Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Thalasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan
pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara 1925-
1927. Kata thalasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut dengan
penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut. Dalam 30 tahun
terakhir persebaran penyakit thalasemia di Mediterania mengalami perubahan pola
penyakit yang bermakna. Peningkatan kebersihan dan pelayanan kesehatan
menyebabkan penyakit infeksi dan malnutrisi berkurang. Thalasemia merupakan
kelainan sintesis hemoglobin heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih
rantai globin. Pada penderita thalasemia, hemoglobin mengalami penghancuran
(hemolisis). penghancuran terjadi karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin
atau rantai globin. Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yang merupakan 98%
dari seluruh hemoglobinya. HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada bayi baru
lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%) [ CITATION Has07 \m
Placeholder1 \l 1057 ].

1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat frekuensi peyakit sangat bervariasi, tergantung dari
populasi etnis. Beta Thalassemia biasanya terjadi pada penduduk di daerah
Mediterenia, Afrika, dan Asia Tenggara.Di dunia penyakit ini paling banyak
ditemukan di daerah Mediterenia, Afrika, dan Asia Tenggara, mungkin sebagai
asosiasi adaptif terhadap malaria endemik. Frekuensi penyakit pada daerah ini
mencapai 10% (Kenichi ,2002).
Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka
ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia
(Permono & Ugrasena, 2012).
Gen beta thalassemia terjadi di seluruh dunia, meskipun paling sering terjadi
pada masyarakat Mediterenia, Afrika, dan Asia Tenggara. Pasien dari Mediterenia
akan lebih cenderung anemia dengan thalassemia trait dari pada masyarakat Afrika
karena memiliki beta-zero thalassemia dan bukan beta-plus thalassemia. Gangguan
genetik pada masyarakat Mediterenia disebabkan oleh mutasi yang menyebabkan
tempat sambungan yang tidak normal atau sebuah mutasi menciptakan suatu kodon
penghentian translasi premature. Penduduk Asia Tenggara juga mempunyai
prevalensi Hb E dan alpha thalassemia yang signifikan. Penduduk Afrika biasanya
memiliki gangguan genetik lebih tinggi yang menyebabkan alpha thalassemia
(Kenichi, 2002).
Gangguan genetik ini disebabkan abnormalitas pada gen beta-globin, yang
terletak pada kromosom 11. Hal ini bukan merupakan sifat genetik yang terkait
dengan jenis kelamin. Manifestasi penyakit mungkin tidak jelas hingga dapat terjadi
perubahan seluruhnya dari sintesis Hb dari janin ke dewasa. Perubahan ini biasanya
terjadi pada enam bulan setelah kelahiran (Kenichi, 2002).

1.3 Patofisiologi
Hemoglobin terbuat dari dua unsur protein yang berbeda, yang disebut globin
alpha dan beta. Pembuatan protein globin tersebut, berada pada bagian kromosom
yang berbeda. Jika ada kesalahan pada kromosom gen, maka akan terjadi penurunan
produksi dari gen tersebut.
Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin dalam
ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung. Satu molekul
hemoglobin mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit tersusun atas satu
molekul globin dan satu molekul heme.
Globulin terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida, yaitu sepasang rantai α dan
sepasang rantai non alpha (β,γ,δ). Kombinasi rantai polipeptida tersebut akan
menentukan jenis hemoglobin. Hb A (2α2β) merupakan lebih dari 96 % Hb total, Hb
F (2α2γ) kurang dari 2% dan Hb A2 (2α2δ) kurang dari 3%. Pada janin trisemester III
kehamilan hampir 100% Hb adalah Hb F. Setelah lahir, sintesis globin γ makin
menurun digantikan oleh globin δ.
Rantai polipeptida α tersusun atas 141 asam amino, sedangkan rantai non α
tersusun atas 146 asam amino. Sintesis rantai α disandi oleh gen α1 dan gen α2 di
kromosom 16, sedangkan gen yang mensintesis rantai β, rantai γ dan rantai δ terletak
di kromosom 11. Pada orang normal sintesis rantai α sama dengan rantai non alpha.
Thalasemia akan terjadi bila sintesis salah satu rantai polipeptida menurun.
Struktur kimia hemoglobin memungkinkan molekul hemoglobin memiliki
kemampuan untuk mengikat oksigen secara reversible. Zat besi dalam molekul heme
secara langsung berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin memiliki struktur
kuartener empat rantai polipeptida, masing-masing dengan satu tempat pegikatan
oksigen. Sehingga satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen.
Hemoglobin yang merupakan suatu protein, disintesis berdasarkan informasi genetik.
Masing-masing polipeptida penyusun Hb berbeda dalam urutan asam aminonya.
Dengan demikian ada beberapa lokus gen terpisah dalam kromosom yang mengatur
sintesis rantai polipeptida dari hemoglobin (Yaish, 2010).

Lokus α β γ δ
Genotip

Αα β/β γ/γ δ/δ


Polipetida yang terbentuk α β γ δ

Hb yang terbentuk α2β2 α2γ2 α2δ2


Untuk pembentukan α dan γ sebenarnya terdapat 2 lokus gen untuk masing-
masing, sedangkan β dan δ hanya memilki satu lokus gen. Lokus gen untuk α terletak
pada kromosom 16 sedangkan lainnya (β,γ,δ) terletak pada kromosom 11.
Sintesis rantai γ bersama dengan sintesi rantai menonjol selama masa
kehidupan janin. Rantai α akan terus disintesis sampai usia dewasa sedangkan rantai γ
mulai menurun pada trisemester akhir dan dengan cepat menurun setelah kelahiran.
Thalasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang
ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih,
sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk.
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan
karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati lokus
gen globin. Sebagian besar kelainan hemoglobin dan jenis thalasemia merupakan
hasil kelaianan mutasi pada gamet yang terjadi pada replikasi DNA. Pada replikasi
DNA dapat terjadi pergantian urutan asam basa dalam DNA, dan perubahan kode
genetic akan diteruskan pada penurunan genetic berikutnya. Mutasi ini dapat
memperpendek rantai asam amino maupun memperpanjangnya. Kelainan mutasi
dapat pula terjadi pada keselahan berpasangan kromosom pada proses meiosis yang
mengakibatkan perubahan susunan material genetic. Bila terjadi crossing over pada
kesalahan berpasangan itu, sebagai hasil akhir peristiwa tadi akan terjjadi apa yang
disebut duplikasi, delesi, translokasi dan iversi. Kerusakan pada salah satu kromosom
homolog menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada
kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan homozigot.
Pada thalasemia homozigot sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya pembentukan
Hb.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini (Yaish, 2010)
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya
biosintesis dari unit  globin pada Hb A. pada thalasemia β heterozigot, sintesis β
globin kurang lebih separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia β homozigot,
sintesis β globin dapat mencapai nol.
Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total
menurun dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan
thalasemia β homozigot mengalami anemia berat. Sebagai respon kompensasi, maka
sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga hemoglobin pasien mengandung
proporsi Hb F yang meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak efektif dan secara
kuantitas tidak mencukupi (Bleibel, 2009)
Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami perubahan.
Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini mengakibatkan kelebihan
adanya rantai α bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan retikulosit. Rantai α
bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi protein
(haeinz bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan
destruksi dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel
darah merah matur yang diproduksi menjadi berkurang. Sel darah merah yang
beredar kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung
komplemen hemoglobin yang menurun. Hal yang telah disebutkan diatas adalah
gambaran dari Anemia Cooley: hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik.
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa,
hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini.
Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur
yang lebih panjang.
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying capacity
dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang jumlahnya sedikit)
mengalami hemolisa secara prematur.
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-
sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak.
Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian yang
prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi sumsum tulang yang masif
yang memproduksi sel darah merah baru.
Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian kortikal
dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-umur yang
kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia
yang vital dari tempat-tempat yang membutuhkannya dan menempatkan suatu stress
yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegalan dari
pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high output, kerentanan terhadap
infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda tanpa
adanya terapi transfuse (Takeshita, 2010)
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat
diperbaiki, dan terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan
besi akan berkurang dan makrofag akan mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi
menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada
penderita thalasemia-β berat karena diduga faktor plasma menggantikan mekanisme
tersebut dan mencegah terjadinya produksi hepsidin sehingga absorpsi besi terus
berlangsung meskipun penderita dalam keadaan iron overload.
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain
bernama ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag
menuju plasma dan menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin
diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini juga
menjelaskan mengapa penderita dengan thalasemia-β yang memiliki jumlah besi
yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka
mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita thalasemia-β
intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang
lebih rendah dibandngkan dengan penderita yang mendapatkan transfusi darah secara
teratur, meskipun keduanya memiliki jumlah besi yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan
protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada
thalasemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi ini
cukup berbahaya karena memiliki material untuk memproduksi hidroksil radikal dan
akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ, seperti jantung, kelenjar endokrin, dan
hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organ-organ tersebut (organ damage)
(Yaish, 2010)

1.4 Klasifikasi
Thalasemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang
heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.
Terdapat 3 tingkatan klasifikasi thalasemia. Secara klinis dibagi menjadi 3
grup [ CITATION Per12 \l 1057 ] :
- Thalasemia mayor sangat tergantung pada transfusi
- Thalasemia minor/karier tanpa gejala
- Thalasemia intermedia
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas [ CITATION Has07 \l
1057 ]:
- Thalasemia α (gangguan pembentukan rantai α)
- Thalasemia β (gangguan pembentukan rantai β)
- Thalasemia β – δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gennya diduga
berdekatan)
- Thalasemia δ (gangguan pembentukan rantai δ)
Sebagaimana telah disebutkan di atas, secara garis besar terdapat dua tipe
utama thalasemia yaitu α thalasemia dan β thalasemia. Selain itu juga terdapat tipe
thalasemia lain seperti thalasemia intermediate.

Abnormalitas genetic Sindroma klinik


Thalasemia α
Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis Kematian in utero
Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H Anemia hemolitik
Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia Sediaan darah mikrositik hipokrom
α° ) tetapi biasanya tanpa anemia
Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia
α+ )
Thalasemia β
Homozigot – thalasemia mayor Anemia berat perlu transfusi darah
Heterzigot- trait thalasemia Sediaan darah mikrositik hipokrom
tetapi biasanya dengan atau tanpa
anemia
Thalasemia intermediate
Sindroma klinik yang disebabkan oleh Anemia hipokrom mikrositik, hepato-
sejenis lesi genetik splenomegali, kelebihan beban besi.

Thalasemia diturunkan berdasarkan hukum Mendel, resesif atau ko-dominan.


Heterozigot biasanya tanpa gejala homozigot atau gabungan heterozigot gejalanya
lebih berat dari thalasemia  atau  (Yaish, 2010).

Thalasemia-α
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin-α banyak
ditemukan di Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi
gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin-α
pada individu normal, dan empat bentuk thalasemia-α yang berbeda telah diketahui
sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini (Bleibel, 2009).
Tabel 3.2 Thalasemia-α
Genotip Jumlah gen α Presentasi Hemoglobin Elektroforesis
Saat Lahir > 6 bulan
Klinis
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb Barts N
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb N
–α/-α Barts
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Hb H
Bart
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -
Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4
a. Silent carrier thalasemia-α
- Merupakan tipe thalasemia subklinik yang paling umum, biasanya ditemukan
secara kebetulan diantara populasi, seringnya pada etnik Afro-Amerika.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 gen α yang terletak pada
kromosom 16.
- Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16 menghilang,
menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat secara hematologis,
hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel darah merah) yang rendah dalam
beberapa pemeriksaan.
- Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan
elektroforesis Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa
juga dicari akan adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga (misalnya
orangtua) untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap pada salah
satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia dan mikrositosis tanpa
penyebab yang jelas merupakan bukti yang cukup kuat menuju diagnosis
thalassemia (Bleibel, 2009).

b. Trait thalasemia-α
- Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah
yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α pada satu
kromosom 16 atau satu gen α pada masing-masing kromosom. Kelainan ini
sering ditemukan di Asia Tenggara, subbenua India, dan Timur Tengah.
- Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (γ4) dapat
ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak
terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal (Bleibel, 2009).

Gambar 7. Thalasemia alpha menurut hukum Mendel (6)

c. Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α,
merepresentasikan thalasemia-α intermedia, dengan anemia sedang sampai
berat, splenomegali, ikterus, dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada
sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital akan
tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb H) yang
tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga menampilkan
gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai Heinz bodies
(Bleibel, 2009).

Gambar 8. Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H yang
menunjukkan Heinz-Bodies

d. Thalasemia-α mayor
- Bentuk thalasemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen
globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama sekali.
- Karena Hb F, Hb A, dan Hb A 2 semuanya mengandung rantai α, maka tidak
satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4) mendominasi pada bayi yang
menderita, dan karena γ4 memiliki afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi-
bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung sejumlah
kecil Hb embrional normal (Hb Portland = ζ 2γ2), yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen.
- Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang lahir
hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan
gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup dengan
manajemen neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung dengan
transfuse (Bleibel, 2009).

Thalasemia-β
Sama dengan thalasemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalasemia-β;
antara lain :

a. Trait thalasemia-β+ heterozigot (Thalasemia minor)


- Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan elektroforesis
Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan jumlah Hb A 2, Hb F, atau
keduanya.
- Individu dengan ciri (trait) thalasemia sering didiagnosis salah sebagai anemia
defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi
selama waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait thalasemia-β
mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%). Kira-kira 50% individu
ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF, sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil
kasus, yang benar-benar khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF
berkisar dari 5% sampai 15%, yang mewakili thalasemia tipe δβ (Takeshita,
2010).
Gambar 9. Thalasemia beta menurut Hukum Mendel

Gambar 10. Sapuan darah tepi tampak sel target

b. Thalasemia-β° homozigot (Anemia Cooley, Thalasemia Mayor)


- Bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan
kedua kehidupan. Transfusi darah yang reguler diperlukan pada penderita ini
untuk mencegah kelemahan yang amat sangat dan gagal jantung yang
disebabkan oleh anemia. Tanpa transfusi, 80% penderita meninggal pada 5
tahun pertama kehidupan.
- Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima
transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik
disumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi tipis
dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di
wajah dan tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.

Gambar 11. Deformitas tulang pada thalasemia beta mayor (Facies Cooley)

- Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan coklat


kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis ekstrameduler
dan hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa mungkin sedemikian
besarnya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan mekanis dan
hipersplenisme sekunder.
Gambar 12. Splenomegali pada thalasemia

- Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau
tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang
disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung,
termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh
siderosis miokardium sering merupakan kejadian terminal.
- Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalasemia-β° homozigot yang
tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis
berat, banyak ditemukan poikilosit yang terfragmentasi, aneh (sel bizarre) dan
sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama
setelah splenektomi. Inklusi intraeritrositik, yang merupakan presipitasi
kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb turun secara
cepat menjadi < 5 gr/dL kecuali mendapat transfusi. Kadar serum besi tinggi
dengan saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding capacity). Gambaran
biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi dalam
eritrosit (Takeshita, 2010)

1.5 Manifestasi Klinis


Secara umum manifestasi klinis pada thalasemia yaitu anemia berat
tipe mikrositik dengan limfa dan hepar yang membesar. Pada anak dapat disertai
keadaan gizi yang jelek dan memperlihatkan Mongoloid face. Jumlah retikulosit
dalam darah meningkat. Pada hapusan darah tepi akan didapatkan gambaran
anisositosis, hipokrom, poikilositosis dan sel target (fragmentosit dan banyak sel
normoblas). Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi
(TIBC) menjadi rendah bahkan dapat mencapai nol [ CITATION Has07 \l 1057 ].
Gejala klinis pada thalasemia hampir semua sama, yang membedakan adalah
tingkat keparahannya, dari ringan (asimptomatik) sampai parahnya gejala. Gejala
klinis biasa berupa tanda-tanda anemia seperti pucat, lemah, letih, lesu, tidak aktif
beraktifitas atau jarang bermain dengan teman seusianya, sesak nafas kurang
konsentrasi, sering pula disertai dengan kesulitan makan, gagal tumbuh, infeksi
berulang dan perubahan tulang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan facies Cooley,
Konjungtiva anemis, bentuk tulang yang abnormal, pembesarah lien dan atau hepar.
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalasemia berdasarkan jumlah
kumulatif transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk menentukan tingkat
gejala yang melibatkan kardiovaskuler dan untuk memutuskan kapan untuk memulai
terapi khelasi pada pasien dengan thalasemia-β mayor atau intermedia. Pada sistem
ini, pasien dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (Yaish, 2010)
 Stadium I

Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit Packed Red
Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada echokardiogram (ECG) hanya
ditemukan sedikit penebalan pada dinding ventrikel kiri, dan elektrokardiogram
(EKG) dalam 24 jam normal.
 Stadium II

Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC dan
memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan dan dilatasi pada
dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial dan ventrikular abnormal pada
EKG dalam 24 jam.
 Stadium III

Gejala berkisar dari palpitasi hingga gagal jantung kongestif, menurunnya


fraksi ejeksi pada ECG. Pada EKG dalam 24 jam ditemukan pulsasi prematur dari
atrial dan ventrikular.
1.6 Diagnosis
Sebelum mempertimbangkan terapi transfusi, sebaiknya dikonfirmasi
terlebih dahulu diagnosa pasien. Sebagai tambahan untuk hitung darah lengkap,
elektrophoresis merupakan tes diagnostik yang utama. Fraksi hemoglobin A, A2, F,
H, E dan varian lainnya dapat diukur. Analisa hemoglobin dengan elektrophoresis
hemoglobin atau kromatografi likuid dengan high performance dapat digunakan.
Mutasi dapat terjadi pada tes skrining, yang dapat menghasilkan kesalahan diagnosa
atau negatif palsu. Analisa genetik untuk mutasi thalasemia alfa dan beta sangat
diperlukan. Sebagai tambahan, orang tua dan saudara kandung dapat dilakukan
skrining [ CITATION Vic12 \l 1057 ].
Berdasarkan anamnesa pada pasien thalasemia akan didapatkan informasi
adanya [ CITATION Pud09 \l 1057 ]:
- Pucat yang lama (kronis)
- Terlihat kuning
- Mudah infeksi
- Perut membesar akibat hepatosplenomegali
- Pertumbuhan terhambat/pubertas terlambat
- Riwayat transfusi berulang (jika sudah pernah transfusi sebelumnya)
- Riwayat keluarga yang menderita thalasemia
Berdasarkan pemeriksaan fisik akan didapatkan keadaan pasien [ CITATION
Pud09 \l 1057 ]:
- Anemia/pucat
- Ikterus
- Facies cooley
- Hepatosplenomegali
- Gizi kurang/buruk
- Perawakan pendek
- Hiperpigmentasi kulit
- Pubertas terlambat
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien yaitu [ CITATION
Pud09 \l 1057 ] :

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia
ialah:
1. Darah (Yaish, 2010)
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
thalasemia adalah :
- Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan penurunan jumlah eritrosit,
peningkatan jumlah lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi
hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.

- Indeks eritrosit : MCV, MCH dan MCHC menurun, RDW meningkat. Bila tidak
menggunakan cell counter, dilakukan uji resistensi osmotik I tabung (fragilitas)
[ CITATION Pud09 \l 1057 ]..

- Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
- Gambaran darah tepi
Gambaran yang dapat ditemukan adalah sediaan apus darah tepi (mikrositer,
hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas, fragmentosit, sel
target) [ CITATION Pud09 \l 1057 ]. Anemia pada thalasemia mayor mempunyai
sifat mikrositik hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan
retikulosit, poikilositosis, tear drops sel dan target sel.
Gambar 13. Sapuan darah tepi pada thalasemia

- Serum Iron & Total Iron Binding Capacity


Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia
terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,
sedangkan TIBC akan meningkat.
- Tes Fungsi Hepar

Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat dan
menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga
terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.
2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.
Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalasemia saja, namun juga
pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis
hemoglobin dan kadar HbA2. Petunjuk adanya thalasemia α adalah ditemukannya Hb
Barts dan Hb H. Pada thalasemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan
dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1% (Yaish, 2010)
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal
biasanya nilai perbandingannya 10 : 3 (Yaish, 2010).
Gambar 14. Sapuan sumsum tulang May-Giemsa stain, x1000

2. Radiologis
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar (Permono, 2010).
Gambar 15. Gambar rontgen kepala “Hair on end” dan tulang panjang yang terjadi
penipisan korteks.

3. EKG dan echocardiography untuk mengetahui dan memonitor keadaan jantungnya.


Kadang ditemukan jantung yang kardiomegali akibat anemianya (Yaish, 2010)..

4. HLA typing untuk pasien yang akan di transplantasi sumsum tulang (Yaish, 2010)..

5. Pemeriksaan lainnya seperti mata, pendengaran, fungsi ginjal dan test darah rutin
untuk memonitor efek terapi deferoxamine (DFO) dan shelating agent (Yaish, 2010).

5.1 Diagnosa Banding


Sifat α-Thalasemia (dua gen delesi) harus dibedakan dari anemia ringan tipe
mikrositik termasuk defisiensi besi dan β-thalasemia minor. Berbeda pada anak anak
dengan defisiensi besi, juga dengan sifat α-Thalasemia yang memiliki Hb
elektroporesis normal setelah usia 4-6 bulan. Anak anak dengan Hb-H memiliki
gejala ikterus dan splenomegali, dan kelainan tersebut harus disingkirkan dari
hemolitik anemia lain nya. Kunci diagnosis adalah meningkatnya MCV dan
memperlihatkan hipokrom pada apusan darah. Dengan pengecualian pada β-
thalasemia, memiliki kelainan hemolitik berupa normal atau peningkatan MCV dan
tidak hipokromik [ CITATION Hay06 \l 1057 ].
β-Thalasemia minor harus dibedakan dari penyebab lain dari mikrositik ringan,
hipokromik anemia, defisiensi besi dan α-thalasemia. Berbeda dengan penderita
anemia difisiensi besi, mereka dengan β-thalassemia minor memiliki peningkatan
jumlah eritrosit dan index MCV dibagi eritrosit dengan hasil kurang dari 13. Secara
umum, ditemukannya peningkatan HbA2 merupakan diagnosis. Namun rendahnya
HbA2 juga dapat disebabkan oleh defesiensi besi yang terjadi secara bersamaan.
Sehingga dapat mengaburkan diagnosis dan sering salah diagnosis dengan anemia
defesiensi besi. β-Thalassemia major sering sangat beda dari kelainan lain. Hb
elektroporesis dan study keluarga membuktikan mudah membedakan dengan Hb E-β-
Thalassemia, yang paling penting adalah tranfusi rutin merupakan poin penting
diagnosa β-Thalassemia [ CITATION Hay06 \l 1057 ].

5.2 Penatalaksanaan
Hingga sekarang tidak ada obat yang menyembuhkan thalasemia. Tramsfusi
diberikan apabila kadar Hb rendah (<6 gr%) dan bila anak mengeluh tidak mau
makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari dalam jaringan tubuh diberikan iron
chelating agent. Splenektomi dilakukan pada anak yang berusia > 2tahun, sebelum
didapatkan tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda tersebut tidak
tampak, maka splenektomi tidak banyak gunanya lagi. Setelah transfusi frekuensi
transfusi darah menjadi lebih jarang [ CITATION Has07 \l 1057 ].
A. Transfusi Sel Darah Merah
Pemberian transfusi sel darah merah yang teratur mengurangi komplikasi anemia
dan eritropoiesis yang inefektif, membantu pertumbuhan dan perkembangan selama
masa anak-anak dan memperpanjang ketahanan hidup pada thalasemia mayor.
Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, vaksin
hepatitis B diberikan dan fenotip sel darah merah secara lengkap ditentukan, sehingga
alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi [ CITATION Per12 \l 1057 ].
Transfusi berkepanjangan mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan dan
komplikasi neurologi pada thalasemia mayor. Sejak dimulai, komplikasi yang
berhubungan dengan transfusi menjadi sumber utama dari morbiditas. Standar harus
dipertimbangkan untuk memastikan keamanan dan pendekatan yang rasional untuk
menggunakan transfusi darah pada managemen thalasemia[ CITATION Vic12 \l 1057
].
Transfusi darah dapat diberikan pertama kali bila [ CITATION Pud09 \l 1057 ] :
- Hb < 7 g/dl yang diperiksa 2 kali berturutan dengan jarak 2 minggu
- Hb ≥ 7 g/dl yang disertai gejala klinis :
 Perubahan muka/facies cooley
 Gangguan tumbuh kembang
 Fraktur tulang
 Curiga adanya hematopoietik ekstramedular antara lain adanya massa
mediastinum.

Keputusan untuk memulai kadar program transfusi didasarkan pada kadar


hemoglobin <6 gr/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, yang
didasarkan pada ketidakmampuan dalam mengkompensasi rendahnya hemoglobin
(ditandai dengan peningkatan kerja jantung, takikardia, berkeringat, nafsu makan
berkurang dan pertumbuhan yang terganggu) atau yang jarang terjadi (pembesaran
limpa dan atau perubahan tulang) [ CITATION Per12 \l 1057 \m Vic12].
Keputusan untuk memulai terapi tranfusi secara kronik membutuhkan keputusan
yang matang dari pasien, kelurga dan tim medis. Anemia saja bukan merupakan
indikasi yang dibutuhkan untuk transfusi kronik. Anemia dapat dihubungkan dengan
penurunan kualitas hidup atau terjadinya morbiditas. Faktor yang dapat
dipertimbangkan meliputi : gangguan pertumbuhan, ketidakmampuan untuk
menjalankan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti pergi ke sekolah atau bekerja,
adanya bukti kegagalan organ, bukti adanya penyakit jantung, hipertensi pulmonal
dan perubahan bentuk tulang [ CITATION Vic12 \l 1057 ].
Tujuan terapi transfusi adalah untuk mencapai pertumbuhan dan aktivitas yang
normal serta untuk mencegah terjadinya hiperplasia sumsum tulang. Terapi yang
adekuat dapat mengurangi splenomegali dan hipersplenism dan menurunkan absorbsi
besi. Produk darah pilihan adalah packed red cell rendah leukosit dan dicocokan
dengan fenotip antigen darah pasien. Whole blood atau darah tanpa deplesi leukosit
tidak cocok untuk transfusi reguler. Penilaian terhadap pasien dari reaksi hemolitik
yang dapat terjadi. Febris dan reaksi alergi mungkin dapat berespon terhadap
acetaminofen dan dipenhydramine sebelum transfusi yang selanjutnya. Pasien dengan
reaksi alergi dapat diberikan packed red blood cell units. Jumlah darah yang
ditransfusi ditentukan dari kadar hemoglobin sebelum transfusi. Targetnya adalah
untuk mempertahankan kadar hemoglobin antara 9-10 gr/dl. Darah dapat ditransfusi
sebanyak 5 ml/kgBB/jam perjam dan hemoglobin setelah transfusi tidak melebihi 14
gr/dl. Pasien dengan anemia berat (Hb dibawah 5 gr/dl) atau dengan cardiac
compromise, jumlah transfusi dapat dikurangi enjadi 2 ml/kgBB/jam untuk mencegah
overload cairan. Diuretik seperti furosemide (1-2 mg/kBB) mungkin diperlukan pada
beberapa pasien [ CITATION Vic12 \l 1057 ].
B. Chelation Therapy (Terapi pengikat besi)
Kelebihan zat besi merupakan penyebab utama morbiditas pada pasien
thalasemia yang dapat terjadi dengan cepat. Manusia tidak memiliki mekanisme lain
selain pengelupasan dari mukosa traktus gastrointestinal atau menstruasi untuk
mengekskresikan kelebihan zat besi, pasien dengan transfusi setiap 3 atau 4 minggu
menambah jumlah kelebihan zat besi 0,5 mg/kgBB/hari dari yang biasanya
dieksresikan. Zat besi sangat toksik untuk jaringan. Dalam keadaan abnormal, pada
manusia, zat besi ditranportasikan terikat pada protein pembawa yang disebut
transferrin. Transferrin membawa zat besi ke dalam jaringan. Karena zat besi terikat
dengan protein ini, jaringan lain di proteksi dari efek toksik zat besi bebas. Pasien
dengan transfusi darah yang kronik dengan cepat memperoleh lebih banyak zat besi
dan kemudian bisa diikat oleh transferin dan terjadi peningkatan kadar zat besi bebas
di dalam darah. Zat besi ini disebut juga dengan ‘non transferin bound iron, yang
secara langsung toksisk terhadap jantung dan jaringan lainnya [ CITATION Vic12 \l
1057 ]
Beberapa masalah yang perlu diperhatikan pada terapi pengikat besi jangka
panjang [ CITATION Per12 \l 1057 ]:
- Pengukuran beban besi tubuh yang akurat
- Waktu yang tepat untuk memulai terapi
- Kebutuhan yang diperlukan untuk keseimbangan antara efektifitas dan toksisitas
Terdapat dua tujuan dari terapi kelasi ini yaitu mengikat non transferin bound
iron non transferin bound iron yang toksik di dalam plasma dan mengurangi jumlah
zat besi di dalam tubuh. Detoksifikasi dari kelebihan zat besi ini merupakan fungsi
yang paling penting dalam terapi kelasi. Hal ini dapat mengurangi gejala dari
kelebihan zat besi seperti aritmia dan gagal jantung. Terapi kelasi dapat dimulai
setelah satu tahun menjalankan transfusi kronik. Hal ini dikorelasikan dengan serum
ferritin sekitar 1.000 ng/mL. Konsentrasi zat besi pada hepar merupakan pengukuran
terbaik dari total beban zat besi. Konsentrasi zat besi sedikitnya 3.000 µg/gr sebelum
memulai terapi kelasi. Rekomendasi yang diberikan yaitu menjaga kadar ferritin
antara 1000-2500 ng/mL, beberapa program memiliki tujuan untuk emmpertahankan
ferritin pada 500 ng.mL pada pasien dewasa [ CITATION Vic12 \l 1057 ].
Tabel 3.4 Pedoman untuk Terapi Kelasi Iron dan Monitoring

Tabel 3.5 Sediaan untuk Terapi Kelasi [ CITATION Vic12 \l 1057 ]


Berdasarkan Pudjiadi, dkk (2009) terapi kelasi dapat dimulai apabila :

- Feritin ≥ 1000 ng/ml


- Bila pemeriksaan ferritin tidak tersedia, dapat digantikan dengan pemeriksaan
saturasi transferin ≥ 55%
- Bila tidak memungkinkan dilakukannya pemeriksaan laboratorium, maka
digunakan kriteria sudah menerima 3-5 liter atau 10-20 kali transfusi
Kelasi besi pertama kali dimulai dengan Deferioksamin/DFO :
- Dewasa dan anak ≥ 3 tahun : 30-50 mg/kgBB/hari, 5-7x seminggu subkutan
selama 8-12 jam dengan syringe pump
- Anak usia <3 tahun : 15-25 mg/kgBB/hari dengan monitorig ketat (efek samping
gangguan pertumbuhan panjang dan tulang belakang/vertebra)
- Pasien dengan gangguan fungsi jantung : 60-100 mg/kgBB/hari IV kontinu selama
24 jam
- Pemakaian Deferioksamin dihentikan pada pasien-pasien yang sedang hamil,
kecuali pasien menderita gangguan jantung yang berat dan diberikan kembali pada
trimester akhir deferioksamin 20-30 mg/kgBB/hari
- Ibu menyusui tetap dapat menggunakan kelasi besi ini
- Jika tidak ada syringe pump dapat diberikan bersama NaCl 0,9% 500 ml melalui
infus (selama 8-12 jam)
- Jika kesediaan deferioksamin terbatas : dosis dapat diturunkan tanpa mengubah
frekuensi pemberian.
Pemberian kelasi besi dapat berupa dalam bentuk parenteral (deferioksamin)
atau oral (deferiprone/deferasirox) atau kombinasi. Terapi kombinasi hanya diberikan
pada keadaan :
- Ferritin ≥3000 ng/mL yang bertahan minimal 3 bulan
- Adanya gangguan fungsi jantung/kardiomiopati akibat kelebihan besi
- Untuk jangka waktu tertentu (6-12 bulan) tergantung pada kadar feritin dan fungsi
jantung saat evaluasi.

Bagan 3.1 Algoritma penggunaan terapi besi Indonesia

Tabel 3.6 Monitoring efek samping kalesi besi

C. Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH)


TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk thalasemia yang saat
ini diketahui. Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan adanya
hepatomegali, fibrosis portal, dan terapi khelasi yang inefektif sebelum transplantasi
dilakukan. Prognosis bagi penderita yang memiliki ketiga karakteristik ini adalah
59%, sedangkan pada penderita yang tidak memiliki ketiganya adalah 90%.
Meskipun transfusi darah tidak diperlukan setelah transplantasi sukses dilakukan,
individu tertentu perlu terus mendapat terapi khelasi untuk menghilangkan zat besi
yang berlebihan. Waktu yang optimal untuk memulai pengobatan tersebut adalah
setahun setelah TSSH. Prognosis jangka panjang pasca transplantasi , termasuk
fertilitas, tidak diketahui. Biaya jangka panjang terapi standar diketahui lebih tinggi
daripada biaya transplantasi. Kemungkinan kanker setelah TSSH juga harus
dipertimbangkan (Permono, 2010).
D. Terapi Bedah

Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada


pasien dengan thalasemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi
nontoksik (yaitu, fungsi penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel
darah merah dan distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu dipertimbangkan sebelum
memutuskan melakukan splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai penyimpanan untuk
besi nontoksik, sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi tersebut. Pengangkatan
limpa yang terlalu dini dapat membahayakan (Permono, 2010)..
Sebaliknya, splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi hiperaktif,
menyebabkan penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan demikian
meningkatkan kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi besi.
Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari 200-
250 mL / kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL karena
dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30% (Permono, 2010).
Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak prosedur
sekarang dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur ditunda bila
memungkinkan sampai anak berusia 4-5 tahun atau lebih. Pengobatan agresif dengan
antibiotik harus selalu diberikan untuk setiap keluhan demam sambil menunggu hasil
kultur. Dosis rendah Aspirin® setiap hari juga bermanfaat jika platelet meningkat
menjadi lebih dari 600.000 / μL pasca splenektomi (Permono, 2010).
E. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang untuk thalasemia pertama kali dilakukan tahun
1982. Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
thalasemia. Jarang dilakukan karena mahal dan sulit (Permono, 2010).
F. Diet thalasemia

Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen sebagai berikut:


o Asam Folat  2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
o Vitamin E  200-400 IU setiap hari.
o Vitamin C : 2-3 mg/kgBB/hari (maksimal 50 mg pada anak < 10 tahun dan 100
mg pada anak ≥ 10 tahun, tidak melebihi 200 mg/hari) dan hanya diberikan saat
pemakaian deferioksamin (DFO), tidak dipakai pada pasien dengan gangguan
fungsi jantung
Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan yang kaya akan zat besi juga
dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat membantu mengurangi penyerapan zat besi di
usus (Pudjiadi, Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009 ; Haut,
2010)

Pencegahan

Ada 2 pendekatan untuk menghinadari thalassemia yaitu dengan cara


melalkukan skrining:
i. Karena karier thalasemia β bias diketahui dengan mudah, skrinning populasi dan
koseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4 anak
mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
ii. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa dan
bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi
kehamilan pada fetus dengan thalasemia β berat.

Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan skrinning


premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan program
konseling verbal maupun tertulis mengenai skrinning.
Alternatif lain bisa juga dilakukan pemeriksaan terhadap setiap wanita hamil
berdasar ras, melalui ukuran eritrosit, kadar Hb A2 (meningkat pada thalasemia-β).
Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis rantai α
(Permono, 2010).
Prognosis

Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalasemia. Seperti
dijelaskan sebelumnya, kondisi klinis penderita thalasemia sangat bervariasi dari
ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa, tergantung pula pada
terapi dan komplikasi yang terjadi. Bayi dengan thalasemia α mayor kebanyakn lahir
mati atau lahir hidup dan meninggal dalam beberapa jam. Anak dengan thalasemia
dengan transfuse darah biasanya hanya bertahan sampai usia 20 tahun, biasanya
meninggal karena penimbunan besi (Yaish, 2010).
BAB 4
PEMBAHASAN

Anamnesis
Teori Kasus
- Pucat yang lama (kronis) - Pucat sekitar 3 hari terakhir
- Terlihat kuning
disertai badan terasa lesu dan
- Mudah infeksi
- Perut membesar akibat lemas. Selain itu pasien juga
hepatosplenomegali mengaluhkan batuk dalam 2 hari
- Pertumbuhan terhambat/pubertas
terakhir namun sudah diberikan obat
terlambat
batuk.
- Riwayat transfusi berulang (jika sudah
- Keluhan pucat dan lemas sudah
pernah transfusi sebelumnya)
dirasakan pasien sejak usia 4,5
- Riwayat keluarga yang menderita thalasemia
tahun.
- Di usia 5 tahun gejala semakin
memberat saat itu pasien tampak
sangat pucat, lemah, perut pasien
tampak mulai membesar, badan
pasien berwarna kuning dan
pasien juga merasakan sesak
- Saat itu pasien sempat dirawat sekitar
25 hari dan menjalani pemeriksaan
sampai pada akhirnya pasien
didiagnosa Thalasemia.
- Saat ini pasien rutin melakukan
transfusi darah setiap bulannya.
- Ketika pasien telat melakukan
trasnfusi pasien akan tampak pucat,
lemas dan terkadang merasakan
pusing.
- OT mengatakan untuk perkembangan
dan sosial anaknya dalam batas
normal, namun untuk
pertumbuhannya pasien tampak
lebih kecil dari teman-teman
seusianya.
- Saat ini pasien belum pubertas.
- Saat ini juga pasien sudah tidak
bersekolah lagi sejak kelas 5 SD
karena pasien sulit berkonsentrasi
saat belajar, dan mudah lelah saat
sekolah sehingga tidak dapat
mengikuti kegiatan belajar mengajar
dengan baik.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien memiliki riwayat
penyakit talasemia yang diderita
hingga saat ini dan telah rutin
melakukan transfusi darah setiap
bulan.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Talasemia (-), HT (+. Ibu dan nenek
kadnung pasien), DM (-),

Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
- Anemia/pucat Keadaan Umum : Pucat, tampak
- Ikterus
- Facies cooley sakit sedang
- Hepatosplenomegali Kesadaran : Composmentis
- Gizi kurang/buruk
- Perawakan pendek GCS: E4V5M6
- Hiperpigmentasi kulit
- Pubertas terlambat Tanda Vital
 Tekanan Darah : 100/60 mmHg
 Frekuensi Nadi : 86 x/menit, nadi
kuat angkat
 Frekuensi Napas: 24 x/menit
 Temperatur : 36 oC
 SpO2 : 98 %
Antropometri
 Berat badan : 20 kg
 Panjang badan : 114 cm
 LILA : 17 cm
Regio Kepala/Leher
Wajah pucat, Konjungtiva anemis
(+/+), sklera ikterik (-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (-), pernapasasan
cuping hidung (-), faring hiperemis
(-)

Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normal,
pergerakan dinding dada simetris
dekstra = sinistra, retraksi intercosta,
suprasternal dan supraklavikula (-),
ciri seks sekunder berupa
pertumbuhan payudara belum
tampak
Palpasi : Pergerakan nafas
simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh
lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+)
rhonki (+/-),wheezing
(-/-), suara jantung S1
S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-).

Regio Abdomen
Inspeksi : Tambak besar,
cembung, soefl
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
kesan normal
Perkusi : Distribusi timpani di
keempat kuadran
Palpasi : Soefl, nyeri tekan
empat kuadran (-),
hepatomegali (+, 7
cm/4 jari dibawah
arcus costae),
splenomegali (+,
titik scuffner 4),
pembesaran KGB
inguinal (-)
Regio Ekstremitas
Inspeksi : Tampak kurus,
edema (-), deformitas (-)
Palpasi : Akral hangat,
sianosis perifer (-), edema (-), CRT
<2 detik.

Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
1. Darah Leukosit 16.39
- Darah rutin Eritrosit 3.68
Hemoglobin 7.7
Kadar hemoglobin menurun. penurunan Hematokrit 23.3
jumlah eritrosit, peningkatan jumlah MCV 79.4
MCH 26.9
lekosit dan peningkatan dari sel PMN. Bila MCHC 33.8
terjadi hipersplenisme akan terjadi Trombosit 268
penurunan dari jumlah trombosit. RDW-SD 40.3
RDW-CV 13.3
- Indeks eritrosit PDW 16.2
MCV, MCH dan MCHC menurun, RDW MPV 9.0
P-LCR 24
meningkat. Bila tidak menggunakan cell PCT 0.24
counter, dilakukan uji resistensi osmotik I Neutrofil# 4.6
Neutrofil% 53
tabung (fragilitas) Limfosit# 3.33
Limfosit% 38
- Hitung retikulosit Monosit# 0.51
Monosit% 6
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %. Eusinofil# 0.24
- Gambaran darah tepi Eusinofil% 3
Basofil# 0.1
Gambaran yang dapat ditemukan adalah Basofil% 1
sediaan apus darah tepi (mikrositer,
hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel
eritrosit muda/normoblas, fragmentosit, sel
target)
Anemia pada thalasemia mayor
mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada
gambaran sediaan darah tepi akan
ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear
drops sel dan target sel.
- Serum Iron & Total Iron Binding
Capacity
Pada anemia defisiensi besi SI akan
menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
- Tes Fungsi Hepar

Kadar unconjugated bilirubin akan


meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus
dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis.
Serum SGOT dan SGPT akan meningkat
dan menandakan adanya kerusakan hepar.
Akibat dari kerusakan ini akan berakibat
juga terjadi kelainan dalam faktor
pembekuan darah.
2. Elektroforesis Hb
Pemeriksaan ini untuk melihat jenis
hemoglobin dan kadar HbA2. Petunjuk
adanya thalasemia α adalah ditemukannya
Hb Barts dan Hb H. Pada thalasemia β kadar
Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan
dalam keadaan normal kadarnya tidak
melebihi 1%
. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak
suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan
eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal
biasanya nilai perbandingannya 10 : 3

3. Radiologis
Tulang terngkorak memberikan
gambaran yang khas, disebut dengan “hair
on end” yaitu menyerupai rambut berdiri
potongan pendek pada anak besar.

4. EKG dan echocardiography untuk


mengetahui dan memonitor keadaan
jantungnya. Kadang ditemukan jantung yang
kardiomegali akibat anemianya.
5. HLA typing untuk pasien yang akan di
transplantasi sumsum tulang (Yaish, 2010)..

2. Pemeriksaan lainnya seperti mata,


pendengaran, fungsi ginjal dan test darah
rutin untuk memonitor efek terapi
deferoxamine (DFO) dan shelating agent
Penatalaksanaan
Teori Kasus
Hingga sekarang tidak ada obat yang IVFD D5 ½ NS
menyembuhkan thalasemia Transfusi PRC 200 cc dalam 2 hari
Exjade (Deferasirox) 1 x 500 mg
Transfusi Sel Darah Merah Asam folat 1x1 tablet
Pemberian transfusi sel darah merah Vitamin C 1x1 tablet
yang teratur mengurangi komplikasi anemia
dan eritropoiesis yang inefektif, membantu
pertumbuhan dan perkembangan selama
masa anak-anak dan memperpanjang
ketahanan hidup pada thalasemia mayor
Keputusan untuk memulai kadar program
transfusi didasarkan pada kadar hemoglobin
<6 gr/dl dalam interval 1 bulan selama 3
bulan berturut-turut, yang didasarkan pada
ketidakmampuan dalam mengkompensasi
rendahnya hemoglobin (ditandai dengan
peningkatan kerja jantung, takikardia,
berkeringat, nafsu makan berkurang dan
pertumbuhan yang terganggu) atau yang
jarang terjadi (pembesaran limpa dan atau
perubahan tulang)
Tujuan terapi transfusi adalah untuk
mencapai pertumbuhan dan aktivitas yang
normal serta untuk mencegah terjadinya
hiperplasia sumsum tulang
Jumlah darah yang ditransfusi ditentukan
dari kadar hemoglobin sebelum transfusi.
Targetnya adalah untuk
mempertahankan kadar hemoglobin
antara 9-10 gr/dl. Darah dapat
ditransfusi sebanyak 5 ml/kgBB/jam
perjam dan hemoglobin setelah transfusi
tidak melebihi 14 gr/dl.
Chelation Therapy (Terapi pengikat besi)
Berdasarkan Pudjiadi, dkk (2009)
terapi kelasi dapat dimulai apabila :

- Feritin ≥ 1000 ng/ml


- Bila pemeriksaan ferritin tidak tersedia,
dapat digantikan dengan pemeriksaan
saturasi transferin ≥ 55%
- Bila tidak memungkinkan dilakukannya
pemeriksaan laboratorium, maka
digunakan kriteria sudah menerima 3-5
liter atau 10-20 kali transfusi
Kelasi besi pertama kali dimulai
dengan Deferioksamin/DFO :
- Dewasa dan anak ≥ 3 tahun : 30-50
mg/kgBB/hari, 5-7x seminggu subkutan
selama 8-12 jam dengan syringe pump
Terapi oral :
Deferiprone (LI): 50-75 mg/kgbb/hari,
3x/hari
Deferasirox (ICL 670): 20-30
mg/kgbb/hari, 1x/hr
atau kombinasi.
Transplantasi Sel Stem Hematopoetik
(TSSH)
TSSH merupakan satu-satunya yang
terapi kuratif untuk thalasemia yang saat ini
diketahui.

Terapi Bedah
Splenektomi merupakan prosedur
pembedahan utama yang digunakan pada
pasien dengan thalasemia
Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang merupakan


satu-satunya terapi definitive untuk
thalasemia. Jarang dilakukan karena mahal
dan sulit.

Diet thalasemia
Pasien dianjurkan menjalani diet
normal, dengan suplemen sebagai berikut:
o Asam Folat  2-5 mg/hari untuk
memenuhi kebutuhan yang
meningkat.
o Vitamin E  200-400 IU setiap hari.
o Vitamin C : 2-3 mg/kgBB/hari
(maksimal 50 mg pada anak < 10
tahun dan 100 mg pada anak ≥ 10
tahun, tidak melebihi 200 mg/hari)
dan hanya diberikan saat pemakaian
deferioksamin (DFO), tidak dipakai
pada pasien dengan gangguan fungsi
jantung
Zat besi tidak diberikan, dan makanan yang
kaya akan zat besi juga dihindari

DAFTAR PUSTAKA
Bleibel, SA. Thalasemia Alpha. August 26, 2009. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview
Bunn, F. (2012). Gangguan Hemoglobin. In K. J. Isselbacher, E. Braunwald, J. B.
Martin, A. S. Fauci, & D. L. Kasper, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam (Vol. 4, pp. 1931-37). Jakarta: EGC.
Hassan, R., & Alatas, H. (2007). Ilmu Kesehatan Anak (11 ed., Vol. 1). Jakarta: FKUI.
Hay, W. W., Hayward, A. R., Levin, M. J., & Sandheimer, J. M. (2006). Current
Diagnosis and Treatment. North America: Lange Medicall Books Mc-Graw
Hill.
Permono, B., & Ugrasena, I. (2012). Hemogblobin Abnormal. In B. Permono,
Sutaryo, I. Ugrasena, E. Windiastuti, & M. Adbulsalam, Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak (pp. 65-84). Jakarta: IDAI.
Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Sel darah merah: Eritropoisis.
Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 1-6, 16-23.
Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Takeshita, K. Thalasemia Beta. September 27, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview
Vichinsky, E., & Levine, L. (2012). Standards of Care Guidelines for Thalassemia.
Oakland: Children's Hospital & Research Center Oakland.
Yaish Hassan M. Thalasemia. April 30, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview.

Anda mungkin juga menyukai