Anda di halaman 1dari 65

SKRIPSI

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TENTANG KEJAHATAN PENCURIAN


KENDARAAN BERMOTOR

(STUDI KASUS DI KOTA MAKASSAR PADA TAHUN 2007-2011)

OLEH:

NENY RISKI RAMADANI

B111 08 305

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
M A K AS S A R

2012

1
HALAMAN JUDUL

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TENTANG KEJAHATAN PENCURIAN


KENDARAAN BERMOTOR

(STUDI KASUS DI KOTA MAKASSAR PADA TAHUN 2007-2011)

OLEH:

NENY RISKI RAMADANI


B111 08 305

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi


Sarjana
Dalam Bagian Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN

M A K AS S A R
OKTOBER 2012

2
PENGESAHAN SKRIPSI

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TENTANG KEJAHATAN


PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR
(STUDI KASUS DI KOTA MAKASSAR PADA TAHUN 2007-2011)

DIsusun dan diajukan oleh:

NENY RISKI RAMADANI


NIM B11108305

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi yang dibentuk dalam


rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana Bagian Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Panitia Ujian

Ketua, Sekretaris,

H.M.Imran Arief, S.H.,M.S Hj. Nur Azisa,S.H.,M.H


NIP. 19470915 1979011001 NIP. 19671010199202200

A.n. Dekan
Pembantu Dekan I

3
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H.
NIP. 1963041919890313003

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :

Nama : Neny Riski Ramadani

No.Pokok : B 111 08 305

Program : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Judul : Tinjauan Kriminologis Tentang Kejahatan

Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi

Kasus Di Kota Makassar Pada Tahun 2007-

2011)

Telah memenuhi syarat dan disetujui untuk diajukan dalam ujian

skripsi sebagai ujian akhir program studi.

Makassar, September 2012

An. Dekan
Pembantu Dekan I

4
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H.
NIP. 1963041919890313003

Persetujuan Pembimbing

Diterangkan bahwa skripsi dari Mahasiswa:

Nama : Neny Riski Ramadani

No.Pokok : B 111 08 305

Program : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Judul : Tinjauan Kriminologis Tentang Kejahatan

Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi Kasus Di

Kota Makassar Pada Tahun 2007-2011)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian Skripsi di


Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

Makassar, Juli 2012

Pembimbing I Pembimbing II

H.M.Imran Arief, S.H.,M.S Hj. Nur Azisa,S.H.,M.H

5
NIP. 19470915 1979011001 NIP. 19671010199202200

ABSTRAK

NENY RISKI RAMADANI (B111 08 305), “Tinjauan Kriminologis


Tentang Kejahatan Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi Kasus Di Kota
Makassar Pada Tahun 2007-2011) ” di bawah bimbingan Bapak H.M.
Imran Arief, sebagai pembimbing I dan Ibu Hj. Nur Azisa, sebagai
pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya pencurian kendaraan bermotor di kota Makassar
dalam kurun waktu lima tahun terakhir, serta untuk mengetahui upaya-
upaya apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kejahatan
pencurian kendaraan bermotor di kota Makassar.
Data yang diperoleh kemudian dianalisi dengan membandingkan
keadaan nyata dan data yang ada tentang faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pencurian kendaraan bermotor di Kota Makassar
serta upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan analisis terhadap data dan fakta tersebut, maka penulis
menyimpulkan antara lain : faktor yang mempengaruhi terjadinya
pencurian kendaraan bermotor yakni faktor ekonomi, faktor rendahnya
tingkat pendidikan, faktor lingkungan dan faktor lemahnya penegakan
hukum. Upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah upaya
preventif dan represif. Upaya preventif yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian adalah melakukan penyuluhan dan patrol. Upaya represif
merupakan penindakan bagi pelaku kejahatan curanmor melalui suatu
proses peradilan pidana dan melakukan pembinaan di lembaga
permasyarakatan.

6
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, tak lupa pula salawat dan salam

kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW berserta

para Sahabatnya dan suri tauladannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Tinjauan Kriminologis Tentang

Kejahatan Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi Kasus Di Kota

Makassar Pada Tahun 2007-2011)“

Skripsi ini dilanjutkan sebagai tugas akhir dalam rangka

penyelesaian studi sarjana dalam bagian Hukum Pidana program studi

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Dengan rasa hormat, cinta, kasih sayang penulis ingin mengucapkan

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada orang

tuaku Ayahanda Ridwan Palembai dan Ibundaku Nurlaela Yaleng, sembah

sujud ananda pada ayah dan bunda semoga skripsi ini menjadi awal

pembuka jalan kesuksesan dan pembawa kebahagian buat ayah dan

bunda. Kepada om dan tante Ismail Syamsu Alam dan Asneni Palembai

atas segala kebaikan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada

7
penulis selama ini. Kepada adik-adikku yang besar hatinya, kakek, nenek,

tante, om, saudara sepupuku yang berlimpah kasih sayangnya, keluarga

besar dan kepada semua orang yang selalu menyayangi penulis

memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi selaku Rektor Universitas

Hasanuddin.
2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si, DFM selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.


3. Bapak Prof. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I,

Bapak Dr. Ansyori Ilyas, S.H., M.H selaku Wakil Dekan II, dan Bapak

Romi Librayanto, S.H., M.H selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin
4. Bapak H.M Imran Arief,S.H.,M.S, selaku pembimbing I dan Hj. Nur

Azisa, S.H.,M.H, selaku pembimbing II yang telah membantu dan

meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan kepada penulis.


5. Bapak Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H.,M.H, Ibu Haeranah, S.H.,M.H

dan Ibu Hijrah Adhyanti M, S.H.,M.H selaku dosen penguji.


6. Seluruh Dosen pengajar di fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

yang telah banyak berjasa mendidik penulis sehingga berhasil

menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.


7. Staf Pengurus Akademik beserta jajarannya terkhusus untuk Bapak

Bunga selaku Staf Akademik angkatan 2008 yang tak kenal lelah

membantu penulis selama kuliah.

8
8. Ketua Pengadilan Negeri Makassar beserta jajarannya,

Kapolrestabes Makassar beserta jajarannya dan Lembaga

Permasyarakatan Klas I Makassar beserta jajarannya yang telah

memberikan bantuan, meluangkan waktunya dan kerja samanya

selama penulis melakukan penelitian.


9. Teman-teman anggota KKN Kemitraan Penanganan Persampahan

Kota Makassar atas bantuan selama kuliah kerja nyata.


10. Sahabat-sahabatku Putri, Selnia, Netty, Ikbal, Eqy, Andi, Agung,

Akram, Rizqah, Romeldy, Linda, Dilla, Idha, Ratna, Kasma, Erzam,

dan Asad dan semuanya yang namanya tidak bisa penulis sisipkan

satu-satu.
11. Sahabatku Almarhum Faisal Mursyid yang sedang beristirahat

dengan tenang di pelukan Tuhan, terima kasih Ical.


12. Teman-teman seperjuangan Angkatan “NOTARIS 08”.
13. Henrik Ali, terima kasih tak terhingga atas segalanya di hari kemarin,

sekarang dan yang akan datang, semoga Allah SWT selalu senang

memberikan keberuntungan untukmu.


Penulis percaya bahwa Allah SWT selalu memudahkan orang yang

gemar memudahkan, Semoga segala bantuan amal kebaikan yang telah

diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Alllah SWT. Penulis

sangat mengharapkan kritis dan saran yang bersifat membangun dalam

rangka perbaikan skripsi ini, harapan penulis kiranya skripsi ini akan

bermanfaat bagi pembacanya. Amin.


Makassar, November 2012
Penulis
Daftar Tabel

Halaman

9
Tabel 1 Jumlah Pencurian Kendaraan Bermotor di Kota Makassar
Tahun 2007-2011
37

Tabel2 Usia Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor di Kota Makassar


Tahun 2007-2011.....................................................................................
39
Tabel 3 Pekerjaan Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor
di Kota Makassar Tahun 2007-2011.......................................................
43

Tabel 4 Tingkat Pendidikan Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor


di Kota Makassar Tahun 2007-2011.....................................................
45

DAFTAR ISI

10
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................................
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .......................................................
iv
ABSTRAK ..................................................................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH..........................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI.................................................................................................................
x

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
1
A. Latar Belakang..............................................................................................

1
B. Rumusan Masalah........................................................................................

4
C. Tujuan Penelitian...........................................................................................

4
D. Kegunaan Penelitian.....................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................


6

A. Pengertian Kriminologi dan Kejahatan...........................................................

11
B. Pengertian Kejahatan Pencurian dan Unsurnya..........................................

13
C. Pengertian Kendaraan Bermotor..................................................................

28
D. Teori-Teori Sebab Kejahatan........................................................................

29
E. Upaya Penanggulangan Kejahatan.............................................................

31

BAB III METODE PENELITIAN................................................................................


33

A. Lokasi Penelitian..........................................................................................

33
B. Jenis Data ....................................................................................................

33
C. Sumber Data.................................................................................................

34
D. Teknik Pengumpulan Data...........................................................................

35
E. Teknik Analisis Data......................................................................................

36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................................

37
A. Perkembangan Pencurian Kendaraan Bermotor di Kota

Makassar
.........................................................................................................

37
B. Faktor Penyebab Terjadinya Pencurian Kendaraan Bermotor di

Kota Makassar

12
.........................................................................................................

41
C. Upaya Penanggulangan Pencurian Kendaraan Bermotor..........................

49

BAB V PENUTUP....................................................................................................
54

A. Kesimpulan .......................................................................................................

54
B. Penutup .......................................................................................................

55
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................

56

LAMPIRAN.................................................................................................................

58

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

13
Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat

dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian

kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa

kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Selain merupakan suatu

hal yang sama sekali tidak menyenangkan bagi pihak yang tertimpa

musibah kejahatan tersebut, di satu sisi kejahatan juga sulit dihilangkan

dari muka bumi ini.


Adanya sebuah sunnatullah ketika Yang Maha Kuasa menciptakan

adanya sifat-sifat kebaikan maka juga pasti menciptakan lawan dari

kebaikan yaitu kejahatan sebagai sebuah keseimbangan. Tidak satupun di

muka bumi ini terdapat sekelompok masyarakat yang dapat hidup tanpa

sama sekali berbenturan dengan kejahatan, atau sepanjang hidup mereka

hanya mendapati kebajikan-kebajikan semata.


Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan peradaban

manusia dari masa ke masa, maka kebutuhan kepentingan manusia

semakin bertambah. Hal ini tentu membawa dampak negatif sebab akan

mengakibatkan bertambahnya kemungkinan terjadinya kejahatan.

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam

sering menghalalkan berbagai cara tanpa mengindahkan norma-norma

hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian sampai saat ini

kejahatan masih tetap abadi dan bahkan akan berkembang sesuai

dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih.


Manusia dalam kedudukannya sebagai mahluk sosial akan

senantiasa berusaha untuk meminimalisir tindak kejahatan yang terjadi

guna mencapai kehidupan masyarakat yang tertib dan damai. Oleh

14
karena itu usaha pembangunan untuk mencapai tujuan dan cita-cita

bangsa Indonesia yang telah digariskan dalam Undang-undang Dasar

(selanjutnya disingkat dengan UUD) Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan

terhapus dari berbagai hambatan dan ancaman, sebagaimana yang

tertuang dalam Pasal 28 A amandemen ke-4 UUD Negara RI Tahun 1945

yang berbunyi :
“Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.”

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 28 C ayat (2) amandemen ke-

4 UUD Negara RI Tahun 1945 disebutkan :


“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.”

Dan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) amandemen ke-4 UUD Negara

RI Tahun 1945 yang berbunyi :


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”

Dengan demikian maka jelaslah bahwa Negara Republik Indonesia

mengakui bahwa keamanan, ketertiban masyarakat dan penjaminan hak-

hak asasi manusia merupakan tujuan negara yang fundamental.


Salah satu bentuk kejahatan yang akhir-akhir ini sering terjadi dan

sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat adalah

kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHPidana) kejahatan

pencurian diatur dalam Buku Ke-2, Bab XXII mulai dari Pasal 362 sampai

dengan Pasal 367, sedangkan bentuk pokok dari kejahatan pencurian

15
diatur dalam Pasal 362 KUHPidana. Pencurian kendaraan bermotor

merupakan salah satu jenis kejahatan terhadap harta benda yang banyak

menimbulkan kerugian dan meresahkan masyarakat.


Dari pemberitaan di berbagai media massa, baik itu media eletronik

maupun media cetak, dapat diketahui bahwa berita mengenai kejahatan

pencurian kendaraan bermotor bukan saja menarik perhatian tetapi juga

mengusik rasa aman dan sekaligus mengundang sejumlah pertanyaan

tentang kenyataan apa yang berlangsung di masyarakat. Demikian pula

halnya di kota Makassar, yang mana di kota Makassar ini penulis

mengambil tempat atau lokasi penelitian sebab dari hasil pantauan penulis

sering terjadi adanya kasus pencurian kendaraan bermotor.


Dengan demikian usaha untuk menanggulangi atau tindakan

mengurangi kejahatan sekecil mungkin adalah merupakan suatu tindakan

memerangi hambatan atau ancaman pembangunan.


B. Rumusan Masalah
Dengan uraian latar belakang di atas dan untuk menghindari kajian

yang terlalu luas dan menyimpang dari objek penulisan ini, maka penulis

memilih rumusan masalah sebagai berikut:


1. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kejahatan pencurian

kendaraan bermotor di kota Makassar dalam kurun waktu tahun

2007-2011?
2. Bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan pencurian

kendaraan bermotor oleh aparat penegak hukum di kota

Makassar?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembahasan masalah tersebut, maka tujuan yang

akan dicapai dalam rangka penelitian ini adalah sebagai berikut:

16
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

kejahatan pencurian kendaraan bermotor di kota Makassar dalam

kurun waktu tahun 2007-2011.


2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh pihak yang

berwenang untuk menanggulangi terjadinya kejahatan pencurian

kendaraan bermotor di kota Makassar.

D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat menjadi bahan masukan bagi orang tua, tokoh-tokoh

masyarakat, pemuka-pemuka agama dan seluruh masyarakat

secara umum sebagai pihak-pihak yang ikut bertanggungjawab

terhadap meningkatnya tindak pencurian kendaraan bermotor.


2. Dapat menjadi bahan masukan bagi aparat/petugas hukum dalam

melakukan upaya-upaya preventif guna menyikapi terjadinya

tindakan pencurian kendaraan bermotor di kota Makassar.

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kriminologi dan Kejahatan


Nama kriminologi ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911) seorang

ahli antropologi Perancis. Secara harfiah kriminologi berasal dari kata

“crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti

ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan

dan penjahat.
Definisi tentang kriminologi banyak dikemukakan oleh para sarjana,

masing-masing definisi dipengaruhi oleh luas lingkupnya bahan yang

dicakup dalam kriminologi.


Beberapa sarjana terkemuka memberikan definisi kriminologi

sebagai berikut (A.S, Alam, 2010:1-2):


 Edwin H. Sutherland: criminology is the body of knowledge
regarding delinquency and crime as social phenomena
(kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membahas
kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial).
 J. Constant: kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan
yang bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang menjadi
sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.
 WME. Noach: kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang
tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya.
 Bonger: kriminologi ialah suatu ilmu yang mempelajari gejala
kejahatan seluas-luasnya.

Pengertian seluas-luasnya mengandung arti seluruh kejahatan dan

hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan. Hal yang berhubungan

dengan kejahatan ialah sebab timbul dan melenyapnya kejahatan, akibat

18
yang ditimbulkan, reaksi masyarakat dan pribadi penjahat (umur,

keturunan, pendidikan dan cita-cita).


Ke dalam pengertian ini dapat dimasukkan sistem hukuman,

penegak hukum serta pencegahan (undang-undang). Segala aspek tadi

dipelajari oleh suatu ilmu tertentu, umpama jika timbul suatu kejahatan,

reaksi masyarakat dipelajari psikologi dan sosiologi, masalah keturunan

dipelajari biologi, demikian pula masalah penjara dipelajari penologi dan

sebagainya. Keseluruhan ilmu yang membahas hal yang bersangkut-paut

dengan kejahatan yang satu sama lain yang tadinya merupakan data yang

terpisah digabung menjadi suatu kebulatan yang sistemis disebut

kriminologi. Inilah sebabnya orang mengatakan kriminologi merupakan

gabungan ilmu yang membahas kejahatan. Thorsten Sellin (Simandjuntak,

1980:9) menyatakan bahwa criminology a king without a country (seorang

raja tanpa daerah kekuasaan).


Manfaat dipelajarinya kriminologi ialah kriminologi memberikan

sumbangannya dalam penyusunan perundang-undangan baru (Proses

Kriminalisasi), menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (Etilogi

Kriminal) yang pada akhirnya menciptakan upaya-upaya pencegahan

terjadinya kejahatan.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa kriminologi membahas

masalah kejahatan. Timbul pertanyaan sejauh manakah suatu tindakan

dapat disebut kejahatan? Secara formil kejahatan dirumuskan sebagai

suatu perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana

dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat

perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu ialah ketertiban

19
masyarakat terganggu, masyarakat resah akibatnya. Penggangguan ini

dianggap masyarakat anti sosial, tindakan itu tidak sesuai dengan tuntutan

masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka tindakanpun

harus dinamis sesuai dengan irama masyarakat. Jadi ada kemungkinan

suatu tindakan sesuai dengan tuntutan masyarakat tetapi pada suatu

waktu tindakan tersebut mungkin tidak sesuai lagi dengan tuntutan

masyarakat karena perubahan masyarakat tadi, demikian pula sebaliknya.


Ketidaksesuaian ini dipengaruhi faktor waktu dan tempat. Dengan kata

lain pengertian kejahatan dapat berubah sesuai dengan faktor waktu dan

tempat. Pada suatu waktu sesuatu tindakan disebut jahat, sedangkan

pada waktu yang lain tidak lagi merupakan kejahatan, dan sebaliknya.

Juga bisa terjadi di suatu tempat sesuatu tindakan disebut jahat, sedang

di tempat lain bukan merupakan kejahatan. Dengan kata lain masyarakat

menilai dari segi hukum bahwa sesuatu tindakan merupakan kejahatan

sedang dari segi sosiologi (pergaulan) bukan kejahatan. Inilah kejahatan

dalam makna yuridis. Sebaliknya bisa terjadi sesuatu tindakan dilihat dari

segi sosiologis merupakan kejahatan sedang dari segi juridis bukan

kejahatan. Menurut Simandjuntak (1980:10) ini disebut kejahatan

sosiologis (kejahatan kriminologis).


Bonger mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang

bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis

atau murni), berdasarkan kesimpulan praktis kriminologis teoritis adalah

ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang seperti ilmu

20
pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan

mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut.


Kejahatan adalah pokok penyelidikan dalam kriminologi, artinya

kejahatan yang dilakukan dan orang-orang yang melakukannya; segi

yuridis dari persoalan tersebut yaitu perumusan daripada berbagai

kejahatan itu, tidak menarik perhatiannya atau hanya tidak langsung.

Seperti dalam ilmu pengetahuan lainnya, yang terpenting dalam

kriminologi adalah mengumpulkan bahan-bahan. Syarat-syarat yang

harus dipenuhi oleh para penyidik sama dengan dalam ilmu pengetahuan

lain (kejujuran, tidak berat sebelah, teliti dan lain-lain seperti dalam semua

hal yang berhubungan dengan homosapien). Juga disini hendaknya kita

menaruh perhatian dan simpati kepada manusia yang mau mengabdikan

pengetahuannya untuk kepentingan umat manusia.


Pengklasifikasian terhadap perbuatan manusia yang dianggap

sebagai kejahatan didasarkan atas sifat dari perbuatan yang merugikan

masyarakat, Paul Moekdikdo (Soedjono, 1975:5) merumuskan sebagai

berikut:

“Kejahatan adalah pelanggaran hukum yang ditafsirkan atau patut


ditafsirkan sebagai perbuatan yang sangat merugikan,
menjengkelkan dan tidak boleh dibiarkan atau harus ditolak.”
Selanjutnya menurut Mulyana W. Kusuma (1984:19) ada beberapa

rumusan dan definisi dari berbagai ahli kriminologi Garafalo misalnya yang

merumuskan kejahatan sebagai pelanggaran perasaan-perasaan kasih,

Thomas melihat kejahatan sebagai suatu tindakan yang bertentangan

dengan solidaritas kelompok tempat pelaku menjadi anggota, Redeliffe

21
Brown merumuskan kejahatan sebagai suatu pelanggaran tata cara yang

menimbulkan sanksi pidana sedangkan Bonger menganggap kejahatan

sebagai suatu perbuatan anti sosial yang sadar dan memperoleh reaksi

dari negara berupa sanksi.

Kriminolog kritis Mulyana W. Kusuma (1984:55) mengemukakan

bahwa kejahatan diukur berdasarkan pengujian yang diakibatkan terhadap

masyarakat. Berbicara tentang rumusan dan definisi kejahatan, penulis

akan mengemukakan beberapa pendapat dari para ahli kriminologi dan

hukum pidana diantaranya sebagai berikut:

1. Thorsten Sellin berpendapat bahwa hukum pidana tidak


dapat memenuhi tuntutan ilmuan dan suatu dasar yang lebih
baik bagi perkembangan kategori-kategori ilmiah adalah
dengan mempelajari norma-norma kelakuan (CondactNorm),
karena konsep norma-norma berlaku yang mencakup setiap
kelompok atau lembaga seperti negara serta tidak
merupakan ciptaan kelompok-kelompok normatif manapun,
serta juga tidak terkurung oleh batasan-batasan politik dan
tidak selalu harus terkandung di dalam hukum.
2. Sue Titus Reit, bagi suatu rumusan hukum tentang
kejahatan maka hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain
adalah bahwa kejahatan adalah suatu tindakan sengaja atau
omissi. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum
hanya karena pikirannya, melainkan harus ada tindakan atau
kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat
juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban
untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula
harus ada niat jahat.
3. Merupakan pelanggaran hukum pidana:
a. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau
pembenaran yang diakui secara hukum.
b. Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan
atau pelanggaran.
4. Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan
adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena perbuatan
yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara
beraksi dengan hukuman sebagai upaya pemungkas.

22
5. Herman Manheim menganggap bahwa perumusan
kejahatan adalah sebagai perbuatan yang dapat dipidana
lebih tepat, walaupun kurang informatif, namun ia
mengungkapkan sejumlah kelemahan yakni pengertian
hukum terlalu luas.

Berdasarkan pendapat di atas, jelas bahwa pemberian suatu

batasan sangat memerlukan suatu pengetahuan yang mendalam dan

dapat pula menunjang pokok masalah yang akan dibahas. Namun hal ini

tidaklah berarti bahwa tidak boleh memberi batasan sebab suatu batasan

dianggap dapat dijadikan sebagai landasan atau tolak pangkal dari

pembahasan selanjutnya. Dari beberapa pendapat di atas nampak betapa

sulitnya memberikan batasan yang dianggap tepat mengenai pengertian

kejahatan, sampai saat ini belum ada suatu definisi yang dapat diterima

secara umum oleh para kriminolog.


Setelah penulis membaca dan memahami pendapat dari beberapa

ahli tentang rumusan dan definisi mengenai kejahatan, penulis menarik

kesimpulan bahwa perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh sudut

pandang yang berbeda. Perbedaan luas dan sempit batasan diberikan

tergantung dari sudut mana kejahatan tersebut dipandang.


Pandangan kejahatan dari segi yuridis menghendaki batasan

dalam arti sempit, yakni kejahatan yang telah dirumuskan dalam undang-

undang juga meliputi pengertian kejahatan dalam arti sosiologis.


Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan kedua pengertian

kejahatan tersebut sebagai berikut:


1. Pengertian Kejahatan Secara Yuridis
Kata kejahatan menurut pengertian sehari-hari adalah setiap

tingkah laku atau perbuatan yang jahat misalnya pencurian, pembunuhan,

penganiayaan dan masih banyak lagi.

23
Jika membaca rumusan kejahatan di dalam Pasal 2 KUHPidana

jelaslah bahwa yang dimaksud atau disebutkan dalam KUHPidana

misalnya pencurian adalah perbuatan yang memenuhi perumusan

ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 362 KUHPidana seperti yang

telah dirumuskan oleh R. Soesilo (1995:249) adalah sebagai berikut:


“Barang siapa mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memilikinya
secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.”

Jelaslah bahwa yang dipersalahkan mencuri adalah mereka yang

melakukan perbuatan kejahatan dan memenuhi unsur Pasal 362

KUHPidana. Secara yuridis formil, kejahatan adalah semua tingkah laku

yang melanggar ketentuan pidana.


2. Pengertian Kejahatan Secara Sosiologis
Pengertian kejahatan secara yuridis berbeda dengan pengertian

kejahatan secara sosiologis, kalau kejahatan dalam pengertian secara

yuridis hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang bertentangan

dengan moral kemanusiaan (Inmoril) merugikan masyarakat (antisosial)

yang telah dirumuskan dan ditentukan dalam perundang-undangan

pidana. Akan tetapi pengertian kejahatan secara sosiologis, selain

mencakup pengertian yang masuk dalam pengertian yuridis juga meliputi

kejahatan atau segala tingkah laku manusia, walaupun tidak atau belum

ditentukan dalam bentuk undang-undang pada hakekatnya oleh warga

masyarakat dirasakan atau ditafsirkan sebagai tingkah laku secara

ekonomis dan psikologis, menyerang atau merugikan masyarakat dan

melukai perasaan susila dalam kehidupan bersama.

24
Dalam mempersoalkan sifat dan hakikat atau perihal tingkah laku

inmoril atau antisosial tersebut di atas, nampak adanya sudut pandang.

Subyektif apabila dilihat dari sudut orangnya, adalah perbuatan yang

merugikan masyarakat pada umumnya.


B. Pengertian Kejahatan Pencurian dan Unsurnya
Kata Pencurian berasal dari kata dasar yang mendapat awalan me-

dan akhiran-an. Menurut Poerwardarminta (1984:217):


“Pencuri berasal dari kata dasar curi yang berarti sembunyi-
sembunyi atau diam-diam dan pencuri adalah orang yang
melakukan kejahatan pencurian. Dengan demikian pengertian
pencurian adalah orang yang mengambil milik orang lain secara
sembunyi-sembunyi atau diam-diam dengan jalan yang tidak sah.”
Pengertian pencurian dalam rumusan Pasal 362 KUHPidana
(Solahuddin, 2008:86) adalah sebagai berikut:

“Barang siapa mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau


sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memilikinya
secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”

Pencurian termasuk kejahatan terhadap harta benda yang diatur

dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHPidana. Adapun jenis-

jenis pencurian yang diatur dalam KUHPidana adalah sebagai berikut:

1. Pasal 362 KUHPidana adalah delik pencurian biasa.


2. Pasal 363 KUHPidana adalah delik pencurian berkualitas atau

dengan pemberatan.
3. Pasal 364 KUHPidana adalah delik pencurian ringan.
4. Pasal 365 KUHPidana adalah delik pencurian dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan.


5. Pasal 367 KUHPidana adalah delik pencurian dalam kalangan

keluarga.

25
Pasal 362 KUHPidana merupakan pokok delik pencurian, sebab

semua unsur dari delik pencurian tersebut di atas dirumuskan secara

tegas dan jelas, sedangkan pada pasal-pasal KUHPidana lainnya tidak

disebutkan lagi unsur tindak pidana atau delik pencurian akan tetapi cukup

disebutkan lagi nama kejahatan pencurian tersebut disertai dengan unsur

pemberatan dan keringanan.


Delik pencurian adalah delik yang paling umum, tercantum di dalam

semua KUHPidana di dunia, disebut delik netral karena terjadi dan diatur

oleh semua negara termasuk Indonesia.


Jenis tindak pidana pencurian merupakan jenis tindak pidana yang

terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia, oleh karenanya menjadi

sangat logis apabila jenis tindak pidana ini menempati urutan teratas di

antara tindak pidana terhadap harta kekayaan yang lain. Hal ini dapat

dilihat dari banyaknya terdakwa/tertuduh dalam tindak pidana pencurian

yang diajukan ke sidang pengadilan.


Unsur-unsur tindak pidana pencurian yang dirumuskan dalam

Pasal 362 KUHPidana (Soesilo, 1995:249) adalah sebagai berikut:


1. Perbuatan mengambil;
2. Yang diambil harus sesuatu barang;
3. Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain;
4. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk dimiliki;
5. Secara melawan hukum;

Ad. 1. Mengambil

Unsur yang pertama yaitu unsur mengambil, menurut Soesilo

(1995:250) mengambil untuk dikuasai maksudnya waktu mencuri barang

itu, barang tersebut belum berada dalam kekuasaannya, apabila waktu

26
mengambil barang dan barang sudah berada dalam kekuasaannya maka

kasus tersebut bukanlah ke dalam pencurian tetapi penggelapan.

Pengambilan (pencurian) itu sudah dapat dikatakan selesai apabila

barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang baru memegang saja

barang itu dan belum berpindah tempat maka orang itu belum dikatakan

mencuri, akan tetapi ia baru mencoba mencuri.

Unsur mengambil ini mempunyai banyak penafsiran sesuai dengan

perkembangan masyarakat. Mengambil semula diartikan dengan

memindahkan barang dari tempatnya semula ke tempat yang lain, hal ini

berarti membawa barang tersebut di bawah kekuasaan nyata atau barang

tersebut berada di luar kekuasaan pemiliknya. Menurut Koster Henker

(Andi Hamzah, 2010:101) dengan mengambil saja belum merupakan

pencurian, karena harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,

dan pengambilan tersebut harus dengan maksud untuk memilikinya

bertentangan dengan hak pemilik. Pengertian mengambil dalam bahasa

Indonesia lebih tepat jika dibandingkan dengan pengertian menurut

hukum atau Pasal 362 KUHPidana. Mengambil dalam pengertian bahasa

Indonesia atau bahasa sehari-hari adalah tindakan atau perbuatan aktif

memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu

penguasaan ke penguasaan yang lain mengambil barang tersebut,

sedangkan pengertian mengambil menurut rumusan hukum mencakup

pengertian luas, yakni baik yang termasuk dalam pengertian sehari-hari

27
atau bahasa Indonesia juga termasuk mengambil yang dilakukan dengan

jalur memindahkan, misalnya:

1. Seseorang mengalihkan strom listrik/aliran listrik.


2. Seseorang mengendarai sepeda motor orang lain dan tidak

mengembalikannya.
Menurut Sianturi (1983:592) yang dimaksud dengan pengambilan

dalam penerapan Pasal 362 KUHPidana:


“Memindahkan kekuasaan nyata terhadap suatu barang ke dalam
penguasaan nyata sendiri dari penguasaan nyata orang lain. Pada
pengertian ini tersirat pada terjadinya penghapusan atau peniadaan
penguasaan nyata orang lain tersebut, namun dalam rangka
penerapan. Pasal ini tidak diisyaratkan untuk dibuktikan.”

Sianturi juga mengatakan bahwa mengenai cara

mengambil/pengambilan atau memindahkan kekuasaan tersebut, sebagai

garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga yaitu:


1) Memindahkan suatu barang dari tempatnya semula ke tempat
lain, dengan berpindahnya barang tersebut sekaligus juga
berpindah kekuasaan nyata terhadap barang tersebut.
2) Menyalurkan barang itu melalui suatu alat penyalur, dalam hal
ini karena sifat barang itu sedemikian rupa tidak selalu dapat
dipisahkan dari yang dipisahkan.
3) Pelaku hanya sekedar memegang atau menunggui suatu
barang saja, tetapi juga dengan ucapan atau gerakan
mengisyaratkan bahwa barang tersebut kepunyaannya atau
setidak-tidaknya orang menyangka demikian, dalam hal ini
barang tersebut sama sekali tidak dipindahkan.
Pada cara pengambilan ketiga tersebut di atas, si pelaku harus

menyadari atau menyangka bahwa barang tersebut adalah milik orang

lain sebagian atau seluruhnya, misalnya di sebuah pasar si A berdiri di

dekat jualan si B, karena suatu keperluan si B meninggalkan jualannya.

Setelah kepergian si B, si C datang dan membeli sesuatu barang dari si A

karena menyangka si A adalah pemiliknya. Akan tetapi menurut Andi

28
Hamzah (2010:101-102) jika orang mencuri dengan maksud untuk

memberikan kepada orang lain maka tetap merupakan delik pencurian.

Karena pada delik pencurian, pada saat pengambilan barang yang dicuri

itulah terjadinya delik, dikarenakan pada saat itulah barang berada di

bawah kekuasaan si pembuat.

Ad. 2. Sesuatu Barang


Unsur yang kedua sesuatu barang, Soesilo (1995:250) memberikan

pengertian tentang sesuatu barang yang dapat menjadi obyek pencurian,

yaitu:
“Sesuatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk
pula binatang (manusia tidak masuk). Misalnya uang, baju, kalung
dan sebagainya, dalam pengertian barang termasuk pula daya
listrik dan gas. Meskipun barang tersebut tidak berwujud, akan
tetapi dialirkan ke kawat atau pipa oleh karena itu mengambil
beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak
dengan izin wanita tersebut adalah juga termasuk pencurian
meskipun beberapa helai rambut tidak ada harganya.”

Menurut ketentuan Pasal 499 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (Solahuddin, 2008:334) yang dimaksud dengan barang adalah

tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi objek dari hak milik.
Jadi di dalam undang-undang tidak ada penggarisan batasan

tentang barang yang menjadi objek pencurian, dalam hal ini baik barang

bergerak, tidak bergerak/berwujud sebenarnya dapat menjadi objek

pencurian.
Sianturi (1983:593) memberikan pengertian sesuatu barang yang

dapat menjadi objek pencurian yaitu:


“Yang dimaksud dengan sesuatu barang dengan delik pencurian
pada dasarnya adalah setiap benda bergerak yang mempunyai
nilai ekonomis. Menurut Sianturi, pengertian ini memang wajar,
karena jika tidak ada nilai ekonomisnya sulit diterima dengan akal
bahwa seseorang akan membentuk kehendaknya mengambil

29
sesuatu itu sedang diketahuinya bahwa yang akan diambilnya tidak
mempunyai nilai ekonomis. Untuk itu dia ketahui pula bahwa
tindakan itu bersifat melawan hukum. Pengertian ini diperkuat pula
oleh Pasal 364 KUHPidana yang menentukan nilai ekonomisnya
maksimum dua ratus lima puluh rupiah.”

Dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa untuk menentukan

sesuatu barang yang dapat menjadi objek pencurian terlebih dahulu harus

dilihat apakah barang itu berguna atau tidak. Dalam hal ini barang itu tidak

selalu diisyaratkan mempunyai nilai ekonomis, akan tetapi cukup bila

barang itu mempunyai manfaat atau dihargai oleh pemiliknya.

Ad. 3. Sebagian atau Seluruhnya Milik Orang Lain


Unsur yang ketiga sebagian atau seluruhnya milik orang lain,

pengertiannya adalah barang tersebut tidak perlu kepunyaan orang lain

sepenuhnya, akan tetapi cukup bila barang tersebut sebagian kepunyaan

orang lain dan sebagian lagi milik pelaku sendiri. Misalnya, A dan B

bersama-sama atau secara patungan membeli sebuah sepeda motor,

maka sepeda motor tersebut milik bersama A dan B. Akan tetapi jika A

mengambil sepeda motor tersebut tanpa sepengetahuan si B, dalam

kasus ini masuk pengertian unsur delik pencurian.


Melihat uraian di atas, maka syarat untuk dipenuhinya unsur dalam

Pasal 362 KUHPidana tersebut adalah barang tersebut haruslah barang

milik orang lain sebagian atau seluruhnya. Hal ini berarti atas barang

tersebut sekurang-kurangnya dimiliki 1 orang, 2 orang atau lebih.

Ad. 4. Dengan Maksud Memiliki

30
Unsur yang keempat yaitu dengan maksud hendak memiliki. Unsur

ini merupakan unsur batin atau subyektif dari si pelaku. Unsur memiliki

adalah tujuan dari si pelaku yang tertanam dalam dirinya atau niatnya.

Oleh karena itu perbuatan mengambil barang orang lain tanpa maksud

untuk memiliki tidaklah dapat dipidana berdasarkan Pasal 362

KUHPidana.
Memiliki berarti merampas sesuatu barang dari kekuasaan
pemiliknya, agar barang tersebut ditempatkan dalam kekuasaannya
dengan bertindak sebagaimana halnya dengan pemiliknya. Pengertian
hendak memiliki menurut Noyon-Lengenmeyer (Wirjono Prodjodikoro,
2010:17) adalah:

“Menjelaskan suatu perbuatan tertentu, suatu niat untuk


memanfaatkan suatu barang menurut kehendak sendiri.”

Selanjutnya menurut pedoman dan penggarisan Yurisprudensi

Indonesia (melalui Pustaka Mahkamah Agung RI), pengertian memiliki

ialah menguasai sesuatu barang yang bertentangan dengan sifat, hak

atas barang tersebut. Sehubungan dengan itu pula Wirjono Prodjodikoro

(2010:17) mengemukakan pendapatnya bahwa:


“Pengertian memiliki adalah berbuat sesuatu dengan sesuatu
barang seolah-olah pemilik barang itu dengan perbuatan-perbuatan
tertentu itu si pelaku melanggar hukum.”

Dari beberapa pendapat di atas penulis dapat menarik kesimpulan

bahwa pelaku atau pembuat harus sadar dan mengetahui bahwa barang-

barang yang diambilnya adalah milik orang lain. Dengan kata lain hendak

memiliki adalah terwujud dalam kehendak dengan tujuan utama dari si

pelaku adalah memiliki barang tersebut secara melawan hukum.


Ad. 5. Melawan Hukum

31
Unsur yang terakhir adalah unsur melawan hukum, pengertian

melawan hukum sering digunakan dalam undang-undang dengan istilah

perbuatan yang bertentangan dengan hak atau melawan hak. Sesuai

dengan penjelasan di dalam KUHPidana, melawan hak diartikan bahwa

setiap perbuatan yang pada dasarnya bertentangan dengan suatu

undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku.


Sehubungan dengan unsur melawan hukum, Andi Zainal Abidin

Farid (2007:126) mengemukakan bahwa:


“Niat adalah sengaja tingkat pertama, niat disini karena
dihubungkan dengan sifat melawan hukumnya dan tidak diantarai
dengan kata-kata maka termaksud melawan hukum objektif, bila si
pembuat tidak mengetahui bahwa barang tersebut kepunyaan
orang lain, maka tidaklah termasuk pencurian.”

Pada bagian lain Djoko Prakoso (1988:103) mengemukakan


bahwa:
“Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dalam hal-
hal lahir, tetapi digantungkan pada niat orang yang mengambil
barang itu. Kalau niat hatinya baik, misalnya barang itu diambil
untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak
dilarang karena bukan pencurian. Sebaliknya jika niat hatinya itu
jelek yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan mengacuhkan
pemiliknya. Menurut hukum perbuatan itu dilarang, masuk ke
dalam rumusan pencurian, sifat melawan hukumnya dari sifat
batinnya seseorang.”

Untuk menentukan ukuran apakah suatu perbuatan itu melawan

hukum atau tidak, ada dua pendapat yang bias dijadikan pedoman Djoko

Prokoso (1988:118) yaitu:


1. Pendapat yang berpendirian ajaran formil bahwa
pengertian melawan hukum adalah apabila suatu
perbuatan telah mencocoki rumusan undang-undang
yang menggariskan bahwa suatu perbuatan yang
melanggar undang-undang dalam hal ini perbuatan
melawan hukum.
2. Pendapat yang berpendirian ajaran materil bahwa
perbuatan yang mencocoki rumusan undang-undang
belum tentu bersifat melawan hukum, sebab hukum

32
bukan saja terdiri dari undang-undang, tetapi secara
materil perbuatan itu tidak bertentangan dengan
kehendak masyarakat, maka perbuatan itu tidaklah
melawan hukum.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (2010:17) diantara unsur memiliki

barang dengan unsur melawan hukum sebenarnya ada kontradiksi. Yang

dikemukakannya sebagai berikut:


“Sebenarnya antara unsur memiliki barang dengan unsur melawan
hukum ada kontradiksi, sebab memiliki barang-barang berarti
menjadikan dirinya sebagai pemilik. Dan untuk menjadi pemilik
suatu barang harus menurut hukum. Setiap pemilik barang adalah
pemilik menurut hukum, maka sebenarnya tidak mungkin orang
memiliki barang orang lain dengan melanggar hukum, karena kalau
hukum dilanggar tidak mungkin orang tersebut menjadi pemilik
barang.”

Dari berbagai uraian di atas, telah nampak perbedaan dikalangan

para ahli hukum mengenai pengertian unsur-unsur yang terkandung

dalam KUHPidana. Akan tetapi pada dasarnya mereka mempunyai

maksud yang sama yaitu ke arah penentuan terjadinya delik pencurian.


Dengan mengetahui delik pencurian dan unsur-unsur Pasal 362

KUHPidana, maka dengan sendirinya telah diketahui unsur-unsur pokok

dari berbagai jenis kejahatan pencurian di dalam KUHPidana.

Sebagaimana yang akan penulis uraikan di bawah ini tentang kejahatan

pencurian yang tercakup mulai dari pasal 362 sampai dengan pasal 367

KUHPidana sebagai berikut:


a. Pencurian Biasa
Pencurian biasa ini perumusannya diatur dalam Pasal 362

KUHPidana yang menyatakan:


“Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.”

33
Berdasarkan rumusan Pasal 362 KUHPidana di atas, maka unsur-

unsur tindak pidana pencurian (biasa) dapat dibedakan secara objektif

dan subjektif. Yaitu sebagai berikut:


a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:
1. Mengambil
2. Suatu barang
3. Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain
b. Unsur subjektif, yang meliputi unsur-unsur:
1. Dengan maksud
2. Untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri
3. Secara melawan hukum
Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak

pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua

unsur dari tindak pidana pencurian yang terdapat di dalam rumusan Pasal

362 KUHPidana.
b. Pencurian Dengan Pemberatan

Istilah “pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doktrinal

disebut sebagai “pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang

dikualifikasikan ini merujuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan

cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih

berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari

pencurian biasa.
Pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang

dikualifikasikan diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHPidana. Oleh karena

pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang

dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang

bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur tindak

pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan membuktikan

pencurian dalam bentuk pokoknya.

34
Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan dapat

dipaparkan sebagai berikut:


1. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363

KUHPidana. Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHPidana

(Soesilo, 1995:251) dirumuskan sebagai berikut:


(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

 Ke-1 pencurian ternak.


 Ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan,

banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus,

kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api,

huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang .


 Ke-3 pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah

atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dilakukan

oleh orang yang ada di situ yang tidak diketahui atau

tidak dikehendaki oleh yang berhak.


 Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

secara bersama-sama.
 Ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan

kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang

diambilnya, dilakukan dengan membongkar, merusak

atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan (seragam) palsu.


(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan

salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana

paling lama Sembilan tahun.


2. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal

365KUHPidana. Pencurian dengan pemberatan kedua adalah

35
pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana. Jenis pencurian

ini lazim disebut dengan istilah “pencurian dengan kekerasan” atau

popular dengan istilah “curas”.


Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam Pasal 365 KUHPidana

(Soesilo, 1995 : 253) ini adalah sebagai berikut:


(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang,

dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk

memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya,

atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.


(2)Diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun:
 Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam

sebuah rumah atau perkarangan tertutup yang ada

rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau

trem yang sedang berjalan.


 Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih

secara bersama-sama.
 Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan

dengan membongkar, merusak, atau memanjat atau

memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian

jabatan palsu.
 Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3)Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana

penjara paling lama lima belas tahun .


(4)Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau

selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika

36
perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan

oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan

disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam ayat (2)

ke-1 dan ke-3.


c. Pencurian Ringan
Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari

pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan

unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi

diperingan.

Pencurian ringan di dalam KUHPidana diatur dalam ketentuan

Pasal 364, jika nilai barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima

puluh rupiah, yang berarti menurut Andi Hamzah (2009:106) Pasal ini

adalah Pasal tidur, dikatakan tidur karena menunggu adanya undang-

undang yang mengubahnya menjadi sesuai dengan nilai rupiah sekarang.


Termasuk dalam pengertian pencurian ringan ini adalah pencurian

dalam keluarga (Pasal 367 KUHPidana), pencurian termasuk pembantuan

antarkeluarga, maksudnya antara suami dan istri yang tidak terpisah meja

dan tempat tidur tidak dapat dilakukan penuntutan yang hanya akan

menjadi delik aduan jika terpisah meja dan tempat tidur antara mereka

atau pencurian antara keluarga (sedarah) sampai derajat kedua (misal

antara saudara kandung atau ipar). Rasio dimasukkannya pencurian

keluarga ke dalam pencurian ringan adalah oleh karena jenis pencurian

dalam keluarga ini merupakan delik aduan, dimana terhadap pelakunya

hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dengan demikian, berbeda

37
dengan jenis pencurian biasa pada umumnya yang tidak membutuhkan

adanya pengaduan untuk penuntutannya.

C. Pengertian Kendaraan Bermotor


Pengertian kendaraan bermotor Indonesia, menurut Pasal 1 ayat 8

Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan (UULLAJ) adalah:


“Kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan
oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang
berjalan di atas rel.”

Dari pengertian kendaraan bermotor di atas, jelaslah bahwa yang

dimaksud dengan kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang

mempergunakan tenaga mesin sebagai intinya untuk bergerak atau

berjalan, kendaraan ini biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang

dan barang atau sebagai alat transportasi akan tetapi kendaraan tersebut

bukan yang berjalan di atas rel seperti kereta api.


Mengingat pentingnya kendaraan bermotor dalam kehidupan

sehari-hari, maka pabrik kendaraan bermotor semakin berkembang pesat

khususnya setelah perang dunia kedua. Hal ini ditandai dengan tahap

motorisasi di segala bidang. Kendaraan bermotor sebagai sarana

transportasi atau sebagai alat pengangkutan memegang peranan penting

dalam menentukan kemajuan perekonomian suatu bangsa. Jepang

misalnya, negara tersebut adalah salah satu negara maju di dunia berkat

kemajuan ilmu dan teknologinya termasuk di bidang produsen kendaraan

bermotor, selain itu kendaraan bermotor di Indonesia merupakan lambang

status sosial di masyarakat.

38
Sebagai wujud nyata dari keberhasilan pembangunan, masyarakat

di Indonesia semakin hari semakin banyak yang memiliki kendaraan

bermotor, akan tetapi di lain pihak pula ada sebagian besar golongan

masyarakat yang tidak mampu untuk menikmati hasil kemajuan teknologi

ini. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan sosial di dalam masyarakat,

perbedaan semacam ini dapat mengakibatkan terjadinya berbagai macam

kejahatan diantaranya kejahatan pencurian kendaraan bermotor.

Kejahatan ini adalah termasuk kejahatan terhadap harta benda (crime

against property) yang menimbulkan kerugian.


D. Teori-Teori Sebab Kejahatan
Teori-teori sebab kejahatan menurut A.S Alam (2010:45)

dikelompokkan menjadi sebagai berikut:


1. Anomie (ketiadaan norma) atau strain (ketegangan).
2. Cultural Deviance(penyimpangan budaya).
3. Social Control (kontrol sosial).

Teori anomie dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian

pada kekuatan-kekuatan sosial (social force) yang menyebabkan orang

melakukan aktivitas kriminal. Teori ini berasumsi bahwa kelas sosial dan

tingkah laku kriminal saling berhubungan. Pada penganut teori anomie

beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti seperangkat

nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah yakni adanya

anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah keberhasilan dalam

ekonomi. Karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-

sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut

seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju dan lain-lain, mereka menjadi

39
frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah

(illegitimate means).
Sangat berbeda dengan teori itu, teori penyimpangan budaya

mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat

nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai kelas

menengah. Sebagai konsekuensinya, manakalah orang-orang kelas

bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah

melanggar norma-norma konvensional dengan cara mencuri, merampok

dan sebagainya, sementara itu pengertian teori kontrol sosial merujuk

kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan

variable-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga,

pendidikan dan kelompok domain.


Faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya kejahatan, Walter

Lunden (A.S Alam, 2010:46) berpendapat bahwa gejala yang dihadapi

negara-negara yang sedang berkembang adalah sebagai berikut:

a. Gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota-kota


jumlahnya cukup besar dan sukar dicegah.
b. Terjadi konflik antara norma adat pedesaan tradisional
dengan norma-norma baru yang tumbuh dalam proses dan
pergeseran sosial yang cepat, terutama di kota-kota besar.
c. Memudarkan pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat
pada pola kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota
masyarakat terutama remajanya menghadapi ‘samarpola’
(ketidaktaatan pada pola) untuk menentukan prilakunya.

E. Upaya Penanggulangan Kejahatan


Upaya penanggulangan kejahatan terus dilakukan oleh pemerintah

maupun masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan

40
sambil terus-menerus mencari cara yang paling tepat dan efektif untuk

mengatasi masalah tersebut.


Upaya yang dilakukan harus bertumpu pada upaya merubah sikap

manusia disamping terus merubah pula lingkungan dimana manusia

tersebut hidup dan bermasyarakat dengan manusia lainnya. Hal ini

disebabkan karena kultur dan respon dari masyarakat pada dasarnya

adalah adaptasi dari lingkungannya.


Menurut A.S Alam (2010:79-80) penanggulangan kejahatan empirik

terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu:


1. Pre-Emtif
Yang dimaksud dengan upaya Pre-Emtif di sini adalah upaya-
upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk
mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang
dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif
adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik
sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri
seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan
pelanggaran/kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan
hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam
usaha pre-emtif, faktor niat menjadi hilang meskipun ada
kesempatan. Cara pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu :
niat + kesempatan terjadilah kejahatan. Contohnya, di tengah
malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka
pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas
tersebut meskipun pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga.
Hal ini selalu terjadi di banyak negara seperti Singapura,
Sydney dan kota besar lainnya di dunia. Jadi dalam upaya pre-
emtif faktor niat tidak terjadi.

2. Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari
upaya pre-emtifyang masih dalam tataran pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan
adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya
kejahatan. Contoh ada orang ingin mencuri motor tapi
kesempatan itu dihilangkan karena motor-motor yang ada
ditempatkan di tempat penitipan motor, dengan demikian
kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi
dalam upayapreventif kesempatan ditutup.

41
3. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak
pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum
(law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di kota Makassar khususnya di

kantor Kepolisian, Pengadilan Negeri dan Lembaga Permasyarakatan

Klas 1 di kota Makassar. Dipilihnya lokasi penelitian di kota Makassar

karena kota Makassar merupakan daerah terbesar dan terkemuka di

42
Provinsi Sulawesi Selatan dan menurut pantauan penulis dari segi

manfaat serta konstribusi yang dicapai maka kota Makassar merupakan

lokasi yang tepat, disebabkan karena kota Makassar terindikasi memiliki

tingkat kejahatan pencurian kendaraan bermotor yang paling besar di

Provinsi Sulawesi Selatan.


B. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Yaitu keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung dari

sumber data atau melalui penelitian di lapangan dalam hal ini

data yang diperoleh dari aparat kepolisian, pejabat Lembaga

Permasyarakatan Klas 1 Makassar, warga binaan tindak pidana

pencurian kendaraan bermotor dan aparat hukum di Pengadilan

Negeri.

b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui

penelitian kepustakaan dan teknik pengumpulan dan

inventarisasi buku-buku, karya ilmiah, artikel-artikel dan juga

dari internet serta yang ada hubungannya dengan masalah

pencurian kendaraan bermotor, serta data yang diperoleh dari

instansi atau lembaga tempat penelitian penulis yang telah

tersedia.
C. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sejumlah data atau fakta yang diambil secara langsung dari

sumber data di lapangan (Kantor Kepolisian, Lembaga

Permasyarakatan dan Pengadilan Negeri).


b. Sumber Data Sekunder

43
Semua data sekunder yang bersifat menjelaskan bahan hukum

primer berupa pendapat para ahli sarjana serta literatur-literatur

yang relevan dengan objek penelitian.


Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain:
1) Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku atau

ketentuan-ketentuan yang berlaku.


Sehubungan dengan itu maka bahan hukum primer

yang digunakan adalah:


a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
d) Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ).


2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan untuk

mendukung bahan hukum primer, diantaranya yang

berasal dari karya para sarjana, jurnal, data yang

diperoleh dari instansi, serta buku-buku kepustakaan

yang dapat dijadikan referensi yang dapat menunjang

penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang mengandung bahan hukum

sekunder yang berasal dari kamus.


D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka tindak lanjut perolehan data sebagaimana yang

diharapkan, maka penulis menetapkan teknik pengumpulan data primer

yaitu dengan cara interview atau wawancara langsung kepada pihak

44
Kepolisian, pejabat Lembaga Permasyarakatan Klas 1 Makassar serta

para warga binaan kasus pencurian dan pejabat di Pengadilan Negeri

Makassar, sedangkan untuk data sekunder, teknik pengumpulan data

dilakukan dengan cara membaca, menelaah secara seksama buku-buku,

dokumen-dokumen dan lain-lain.


E. Teknik Analisa Data
Data-data yang terkumpul baik data primer dan sekunder

selanjutnya diolah dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif

yaitu dengan menjelaskan apa yang menjadi isu dalam penelitian ini

kemudian mendeskripsikannya dan juga menganalisa secara kuantitatif

yaitu analisa dengan menggunakan tabulasi frekuensi atau persentase.

45
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perkembangan Pencurian Kendaraan Bermotor di Kota

Makassar
Tindak kejahatan khususnya pencurian kendaraan bermotor sudah

menjadi salah satu tindak kriminal yang cukup menonjol di kota Makassar.

Hal tersebut dikarenakan semakin beraninya pelaku pencurian kendaraan

bermotor dalam melakukan aksinya tidak peduli siang atau malam.


Berikut penulis akan memaparkan data pencurian kendaraan

bermotor di kota Makassar yang terdiri dari data jumlah kasus yang

dilaporkan dan kasus yang diselesaikan sebagaimana yang penulis

dapatkan dari hasil penelitian di POLRESTABES Makassar yang dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:


Tabel 1
Jumlah Kasus Pencurian Kendaraan Bermotor di Kota Makassar
Tahun 2007-2011 yang Dilaporkan dan Kasus yang selesai

No Tahun Jumlah Laporan Kasus yang Selesai Persentase (%)


1. 2007 374 36 9,3%
2. 2008 453 61 15,8%
3. 2009 785 78 20,2%
4. 2010 698 122 31,6%
5. 2011 865 89 23%
Jumlah 3175 386 100%
Sumber Data : Polrestabes Makassar tahun 2012

Tabel 1 di atas menunjukkan jumlah kasus pencurian kendaraan

bermotor di kota Makassar yang dilaporkan dan kasus yang selesai,

selama 5 tahun mengalami peningkatan akan tetapi justru pada tahun

46
2010 jumlah kasus yang diselesaikan paling banyak. Apabila diuji maka

dapat dijabarkan bahwa pada tahun 2007 sebanyak 374 kasus yang

dilaporkan dan yang diselesaikan 36 kasus atau hanya sekitar 9,6%, pada

tahun 2008 sebanyak 453 kasus dan yang diselesaikan 61 kasus atau

hanya sekitar 13,4%, pada tahun 2009 sebanyak 785 kasus yang

dilaporkan dan yang diselesaikan 78 kasus atau sekitar 10%, pada tahun

2010 sebanyak 698 kasus yang dilaporkan dan yang diselesaikan 122

kasus atau hanya sekitar 17,4, dan pada tahun 2011 sebanyak 865 kasus

dan yang diselesaikan 89 kasus atau hanya sekitar 10,3%. Dapat dilihat

dari kedua kolom di atas bahwa ada perbedaan signifikan antara jumlah

kasus yang dilaporkan dan yang dapat diselesaikan, yang dapat

diselesaikan tidak ada yang lebih dari 20% dari jumlah kasus yang

dilaporkan tiap tahunnya.

Menurut Bripka H.Basri Usman (wawancara 15 Mei 2012) ada

beberapa kendala yang membuat beberapa kasus pencurian kendaraan

bermotor yang dilaporkan tidak dapat terselesaikan, diantaranya:

a. Alat bukti tidak mencukupi.


b. Tersangka tidak diketahui keberadaannya.
c. Perkara tersebut belum dapat dibuktikan oleh penyidik.
d. Perkara tahun sebelumnya masih berjalan dan belum selesai.

Dapat disimpulkan bahwa pihak kepolisian belum maksimal dalam

menyelesaikan laporan masyarakat, padahal polisi sebagai salah satu

instrumen pertama dalam mengungkap kasus-kasus pencurian kendaraan

bermotor sangat diharapkan dapat menjalankan atau melaksanakan tugas

47
yang diamanahkan guna lebih meminimalisir lagi tindakan pencurian

kendaraan bermotor di kota Makassar.

Untuk penelitian lebih lanjut penulis telah mewawancarai 20

narapidana kasus pencurian kendaraan bermotor khususnya kasus

kejahatan pencurian sepeda motor mengenai usia pelaku pencurian di

kota Makassar yaitu:

Tabel 2
Usia Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor di Kota Makassar Tahun 2007-2011

No. Usia Pelaku Frekuensi Persentase (%)


1. 8-14 2 10%
2. 15-20 5 25%
3. 21-30 8 40%
4. 31-40 4 20%
5. >41 1 5%
Jumlah 20 100%
Sumber data : Lembaga Permasyarakatan klas I Makassar 2012
Tabel di atas menunjukkan bahwa yang paling banyak melakukan

pencurian kendaraan bermotor adalah pelaku yang berumur antara 15-30

tahun, mencapai 65 %. Hal ini disebabkan karena pada umur-umur yang

demikian itu pemikiran masih banyak dipengaruhi oleh lingkungan,

perubahan-perubahan sosial dan perkembangan masyarakat sehingga

mereka tidak dapat mengendalikan diri dan melakukan suatu kejahatan

seperti pencurian kendaraan bermotor.


Sehubungan dengan usia pelaku, manusia sejak kecil hingga lanjut

usia selalu mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan baik

jasmani maupun mental. Untuk itu di dalam perkembangan umur ini

penyelidikan kriminologi juga mencari jawaban apakah perihal umur ada

48
hubungannya dengan kejahatan pencurian. Hasil penyelidikan para

sarjana terbukti bahwa pada tiap-tiap tingkatan umur mempunyai

perubahan-perubahan dan perkembangannya masing-masing.


Menurut ilmu jiwa ada suatu keseimbangan dalam tiap-tiap

tingkatan umur. Apabila keduanya itu seimbang maka tidak akan terjadi

sesuatu yang negatif, begitu pula sebaliknya jika keseimbangan itu tidak

dapat dikendalikan maka pada saat itulah akan terjadi penyimpangan

karena keinginan tidak tercapai. Sehubungan dengan hal tersebut maka

usia mempengaruhi cara berpikir untuk melakukan sesuatu, karena usia

yang masih muda/belum matang cara berpikirnya sehingga perbuatan-

perbuatannya terkadang menyimpang atau melanggar hukum karena

ingin memiliki sesuatu tetapi belum mampu untuk mendapatkannya sebab

dipengaruhi oleh pendapatan yang rendah, kedudukan dalam masyarakat

rendah sehingga keinginannya sulit terpenuhi. Usia yang masih muda

apabila keinginannya tidak terpenuhi maka mereka akan mengambil jalan

pintas yakni melakukan kejahatan pencurian. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian penulis dimana kebanyakan pelaku pencurian yang masih

dalam usia muda melakukan pencurian bersama-sama dengan temannya

dengan niat untuk memiliki motor tanpa disertai dengan niat untuk menjual

motor tersebut.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Pencurian Kendaraan Bermotor


Status sosial seseorang di dalam masyarakat banyak dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Selama di dalam masyarakat itu ada sesuatu yang

49
dihargai maka selama itu pula ada pelapisan-pelapisan di dalamnya dan

pelapisan-pelapisan itulah yang menentukan status sosial seseorang.


Untuk masyarakat kota besar seperti kota Makassar status sosial

seseorang itu ditentukan oleh banyak faktor diantaranya ekonomi,

pendidikan, lingkungan, dan lain-lain sebagainya. Begitupula status sosial

ini ditentukan oleh stratifikasi sosial yang beraspek vertikal di bidang

ekonomi, dimana adanya ketidakberesan antara yang kaya dengan yang

miskin membuat yang kaya menduduki kelasnya sendiri tanpa

memperhatikan lingkungan sekitarnya sehingga si miskin berada pada

kelasnya sendiri yang hidupnya tambah melarat.


Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya pencurian kendaraan bermotor antara lain:


a. Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu hal yang penting di dalam

kehidupan manusia, maka keadaan ekonomi dari pelaku tindak pidana

pencurianlah yang kerap kali muncul melatarbelakangi seseorang

melakukan tindak pidana pencurian. Para pelaku sering kali tidak

mempunyai pekerjaan yang tetap, atau bahkan tidak punya pekerjaan.

Karena desakan ekonomi yang menghimpit, yaitu harus memenuhi

kebutuhan keluarga, membeli sandang maupun pangan, atau ada sanak

keluarganya yang sedang sakit, maka sesorang dapat berbuat nekat

dengan melakukan tindak pidana pencurian.


Rasa cinta seseorang terhadap keluarganya yang menyebakan ia

sering lupa diri dan akan melakukan apa saja demi kebahagiaan

keluarganya. Terlebih lagi apabila faktor pendorong tersebut diliputi rasa

gelisah, kekhawatiran, dan lain sebagainya, disebabkan orang tua (pada

50
umumnya ibu yang sudah janda), atau isteri atau anak maupun anak-

anaknya, dalam keadaan sakit keras. Memerlukan obat, sedangkan uang

sulit di dapat. Oleh karena itu, maka seorang pelaku dapat termotivasi

untuk melakukan pencurian.


Faktor ini penulis kemukakan karena sesuai dengan hasil

wawancara penulis terhadap beberapa narapidana kasus pencurian

kendaraan bermotor di Lembaga Permasyarakatan Klas I Makassar,

perhitungan pendapatan pelaku curanmor penulis ukur dengan

mengakumulasikan jumlah pendapatan dari 20 narapidana yang telah

diwawancarai, dimana tingkat pendapatan dibagi atas 3 yakni rendah,

sedang dan tinggi. Tingkatan pendapatan rendah yaitu Rp. 250.000/bulan

diambil sebagai dasar tingkatan dimana angka tersebut mendekati angka

pendapatan terendah dari keseluruhan sampel narapidana yang

diwawancarai yaitu Rp.200.000/bulan, sedangkan tingkat pendapatan

tinggi adalah Rp.900.000/bulan, dimana pendapatan tersebut mendekati

angka pendapatan tertinggi dari keseluruhan sampel narapidana yang

diwawancarai yakni Rp.850.000/bulan. Berikut hasil data yang penulis

gambarkan dengan tabel :


Tabel 3
Tingkat Pendapatan Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor di Kota
Makassar Tahun 2007-2011

No. Tingkat Pendapatan Frekuensi Persentase


1. Rendah ( ≤ 250.000) 16 80%

2. Sedang ( 251.000-900.000) 4 20%

3 Tinggi (≥ 900.000) - -

Jumlah 20 100%

51
Sumber Data : Lembaga Permasyarakatan klas I Makassar 2012

Tabel 3 menggambarkan bahwa tingkat pendapatan pelaku

pencurian kendaraan bermotor yang paling banyak adalah yang

dikategorikan dalam tingkat berpendapatan rendah, pendapatannya

sekitar kurang dari Rp. 250.000 per bulan sebanyak 16 orang atau 80%

sedangkan yang berpendapatan sedang antara Rp. 251.000 s/d Rp.

900.000 per bulan mencapai 4 orang atau sekitar 20%. Golongan pelajar

juga penulis masukkan kedalam kategori penghasilan rendah karena

mereka tetap dikategorikan berpenghasilan, karena masih bergantung

pada orang tua dan masih mendapatkan uang jajan yang jumlahnya tidak

lebih dari 200.000/bulan.


Data tersebut menunjukkan bahwa para pelaku kebanyakan yang

berpenghasilan rendah yaitu mencapai 80%, ini jelas menunjukkan bahwa

faktor ekonomi sangat berpengaruh terhadap pencurian kendaraan

bermotor.
Hal ini berkaitan erat dengan faktor pekerjaan, dari hasil kuesioner

yang penulis bagikan di lingkup Pengadilan Negeri Makassar

menunjukkan bahwa pencurian kendaraan bermotor semakin meningkat

di tiap tahunnya disebabkan oleh perkembangan peningkatan ekonomi

dan kurangnya lapangan kerja yang tersedia di masyarakat maupun

lapangan kerja yang diciptakan oleh pemerintah. Dapat dibuktikan dengan

melihat data para pelaku pencurian kendaraan bermotor kebanyakan tidak

mempunyai pekerjaan tetap sehingga penghasilannya tidak menentu,

berbanding terbalik dengan tingkat kebutuhan hidup yang semakin hari

52
semakin tinggi. Belum lagi dengan mereka yang telah berkeluarga,

tekanan-tekanan akan selalu timbul dalam keluarganya, sehingga

terpaksa melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan untuk menghidupi

keluarganya.
Contoh kasus yang dapat penulis paparkan dari hasil wawancara

dengan seorang narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas I

Makassar yang bernama Ferdy, buruh (35 tahun) yang juga seorang

residivis pencurian kendaraan bermotor mengaku mencuri kendaraan

bermotor dengan niat untuk dijual dan uangnya untuk membiayai istri dan

6 orang anaknya. Ia sempat mengalami frustasi akibat tidak ada satupun

tempat yang didatanginya mau mempekerjakannya, oleh karena itu ia

nekat seorang diri untuk mencuri motor. Ferdy ditangkap saat membawa

lari motor seorang warga di jalan Cendrawasih Makassar.


Adapun Safruddin (34 tahun) yang dulunya bertani di ladang milik

orang lain. Setelah kehilangan pekerjaan dan ia yang hanya lulusan SD

tidak berhasil menemukan pekerjaan baru, untuk membiayai keluarganya

ia terpaksa melakukan pencurian motor untuk pertama kalinya seorang

diri.
b. Faktor Pendidikan
Sesuai dengan hasil penelitian penulis, pendidikan juga

berpengaruh terhadap terjadinya pencurian kendaraan bermotor, dimana

tingkat pendidikan pelaku rata-rata hanya tamat sekolah dasar. Dapat

dilihat pada tabel berikut ini:


Tabel 4
Tingkat Pendidikan Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor di
Kota Makassar Tahun 2007-2011

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase(%)

53
1. SD 12 60%
2. SMP 5 25%
3. SMU 3 15%
4. PT - -
Jumlah 20 100%
Sumber Data : Lembaga Permasyarakatan Klas I Makassar 2012

Tabel 4 menggambarkan bahwa faktor pendidikan juga

berpengaruh terhadap pencurian kendaraan bermotor, sebagaimana tabel

di atas pelaku pencurian kendaraan bermotor yang berpendidikan rendah

mencapai 12 orang atau 60% yang tamat SD, kemudian yang

berpendidikan SMP sebanyak 5 orang atau 25% dan yang berpendidikan

SMU sebanyak 3 orang atau 15%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

pendidikan formal yang minim di dalam masyarakat dapat menimbulkan

dampak terhadap masyarakat tersebut, yaitu mereka merasa dan bersikap

rendah diri serta kurang kreatif sehingga tidak ada kontrol terhadap

pribadinya sehingga mudah melakukan tindakan-tindakan kejahatan

utamanya pencurian kendaraan bermotor. Dengan pendidikan yang minim

pola pemikiran mereka mudah dipengaruhi oleh keadaan sosial sehingga

pergaulan dalam lingkungannya mudah mengekspresikan tingkah laku

yang kurang baik lewat perbuatan yang merugikan masyarakat.


Memang jika berbicara tentang pendidikan dikaitkan dengan

kejahatan mungkin banyak permasalahan yang akan muncul, oleh karena

itu penulis batasi seperti pendidikan yang kurang berhasil adalah dari

pelaku yang relatif pendidikan rendah, maka akan mempengaruhi

pekerjaan pelaku karena kurangnya keterampilan yang dimiliki sehingga

pelaku pencurian kendaraan bermotor yang terjadi di kota Makassar pada

54
umumnya adalah buruh yang pekerjaannya tidak tetap. Hal itu disebabkan

karena pendidikan yang rendah, sehingga kurangnya kreatifitas dan

berhubungan dengan kurangnya peluang lapangan kerja.


Bekal pendidikan yang baik ada kemungkinan dapat mencegah

tingkah laku jahat karena faktor pendidikan ini penulis anggap penting

disoroti karena menurut salah satu petugas lapangan Lembaga

Permasyarakatan Makassar bagian pembinaan mengatakan bahwa

sebagian besar pelaku pencurian kendaraan bermotor yang ada dalam

lembaga permasyarakatan adalah mereka yang tergolong dalam

pendidikan minim (rendah).


Sehubungan dengan pendidikan yang minim itu maka pola pikir

mereka mudah terpengaruh karena kadang-kadang mereka bisa

mengekspresikan tingkah laku yang tidak baik lewat perbuatan yang

merugikan masyarakat.
Jadi melalui bekal pendidikan yang diperoleh dengan baik dapat

merupakan proses pembentukan nilai-nilai atau perilaku mereka. Memang

jika faktor pendidikan dikaitkan dengan latar belakang kejahatan yang

dilakukan itu rata-rata yang berpendidikan rendah yang berpendidikan

sekolah dasar yang banyak melakukan kejahatan pencurian kendaraan

bermotor.
c. Faktor Lingkungan
Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh

lingkungan dimana orang tersebut berada, pada pergaulan yang diikuti

dengan peniruan suatu lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap

kepribadian dan tingkah laku seseorang. Lingkungan yang dimaksud

adalah lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat itu sendiri.

55
Pergaulan dengan teman-teman dan tetangga merupakan salah

satu penyebab terjadinya pencurian kendaraan bermotor. Hal itu

menunjukkan bahwa dalam memilih teman harus memperhatikan sifat,

watak, serta kepribadian seseorang. Hal ini dapat dilihat pada kasus

kenakalan remaja dimana penulis berhasil mewawancarai 4 pelajar SMP

dan SMU Darussalam yang menjadi pelaku pencurian kendaraan

bermotor sebab faktor kenakalan tak terkontrol yang menyebabkan

mereka mencoba-coba untuk melakukan kriminal.


Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh

lingkungan pergaulan, apabila bergaul dengan orang baik maka perbuatan

mereka pasti baik pula dan apabila bergaul dengan orang yang suka

melakukan perbuatan buruk maka besar kemungkinan akan

dipengaruhinya.
Hal lain yang menyebabkan terjadinya pencurian kendaraan

bermotor adalah kurangnya tukang parkir di tempat-tempat yang wajar

ada tukang parkir, begitu pula kurang hati-hatinya para pemilik kendaraan

untuk memarkir kendaraannya dan tidak dilengkapi dengan kunci-kunci

pengaman seperti slop di standar serta kunci di ban depan.


d. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum
Pihak penegak hukum kadang-kadang menyimpang dari nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga ada pelaku kejahatan

pencurian kendaraan bermotor yang mendapat hukuman yang terlalu

ringan. Dan akibatnya begitu keluar dari lembaga permasyarakatan maka

pelaku mengulangi perbuatan jahat tersebut, menurut hasil wawancara

penulis dengan 20 narapidana kasus kejahatan pencurian sepeda motor

56
di lembaga permasyarakatan, setidaknya ada 1 orang yang merupakan

residivis dari kasus pencurian sepeda motor. Sekali lagi penulis

mengemukakan bahwa dalam hal ini, masalah keterampilan dan

kesadaran yang tidak dimiliki sehingga menyebabkan kejahatan pencurian

itu dianggap sebagai pekerjaan utama untuk menghidupi keluarganya.

C. Upaya Penanggulangan Pencurian Kendaraan Bermotor


Usaha penanggulangan diartikan sebagai usaha untuk mencegah

dan mengurangi kasus pencurian kendaraan bermotor serta peningkatan

penyelesaian perkaranya. Usaha peningkatan kegiatan lebih diarahkan

pada represif untuk preventif, dengan mengadakan operasi selektif

disamping peningkatan kegiatan lainnya. Kejahatan pencurian kendaraan

bermotor dipandang dari sudut manapun harus diberantas dan tidak boleh

dibiarkan merajalela, lebih-lebih kalau akibatnya sangat memprihatinkan

atau sangat membahayakan masyarakat. Untuk melenyapkan sama sekali

kejahatan pencurian ini hanya merupakan khayalan belaka, sebab selama

masih ada manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai kepentingan

yang berbeda, maka sebelum itu pula masih ada namanya kejahatan

pencurian.
Sekalipun demikian maka tetap diadakan upaya-upaya untuk

mengurangi atau menekan laju perkembangan pencurian kendaraan

bermotor kota Makassar, sebagai unsur utama sistem peradilan pidana

yang juga memegang peran sebagai alat pengendalian sosial, polisi

bertanggungjawab terhadap perannya selaku penegak hukum, oleh sebab

itu polisi akan selalu berkaitan dengan peranan pokok polisi dalam

57
mencegah dan menanggulangi kejahatan, meningkatnya angka statistik

kejahatan untuk sebagian besar merupakan tanggung jawab POLRI serta

besar kemungkinan untuk berusaha mengatasinya. Lebih lanjut lagi

Soerjono Soekanto (1987:42-43) menegaskan bahwa untuk menentukan

titik pusat kegiatan serta arah operasi khususnya bagi aparat kepolisian

maka disusun dalam pentahapan kegiatan sebagai berikut:


1. Inventarisasi dan analisa data awal oleh penyelidik,

penyelidikan lapangan serta perumusan hasil penyelidikan

untuk dikoordinasikan dalam rangka peningkatan.


2. Penindakan dalam rangka penangkapan para pelaku dan

pengungkapan jaringan, operasi di daerah rawan dalam rangka

penghadangan atau menangkap tangan para pelaku,

pemeriksaan hasil-hasil penindakan dalam rangka proses

penyelesaian perkara; penyelidikan lanjutan sebagai

pengembangan dari hasil penindakan; pengejaran para

tersangka di luar daerah.


3. Melanjutkan proses penyelesaian perkara hasil penindakan;

publikasi atau penerangan kepada masyarakat tentang

peningkatan peran serta melalui media cetak dan media

eletronik; analisa dan evaluasi keseluruhan pelaksanaan

operasi keseluruhan pelaksanaan operasi; serta penyiapan

bahan-bahan laporan akhir tugas.


Seluruh kegiatan tersebut di atas merupakan kegiatan berlanjut

guna melaksanakan tugas menurut cara tindakan yang terbaik, namun

dalam petunjuk pelaksanaan sistem operasional POLRI dinyatakan bahwa

58
apabila dilakukan pentahapan maka diadakan pentahapan berdasarkan

waktu bukan pentahapan yang mengedepankan fungsi teknis atau bentuk

kegiatan secara kaku.


a. Upaya Preventif
Dimaksud dengan upaya preventif adalah usaha untuk

mengadakan hubungan yang bersifat negatif menjadi sifat positif agar

usaha-usaha tersebut tidaklah lagi menjadi gangguan dalam masyarakat

misalnya diaktifkan karang taruna, remaja mesjid, olah raga dan lain

sebagainya.
Usaha melakukan tindakan pencegahan dari berbagai pihak

dianggap turut memegang peranan penting agar hasil dan tujuan yang

diharapkan dapat tercapai baik secara langsung maupun tidak langsung

dan turut bertanggung jawab dalam usaha pencegahan pencurian

kendaraan bermotor itu adalah pemerintah dan masyarakat.


Menurut Kompol Anwar H, S.H.,M.H (dalam wawancara pada

tanggal 22 Mei 2012), tentang upaya-upaya penanggulangan kejahatan

pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh pihak kepolisian

antara lain sebagai berikut:


1. Memberikan himbauan kepada masyarakat akan pentingnya

saling menjaga dan saling melindungi antar warga.


2. Meningkatkan langkah-langkah praktis dalam pengamanan diri

dari hal-hal yang dapat menimbulkan kejahatan tindak pidana

pencurian kendaraan bermotor.


3. Memberikan penerangan kepada masyarakat apabila terjadi

tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dihimbau agar

segera melaporkan kepada pihak yang berwajib.

59
4. Melakukan penyuluhan kepada warga (khususnya pemilik

kendaraan bermotor) supaya menggunakan kunci pengaman

atau alarm.

5. Pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan agama

setempat agar terjalin suatu hubungan yang baik antara polisi

dengan masyarakat, agar apa yang telah disosialisasikan oleh

polisi dapat dijalankan oleh masyarakat.


b. Upaya Represif
Usaha tersebut bertujuan untuk mengembalikan keresahan yang

pernah terganggu, dengan kata lain berwujud peningkatan terhadap

pelaku pencurian kendaraan bermotor atau warga masyarakat yang

melanggar hukum dan dilakukan pembinaan terhadap pelakunya agar

tidak melakukan kejahatan lagi, dan kalau perlu harus diberikan sanksi

hukum yang berat supaya pelaku pencurian kendaraan bermotor itu tidak

mengulangi lagi perbuatannya (efek jera) dan enggan untuk melakukan

perbuatannya untuk kedua kalinya.


Sehubungan dengan penindakan yang dilakukan terhadap pelaku,

maka pihak kepolisian telah mengambil tindakan hukum berupa

penangkapan, penahanan terhadap pelaku serta diadakan penyelidikan

apakah terbukti atau tidak. Begitu pula kalau terbukti melakukan kejahatan

pencurian kendaraan bermotor maka akan diadakan proses dan

dilimpahkan kepada kejaksaan dan selanjutnya disidangkan. Dan apabila

terbukti bersalah kemudian divonis oleh hakim, maka untuk menjalani

masa pidananya, mereka kemudian diadakan pembinaan yang dilakukan

oleh lembaga permasyarakatan, seperti:

60
1. Memberikan ceramah agama dengan mendatangkan

penceramah dari luar yang cukup dikenal.


2. Memberikan penyuluhan dan pendidikan yang bersifat umum.
3. Memberikan kegiatan kerja bakti dalam lembaga

permasyarakatan.
4. Memberikan keterampilan sesuai dengan bakatnya masing-

masing yang berorientasi kepada kerajinan tangan seperti

membuat kursi, menjahit dan lain-lain.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari seluruh pembahasan materi hasil

penelitian ini, maka dapat disimpulkan:


1. Bahwa faktor penyebab terjadinya pencurian kendaraan

bermotor khususnya di kota Makassar adalah faktor ekonomi,

pendidikan, lingkungan, lemahnya penegakan hukum dan juga

61
tak lepas dari kelalaian para pemilik kendaraan bermotor

tersebut.
2. Upaya yang harus dilakukan dalam menanggulanginya adalah

memberikan skala prioritas terhadap upaya preventif yaitu suatu

upaya untuk mengadakan hubungan yang bersifat negatif

menjadi sifat positif agar usaha-usaha tersebut tidaklah lagi

menjadi gangguan dalam masyarakat. Selain itu, hal ini juga

sekiranya tidak terlepas dari upaya represif karena upaya ini

bertujuan untuk mengembalikan keresahan yang pernah

terganggu, dengan kata lain usaha ini berwujud peningkatan

terhadap pelaku pencurian kendaraan bermotor atau warga

masyarakat yang melanggar hukum dan dilakukan pembinaan

terhadap pelakunya secara konsisten agar tidak melakukan

kejahatan lagi dan kalau perlu hendaknya diberikan sanksi

hukum yang berat agar pelaku pencurian kendaraan bermotor

tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya.

B. Saran
Usaha penanggulangan dapat pula diartikan sebagai suatu upaya

atau usaha dalam mencegah dan mengurangi kasus pencurian kendaraan

bermotor serta meningkatkan penyelesaian perkaranya, olehnya itu

penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut:


1. Dalam penegakan hukum khususnya bagi pelaku pencurian

kendaraan bermotor, diharapkan diproses sesuai dengan

hukum yang berlaku serta penerapan sanksi yang cukup berat

agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya.

62
2. Sangat diharapkan kepada aparat kepolisian serta para

penegak hukum lainnya untuk konsisten terhadap aturan yang

sudah berlaku.
3. Setiap pengguna/pemakai kendaraan bermotor kiranya dapat

lebih meningkatkan kewaspadaan dan pengamanan, misalnya

memarkir kendaraan tidak pada sembarangan tempat dan

sekiranya menambah kunci pengaman kendaraan.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. Zainal, 2007, Hukum PidanaI, Sinar Grafika, Jakarta.

Alam, A.S, 2010, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi Books,


Makassar.

Bonger, W.A, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia, Jakarta.


Hamzah, Andi, 2010, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam
KUHP, Sinar Grafika, Jakarta.

Kusuma, Mulyana W, 1984, Kriminologi Dan Masalah Kejahatan, Armico,


Bandung.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, 2010, Metodologi Penelitian, Bumi


Aksara, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1988, Hukum Penitensier Di Indonesia, Liberty,


Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2010, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, PT.


Rafika Adiatma, Bandung.

63
Santoso, Topo, dan Eva, 2009, Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta.
Sianturi, R, 1983, Tindak Pidana KUHP Berikut Uraiannya, Alumni,
Jakarta.

Simandjuntak, B dan Chaidir Ali, 1980, Cakrawala Baru Kriminologi,


Tarsito, Bandung.

Soesilo, R, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-


komentarnya, Politea, Bogor.

Soedjono, R, 1975, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1987, Penanggulangan Pencurian Kendaraan


Bermotor, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Solahuddin, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Acara Pidana &


Perdata, Visimedia, Jakarta.

Suharto dan Tata Iryanto, 2011, Kamus Bahasa Indonesia, Indah,


Surabaya.

Poerwadarminta, WJS, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai


Pustaka, Jakarta.

Undang-Undang dan Peraturan :


Kitab Undang-Undang Hukum pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang UULLAJ
Sumber Internet :
http://scribd.com/doc/50200257/cic-Kriminologi-sari-kuliah

64
LAMPIRAN

65

Anda mungkin juga menyukai