Anda di halaman 1dari 2

Nama : Sayyidah Nafisah

NIM : 11160340000125
Mata Kuliah : Hermeneutik dan Semiotik
Kelas : 6 D (Senin Jam Pertama)
Pro dan Kontra Penggunaan Hermeneutika dalam

Kajian Al-Qur’an dan Hadis

Amina Wadud, seorang aktifis Muslim feminis. Dalam bukunya berjudul Qur’an and
Women: Re-reading the Sacred Text from a Woman’s Perspective Amina Wadud menyatakan
bahwa hermeneutik diperlukan untuk memahami ayat-ayat alQur’an terutama untuk
mengungkap makna al-Qur’an yang tidak dapat diungkap oleh para mufassir klasik, untuk itu
metode hermeneutik sangat dibutuhkan.

Amina Wadud dalam bukunya Qur’an and Women, Amina Wadud mengatakan bahwa
tidak ada penafsiran yang betul-betul obyektif. Artinya setiap penafsiran memiliki nilai
subjektivitas yang merupakan refleksi dari pilihan-pilihan para mufasir. Akan tetapi seringkali
pembaca terjebak dengan refleksi subyektivitas karena memang membedakan antara penafsiran
dan teks yang ditafsirkan itu sendiri. Sehingga kebenaran penafsiran seringkali dianggap sebagai
sesuatu yang koresponden dengan teks, padahal sesungguhnya ada reduksi dalam proses
penafisran tersebut.

Menurut Amina, salah satu aspek penting metode hermeneutik adalah mengatasi
keterputusan dengan al-Qur'an. Menurutnya, daripada hanya menerapkan beberapa makna
sekaligus pada satu ayat, dengan sesekali merujuk ayat lain, lebih baik dikembangkan saja
sebuah kerangka berdasarkan pemikiran sistematis untuk menunjuk dampak dari pertalian yang
sesuai dengan al-Qur’an. Wadud menekankan bahwa setiap istilah harus dikaji berdasarkan
aqidah bahasa, struktur sintaksis dan kontekstualnya agar parameter maknanya lebih dipastikan.1

Sementara pemikiran tersebut berbanding terbalik dengan Adnin Armas yang


menggambarkan betapa hermeneutika adalah terlalu relatif untuk dijadikan metode memahami
Alquran. Malahan, itu sungguh berbahaya bagi Muslim, terutama soal identitas mengetahui asal

1
Ernita Dewi, “Pemikiran Amina Wadud Tentang Rekonstruksi Penafsiran Berbasis Metode Hermeneutika”. Jurnal
Substantia. Vol. 15, No. 2, Oktober 2013, hal. 147-148.
Nama : Sayyidah Nafisah
NIM : 11160340000125
Mata Kuliah : Hermeneutik dan Semiotik
Kelas : 6 D (Senin Jam Pertama)
usul hermeneutika dari budaya Barat. Sebaliknya, di waktu bersamaan, tafsir merupakan satu
entitas yang jauh dari relatifitas, murni lahir dari rahim Islam, sehingga tentu ia jauh lebih cocok
atau satu-satunya yang pantas untuk dipakai memahami Alquran.

Menurut Adnin hermeneutika membuka jalan bagi siapa saja untuk menafsirkan Alquran,
hermeneutika, tidak mengandaikan adanya komitmen agama atau pun akhlak bagi seseorang
sebelum menafsirkan Alquran, sehingga tentu berseberangan dengan pendapat al-Tabari
misalnya yang menyaratkan adanya akidah yang benar dan kemauan menjadikan sunnah sebagai
payung. Kesimpulannya, dilihat dari segi historis dan juga tools of interpretation, hermeneutika
tidak bisa dipakai untuk teks Alquran.

Adapun mengenai hermeneutika, bagi Adnin ia sungguh berbeda dengan tafsir. Pertama,
sumber yang dipakai hermeneutika adalah murni akal. Ketika membaca Alquran dengan
hermeneutika misalnya, maka tuntunan yang dimiliki si penafsir hanyalah akal, sehingga, lanjut
Adnin, mesti hasilnya ke mana-mana. Kedua, hermeneutika begitu melekat dengan interpretasi
Bibel. Kenyataan bahwa ketika berbicara sejarah hermeneutika, maka berbicara pula kritik
interpretasi Bibel merupakan salah satu alasan mengapa demikian. Dengan begitu, apakah
Muslim akan tetap menggunakannya padahal secara bersamaan mereka memiliki tafsir yang usai
mengakar dan menjadi identitasnya.

Sebagai dampak dari sumbernya yang sebatas akal, hermeneutika, tutur Adnin, tidaklah
memberi apa pun kecuali ketidakterbatasan, ia mendapati jika hermeneutika memungkinkan
seorang penafsir untuk melampaui pengarang. Siapa saja boleh menafsirkan Alquran. Bagi
Adnin, gaya semacam ini sungguh tidak bisa diterapkan dalam Alquran. Jika dipaksa, maka
hasilnya adalah kesemana-menaan, menafsirkan demi kepentingan pribadi, ideologi, dan
sebagainya. Satu lagi: jebakan relativitas. Tafsir begitu mendengungkan kesepakatan-
kesepakatan yang sepi dari relativitas, tapi hermeneutika malah memantiknya. Jadi,
hermeneutika tidak pantas untuk Alquran.2

2
Muhammad Saifullah, “Menimbang Kritik Adnin Armas atas Hermeneutika Alquran”. Shahih Journal of
Islamicate Multidisciplinary, Vol. 3, Nomor 1, Januari - Juni 2018, hal. 63-67.

Anda mungkin juga menyukai