1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian
yang dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat.
Beratus pemikir dan beribu jilid buku berkaitan dengan politik Islam menghiasi
sejumlah perpustakaan di dunia. Beragam bentuk karya ilmiah baik berupa
jurnal, skripsi, tesis atau disertasi yang membahas politik Islam telah
pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau
bahkan antara kalangan Barat sekalipun. Ini menunjukkan bahwa kajian politik
Islam merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan
menantang untuk dikaji.
Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak
laksana menimba air Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan
pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua,
tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas.
Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga
menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke
2
pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus
sendiri.1
Masih menurut pendapat Nurcholis Majdid pula bahwa usaha memahami
masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu karena
ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari
empat belas abad. Jadi akan merupakan suatu kenaifan jika kita menganggap
bahwa selama kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stationer
dan berhenti. Kesulitannya ialah, sedikit sekali kalangan kaum Muslim yang
teoritis yang kaya raya tentang politik yang hambpir setiap kali muncul bersama
dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting.2
Musdah Mulia, dalam karya disertasinya tentang pemikiran politik Islam Husain
1Nurcholish Madjid, Islam dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan
Keadilan dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume I Nomor I, Juli Desember 1998
(Jakarta: Paramadina, 1998), h. 48.
2 Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan” dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI‐Press, 1993), h. vi‐vii
3
Haekal yang mengutip pendapat John L. Esposito dalam Islam dan Politik
itu: 1) negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad SAW di Madinah yang
pelaksanaan khilafah pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas hanya
memberikan suatu kerangka mengenai lembaga‐lembaga politik dan perpajakan,
3) pembahasan mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya
menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian,
dan 4) hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subyek bagi
keragaman interpretasi.3
Munawir Sadzali menyebutkan tiga aliran tentang hubungan antara Islam
mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan
yang lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan bernegara. Karena itu, Islam tidak perlu atau bahkan jangan meniru
sistem negara Barat. Sistem politik Islam yang harus diteladani adalah sistem
al‐Rasyidin.
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
4
ini Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul‐rasul
kehidupan yang mulia, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan
dan mengepalai satu negara.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem negara. Tetapi aliran ini
juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.4
tradisional, sekuler, dan moderat. Tipologi tradisional, memandang bahwa Islam
adalah agama dan negara. Hubungan Islam dan negara betul‐betul organic
dimana negara berdasarkan syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi
eksekutif. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyi Ridla, Sayyid Qutub, Al‐
bahwa Islam adalah agama murni bukan negara. Tipologi ini terbelenggu dan
sangat terpesona oleh pemikiran nation state Barat Modern. Pemikir yang
termasuk tipologi ini adalah Ali Abd al‐Raziq, A. Luthfi Sayyid, dan di Indonesia
5
yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhammad Husein Haikal (1888‐
1956), Muhammad Abduh (1862‐1905), Fazlurrahman, Mohamed Arkoun, dan di
Indonesia Nurcholish Madjid.5
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, yang dikenal dengan Buya Syafii Maarif,
adalah seorang cendekiawan muslim yang concern dalam bidang politik Islam. Ia
diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan:
pemikirannya tentang politik Islam meskipun tidak secara utuh. Penelitian ini
akan mengerucutkan pemikiran politik Islam Syafii Maarif secara utuh yang
masih berserakan di berbagai makalah dan buku‐bukunya.
membagi Islam kedalam dua pandangan, yaitu Islam sejarah dan Islam cita‐cita.
Islam sejarah ialah Islam sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam
konteks sejarah oleh umat Islam Indonesia dalam jawaban mereka terhadap
6
yang dikandung dan dilukiskan oleh al‐Qur’an dan al‐Sunnah, tetapi yang belum
sekalipun belum dirumuskan secara sistematis oleh yuris dalam sejarah Islam.6
Paling tidak ada tiga pokok pemikiran politik Islam Syafii Maarif: Pertama
dalam Islam cita‐cita, negara tidak lain dari sebuah alat yang perlu bagi agama.
Dengan kata lain, ia menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam itu din dan
daulah. Tentang penolakan terhadap tesis ini ia menulis:
Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah? Dari
al‐Qur’an dan Sunnah, begitu pula dari Piagam Madinah, kita tidak
menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu…. Yang
kita gagal memehaminya ialah daulah ditempatkan sejajar dengan din
yang berasal dari wahyu. Bukankah tesis ini dapat bermakna bahwa kita
secara tidak sadar telah menyamakan alat dengan risalah?7
Kedua, bentuk negara adalah hasil kreasi manusia, karena itu ia dapat
saja berubah sesuai perkembangan zaman. Prinsip utama bagi suatu negara
untuk dapat dikatakan bercorak Islam ialah jika keadilan, persamaan, dan
mempengaruhi seluruh kehidupan rakyat. Tentang hal ini ia menulis:
7
Ketiga, karena konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam al‐
Quran, maka sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita‐cita
politik Qur’ani, sekalipun ia tidak semestinya identik dengan praktek demokrasi
Barat.9
Dari pemaparan tentang pemikiran politik Islam Syafii Maarif tersebut, ia
dapat dimasukkan kedalam tipologi moderat yang menolak klaim ekstrim bahwa
Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik,
tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada
kaitannya dengan politik. Dalam setiap karya tulisnya tentang politik Islam, baik
disertasi doktoralnya sekaligus mentornya dalam pemikiran Islam.
Buya Ahmad Syafii Maarif adalah seorang cendekiawan muslim Indonesia
yang selalu mengedepankan hati nuraninya dalam tulisan‐tulisannya. Ia seorang
tokoh yang memiliki integritas yang tinggi dalam memegang sebuah prinsip.
8
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 18
9
Said Tuhuleley, Pencarian Tiada Henti: Spiral dan Sikap Syafii Maarif, dalam
Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif: 70Tahun Ahmad Syafii Maarif, (Jakarta: Maarif
Institute, 2005), h. 96‐98
8
Muhammadiyah antara tahun 1998‐2005. Ada yang menarik dari sisi pribadinya,
biasanya tergoda untuk terjun dalam politik praktis yang memberikan harapan
politik praktis, justru lebih memilih berkiprah di Muhammadiyah dan memainkan
peran Muhammadiyah sebagai civil society. Lebih dari itu, ia ,dalam pemaparan
tulisan‐tulisannya, kaya akan ungkapan metaforanya.
Salah satu kelebihan Buya Syafii Maarif adalah memiliki sikap empati
yang tinggi kepada stiap orang meskipun terhadap orang yang berbeda
dengan sikap empati yang cukup tinggi. Akan tetapi, dalam konteks pemikiran
“Kedaulatan Tuhan” yang diyakini secara kuat oleh al‐Maududi, dengan menulis:
Bila teori di atas kita hadapkan kepada konsep “Kedaulatan Tuhan” yang
dipercaya sebagai inti dari sistem politik Islam dan yang dibela dan
dinyatakan oleh sebagian penulis muslim kontemporer, seperti Abul ‘Ala
al‐Maududi, kita menemukan sesuatu yang aneh. Pendapat macam ini
telah “banyak menimbulkan kebingungan….”10
10
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 51
9
pada masanya di seluruh dunia terutama di dunia muslim. Tulisan‐tulisannya
tentang pemikiran Islam sangat bernash dan selalu mengembalikan kepada al‐
Quran dan al‐Sunnah sebagai pedoman dasar dalam mengungkapkan pemikiran‐
Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam dan Khilafah dan Kerajaan yang kedua
Islam. Sementara dari hasil kajian penulis terhadap pemikiran politik Islam Buya
Syafii Maarif nampaknya kering dari konsep syar’i. Karena itu, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian ini yang kemudian ditinjau dari perspektif ulama al‐
salaf al‐shalih.
menimbang‐nimbang perbedaan pemahaman dari para akademisi yang memang
memandang dengan kaca mata Islam yang berlandaskan al‐Qur’an dan al‐Sunnah
sebagaimana yang dipahami para ulama salaf, bukan dengan kaca mata orang
Barat yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran yang hakiki.
10
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, penulis merumuskan
penelitian ini sebagai berikut:
negara?
Syafii Maarif tentang hubungan Islam dan negara?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan‐
pertanyaan yang telah diajukan dalam perumusan masalah. Lebih rinci, peneltian
ini bertujuan untuk:
Islam dan negara.
hubungan Islam dan negara dalam timbangan al‐salaf al‐shaleh.
b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
khasanah pemikiran politik Islam di Indonesia.
11
pemikiran Ahmad Syafii Maarif didapatkan beberapa karya dalam bentuk skripsi.
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tentang pemikiran Ahmad Syafii
Maarif.
kedudukan negara dan kekuasaan rakyat dalam pemerintah.
Nur Khasanah dalam skripsi Relasi Islam dan Demokrasi Pancasila di
Syafii Maarif yang melihat prospek demokrasi Pancasila di mata kaum Muslim
masa depan.
simbiosis mutualistik. Negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara
dapat bertindak sesuai dengan tata nilai, etika, dan moral dalam kehidupan
12
dapat berkembang.
Maarif tentang Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia
termasuk tokoh muslim yang berkeberatan apabila Islam dijadikan sebagai dasar
negara dan formalisasi syariat Islam. Berkaitan dengan relasi antara Islam dan
negara, secara normatif, Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun
tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum muslimin. Ia
menolak gagasan negara Islam karena menurutnya tidak memiliki basis religio‐
intelektual yang kukuh. Adapun secara historis, terminology negara Islam tidak
terdapat dalam literature klasik. Ia juga menolak tesis yang mengatakan bahwa
Islam merupakan din dan daulah. Dalam persoalan formalisasi syariat islam di
Indonesia, Syafii Maarif tidak menolak asalkan dengan cara konstitusional dan
pendirian negara Islam dan formalisasi syariat islam di Indonesia
Maarif, khususnya tentang politik Islam, belum didapatkan pemikiran yang utuh
dan bahkan belum ada penelitian yang bersifat studi kritis. Oleh karena itu, pada
penelitian ini penulis akan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
hubungan Islam dan negara dalam bingkai Islamic Worldview. Tentunya tanpa
13
mengurangi rasa hormat kepada Ahmad Syafii Maarif yang dalam beberapa
penulis sangat mengaguminya .
E. Landasan Teori
dipaparkan teori ilmu politik secara umum sebagaimana yang digunakan oleh
ilmu politik modern. Berikut ini dipaparkan tentang dasar‐dasar teori ilmu politik.
mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan
generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain, teori
politik adalah bahasan dan renungan atas tujuan dari kegiatan politik, cara‐cara
diakibatkan oleh tujuan politik itu. Konsep‐konsep yang dibahas dalam teori
pembangunan politik, modernisasi, dan sebagainya.12
11
Miriam Budiardjo, Dasar‐Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 16
12
Ibid, h. 43
14
adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi
yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.13 Adapun unsur‐unsur negara adalah
sebagai berikut:
batas 12 mil, dan angkasa di atasnya.
dalam satu negara atau nation. Ernest Renan, filosof prancis mengatakan,
tetapi tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk
mencapainya lagi di masa depan.
penduduk di dalam wilayahnya.
tersedia.14
13
Ibid, h. 17
14
Ibid, h. 51‐54
15
Louay. M. Shafi menyatakan bahwa kata daulah sudah digunakan dalam
al‐Quran dan hanya ada pada satu tempat yaitu pada QS. 59:7 yang berhubungan
saja. Namun penggunaan kata daulah yang berkonotasi politis baru dimulai sejak
abad ke enam dan tujuh Masehi. Lu’ai M. Shafi menulis:
In the Sixt and seventh centuries of the Muslim era, the term daulah
began to acquire a political connotation. Muslim scholars at this time,
mainly historians, began to employ the word in reference to the various
Muslim dynasties wich emerged when the institution of khilafah lost its
executive power, while reduced to a nominal affice symbolizing Muslim
units, while the real political and military power fell into the hands of
strong clane and families.15
Fred M. Donner mendefenisikan negara sebagai institusi yang harus
jurnal:
the "state" is defined as a set of political institutions resting on a
conception of legal authority; the institutions considered relevant are (a) a
governing group, (b) army and police, (c) a judiciary, (d) a tax
administration, and possibly (e) institutions to implement state policies
other than taxation, adjudication, and maintenance of control by the
elite.16
Ahmad Ali Nurdin, dalam jurnal internasional, membuat kategori negara‐
negara Islam yang berkaitan dengan aplikasi hubungan Islam dan negara dalam
tiga kategori. Ia menulis:
First, there are countries which still regard syaria as thefundamental law
and apply it more or less in its entirety. Saudi Arabia is acase in point.
15
Louay M. Safi, The Islamic State: A Conceptual Frame Work, The American Journal of
Islamic Social Sciences, 1991, Vol. 8, No. 2, h. 222
16
Fred M. Donner, The Formation of The Islamic State, Journal of The American Oriental
Society, Vol. 106, No. 2, (April‐June, 1986), h. 283
16
Second, there countries where syaria law has been abandoned completely
and substituted by a secular one. Turkey fits into this category. Third,
there are countries which try to reach a compromise between the two
domains of law, by adopting secular law preserving syaria at the same
time. These include such countries as Egypt, Tunisia, Iraq Indonesia, and
Malaysia.17
Mengenai keterkaitan antara Islam dengan persoalan kenegaraan, para
mewajibkan penegakan imamah sebagai fardlu kifayah. Para ulama Ahlu Sunnah
dan Murji’ah secara umum, Mu’tazilah kecuali segelintir dari mereka, dan
mereka memiliki pemahaman berbeda dalam makna wajibnya.18
penegakkan imamah adalah ijma shahabat, menurut Dhiauddin Rais, bahkan bisa
jadi adalah dalil satu‐satunya dan dalil‐dalil yang lain hanya dianggap
Rasulullah SAW, dimana para shahabat mengadakan pertemuan di Saqifah milik
17
Ahmad Ali Nurdin, Islam and State: A Study of The Liberal Islamic Network in
Indonesia, 1999‐2004, New Zealand Journal of Asian Studies, Vol. 7, No. 2, (December 2005), h.
28
18
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 91
17
dari urusan yang paling penting bagi mereka, diantaranya persiapan pemakaman
Rasulullah SAW. Perbedaan yang terjadi dalam pertemuan itu bukanlah tentang
wajib atau tidaknya penegakan imamah, akan tetapi perbedaan tentang siapa
mengangkat Abu Bakar r.a sebagai pemimpin.19
ulama terutama yang concern terhadap permasalahan politik Islam sebagaimana
yang dikutip Dhiauddin Rais. Diantaranya al‐ Mawardi dalam bukunya al‐Ahkam
mengatakan: “… Seandainya bukan karena para wali (pemimpin), niscaya mereka
menjadi kacau tidak terurus serta menjadi biadab dan liar…”. Imam al‐Ghazali
berpendapat bahwa pelaksanaan kewajiban‐kewajiban agama baik yang bersifat
individu maupun sosial dapat terlaksana jika ditegakkannya institusi keimamahan
dalam suatu pemerintahan. Karena itu dia mengatakan, “Agama dan kekuasaan
adalah dua anak kembar… Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah
penjaga… Sistem aturan agama tidak akan tercapai selain dengan menggunakan
sistem aturan dunia, dan sistem aturan dunia tidak akan dicapai kecuali dengan
adanya seorang imam yang dipatuhi”.20
dalam bukunya al‐Muqaddmimah, ia menulis, “Kemudian bahwa melantik imam
19
Ibid, h. 94
20
Ibid, h. 97‐99
18
adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma para
shahabat dan tabi’in karena para shahabat Rasulullah SAW, ketika beliau wafat,
segera membai’at Abu Bakar r.a. dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur
urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu. Manusia atau umat
tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai
masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma yang menunjukkan wajibnya
melantik imam.”21
agama namun juga merupakan sebuah sistem politik. Meskipun pada decade‐
dekade terakhir ada beberapa kalangan dari kaum umat Islam yang mengklaim
sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun
seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fondasi bahwa kedua sisi itu
saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”
C.A. Nalinno menulis, “ Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan
agama dan negara. Dan batas‐batas territorial negara yang dia bangun it uterus
individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang
21
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Kairo: Daar al‐Fajr Li al‐Turats, 2004), h.
244
19
perundang‐undangan, dan institusi.”22
dasar yang berlandaskan pada sumber hukum Islam, yaitu al‐Quran, al‐Sunnah,
dan ijma para shahabat. Konsep‐konsep dasar yang harus dipahami terlebih
dahulu adalah konsep tentang Ummah, Syura, dan Imamah atau Khilafah.
Konsep‐konsep ini tidak terdapat dalam konsep politik modern Barat.
dalam al‐mufradat fi gharib al‐Quran secara lebih jelas mendefinisikan ummat
adalah setiap jama’ah yang disatukan oleh sesuatu hal; satu agama, satu zaman,
atau satu tempat. Baik factor pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan
atas pilihan.23
Secara lebih terperinci, Sa’id Hawwa, menjelaskan unsur‐unsur pemersatu
ummah dalam hal ini adalah umat Islam. 1) Kesatuan aqidah, dimana umat Islam
mempunyai suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan la
ilaha illa Allah secara ikhlash. Sehingga barang siapa tidak mengucapkannya,
maka tidak termasuk bagian umat ini. 2) Kesatuan ibadah, ibadah yang
diwajibkan Allah kepada umat Islam semua adalah satu. Setiap muslim
diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum di bulan ramadlan setiap
22
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 5‐6
23
Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem
jama’ah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1991), h. 43‐44
20
tahun, zakat apabila telah cukup nishab, dan kewajiban‐kewajiban Islam yang
lain. 3) Kesatuan adat dan prilaku, setiap umat Islam mempunyai keteladanan
yang baik pada diri Rasulullah SAW. 4) Kesatuan sejarah, seorang muslim tidak
terikat oleh tanah air atau warna kulit tertentu, dan hanya sejarah Islamlah yang
menjadi ikatan dan kebanggaannya. 5) Kesatuan bahasa, merupakan suatu yang
alami jika bahasa Arab menjadi salah satu factor pemersatu umat Islam, karena
undang‐undang Islam adalah al‐Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab. 6)
Kesatuan jalan, sesungguhnya jalan kaum muslimin adalah satu, yaitu jalan para
Nabi dan Rasul. Karena itu, seorang muslim dituntut agar teguh dan konsisten di
untuk menata dan mengatur gerakan mereka di atas bumi ini, kecuali dari apa
yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul‐Nya. 8) Kesatuan pimpinan, umat Islam
para khalifah‐nya yang terpimpin. Masing‐masing dari mereka menjadi pemimpin
pada zamannya.24
sarang lebah.25 Secara istilah, musyawarah dapat berarti meminta pendapat dari
24
Sa’id Hawwa, Al‐Islam, (Jakarta: Al‐I’tisham Cahaya Umat, Terj., 2002 M)m, 2/112‐117
25
Ibnu Manzhur, Lisan al‐‘Arab, (Beirut: Daar Shadir, 1388 H), 6/103
21
bahwa Majelis Syura ialah majlis yang dibentuk untuk membahas urusan‐urusan
negara.26 Jadi, konsep syura merupakan unsur yang sangat penting dalam
mengatakan, “Ini adalah nash yang tegas yang tidak boleh diragukan lagi oleh
umat Islam, bahwa syura adalah dasar asasi bagi tegaknya sistem pemerintahan
Islam. Islam tidak boleh tegak kecuali di atass prinsip ini.”27
dalam kehidupan politiknya karena hampir sama dengan konsep syura yang
terdapat dalam al‐Quran. Ia menulis:
Muslim interpretation of democracy build on the well established Qur’anic
concept of shura (consultation), but place varying emphases on the
extend to wich “the people” are able to exercise this duty. One school of
thought argues that Islam is inherently democratic not only because of
the ptonciple of consultation, but also because of the concept of ijtihad
and ijma’ (consensus).28
Istilah imam, khalifah atau amir al‐mu’minin ditujukan kepada satu
pengertian, yaitu kepemimpinan tertinggi umat Islam, tetapi masing‐masing dari
istilah tersebut mempunyai latar belakang historis dan politis tersendiri. Al‐
Adapun penyebutan khalifah berawal dari pemilihan Abu Bakar r.a pada
26
Al‐MunjidFi al‐Lughah Wa al‐A’lam, (Beirut: Daar al‐Masyriq, 1986 M) h. 407
27
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al‐Quran, (Bairut: Daar al‐Syuruq, 1992), 4/117
28
John L. Esposito and James P. Piscatori, Democratization and Islam, The Middle East
Journal, Vol. 45, No. 3, (Summer, 1991).
29
Al‐Mawardi, Al‐Ahkam Al‐Sulthaniyah, (Beirut: Daar al‐Kutub al‐‘Ilmiyah), h. 5
22
diberikan pertama kali kepada khlaifah yang kedua, Umar ibn al‐Khaththab.31
F. Metode Penelitian
landasan ilmiah dengan mengacu kepada metodologi peneltian yang benar. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini penulis akan memaparkan metode penelitian
sebagai berikut:
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
data kepustakaan berupa buku‐buku yang terkait dengan focus kajian sebagai
jurnal‐jurnal ilmiah, buku‐buku, dan karya tulis baik berupa skripsi ataupun tesis
yang berkaitan dengan tema penelitian.
b. Pendekatan Penelitian
secara cukup teliti dan hati‐hati terhadap bukti validitas dari sumber sejarah
30
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 78
31
Ibid, h. 82
32
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1990), h. 9
23
pemikiran Ahmad Syafii Maarif, sehingga dapat dipelajari faktor lingkungan yang
historis.
c. Sumber Data
primer dan data sekunder.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku‐buku asli
karya Ahmad Syafii Maarif tentang politik Islam. Diantaranya adalah:
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996).
(1959‐1965), (Jakarta: GIP, 1996).
3. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993).
24
Ahmad Syafii Maarif maupun tentang pemikiran tokoh muslim yang lainnya.
Diantara sumber data sekunder yang dibunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Buku Muhammadiyah & Politik Islam Inklusif: 70 Tahun Ahmad Syafii
Maarif, (Jakarta: Maarif Institute, 2005, editor Abd Rohim Ghazali &
tentang pemikiran politik Islam Ahmad Syafii Maarif.
2. Jurnal Ahmad Asroni Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Negara
dan Syariat Islam di Indonesia, (Millah Vol. X, No 2, Februari 2011)
Paramadina, 2001), buku ini merupakan hasil karya disertasi Musdah
Mulia yang diterbitkan oleh penerbit Paramadina.
4. Buku M. Dhiauddin Rasi, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001)
(Bandung:Penerbit Mizan, 1995)
1993)
7. Buku Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1993)
25
d. Analisis Data
mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap
obyek yang diteliti dengan jalan memilah‐milah antara pengertian yang satu
maksimal.34
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke
dalam suatu rumusan pada kategori dan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan untuk menganalisis
data.35
yang terdiri dari tiga tahap, yaitu sebagai berikut:
33
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1996), h. 47‐49
34
Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 336
35
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, h.
112
26
pilah. Kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk narasi.
Ketiga, penarikan simpulan dari data yang telah disajikan pada tahap kedua
dengan mengambil simpulan.
dianalisis kembali dengan menggunakan perspektif ulama al‐salaf al‐shalih, yakni
melakukan deskriptis analitis berdasarkan metodologi yang digunakan oleh para
ulama al‐salaf al‐shalih. Pada tahap ini, peminjaman metode yang dibangun oleh
menjadikan Islam sebagai basic of knowledge.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan sistem penulisan sebagai
berikut:
landasana teori, metode penelitian, sistematika penulisan dan penutup.
Bab kedua, memaparkan biografi Ahmad Syafii Maarif yang terdiri dari;
biografi Ahmad Syafii Maarif, Latar Belakang intelektual Ahmad Syafii Maarif,
27
metodologi dan corak pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan Karya‐karya Ahmad
Syafii Maarif.
hubungan Islam dan negara yang terdiri dari; landasan teori politik Islam, konsep
negara Islam, konsep Piagam Madinah, konsep syura sebagai prinsip dasar politik
Islam, dan cita‐cita negara Islam dalam konteks ke‐Indonesiaan.
Bab keempat, membahas analisis pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
relasi Islam dan negara perspektif ulama al‐salaf al‐shalih yang terdiri dari;
konsep pemahaman ulama al‐salaf al‐shalih,dasar‐dasar teori politik Islam, relasi
Islam dan negara menurut ulama al‐salaf al‐shalih, tinjauan pemahaman ulama
al‐salaf al‐shalih terhadap pemikiran Ahmad Syafii Maarif.
Bab kelima, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran‐saran.