Eksotropia Konstan
Disusun oleh
dr.Disti Hardiyanti
Pembimbing
dr.Liana Ekowati,Msi.Med,Sp.M(K)
3
Gambar 24. Tabel indikasi operasi strabismus ....................................................................31
4
DAFTAR TABEL
5
BAB I
PENDAHULUAN
Strabismus atau yang lebih dikenal dengan mata juling/jereng merupakan suatu
pergeseran (ocular missalignment) yang dapat terjadi akibat adanya abnormalitas dari
penglihatan binokuler atau anomali kontrol neuromuskular motilitas okuler. Secara umum
strabismus dibagi menjadi dua berdasarkan arah deviasi yaitu esodeviasi dan eksodeviasi.
Eksodeviasi merupakan tipe strabismus yang paling banyak dilaporkan yaitu lebih dari 50%
kasus deviasi okular pada pasien anak-anak.1
Eksodeviasi umumnya dibagi menjadi eksoforia (strabismus yang tidak terlihat kecuali
dalam kondisi tertentu) dan eksotropia (eksodeviasi manifes). Eksotropia atau juling divergen
(divergent squint atau strabismus divergen) adalah suatu keadaan strabismus dimana mata
berotasi sehingga kornea berdeviasi ke arah temporal. Eksotropia dapat disebabkan oleh adanya
hambatan pada perkembangan penglihatan binokuler, hambatan pada saat mempertahankan
penglihatan binokuler, atau adanya kelemahan dari otot rektus medial. Berdasarkan frekuensi
terjadinya eksotropia dibagi menjadi intermiten dan konstan. Eksotropia konstan adalah
eksotropia yang terjadi secara terus menerus dimana sudah tidak dapat dikontrol oleh fusi
sehingga selalu terlihat manifes.1,2
Berdasarkan studi epidemiologi, eksotropia biasanya terjadi pada 1% dari populasi dan
paling banyak dijumpai di Timur Tengah, Afrika dan Asia Timur. Dari 100 kasus eksotropia
didapatkan 80 kasus eksotropia intermiten dan sisanya eksotropia konstan. 1,3.
Pasien dengan eksotropia memiliki gejala seperti adanya ketidaknormalan gerak bola
mata baik satu atau dua mata, penglihatan ganda, penurunan penglihatan, rasa tidak nyaman
dimata, sakit kepala, dan postur kepala yang menjadi tidak normal2. Meskipun kejadian
eksotropia konstan jarang terjadi namun keadaan ini tetap menjadi perhatian dikarenakan
diagnosis yang cepat dan tepat akan dapat memberikan tatalaksana yang tepat dan cepat pula
sehingga memberikan prognosis yang lebih baik terutama pada anak. Dilaporkan waktu operasi
yang cepat dapat memperbaiki outcome operasi1,3.
6
Tinjauan pustaka ini membahas mengenai definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis,
kriteria diagnosis dan penatalaksanaan mengenai eksotropia konstan sehingga klinisi diharapkan
mampu mendiagnosis, mengobati dan mencegah timbulnya komplikasi pada pasien.
7
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI OTOT EKSTRAOKULER
8
Otot oblik superior setelah melalui troklea di superior nasal rima orbita berinsersi di sklera
superior di bawah insersi otot rektus superior. Sedangkan otot oblik inferior berinsersi di sklera
di sebelah kuadran posterior inferior temporal.
9
b. Vaskularisasi dan inervasi1,4
Otot-otot ekstraokuler mendapatkan suplai darah dari arteri oftalmika, arteri lakrimal, dan
arteri infraorbita. Adapun inervasi pada otot ekstraokuler yaitu rektus lateral diinervasi oleh
N.VI (nervus abdusen), otot oblik superior diinervasi oleh N.IV (nervus trochlear), sedangkan
lainnya diinervasi oleh N.III (nervus okulomotor). Nervus Okulomotor memiliki dua divisi :
divisi superior yang menginervasi otot levator palpebra dan otot rektus superior, serta divisi
inferior yang menginervasi otot rektus medial, otot rektus inferior dan otot oblik inferior.
Kesimpulan mengenai anatomi otot esktraokuler dapat dilihat pada tabel 1 diatas.
10
Gambar 3. Gerakan pada axis Fick A. Aksis vertikal (axis X) rotasi horizontal,
B. Aksis Horizontal (axis X) rotasi vertikal, c. Aksis Visual (axis Y) rotasi torsional 7.
2. Versi2,6,7
Versi adalah gerakan mata binokuler ketika kedua mata berkonjugasi dan
bergerak ke arah yang sama/ simultan. Gerakan versi meliputi dekstroversi (gaze kanan)
yaitu gerakan kedua mata ke arah kanan pasien, levoversi (gaze kiri) yaitu gerakan kedua
mata ke arah kiri pasien, elevasi atau upgaze atau sursumversion yaitu gerakan rotasi ke
atas oleh kedua mata, depresi atau downgaze atau deorsumversion yaitu gerakan rotasi ke
bawah oleh kedua mata, dextrocycloversion yaitu gerakan rotasi kedua mata sehingga sisi
superior meridian kornea vertikal bergerak ke arah kanan pasien, dan levocycloversion
yaitu gerakan rotasi kedua mata sehingga sisi superior meridian kornea vertikal bergerak
ke arah kiri pasien.
11
Gambar 5. Gerakan Versi 7
3. Vergen6,7,8
Vergen adalah gerakan mata binokuler ketika kedua mata tidak berkonjugasi dan
kedua mata bergerak kearah yang berlawanan/ disjunctive. Gerakan vergen meliputi
konvergensi, divergensi, vertikal vergensi, dan siklovergensi
12
Yoke Muscle1,5
Setiap otot ekstraokuler di satu mata mempunyai yoke muscle di mata yang lain. Istilah
yoke muscle digunakan untuk menggambarkan 2 otot yang merupakan otot penggerak utama
pada masing-masing mata saat memberikan posisi gaze tertentu.
13
Hering’s Law1,5
Ketika kedua mata bergerak ke suatu posisi gaze tertentu, terjadi innervasi simultan
terhadap sepasang otot yoke (yoke muscle) dengan memberikan kekuatan yang sama/sebanding.
Kegunaan dari hukum ini adalah untuk mengevaluasi gerakan binokuler mata dan yoke
muscle yang terlibat.
Sherrington’s Law1,5
Peningkatan innervasi terhadap satu otot ekstraokuler selalu disertai penurunan innervasi
otot antagonisnya. Jika otot rektus medial kanan berkontraksi maka otot rektus lateral kanan pada
mata yang sama akan berelaksasi.
14
Gambar 10. Korespondensi retinal1
15
3. Stereopsis 1,6
Tingkat ketiga dan tertinggi dari fungsi penglihatan binokular adalah stereopsis,
yaitu persepsi kedalaman 3 dimensi binokular yang dihasilkan dari proses neural akibat
stimulasi elemen-elemen retina yang berbeda secara horizontal oleh bayangan yang
terletak di dalam area fusional. Fusi sensoris merupakan hal yang esensial bagi
terbentuknya stereopsis derajat tertinggi, tapi stereopsis derajat rendah masih dapat
terjadi pada absennya fusi sensoris bahkan pada terdapatnya heterotropia seperti
mikrotropia dan esotropia sudut kecil. Terdapat batasan minimal dari responsivitas
terhadap stimulasi elemen elemen retina yang berbeda. Batasan ini menentukan
ketajaman stereoskopis seseorang. Ketajaman stereoskopis juga berhubungan dengan
ketajaman visual seseorang. Ketajaman stereoskopis dapat menurun jika ketajaman visual
menurun meskipun hal ini tidak berkorelasi secara linier.
16
BAB III
EKSOTROPIA
Pada kondis normal, posisi kedua mata sejajar sehingga semua bayangan akan dipusatkan
pada fovea agar memiliki target visual yang sama, hal itu disebut orthopia. Strabismus
merupakan istilah ketidaksejajaran bolamata, sering disebut dengan juling. Tropia adalah istilah
ketika strabismus yang terjadi bersifat manifes. Sedangkan istilah foria adalah tropia yang
bersifat laten yang masih dapat menggunakan fusi untuk mempertahankan kesejajaran
bolamata.2,3,8
Gambar 11. Posisi mata normal dimana bayangan terbentuk tepat dikedua fovea 7
17
Eksiklotorsi (strabismus ekstorsional) : mata berotasi sehingga polus superior dari
meridian vertikal mata berputar ke arah temporal.
2. Berdasarkan besar deviasi (komitan atau inkomitan)
Komitan (konkomitan), di mana derajat deviasi tidak bervariasi pada keadaan arah
pandangan yang berbeda atau pada mata yang digunakan untuk fiksasi
Inkomitan (nonkomitan), di mana derajat deviasi bervariasi pada keadaan arah
pandangan yang berbeda-beda atau pada mata yang digunakan untuk fiksasi
3. Frekuensi (konstan atau intermiten)
Intermiten : strabismus yang terjadi dimana masih terdapat kontrol oleh mekanisme
fusi sehingga kadang laten kadang manifes. (tidak selalu muncul)
Konstan : strabismus yang terjadi menetap (terus-menerus)
4. Berdasarkan onset (kongenital atau didapat)
Infantil atau kongenital, deviasi yang tampak sebelum usia 6 bulan, dapat berkaitan
dengan defek saat lahir.
Acquired / didapat, deviasi yang tampak setelah usia 6 bulan di mana pada usia
hingga 6 bulan didapatkan perkembangan visual yang normal
5. Berdasarkan sistem vergensi, membandingkan magnitudo deviasi saat fiksasi dekat dan
jauh:
Basic-type eksotropia : sudut deviasi 10 PD baik saat dekat maupun jauh
Convergence-insufficiency type, sudut deviasi saat melihat dekat lebih besar
dibandingkan liat jauh, setidaknya 10 PD.
Divergence-excess type : sudut deviasi melihat jauh lebih besar dibandingkan melihat
dekat, setidaknya 10 PD.
6. Fiksasi/ keterlibatan mata/ laterality (unilateral atau alternating)
Unilateral : hanya terjadi pada satu mata saja
Alternans : merupakan deviasi terjadi secara spontan dan bergantian antara satu
mata dengan mata lainnya.
18
Gambar 12. Pembagian eksodeviasi 12
19
BAB IV
EKSOTROPIA KONSTAN
20
Gambar 14 : A. Bayi usia 10 bulan dengan eksotropia infantil, B. Tes krimsky menggunakan 2
prisma base-in untuk mengukur eksotropia yang besar.1
2. Eksotropia sensorik
Eksotropia yang muncul setelah adanya monocular vision loss yang berat yang
dapat diakibatkan oleh anisometropia, opasitas kornea, opasitas lensa, papil atropi ,
hipoplasia nervus optikus, lesi pada retina, atau ambliopia. Kejadian eksotropia sensori
lebih sering terjadi dibandingkan esotropia sensori pada bayi dan anak.1,6,7
3. Eksotropia konsekutif
Merupakan kondisi eksotropia yang muncul setelah suatu periode esotropia.
Eksotropia konsekutif dapat terjadi melalui dua cara yaitu : muncul secara spontan pada
pasien yang sebelumnya memiliki riwayat esotropia namun tidak memiliki riwayat
operasi, atau cara kedua yaitu terjadi setelah operasi esotropia. Muncul umumnya
beberapa bulan atau tahun sejak operasi pertama.
21
Gambar 16. Eksotropia konsekutif . Operasi pada usia 13 minggu,
reseksi rektur medial 6 mm bilateral yang mengakibatkan eksotropia konsekutif 7
Gambar 17. Post operasi esotropia kongenital yang menjadi eksotropia konsekutif. A. Preoperatif
pada pasien esotropia infantil usia 19 minggu. B. Postoperatif 1 hari dengan eksotropia
konsekutif. 7
4.2. Epidemiologi3,8
Kasus eksotropia lebih sering terjadi di negara Asia, Afrika dan daerah Timur tengah
dengan perbandingan 2-3 : 1 jika dibandingkan dengan kejadian esotropia. Di Nepal sekitar
76 % insidensi eksotropia yang dilaporkan dari semua kejadian strabismus. Sementara untuk
daerah Eropa dan Amerika umumnya lebih sering terjadi esotropia. Semakin dekat sebuah
negara ke sekitar garis katulistiwa maka kejadian eksodeviasi lebih meningkat, pengaruh
iklim, etnik dan helioptropik dikatakan berpengaruh terhadap terjadinya strabismus, namun
penelitian mengenai ini terus dilakukan meskipun belum mendapatkan jawaban yang jelas.
Eksotropia primer umumnya lebih banyak terjadi pada wanita, meskipun beberapa penelitian
melaporkan jenis kelamin tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian eksotropia.
Perbandingan eksodeviasi dan esodeviasi yaitu 6:1 pada populasi asia, hal ini
berhubungan dengan rendahnya prevalensi hiperopia pada orang asia, berbeda dengan ras
kaukasian yang memiliki prevalensi hiperopia yang lebih tinggi sehingga kasus esodeviasi
lebih banyak dibandingkan eksodeviasi.
22
Pada kasus eksotropia umumnya yang terbanyak adalah eksotropia intermiten sekitar
80 % dari semua kasus, sementara eksotropia konstan hanya sekitar 20 %.
23
4.4. Patogenesis
Telah diketahui berdasarkan fusi, eksodeviasi di bagi menjadi tiga yaitu eksoforia,
eksotropia intermiten dan eksotropia konstan. Patogenesis terjadinya eksotropia konstan
tidak selalu harus didahului dengan eksoforia maupun eksotropia intermiten, namun
beberapa kasus dilaporkan pasien dengan eksotropia intermiten yang berlama – lama
tanpa diobati dapat menyebabkan eksotropia konstan. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan
tonus konvergen, perkembangan penekanan, penurunan daya akomodasi dan peningkatan
divergenitas bola mata akibat penuaan. Dilaporkan 75 % eksotropia intermiten menjadi
eksotropia konstan. Dimana 50-90 % dari kasus eksodeviasi merupakan eksotropia
intermiten3,15.
Eksodeviasi primer disebabkan oleh kombinasi faktor inervasi dan faktor
mekanik, dan beberapa faktor lainnya. Terjadinya ketidakseimbangan inervasi yang
mengganggu hubungan timbal balik antara konvergensi aktif dan mekanisme divergensi.
Teori Bielschwosky mengatakan faktor anatomi dan mekanikal seperti perkembangan
dan kedalaman rongga orbita, insersi otot ekstraokuler dll juga mempengaruhi terjadinya
eksodeviasi, hal itu terbukti pada pasien dengan craniofacial dystosis menunjukkan
gambaran rongga bola mata yang dangkal dan lebih ke lateral. Kombinasi dua
mekanisme tersebut menyebabkan terjadi progresifitas tropia konstan 3,15.
Terjadinya eksotropia juga disebabkan karena kegagalan fusi yang juga dapat
disebabkan karena kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Terdapat teori supresi
hemiretina (Theory of Hemiretinal Suppression) oleh Knapp dan Jampolsky yang
menyatakan bahwa kemampuan untuk mensupresi penglihatan temporal membuat mata
menjadi menyimpang. Menurut Jampolsky, kejernihan gambar pada retina yang tidak
sama dapat menyebabkan hambatan fusi, sehingga menyebabkan supresi sehingga
berkontribusi dalam patogenesis eksotropia 3,15.
Refleks proprioseptif dari muskulus ekstraokuler memberikan kontribusi
terjadinya eksotropia. Magicians Forceps Phenomenon membuktikan ketika mata
dianastesi lalu mata yang dominan di gerakkan kearah nasal dengan menggunakan forcep
secara paksa di aduksikan. Maka mata satunya akan melakukan aduksi dan menjadi
orthoforia3,15.
24
4.5.Diagnosis
4.5.1. Anamnesis / Gejala klinis: 1,6,13,14
1. Eksotropia infantil/ kongenital.
Kriteria diagnosis :
Eksotropia muncul pada jarak jauh maupun dekat
Muncul pada usia sebelum 6 bulan
Sudut strabismus besar : 35-50 PD, konstan
Terdapat gangguan gerak bola mata seperti sulit adduksi
Fiksasi umumnya alternan sehingga jarang menyebabkan diplopia
Eksotropia intermiten sangat progresif menjadi eksotropia konstan
Jarang terjadi ambliopia
Tidak ditemui adanya kelainan refraksi
Dapat disertai dengan kelainan/ anomali kraniofasial, cerebral palsy.
2. Eksotropia sensoris6,7,9,12
Kriteria Diagnosis :
Terdapat kelainan pada mata yang berdeviasi seperti katarak, opasifikasi kornea, sampai
pada kelainan posterior seperti papil atropi.
Umumnya kelainan tersebut menyebabkan penurunan visus yang jelek sebelum usia 4
tahun.
Deviasi / juling terjadi setelah kelainan mata yang tejadi (tidak memiliki riwayat juling
sebelumnya).
25
Jika pasien sudah menjalani operasi koreksi esotropia, maka akan ditemui skar pada
insersi muskulus rektus horizontal
Berkurangnya adduksi sering ditemukan pada mata juling, terutama jika telah dilakukan
pembedahan untuk esotropia sebelumnya
Namun pemeriksaan visus tersebut tetap mengacu pada kondisi intelektual masing
masing pasien . Secara umum, visus pasien dengan eksodeviasi sering dikaitkan dengan
gangguan refraksi seperti miopi, hiperopia, dan astigmatisme. Namun berdasarkan studi
epidemiologi kejadian eksotropia akan tinggi ketika prevalensi hiperopia rendah.
26
Pengukuran Sudut Deviasi1,2,3,4,8
Terdapat beberapa metode untuk mengukur sudut deviasi :
a. Hirschberg Test1,2,3,4,8,17
Hirscberg test merupakan perkiraan objektif kasar besarnya deviasi pada strabismus.
Cara memeriksanya adalah pemeriksa duduk di depan pasien dengan memegang lampu senter
yang sudah dinyalakan pada jarak 33cm. Pasien diminta berfiksasi pada cahaya senter. Refleks
kornea akan tampak pada mata yang berfiksasi.Normalnya (ortoforia) apabila refleks kornea
terletak di tengah-tengah pupil (0o). Bila refleks kornea terletak di tepi pupil (margin pupil)
deviasi sekitar 15o (30 PD). Bila refleks kornea terletak di antara margin pupil dan limbus berarti
deviasi 30o (60 PD). Bila refleks kornea terletak di limbus berarti deviasi 45 o (90 PD).
Gambar 18. Hirsberg test (Kiri)8, tes Hirsberg dikonversikan pada prisma dioptri
(Kanan)17
27
tonus fusi dan menampakkan deviasi penuh. Dipertimbangkan patch test untuk pasien
dengan pola divergence excess.
Gambar 19. Alternate cover test dan prism alternate cover test1
c. Tes krimsky
Pemeriksaan ini dilakukan dengan dua cara yaitu pada fiksasi dekat dan fiksasi jauh.
Pasien diminta untuk tetap melihat jauh kedepan, kemudian pemeriksa meletakkan
prisma(dengan basis sesuai kondisi strabismus, dimana pada kasus eksotropia basis
prisma kearah dalam) pada mata yang berfiksasi. Penilaian dilakukan bersamaan dengan
penilaian refleks kornea. Perhatikan refleks kornea sampai berada ditengah pupil pada
mata yang berdeviasi. Ukuran prisma tersebut merupakan ukuran dari deviasi (dalam
satuan prisma diopti = PD).3
28
d. Hess Screen Test1,12,1
Hess Screen test menggunakan prinsip haploskopik. Digunakan untuk
mendiagnosis paretik atau paralisis pada pasien dengan korespondensi normal.
Tes ini merupakan tes kuantitatif untuk mendeteksi strabismus komitan dan
inkomitan. Prosedur pemeriksaannya sebagai berikut :
29
4.5.3. Pemeriksaan penunjang18,19
Radiologi :
MRI dengan resolusi tinggi untuk mengevaluasi adanya kelainan kongenital maupun
yang didapat. Studi epidemiologi dilakukan dari 247 pasien dengan strabismus konsekutif
didapatkan 88% mengalamai kelainan okuler motor . Pemeriksaan radiologi diperiksa
jika pasien dicurigai memiliki gambaran strabismus yang kompleks dan melibatkan
kelainan central juga paralisis dan kelainan otot ekstraokuler. Umumnya pada eksotropia
konstan tidak dibutuhkan pemeriksaan radiologi kecuali untuk menyingkirkan tipe
eksodeviasi lainnya.
Indikasi pemeriksaan radiologi pada strabismus yaitu :
1. Kecurigaan cranial nerve palsy
2. Onset tiba-tiba, tanpa adanya riwayat strabismus sebelumnya
3. Pada kasus strabismus yang komples.
Skrining genetik
Pemeriksaan skrining genetik ini jarang dilakukan karena biaya yang cukup mahal,
umumnya dokter spesialis mata hanya membuat pedigree atau pohon keturunan.
4.6.Tatalaksana
4.6.1. Terapi Non Operasi
30
dan bermanifes eksotropia. Hipermetropia kurang dari 2,00 D tidak perlu dikoreksi pada anak
dengan exodeviasi, tetapi pada anak dengan usia lebih tua, koreksi hipermetropia diperlukan untuk
mencegah astenopia refraktif. Koreksi optik dapat meningkatkan gambaran retina menjadi lebih
jelas dan membantu mengontrol eksodeviasi pada pasien. Dilaporkan pasien dengan eksotropia
konsekutif memiliki penurunan deviasi setalah dilakukan koreksi hipermetropia terutama dengan
deviasi yang kecil. Karena perbaikan bayangan yang terbentuk di retina ketika status refraksi
terkoreksi akan dapat membantu kontrol dari eksotropia itu sendiri. Berdasarkan studi
epidemiologi pasien dengan eksotropia umumnya 90 % memiliki kelianan refraksi yaitu miopi.
Namun pada intermiten eksotropia sering dilaporkan mengalami hipermetropia.
Gambar 22. Terapi Kacamata pada eksotropia A. Eksotropia konstanta mata kanan
dengan kelainan refraksi, B. Eksotropia berkurang setelah pemakaian kacamata 13.
b. Terapi Oklusi1,2,3,4,8
Pada anak dengan eksotropia, terapi ampliopia berguna memperbaiki kontrol fusi guna
menurunkan sudut deviasi, selain itu dapat meningkatkan nilai kesuksesan setelah operasi
strabismus. Patching pada pasien dengan ambliopia dapat meningkatkan kontrol terhadap deviasi
eksotropia. Untuk pasien tanpa ambliopia, patching paruh waktu pada mata dominan (yang tidak
berdeviasi) ataupun patching bergantian setiap hari dapat menjadi terapi yang efektif untuk
ukuran deviasi ringan hingga sedang, terutama pada anak-anak. Perbaikan biasanya berlangsung
lama dan kebanyakan pasien tetap memerlukan tindakan pembedahan/operasi.
Oklusi satu mata beberapa saat pada mata dominan yaitu 3-4 jam sehari. Hal ini bertujuan
untuk membentuk terapi anti supresi yang bekerja dengan menstimulasi mata yang tidak
dominan. Pada pasien dengan preferensi mata yang seimbang, penutupan mata secara bergantian
merupakan indikasi.
31
c. Terapi Orthoptik Aktif1,2,4,8
Terapi orthoptik aktif merupakan terapi antisupresi atau kewaspadaan diplopia dan
pelatihan fusi konvergensi dapat digunakan sendiri ataupun kombinasi dengan patching,
lensa minus, dan pembedahan. Untuk deviasi 20 prisma dioptri atau kurang, terapi orthoptik
dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan jangka panjang dibandingkan dengan
pembedahan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa terapi ini tidak memiliki keuntungan
sama sekali dalam mengkoreksi eksodeviasi jarak jauh dan tetap merekomendasikan
pembedahan untuk setiap kasus deviasi dengan kontrol yang buruk. Risiko dari terapi
antisupresi orthoptik ini adalah hilangnya kemampuan untuk mensupresi ambliopia. Terapi
orthoptik dengan olahraga konvergensi (pencil push-up atau base out prisms) merupakan
terapi pilihan untuk kondisi convergence-insufficiency. Pada eksotropia konsekutif
diperkirakan akan menetapnya diplopia meskipun sudah dilakukan operasi, sehingga terapi
orthoptik aktif tetap dibutuhkan meskipun pasien sudah menjalani operasi.
d. Prisma1,11,20
Penggunaan prisma pada kasus strabismus di Eropa sudah dikenal sejak abad ke-19 oleh
Krecke, Donders, von Graefe dan Javal. Suatu studi oleh Guibor mengenai penggunaan
prisma pada strabismus menyatakan bahwa prisma dapat mengurangi deviasi, menimbulkan
amplitudo fusi pada heterotropi komitan, dan mencegah terjadinya kontraktur dari otot
antagonis pada kasus strabismus paralitik. Prisma dahulu populer di era 1950-an, di mana
pada saat itu digunakan sebagai terapi untuk fiksasi eksentrik pada ambliopia, anomalous
retinal correspondence, deviasi komitan, nystagmus, dan strabismus paralitik. Kekurangan
dari prisma seperti faktor berat, adanya refleksi dan aberasi yang mengganggu, tidak
menarik secara estetika, dan faktor biaya akibat koreksi refraksi yang sering mengalami
perubahan, menyebabkan prisma saat ini jarang digunakan untuk tatalaksana strabismus.
Beberapa pedoman dalam penggunaan prisma antara lain :
Prisma base in digunakan untuk mengoreksi exodeviasi, sedangkan prisma base out
untuk mengoreksi esodeviasi.
Rerata kekuatan prisma untuk mengoreksi foria adalah sebesar 5-10 prisma dioptri.
Contoh pada exodeviasi sebesar 10 prisma dioptri, prisma base in diberikan sebesar 5
prisma dioptri untuk mata kanan dan 5 prisma dioptri untuk mata kiri.
32
Prisma dengan kekuatan lebih dari 6 prisma dioptri dapat diberikan secara penuh pada
satu mata dan separuh kekuatan prisma diberikan pada mata kontralateralnya.
Jika kekuatan prisma yang dibutuhkan cukup besar, total kekuatan prisma dapat
dibagi untuk kedua mata.
Penggunaan prisma dapat diterapkan sebagai kacamata prisma atau prisma Fresnel
yang ditempelkan pada kacamata.10,11
A B
Terapi lainnya adalah toksin botulinum, injeksi ini dapat membantu esotropia ataupun
eksotropia kecil sampai sedang 40 D. Nilai keberhasilannya 70 % tergantung besar sudut
deviasinya. Namun komplikasi lainnya seperti hipertiroid, dan strabismus residual mungkin
terjadi sampai beberapa minggu. Jika kemungkinan diplopia postoperatifnya besar, injeksi toksin
botulinum pada rektus lateral digunakan untuk meluruskan juling yang sifatnya temporer
meskipun diplopia tidak dapat dihindari.
Khemodenervasi dengan injeksi toksin botulinum dilakukan dengan menyuntikkan
toksin botulinum kedalam satu atau lebih otot ekstraokuler yang digunakan untuk terapi awal,
sekunder atau adjuvan untuk eksotropia. Namun jika dibandingkan dengan operasi, injeksi
33
botulinum tidak lebih baik dibandingkan operasi, hal itu dilaporkan pada studi randomisasi
dengan 20 pasien eksotropia dengan operasi menggunakan jahitan yang dapat diatur (adjaustable
suture) atau dengan chemodenervasi pada orang dewasa didapatkan terapi injeksi memiliki
kesuksesan hanya 29 % pada terapi eksotropia. Kemodenervasi yang dilakukan pada kasus
strabismus adalah dengan injeksi toksin botulinum. Injeksi ini dapat digunakan untuk diagnosis
strabismus maupun untuk tujuan terapeutik. Indikasi injeksi toksin botulinum pada kasus
strabismus antara lain:
Adapun Indikasi diagnostik kemodenervasi adalah sebagai berikut :
Menilai kemungkinan terjadi diplopia setelah operasi strabismus untuk menilai fungsi
binokularitas pasien
Menilai fungsi dari otot yang mengalami palsy atau sebelumnya menjalani prosedur
reses, contohnya pada pasien dengan palsy nervus abdusen.
Menilai apakah pasien dengan gangguan lapang pandang masih mempunyai lapang
pandang yang cukup untuk mencapai penglihatan tunggal binokular
Toksin botulinum bekerja di ujung saraf dan berkaitan dengan pelepasan asetilkolin, yang
selanjutnya terjadi denervasi otot. Paralisis temporer yang terjadi dapat menyebabkan perubahan
kesejajaran mata dan kontraktur dari otot antagonisnya. Durasi aksi dari toksin berlangsung
selama beberapa minggu dan selanjutnya kekuatan otot akan kembali seperti semula.
34
4.6.2. Pembedahan1,6,8,22
Tindakan operatif/pembedahan pada eksotropia konstan diharapkan dapat mencapai
monofiksasi, meskipun perbaikan fungsi binokuler jarang mencapai normal, namun dilaporkan
waktu operasi juga mempengaruhi outcome sebuah operasi. Semakin cepat dilakukan operasi
maka hasil yang didapat lebih mempu mencapai binokularitas meskipun tidak optimal. Tindakan
operasi pada eksotropia kongenital dianjurkan dilakukan setelah usia 6 bulan, umumnya
dilakukan reses musckulus lateral dan reseksi otot medial, deviasi >50 PD maka pilihan operasi
dengan 3-4 otot dengan jenis jahitan yang dapat di atur kekencengannya (adjustable suture)
sangat dianjurkan.
Indikasi operasi :
Jika deviasi muncul selalu/ konstan
Sudah dikoreksi dengan kacamata namun deviasi masih cukup besar
Terapi non bedah tidak ada perbaikan
Pasien dengan poor control deviation
Hal-hal yang harus di perhatikan sebelum operasi yaitu usia, kondisi refraksi, Pemeriksaan
untuk mengetahui deviasi pada pasien sebaiknya dilakukan dengan jarak dekat dan jauh (dimana
pasien diminta melihat jauh atau melamun) ukuran pemeriksaan tersebut akan menjadi panduan
untuk tindakan operasi.
Waktu yang tepat untuk dilakukan terapi pada eksotropia tergantung pada status
perkembangan saraf pada anak dan seberapa sering deviasi terjadi. Pada eksotropia konstan,
operasi yag semakin cepat akan memperbaiki hasil sensoriss walaupun umumnya perbaikan pada
fungsi binokuler jarang terjadi meskpin operasi sudah dilakukan sesegera mungkin.
Pembedahan dikatakan apabila postoperasi didapatan kondisi orthoforia atau maksimal
10PD krimsky. Komplikasi operasi dapat muncul durante operasi, maupun post operatif, dan
dapat terjadi segera maupun terlambat. Adapun komplikasi yang sering muncul adalah
hipersensitifitas terhadap jahitan, granuloma pyogenik, konjungtivitis, pembentukan keloid dan
diplopia yang masih menetap post operasi (Gambar 25) .
35
Gambar 24. Indikasi operasi pada strabismus berdasarkan hasil krimsky2
36
Gambar 25. Komplikasi yang terjadi pada operasi strabismus
37
4.7. Prognosis 1, 24
Kebanyakan pasien dengan eksotopia infantil tidak mencapai perbaikan penglihatan
binokuler meskipun operasi berjalan lancar dan kondisi mata mencapai orthoforia. Pada
penelitian dilaporkan pasien dengan eksotropia infantil memberikan efek perbaikan motorik
sekitar 38 % setelah resesi muskulus rektus lateral, dan 21 % yang berkembang menjadi 100 arc
detik stereopsis untuk hasil tes penglihatan binokuler. Penelitian lain melaporkan dari 11 pasien
dengan eksotopia infantil yang menjalani operasi sebelum usia 24 bulan, hanya 2 pasien yang
memiliki kemampuan stereoakuitas lebih dari 200 arc per detik dan 1 pasien lebih dari 100 arc
per detik.
Deviasi yang besar pada kongenital eksotropia memiliki prognosis yang jelek. Eksotropia
kongenital ini merupakan salah satu penyebab insidensi tertinggi ambliopia pada anak. Pada
eksotropia sensoriss, sekitar 75 % pasien masih memiliki hasil yang baik setelah 10 tahun post
operasi. Meskipun terapi umumnya pada eksotropia konstan adalah pembedahan, komplikasi pre
durante dan post operasi juga harus dipertimbangkan.
38
Penutup
Pada kondis normal, posisi kedua mata sejajar sehingga semua bayangan akan dipusatkan
pada fovea agar memiliki target visual yang sama, hal itu disebut orthopia. Strabismus
merupakan istilah ketidaksejajaran bolamata, sering disebut dengan juling. Tropia adalah istilah
ketika strabismus yang terjadi bersifat manifes. Sedangkan istilah foria adalah tropia yang
bersifat laten yang masih dapat menggunakan fusi untuk mempertahankan kesejajaran
bolamata.2,3,8
Eksotropia konstan memiliki beberapa terminologi seperti eksotropia manifes dan
eksotropia primer konstan. Eksotropia konstan sering terjadi pada pasien dengan eksotropia
sensori atau pada pasien dengan eksotropia intermiten yang lama/ decompensated eksotropia
Klasifikasi eksotropia konstan meliputi infantil, sensoris dan konsekutif
Penatalaksanaan eksotropia konstan umumnya adalah pembedahan, namun modalitas
6
lainnya juga dapat dipertimbangkan seperti terapi kacamata, prisma dan terapi orthoptik
39
DAFTAR PUSTAKA
40
14. Clinical Characteristics of Neuromuscular Anomalies of the Eye. Exodeviasion.
Chapter17.2014.Page 356-374. [cited 2018 17 Sep]. Available from :
file:///D:/ALL%20ABOUT%20DH/Tugas%20akademik%20vii,%20refarat%202,%20
PO/exotropia.pdf.
15. Lambert.SR, Lyons. CJ. Pediatric Ophtalmology and Strabismus. 5th Ed, El-Sevier.
2017.
16. Ganesh.A. Consecutive exotropia after surgical treatment of childhood esotropia: a
40‐year follow‐up study. Acta Ophtalmologica. 2011. [cited 2018 Sep 22]. Available
from : https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/j.1755-3768.2009.01791.x
17. Evans,B.JW. Strabismu in Binocular Vision Anomaly. 5th Ed. Elsevier. 2007.
18. Patel JR, Gunton.KB. The role of imaging in strabismus. In Current Opinion In
Ophtalmology. Wolters Kluwer. 2017. [cited 2018 Sep 23]. Available from
https://insights.ovid.com/pubmed?pmid=28650876.
19. Matthew S. When to Image a Patient With Strabismus. In American Academy Of
Ophtalmology. 2017. [cited 2018 Sep 23]. Available from:
https://www.aao.org/young-ophthalmologists/yo-info/article/when-to-image-a-patient-
with-strabismus.
20. Antony J. Prims in Clinical Practice. Kerala Journal of Ophthalmology [internet]. 2017
[cited 2018 Sep 23]. 29(2) : 79-85. Available from : http: www.kjophthal.com
21. Galvin JA. Clinical Uses of Botulinum Toxin and Ophthalmology. USA: Springer
International Publishing; 2018. Available from :
https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-56038-0_8.
22. Thera, JP. Et all. Surgical Correction of a Large – Angle Constan Exotropia. SAS
Journal of Surgery. Vol 2. Mali .2016. download by: http://sassociety.com/wp-
content/uploads/SASJS-2114-15.pdf.
23. Garg, Ashok. Et all. Management of Concomitant strabismus in Pediatric Ophtalmic
Surgery. Jaypee –Hightlight medical publisher.
24. Han.K.E, et all. Prevalence and risk factors of strabismus in children and adolescents
in South Korea: Korea National Health and Nutrition Examination Survey, 2008–
2011. Plos . Korea. 2018. Download by:
https://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0191857&type=
printable.
41