tabung (fragilitas) Limfosit# 3.33
Limfosit% 38
- Hitung retikulosit Monosit# 0.51
Monosit% 6
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %. Eusinofil# 0.24
- Gambaran darah tepi Eusinofil% 3
Basofil# 0.1
Gambaran yang dapat ditemukan adalah Basofil% 1
sediaan apus darah tepi (mikrositer,
hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel
eritrosit muda/normoblas, fragmentosit, sel
target)
Anemia pada thalasemia mayor
mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada
gambaran sediaan darah tepi akan
ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear
drops sel dan target sel.
- Serum Iron & Total Iron Binding
Capacity
Pada anemia defisiensi besi SI akan
menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
- Tes Fungsi Hepar
3. Radiologis
Tulang terngkorak memberikan
gambaran yang khas, disebut dengan “hair
on end” yaitu menyerupai rambut berdiri
potongan pendek pada anak besar.
Terapi Bedah
Splenektomi merupakan prosedur
pembedahan utama yang digunakan pada
pasien dengan thalasemia
Transplantasi sumsum tulang
Diet thalasemia
Pasien dianjurkan menjalani diet
normal, dengan suplemen sebagai berikut:
o Asam Folat 2-5 mg/hari untuk
memenuhi kebutuhan yang
meningkat.
o Vitamin E 200-400 IU setiap hari.
o Vitamin C : 2-3 mg/kgBB/hari
(maksimal 50 mg pada anak < 10
tahun dan 100 mg pada anak ≥ 10
tahun, tidak melebihi 200 mg/hari)
dan hanya diberikan saat pemakaian
deferioksamin (DFO), tidak dipakai
pada pasien dengan gangguan fungsi
jantung
Zat besi tidak diberikan, dan makanan yang
kaya akan zat besi juga dihindari
DAFTAR PUSTAKA
Bleibel, SA. Thalasemia Alpha. August 26, 2009. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview
Bunn, F. (2012). Gangguan Hemoglobin. In K. J. Isselbacher, E. Braunwald, J. B.
Martin, A. S. Fauci, & D. L. Kasper, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam (Vol. 4, pp. 1931-37). Jakarta: EGC.
Hassan, R., & Alatas, H. (2007). Ilmu Kesehatan Anak (11 ed., Vol. 1). Jakarta: FKUI.
Hay, W. W., Hayward, A. R., Levin, M. J., & Sandheimer, J. M. (2006). Current
Diagnosis and Treatment. North America: Lange Medicall Books Mc-Graw
Hill.
Permono, B., & Ugrasena, I. (2012). Hemogblobin Abnormal. In B. Permono,
Sutaryo, I. Ugrasena, E. Windiastuti, & M. Adbulsalam, Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak (pp. 65-84). Jakarta: IDAI.
Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Sel darah merah: Eritropoisis.
Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 1-6, 16-23.
Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Takeshita, K. Thalasemia Beta. September 27, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview
Vichinsky, E., & Levine, L. (2012). Standards of Care Guidelines for Thalassemia.
Oakland: Children's Hospital & Research Center Oakland.
Yaish Hassan M. Thalasemia. April 30, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview.