Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan lingkungan di dunia sejak awal dekade sembilan puluh berkisar

pada empat masalah, yaitu; menyangkut pemanasan global, pemusnahan ozon,

keanekaragaman hayati dan masalah perairan internasional. Di Indonesia sendiri,

permasalahan lingkungan hidup secara umum terjadi pada pemanfaatan sumberdaya

alam yang melebihi daya recovery-nya. Selain itu, permasalahan lainnya adalah

pemanfaatan lingkungan yang melebihi daya dukungnya.1

Permasalahan lingkungan tersebut timbul akibat ulah manusia yang dalam

aktivitasnya tidak mempedulikan keseimbangan dan keserasian lingkungan. Manusia

selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya dengan tidak

mempertimbangkan bahwa aktivitasnya yang berlebihan dalam mengeksploitasi

lingkungan guna memenuhi kebutuhan dan keinginnya akan melampaui kemampuan

lingkungan dalam mendukung perikehidupan.2

1
Chafid Fandeli, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Prinsip Dasar Dalam Pembangunan,
(Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 1.

2
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 19.

1
2

Manusia, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan

dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPPLH), diartikan sebagai orang dimana

setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum

maupun yang tidak berbadan hukum.3 Jika dilihat dari pasal ini, pengertian orang tidak

hanya mengandung pengertian orang sebagai manusia atau individu saja, tetapi juga

termasuk korporasi. Sebab korporasi adalah suatu perseorangan yang merupakan badan

hukum.4

Peranan korporasi dalam perkembangan aktivitasnya dapat meningkatkan

pertumbuhan ekonomi melalui pemasukan Negara dalam bentuk pajak bahkan devisa

serta penyediaan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat. Namun demikian, tidak

jarang korporasi dalam menjalankan aktivitasnya menunjukkan aktivitas perilaku

menyimpang, yang kemudian diberi istilah kejahatan korporasi.5

Kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup adalah bentuk penyimpangan

korporasi dalam melakukan aktivitas usahanya yang berdampak pada kerusakan

lingkungan hidup. Perilaku menyimpang oleh korporasi tersebut telah membawa

banyak bencana bagi lingkungan hidup dan juga kemanusiaan, yang mengakibatkan

3
Pasal 1 Ayat 32

4
Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana,
2010), hlm.23.

5
Muhamad Topan, Kejahatan Korporasi Di Bidang Lingkungan Hidup, (Bandung: Nusa
Media, 2009), hlm. 40.
3

kerugian dibidang materi, kerugian dibidang kesehatan, dan keselamatan jiwa, maupun

dibidang sosial.6

Salah satu kasus perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi adalah

kasus pembakaran hutan dan lahan oleh PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten

Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. PT. NSP merupakan badan suaha yang bergerak di

bidang usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat khususnya

di bidang Hutan Tanaman Industri Sagu.7 Kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut

terjadi pada tahun 2014. Akibat kebakaran tersebut menghanguskan sekitar 2.200

hektar lahan milik perusahaan termasuk lahan milik warga. Selain itu kebakaran juga

mengakibatkan terjadinya kabut asap.

Negara dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

bereaksi dengan menggugat PT. NSP dan membawanya ke ranah Pengadilan.

Penyelesaian sengketa antara KLHK dan PT. NSP berlangsung berlarut-larut. Dimulai

dari gugatan pidana ke Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis pada tahun 2014, kemudian

gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta selatan hingga penyelesaian kasasi

ke Mahkamah Agung (MA). Terakhir pada tanggal 17 Desember 2018 yang lalu, MA

6
Ibid.

7
Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor: 547/Pid.Sus/2014/PN.Bls., hlm. 9.
4

resmi memenangkan pihak KLHK yang mengharuskan PT. NSP untuk membayar

biaya kerugian dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp. 1 triliyun lebih.8

Islam merupakan agama (jalan hidup) yang sangat memperhatikan tentang

lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat al-Qur’an dan hadis

yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan setiap manusia untuk menjaga

kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain di bumi.9 Apa yang tampak

saat ini, pencemaran dan kerusakan lingkungan sebab akibat dari ulah manusia sendiri.

Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi.

10
‫ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت ايدي الناس ليذيقهم الذي عملوا لعلهم يرجعون‬

Manusia baik secara individu maupun kelompok tidak mempunyai hak mutlak

untuk menguasai sumber daya alam. Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Yang

Maha Pencipta. Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah

diberikan.11 Hal ini senada dengan konsep yang berkaitan dengan penciptaan manusia

dan alam semesta yakni konsep Khilafah dan Amanah.12 Oleh karena itu, mengurus

8
Andi Saputra, Tok! MA Menangkan KLHK Vs Pembakar Hutan di Gugatan Rp. 1 Triliun,
diakses dari https://news.detik.com/berita/4367535/tok-ma-menangkan-klhk-vs-pembakar-hutan-di-
gugatan-rp-1-triliun, pada tanggal 11 Februari 2019 pukul 17.19 WIB.

9
Arif Sumantri, Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010) hlm. 265.

10
Ar-Ru>m (30):41.

11
Ibid.
12
Ibid., hlm. 265.
5

bumi dan segala isinya merupakan tanggung jawab manusia dengan mengelola dan

memanfaatkannya sebagaimana mestinya. Sebagaimana firman Allah:

13
‫وال تفسدوا في األرض بعد إصال حها وادعوه خوفا وطمعا إنّ هللا قريب من المحسنين‬

Penegakan hukum pembakaran hutan dan lahan dalam Islam dapat diqiyaskan

dengan penegakan hukum perusakan lingkungan sebagai langkah dalam upaya

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penegakan hukum kerusakan

lingkungan dalam Islam dapat dilakukan menggunakan konsep fiqih lingkungan

berdasarkan pada tujuan hukum Islam atau maqa>s}id al-syari>’ah. Menurut al-

Syatibi tujuan hukum Islam adalah untuk kemashlahatan umat manusia.14 Menurut

Sukarni, fiqih pada dasarnya menjadi “jembatan penghubung” antara etika dan undang-

undang, sehingga fikih dapat menjadi panduan (secara etis) dan peraturan (secara

normatif) untuk keselamatan kosmos.15

Kaitannya dengan tanggungj jawab perdata bagi korporasi yang melakukan

perusakan lingkungan, dalam hukum positif dikenakan sanksi ganti kerugian dan

pemulihan lingkungan berdasarkan KUH Perdata dan UUPPLH karena perbuatan

melawan hukum (PMH). Dalam Islam untuk menetapkan ganti rugi, unsur-unsur yang

paling penting adalah d}ara>r atau kerugian pada korban. Tolok ukur ganti rugi baik

13
Al-A’ra>f (7):56

14
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 64.

15
Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan, (Jakarta:
Kementerian Agama RI. 2011), hlm. 65.
6

kualitas maupun kuantitas sepadan dengan d}ara>r yang diderita pihak korban,

walaupun dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti rugi dapat dilakukan sesuai

dengan kondisi pelaku.16

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, maka penyusun

tertarik untuk melakukan penelitian dan mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang

berjudul “Pertanggungjawaban Perdata Korporasi Dalam Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup Komparasi Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi

Kasus: Kebakaran Hutan dan Lahan PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten

Kepulauan Meranti, Provinsi Riau).

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penyusun uraikan sebelumnya,

ada beberapa pokok masalah yang hendak dijadikan fokus dan titik pembahasan dalam

skripsi ini:

1. Bagaimana pertanggungjawaban perdata korporasi pada kasus kebakaran hutan

dan lahan PT. NSP menurut hukum positif dan hukum Islam.

2. Bagaimana komparasi antara hukum positif dan hukum Islam terhadap

pertanggungjawaban perdata korporasi dalam kasus kebakaran hutan dan lahan

PT. NSP?

C. Tujuan dan Kegunaan

16
Abdul Salam, “Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata dan Hukum islam”,
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/ganti-rugi-menurut-hukum-perdata-dan-
hukum-islam-oleh-drs-h-abd-salam-s-h-m-h-28-8, akses 28 Februari 2019.
7

1. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban perdata korporasi pada kasus

kebakaran hutan dan lahan PT. NSP menurut hukum positif dan hukum

Islam.

b. Untuk memetakan perbedaan dan persamaan pertanggungjawaban perdata

korporasi pada kasus kebakaran hutan dan lahan PT. NSP hukum positif dan

hukum Islam.

2. Kegunaan

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ini diharapkan berguna dan memberikan kontribusi terhadap

pengembangan pengetahuan dibidang hukum Islam khususnya hukum

perdata Islam dan hukum di Indonesia.

b. Penelitian ini diharapkan sebagai aspirasi penyusun kepada pemerintah dan

lembaga yang berwenang untuk semakin baik dan adil dalam

melaksanakannya.

c. Manfaat praktis bagi penyusun dan pembaca, serta masyarakat pada

umumnya untuk mengetahui Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam

perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup hukum positif dan hukum

Islam (Studi kasus kebakaran hutan dan lahan PT National Sago Prima

(NSP) Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau).


8

d. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syari’ah

dan Hukum pada umumnya dan bagi prodi Perbandingan Mazhab pada

khususnya.

D. Telaah Pustaka

Dari beberapa literatur yang penyusun telusuri, ada beberapa buku, karya tulis

ilmiah dan skripsi yang relevan dengan judul yang dibahas. Untuk kategori buku yaitu:

Karya Tedi Sudarna dalam skripsinya yang berjudul “Pertanggungjawaban

Korporasi Pada Kasus PT. Lapindo Brantas Menurut Prespektif Hukum Islam”,17

membahas mengenai bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal ini PT.

Pelindo Brantas yang mengakibatkan luapan lumpur panas di Kecamatan Porong

Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam skripsi tersebut, Tedi membandingkan bentuk

pertanggungjawaban pidana korpoasi antara UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009 dan

hukum pidana Islam.

Maulana Unan dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Pembakaran

Hutan Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Perspektif

Hukum Islam”,18 menjelaskan tentang sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada orang

atau korporasi yang melakukan pembakaran hutan berdasar pada Undang-Undang

17
Tedi Sudarna, “Pertanggungjawaban Korporasi Pada Kasus PT. Lapindo Brantas Menurut
Perspektif Hukum Islam,” Skripsi Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (2015).

18
Maulana Unan, “Tindak Pidana Pembakaran Hutan Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan Perspektif Hukum Islam”, Skripsi Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014).
9

tentang kehutanan. Maulana juga mengkomparasikan sanksi tersebut dengan hukum

Islam menggunakan teori hukum pidana Islam dan maqasid syari’ah.

Karya Jimmy Tawalujan dalam artikel skripsi yang berjudul

“Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan,19 membahas tentang

sistem pertanggungjawaban korporasi dalam bidang pidana, antara lain menjelaskan

pengertian sistem pertanggungjawab korporasi dan doktrin-doktrin

pertanggungjawaban koporasi. Kemudian juga menjelaskan mengenai penerapan

sanksi terhadap korporasi dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban

kejahatan menurut perundang-undangan.

Prim Haryadi dalam jurnalnya yang berjudul “Pengembangan Hukum

Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata di Indonesia”, 20 menjelaskan

tentang hakim dalam menangani perkara perdata lingkungan hidup tidak cukup dengan

menerapkan ketentuan hukum yang telah ada, namun juga memerlukan judicial

activism sebagai upaya untuk mengembangkan hukum lingkungan hidup di Indonesia.

Dari penelitian kajian yang disebutkan diatas, terlihat bahwa masing-masing

membahas mengenai pertanggungjawaban korporasi terhadap kejahatan di bidang

lingkungan hidup. Namun penelitian yang sering dilakukan adalah mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi, baik di bidang lingkungan hidup maupun di

19
Jimmy Tawalujan, “Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan”, Artikel
Skripsi Lex Crimen Vol. 1 No. 3 (Juli-September, 2012).

20
Prim Haryadi, “Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum
Perdata di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14 No. 1 (Maret 2017).
10

bidang lainnya. Masih sedikit penelitian yang membahas tentang pertanggungjawaban

perdata korporasi, dan belum ada penelitian yang membandingkannya dengan hukum

perdata Islam. Maka untuk itulah penulis tertarik untuk meneliti tentang

pertanggungjawaban perdata korporasi dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup komparasi hukum positif dan hukum Islam dengan mengambil

sebuah kasus kebakaran hutan dan lahan PT. NSP di Kabupaten Kepulauan Meranti,

Provinsi Riau.

E. Kerangka Teoritik

Kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup merupakan bentuk kejahatan

korporasi yang menyangkut masyarakat luas. Dampak korban kejahatan korporasi di

bidang lingkungan hidup secara umum tidak hanya dapat menguras sumber daya alam,

tetapi juga modal manusia, modal sosial, bahkan modal kelembagaan yang

berkelanjutan.21

Salah satu kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup adalah pembakaran

hutan dan lahan. Tahun 2014 merupakan tahun dimana kebakaran hutan di Indonesia

mencapai titik tertinggi sejak darurat kabut asap Asia Tenggara pada tahun 2013.

Sekitar setengah dari kebakaran tersebut berlangsung di lahan yang dikelola oleh

perusahaan tanaman industri.22 Fakta ini memperlihatkan semakin terus bertambahnya

21
Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi Di Bidang Lingkungan Hidup, hlm. 58.

22
Ariana Alisjahbana, dkk, “Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat Tertinggi Sejak
Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013,” https://wri-indonesia.org/id/blog/fires-indonesia-spike-
highest-levels-june-2013-haze-emergency, akses 19 Januari 2019.
11

kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup. Maka perlu adanya penegakan hukum

yang tegas di bidang lingkungan hidup.

Di Indonesia, paling tidak ada tiga bidang hukum yang selalu terjadi dalam

praktik perselisihan mengenai lingkungan yaitu penyelesaian melalui hukum perdata,

hukum administrasi Negara, dan hukum pidana.23 Di bidang perdata,

pertanggungjawaban korporasi diatur dalam ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atas perbuatan melawan hukum. Sedangkan

dalam UUPPLH mengatur tentang penerapan prinsip strict liability (tanggung jawab

mutlak) yang diatur dalam ketentuan pasal 88.

Selain itu juga diatur mengenai perhitungan ganti rugi akibat pencemaran/atau

kerusakan lingkungan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun

2011 Tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran/atau Kerusakan Lingkungan (Permen

LH 13/2011) sebagaimana telah dicabut oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran

dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup (Permen LH 7/2014).24

Suatu korporasi dianggap sebagai orang dan pada dasarnya dapat melakukan

berbagai kegiatan. Dengan demikian dapat pula dimintakan pertanggungjawabannya

23
Muhammad Taufik Makarao, Aspek-aspek Hukum Lingkungan, (Jakarta: Indeks, 2011), hlm.
241.

24
Prim Haryadi, “Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Perdata di
Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 1, Maret 2017.
12

atas perbuatannya itu termasuk dalam hal ini adalah perbuatan yang melawan hukum.25

Pasal 1365 KUH Perdata mengatur tentang pertanggungjawaban subjek hukum karena

pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Dalam kitab tersebut

menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Perbuatan Melawan Hukum dalam kasus

lingkungan hidup berkaitan dengan tindakan perusakan lingkungan yang dilakukan

oleh seseorang atau korporasi termasuk dalam hal ini adalah badan hukum.

Secara umum prinsip-prinsip pertanggungjawaban dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:26

1. Prinsip pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault)

Prinsip yang menyatakan seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya,

diatur dalam pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata. Menurut Pasal 1367, tanggung

jawab hukum terhadap orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas pada

perbuatannya sendiri, namun juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilannya

apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang itu bertindak sesuai

25
Alofonso F. Pahotan Napitupulu, “Pertanggungjawaban Korporasi Secara Perdata Dalam
Perbbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan Oleh PT. Lapindo Brantas”,
Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum UGM (2015).

26
Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Supriadi, dalam Beby Vieliani, “Strict Liability
Dalam Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia Suatu Studi Perbandingan Dengan Sistem di Inggris”,
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (2014), hlm. 19.
13

dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut. Nama lain dari

bentuk tanggung jawab ini adalah vicarious liability,27 dengan bentuk

pertanggungjawaban hanya mengenai denda atau ganti kerugian, tidak berupa pidana

penjara.

2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga (Persumption of Liability)

Prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak

bersalah.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)

Prinsip pertanggungjawaban hukum (liability) yang didasarkan pada pasal 1365

KUH Perdata dengan menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan

namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari

tanggung jawab. Dalam pasal 88 UUPPLH No. 32 Tahun 2009 menyatakan tanggung

jawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat

sebagai dasar pembayaran gani rugi.

Pertanggungjawaban dalam gugatan perdata pada dasarnya berkaitan dengan

teori-teori pertanggungjawaban sebagai berikut:28

27
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, hlm. 21

28
Supriyadi, Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm. 286-288.
14

1. Market Share Liability

Yaitu teori yang menyatakan penggugat menderita kerugian akibat pencemaran

oleh sejumlah industri, dimana penggugat diharuskan menghadirkan sejumlah industri

sebagai pihak yang diduga sebgai contributor substansial (substansial share) zat-zat

pencemar. Beban pembuktian berpindah pada tergugat untuk membuktikan bahwa

tergugat tidak bersalah. Jika tergugat gagal membuktikan, maka tergugat

bertanggungjawab atas presentase tertentu dari kerugian penggugat berdasarkan

jumlah kontribusi zat-zat kimia ke dalah lingkungan penerima (market share).

2. Risk Contribution

Tujuan dari teori ini tidak jauh berbeda dari tujuan teori market share liability,

yaitu mengatasi permasalahan dimana penggugat mengalami kerugian yang

disebabkan pencemaran, tetapi dapat diidentifikasi secara pasti penyebab kerugian

tersebut. Penggugat hanya berhasil melakukan identifikasi zat-zat pencemaran serta

kadar yang dikondisikan penggugat melalui air (minuman) dan makanan.

3. Concert of Action

Teori dimana suatu perbuatan pencemaran dapat terlaksana dengan sempurna

karena ada kemungkinan terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja

sama.

4. Alternative Liabilty

Teori ini muncul dilandasi suatu prinsip bahwa sangatlah tidak adil apabila

tergugat mesti dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat membuktikan secara
15

pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggungung jawab atas perbuatan yang

minimbulkan kerugian bagi orang lain.

5. Enterprise Liability

Teori yang diterapkan ketika penggugat tidak dapat secara spesifik menunjuk

pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan yang potensial menjadi penyebab

yang ternyata telah mengikuti atau mematuhi standar dan petunjuk yang ditentukan.

Menjaga lingkungan dari bahaya pencemaran dan perusakan adalah wajib yang

didasarkan pada prinsip kemaslahatan merupakan upaya dalam rangka mewujudkan

tujuan-tujuan syari’at (maqa>s}id al-syari>’ah) tujuan dari syari’at Islam adalah

mencegah kerusakan (mafsadah) dan mendatangkan kemaslahatan (mas}lahah) bagi

umat manusia di dalam mengurus kehidupan termasuk lingkungan hidup secara bijak.

Oleh karena itu, tujuan Allah menetapkan syariat hukumnya adalah untuk memelihara

kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di

dunia maupun di akhirat.

Menurut Abu Is}aq al-Shat}ibi>, dalam kitab al-Muwa>faqa>t}, tujuan hukum

Islam (maq}}{a>sid al-syar>I’ah), ke dalam lima hal: 1) penjagaan agama (h}ifz} al-

di>n), 2) menjaga jiwa (h}ifz} al-nafs), 3) menjaga akal (h}ifz} al-‘aql), 4) memelihara

keturunan (h}ifz} al-nasl), dan 5) memelihara harta (h}ifz} al-ma>l).29 Yusuf al-

29
Abu Isaq al-Shat}ibi, “al-Muwa>faqa>t} fi> Us}ul al-Shari’ah”, juz 1, dalam Maskhun
Abidi,Sanksi Tindak Pidana Pelaku Pencemaran Lingkungan Hidup Menurut Fiqh Jinayah dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup),
Skripsi Jurusan Perbandingan Mazhan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2015, hlm. 8.
16

Qardhawi menambahkan bahwa posisi pemeliharaan ekologis/lingkungan hidup (h}ifz}

al-‘a>lam) dalam Islam, setara dengan menjaga maqa>s}id al-syari>’ah yang

kelima.30

Menurut Yusuf al-Qardhawi, menjaga lingkungan hidup sama dengan menjaga

jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Rasionalitasnya adalah

bahwa jika aspek-aspek jiwa, akal, keturunan, dan harta rusak, maka eksistensi manusia

dalam lingkungan menjadi ternoda. Dalam konsep fiqh lingkungan yang dirumuskan

oleh para cendekiawan muslim mencerminkan dinamika fiqh terkait dengan adanya

perubahan konteks dan situasi.31

Dalam fiqih Islam, kaitannya dengan Perdata Islam, pertanggungjawaban perdata

dilakukan dengan ganti kerugian. Ditinjau dari jenis pelanggarannya, ganti rugi dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu;32 1) ganti rugi pidana, yang terjadi karena

pelanggaran terhadap hukum pidana (jina>yah), atau yang biasa disebut diyat. 2) dan

ganti rugi perdata, yang terjadi karena pelanggaran terhadap hukum perdata Islam

(mu’a>malah), atau yang biasa disebubt dengan istilah d{ama>n.

30
Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.
94.

31
Yusuf al-Qardhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, terjemahan Abdullah Hakim Shah
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 46.

32
Aris Anwaril Muttaqin, Sistem Transaksi Syariah Konsep Ganti Rugi dalam Hukum Bisnis
Syariah, (Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu Group, 2015), hlm. 21.
17

Dalam fiqih Islam kontemporer, rukun ganti rugi ada tiga, yaitu; 33 1) Muta’adi

(pihak pelaku), yaitu semua orang yang melanggar ketentuan syariat atau lalai dalam

menunaikan kewajiban umum, 2) D{ara>r (timbul kerugian), yaitu kerugian yang

timbuk akibat perbuatan ta’adi, 3) Mad{ru>r (pihak yang dirugikan), yiatu semua

orang yang tertimpa kerugian akibat perbuatan muta’adi.

Menurut Dr. ‘Iwad Ahmad Idris, dalam kitab Diya>t baina al-‘Uqu>bah wa al-

Ta’wi>d, ada tiga syarat yang harus dipenuhi supaya perbuatan seseorang itu bisa

dikatakan menimbulkan ganti rugi baik ganti rugi pidana maupun perdata, yaitu;34

1. An-yakuna al-fil’lu gairu masyru>’ (perbuatan itu bertentangan dengan

syari’at/perbuatan tersebut melawan hukum).

2. An-yakuna al-fi’lu s{a>diran minal gair (perbuatan itu berasal dari orang

lain).

3. An-yajuna al-fi’lu gairu masyru>’ muadiyan ila al-d{ara>r bi z|atihi

(perbuatan yang bertentangan dengan syari’at itu dengan sendirinya

menimbulkan kerugian/adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan

kerugian).

F. Metode Penelitian

33
Iwad Ahmad Idris, “Diyat baina uqubah wa Ta’wid”, dalam Aris Anwaril Muttaqin, Sistem
Transaksi Syariah Konsep Ganti Rugi dalam Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu
Group, 2015), hlm. 28
34
Ibid., hlm. 29.
18

Penggunaan metode merupakan suatu keharusan mutlak dalam penelitian.

Disamping untuk menjadikan penelitian lebih efektif dan rasional guna mencapai hasil

penelitian yang lebih optimal.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research). Yaitu

penelitian yang menggunakan buku sebagai sumber datanya (cari referensinya),

baik sebgai sumber primer maupun sumber sekunder. sumber data primer dan

sekunder.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dipakai adalah deskriptif-analitik-komparatif, yaitu

memaparkan data-data tentang suatu hal atau masalah dengan analisa dan

interpretasi yang tepat, memberikan gambaran dan membandingkan secara tepat,

jelas, sistematis, fatual dan akurat mengenai Tinjauan Hukum Islam terhadap

Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam perlindungan dan pengelolaan

Lingkungan hidup (Studi Kasus Kebakaran hutan dan lahan PT National Sago

Prima (NSP) Kabupaten Kep. Meranti, Provinsi Riau).

3. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif-yuridis,

yaitu penelitian yang mencakup tentang asas-asas hukum, sistematika hukum,

sejarah hukum, perbandingan hukum dan taraf sinkronisasi hukum.

4. Pengumpulan Data
19

Karena penelitian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber data yang

digunakan adalah telaah dokumen, literer dan penulusan naskah, yaitu dengan

cara mengambil dan menelusuri buku-buku, makalah dan artikel yang ada

kaitannya dengan masalah yang dibahas dan ditulis oleh pakar hukum Indonesia

tentang pelestarian lingkungan, fikih lingkungan, dan pertanggungjawaban

korporasi, kemudian dikaji dan dianalisis untuk mencari landasan pemecahan

masalah.

Adapun sumber primer berasal dari Al-Quran dan Hadis, KUH Perdata,

UUPPLH No. 32 Tahun 2009, salinan putusan pidana Pengadilan Negeri (PN)

Bengkalis, salinan putusan perdata PN Jakarta Selatan, salinan putusan banding

perdata Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, salinan putusan kasasi perdata

Mahkamah Agung (MA). Sedangkan sumber data sekunder berasal dari kitab

fiqih, buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, buletin, dan tulisan lainnya yang

relevan dengan kajian penelitian.

5. Analisis Data

a. Deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan

menyeleksi data yang diperoleh dari hasil penelitian menurut kualitas dan

kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan

kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga

diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.


20

b. Komparaif yaitu metode untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan

membandingkan untuk dapat diketahui mana yang lebih benar atau mencapai

kemungkinan untuk mengkompromikannya.

G. Sitematika Pembahasan

Agar pembahasan dan penulisan dalam skripsi ini menjadi terarah, utuh, dan

sistematis, maka penelitian ini dibagi dalam beberapa bab:

Bab pertama, yakni pendahuluan, meliputi: latar belakang, pokok masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian,

sistematika pembahasan.

Bab kedua, merupakan pembahasan mengenai pertanggungjawaban perdata

korporasi menurut hukum positif dan hukum Islam, meliputi: pengertian korporasi,

bentuk dan pelaku kejahatan korporasi, kejahatan korporasi terhadap lingkungan hidup,

pertanggungjawaban perdata korporasi dalam hukum positif, korporasi dalam hukum

Islam, dan pertanggungjawaban korporasi menurut hukum Islam.

Bab ketiga, merupakan pembahasan mengenai kasus kebakaran hutan dan lahan

PT. National Sago Prima (NSP), meliputi; profil korporasi, kronologi terjadinya

kebakaran hutan dan lahan dan keputusan pengadilan mengenai kebakaran hutan dan

lahan PT. NSP.

Bab keempat, merupakan pembahasan mengenai analisis perbandingan antara

hukum positif dan hukum Islam terhadap pertanggungjawaban perdata korporasi kasus

kebakaran hutan dan lahan PT. NSP, meliputi; persamaan dan perbedaan sanksi perdata

korporasi terhadap kasus kebakaran lahan dan hutan PT. NSP menurut hukum positif
21

dan Hukum Islam dan titik temu persamaan dan perbedaan pertanggungjawaban

perdata.

Bab kelima merupakan kesimpulan dan penutup yang berisi jawaban dari

pokok permasalahan dan saran-saran.

Anda mungkin juga menyukai