Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN

BUDI PEKERTI

DISUSUN OLEH :
NAMA : ANA SABILA
KELAS : VIII2
SMP NEGERI 17 PEKANBARU
T.A 2018/2019
TUGAS 1
Kisah Nabi Syits – Nabi Yang Menerima Suhuf
Terbanyak

Nabi syits penerus wasilah kenabian yang menerima suhuf terbanyak. Sahabat setia
Pondok Islami, kali ini kita akan melanjutkan kisah anak keturunan Nabi Adam AS dan Siti
Hawa yang akan meneruskan wasilah kenabian di muka bumi ini. Setelah kejadian
terbunuhnya Habil oleh Qabil saudaranya sendiri, maka Siti Hawa diberi karunia sepasang
anak kembar, lelaki dan perempuan. Anak lelakinya diberi nama Syits, sedangkan anak
perempuannya diberi nama ‘Azura.

Dalam kitab Qasas Al- Anbiya, disebutkan bahwa Nabi Adam AS sempat menderita
sakit selama beberapa hari sebelum wafat. Saat menderita sakit itulah, Nabi Adam AS
memberikan wasiatnya kepada Syits untuk menggantikan posisi kepemimpinannya dan
mengingatkan Syits agar tidak memberitahukan pemberian mandat ini kepada kakaknya,
Qabil, sang pendengki.

Menurut keterangan Ibnu ‘Abbas, ketika Syits dilahirkan, Nabi Adam sudah berusia
930 tahun. Nabi Adam sengaja memilih Syits sebab anaknya yang satu ini memiliki
kelebihan dari segi keilmuan, kecerdasan, ketakwaan dan kepatuhan dibandingkan dengan
semua anaknya yang lain.

Suatu pelajaran penting bagi kita tentang memilih seorang pemimpin dari peristiwa
Nabi Adam AS di atas. Nabi Adam AS menjadikan dasar memilih pewaris kenabianya
berdasarkan ketakwaan, kecerdasan dan ketaatan sebagai kriteria utama. Nabi Adam AS
mengesampingkan faktor fisik, usia, postur tubuh, serta aspek-aspek lainnya.

Sebagai Nabi, Syits menerima perintah-perintah dari Allah yang tertulis dalam 50
suhuf/sahifah. Ia merupakan nabi yang menerima suhuf terbanyak. Diriwayatkan dari Abu
Dzar Al-Ghifari, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah
menurunkan seratus empat puluh shahifah, dan kepada Syits sebanyak 50 shahifah.” [Tarikh
Ath-Thabari 1/152].

Demikian keterangan dari Hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Dzar al-
Ghifari sebagaimana dikutip dalam Tarikh Thabari (Jil. I, hal. 152).

Suhuf Nabi Syits merupakan yang terbanyak yang diterima seorang Nabi. Nabi Adam
AS menerima 10 suhuf, Nabi Musa AS menerima 10 suhuf, Nabi Ibrahim AS menerima 30
suhuf dan Nabi Idris menerima 30 suhuf. Suhuf / Sahifah merupakan firman Allah SWT yang
disampaikan kepada Nabi dalam bentuk lembaran-lembaran terpisah, tetapi tidak harus
disampaikan kepada umatnya. Berisikan puji-pujian dan zikir kepada Allah SWT.

Berbeda dengan kitab Allah SWT, yang berjumlah 4 dan diturunkan kepada Nabi
serta Rasul-Nya yaitu kitab Taurat kepada Nabi Musa AS, Zabur kepada Nabi Daud AS, Injil
kepada Nabi Isa AS dan terakhir kitab Alquran kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi
penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-
Maidah yang artinya :

“Dan kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan


membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya…” (QS Al-Ma’idah : 48)
Keempat kitab itu, selain sebagai mukjizat bagi Nabi, juga wajib mereka sampaikan
kepada kaum mereka masing-masing. Berisikan tentang ajaran Akidah, Ibadah, Syariah dan
Muamalah.
NASIHAT NABI ADAM AS KEPADA NABI SYITS AS

Nabi Adam AS memberikan nasehat kepada Nabi Syits anaknya :

gambar hanya ilustrasi

“Setiap perbuatan yang kamu lakukan, renungkan terlebih dahulu akibat yang akan
ditimbulkan. Seandainya aku merenungkan akibat suatu perkara, tentu aku tidak tertimpa
musibah seperti ini.”

“ baik ayah”, jawab Nabi Syits AS, kemudian Nabi Adam AS meneruskan wasiatnya
“Ketika hati kamu merasakan kegamangan akan sesuatu, maka tinggalkanlah ia. Karena
ketika aku hendak makan syajarah, hatiku merasa gamang, tetapi aku tidak
menghiraukannya, sehingga aku benar-benar menemui penyesalan ”

“Dan anakku bermusyawarahlah mengenai suatu perkara, karena seandainya aku


bermusyawarah dengan para malaikat, tentu aku tidak akan tertimpa musibah.”

Dalam kisah lain dicetuskan: Wahab bin Munabbih mengatakan, ketika Adam As
meninggal, Syits As berusia 400 tahun. Dia telah diberi tabut, tali, pedang dan kudanya yang
bernama Maimun yang telah diturunkan kepadanya dari surga. Apabila kuda itu meringkik,
semua binatang yang melata di bumi menyambutnya dengan tasbih.

PERANG PERTAMA DI MUKA BUMI DAN AWAL MULA BERHALA

Syits telah diwasiati untuk memerangi saudaranya, Qabil. Dia pergi untuk memerangi
Qabil dan akhirnya perang itu pun berkecamuk. Itulah perang pertama yang terjadi antara
anak-anak Adam di muka bumi. Dalam peperangan itu, Syits memperoleh kemenangan dan
dia menawan Qabil.

Qabil sebagai tawanan berkata, “Wahai Syits, jagalah persaudaraan di antara kita.”
Syits berkata, “Mengapa engkau sendiri tidak menjaganya? Engkau telah membunuh
saudaramu, Habil.” Kemudian Qabil ditawan oleh Syits; kedua tanganya dibelenggu di atas
pundaknya, dan dia ditahan di tempat yang panas sampai meninggal. Anak-anak Qabil
bermaksud menguburkannya. Tiba-tiba Iblis datang kepada mereka dalam rupa malaikat.
Iblis berkata kepada mereka, “Jangan dikubur di dalam bumi.”

Iblis membawakan dua batu hablur yang telah dilubangi tengah-tengahnya. Dia
menyuruh mereka memasukkan Qabil ke dalam ruang antara dua batu hablur itu,
memakaikannya pakaian terindah dan meminyakinya dengan ramuan-ramuan tertentu
sehingga dia tidak akan mengering. Lalu Iblis menyuruh mereka menyimpannya di sebuah
rumah, diletakkan di atas kursi yang terbuat dari emas dan memerintahkan kepada setiap
orang yang masuk ke rumah itu untuk bersujud kepadanya sebanyak tiga kali.

Iblis memerintahkan kepada mereka untuk merayakan upacara setiap tahun untuknya
dan berkumpul di sekitarnya. Kemudian Iblis mewakilkan urusan ini kepada setan. Setan
itulah yang kemudian berkomunikasi dengan mereka sehingga manusia terus-menerus sujud
kepada Qabil. Qabil dan keturunannya inilah yang pertama kali menyembah api atas perintah
iblis.

WAFATNYA NABI SYITS AS

Setelah menunaikan tugasnya memerangi Qabil, maka Nabi Syits pun kembali ke
negerinya dan menetap di sana sebagai juru pemutus yang adil di antara manusia.
Berdasarkan riwayat dari Wahab bin Munabbih, istri Nabi Adam AS, Siti Hawa, meninggal
di zaman anaknya, Syits AS. Ia tidak hidup lama setelah Nabi Adam AS meninggal, yaitu
satu tahun setelahnya dan meninggal pada hari Jumat di waktu yang sama dengan hari ketika
dia diciptakan.

Siti Hawa dimakamkan dekat dengan makam Nabi Adam AS. Setelah kepergian
mereka, Allah menurunkan 50 Suhuf/Sahifah kepada Syits As. Dialah orang pertama yang
mengeluarkan kata-kata hikmah, melakukan transaksi emas dan perak, memperkenalkan jual
beli, membuat timbangan dan takaran serta menjadi orang pertama yang melakukan
penggalian barang tambang dari dalam bumi.

Nabi Syits AS diberi keturunan seorang putera yang diberi nama Anusy. Cahaya
dalam kening Nabi Syits AS yang merupakan cahaya Muhammad SAW, yang berpindah
kepadanya dari Adam AS, setelah Anusy lahir berpindah ke keningnya putranya itu. Itulah
salah satu pertanda bahwa ajalnya sudah dekat. Ia pun menyadari rambut-rambutnya yang
sudah memutih. Pada tahun itu Nabi Syits AS meninggal dunia dalam usia 900 tahun.

Setelah Syits AS wafat, kedudukannya digantikan oleh anaknya, Anusy. Tabut, tali,
suhuf, dan cincin Nabi Syits sebelum ia meninggal diserahkan kepada Anusy. Anusy
kemudian menikah dengan seorang wanita yang memberikannya keturunan. Salah satu anak
cucu keturunan Anusy bernama Ukhnukh, yang juga memiliki perilaku baik dan luhur. Kelak
Ukhnukh inilah yang mewarisi cahaya Muhammad SAW dan menjadi penerus wasilah
kenabian, dan lebih dikenal dengan Nabi Idris AS.

Demikianlah sahabat setia Pondok Islami, perjalanan kisah anak Nabi Adam AS dan
Siti Hawa yang paling mereka sayangi yaitu Nabi Syits. Nabi Syits, nabi yang menerima
suhuf paling banyak dari Allah SWT, dan dari keturunan Nabi Syits ini lah kelak yang akan
menjadi pewaris wasilah kenabian umat manusia di muka bumi ini.
TUGAS 2

Maurice Bucaille, Meneliti Mumi Fir’aun dan


Memutuskan untuk Masuk Islam

Suatu hari di pertengahan tahun 1975, sebuah tawaran dari pemerintah Prancis
datang kepada pemerintah Mesir. Negara Eropa tersebut menawarkan bantuan untuk
meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun. Tawaran tersebut disambut baik
oleh Mesir. Setelah mendapat restu dari pemerintah Mesir, mumi Firaun tersebut
kemudian digotong ke Prancis. Bahkan, pihak Prancis membuat pesta penyambutan
kedatangan mumi Firaun dengan pesta yang sangat meriah.

Mumi itu pun dibawa ke ruang khusus di Pusat Purbakala Prancis, yang
selanjutnya dilakukan penelitian sekaligus mengungkap rahasia di baliknya oleh
para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan otopsi di Prancis. Pemimpin
ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi ini adalah Prof Dr
Maurice Bucaille.
Bucaille adalah ahli bedah kenamaan Prancis dan pernah mengepalai klinik bedah
di Universitas Paris. Ia dilahirkan di Pont-L’Eveque, Prancis, pada 19 Juli 1920. Bucaille
memulai kariernya di bidang kedokteran pada 1945 sebagai ahli gastroenterology. Dan,
pada 1973, ia ditunjuk menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.

Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang menjadi pasiennya. Anggota
keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, diketahui juga termasuk dalam daftar
pasien yang pernah menggunakan jasanya.

Namanya mulai terkenal ketika ia menulis buku tentang Bibel, Alquran, dan ilmu
pengetahuan modern atau judul aslinya dalam bahasa Prancis yaitu La Bible, le Coran et
la Science di tahun 1976.

Ketertarikan Bucaille terhadap Islam mulai muncul ketika secara intens dia
mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama. Karenanya,
ketika datang kesempatan kepada Bucaille untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis
mumi Firaun, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menguak misteri di balik
penyebab kematian sang raja Mesir kuno tersebut.

Ternyata, hasil akhir yang ia peroleh sangat mengejutkan! Sisa-sisa garam yang
melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa dia telah mati karena
tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan kemudian dibalsem untuk segera
dijadikan mumi agar awet.

Penemuan tersebut masih menyisakan sebuah pertanyaan dalam kepala sang


profesor. Bagaimana jasad tersebut bisa lebih baik dari jasad-jasad yang lain, padahal dia
dikeluarkan dari laut?

Prof. Bucaille lantas menyiapkan laporan akhir tentang sesuatu yang diyakininya
sebagai penemuan baru, yaitu tentang penyelamatan mayat Firaun dari laut dan
pengawetannya. Laporan akhirnya ini dia terbitkan dengan judul Mumi Firaun; Sebuah
Penelitian Medis Modern, dengan judul aslinya, Les momies des Pharaons et la midecine.
Berkat buku ini, dia menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boes (penghargaan
dalam sejarah) dari Academie Frantaise dan Prix General (Penghargaan umum) dari
Academie Nationale de Medicine, Prancis.

Terkait dengan laporan akhir yang disusunnya, salah seorang di antara rekannya
membisikkan sesuatu di telinganya seraya berkata: ”Jangan tergesa-gesa karena
sesungguhnya kaum Muslimin telah berbicara tentang tenggelamnya mumi ini”. Bucaille
awalnya mengingkari kabar ini dengan keras sekaligus menganggapnya mustahil.

Menurutnya, pengungkapan rahasia seperti ini tidak mungkin diketahui kecuali


dengan perkembangan ilmu modern, melalui peralatan canggih yang mutakhir dan akurat.

Hingga salah seorang di antara mereka berkata bahwa Alquran yang diyakini umat
Islam telah meriwayatkan kisah tenggelamnya Firaun dan kemudian diselamatkannya
mayatnya.

Ungkapan itu makin membingungkan Bucaille. Lalu, dia mulai berpikir dan
bertanya-tanya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bahkan, mumi tersebut baru
ditemukan sekitar tahun 1898 M, sementara Alquran telah ada ribuan tahun sebelumnya.

Ia duduk semalaman memandang mayat Firaun dan terus memikirkan hal tersebut.
Ucapan rekannya masih terngiang-ngiang dibenaknya, bahwa Alquran–kitab suci umat
Islam–telah membicarakan kisah Firaun yang jasadnya diselamatkan dari kehancuran
sejak ribuan tahun lalu.

Sementara itu, dalam kitab suci agama lain, hanya membicarakan tenggelamnya
Firaun di tengah lautan saat mengejar Musa, dan tidak membicarakan tentang mayat
Firaun. Bucaille pun makin bingung dan terus memikirkan hal itu.

Ia berkata pada dirinya sendiri. ”Apakah masuk akal mumi di depanku ini adalah
Firaun yang akan menangkap Musa? Apakah masuk akal, Muhammad mengetahui hal
itu, padahal kejadiannya ada sebelum Alquran diturunkan?”

Prof Bucaille tidak bisa tidur, dia meminta untuk didatangkan Kitab Taurat
(Perjanjian Lama). Diapun membaca Taurat yang menceritakan: ”Airpun kembali (seperti
semula), menutupi kereta, pasukan berkuda, dan seluruh tentara Firaun yang masuk ke
dalam laut di belakang mereka, tidak tertinggal satu pun di antara mereka”.

Kemudian dia membandingkan dengan Injil. Ternyata, Injil juga tidak


membicarakan tentang diselamatkannya jasad Firaun dan masih tetap utuh. Karena itu, ia
semakin bingung.

Setelah perbaikan terhadap mayat Firaun dan pemumiannya, Prancis


mengembalikan mumi tersebut ke Mesir. Akan tetapi, tidak ada keputusan yang
mengembirakannya, tidak ada pikiran yang membuatnya tenang semenjak ia
mendapatkan temuan dan kabar dari rekannya tersebut, yakni kabar bahwa kaum
Muslimin telah saling menceritakan tentang penyelamatan mayat tersebut. Dia pun
memutuskan untuk menemui sejumlah ilmuwan otopsi dari kaum Muslimin.

Dari sini kemudian terjadilah perbincangan untuk pertama kalinya dengan peneliti
dan ilmuwan Muslim. Ia bertanya tentang kehidupan Musa, perbuatan yang dilakukan
Firaun, dan pengejarannya pada Musa hingga dia tenggelam dan bagaimana jasad Firaun
diselamatkan dari laut.

Maka, berdirilah salah satu di antara ilmuwan Muslim tersebut seraya membuka
mushaf Alquran dan membacakan untuk Bucaille firman Allah SWT yang artinya: ”Maka
pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-
orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari
tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS Yunus: 92).

Ayat ini sangat menyentuh hati Bucaille. Ia mengatakan bahwa ayat Alquran
tersebut masuk akal dan mendorong sains untuk maju. Hatinya bergetar, dan getaran itu
membuatnya berdiri di hadapan orang-orang yang hadir seraya menyeru dengan lantang:
”Sungguh aku masuk Islam dan aku beriman dengan Alquran ini”.

Ia pun kembali ke Prancis dengan wajah baru, berbeda dengan wajah pada saat dia
pergi dulu. Sejak memeluk Islam, ia menghabiskan waktunya untuk meneliti tingkat
kesesuaian hakikat ilmiah dan penemuan-penemuan modern dengan Alquran, serta
mencari satu pertentangan ilmiah yang dibicarakan Alquran.

Semua hasil penelitiannya tersebut kemudian ia bukukan dengan judul Bibel,


Alquran dan Ilmu Pengetahuan Modern, judul asli dalam bahasa Prancis, La Bible, le
Coran et la Science. Buku yang dirilis tahun 1976 ini menjadi best-seller internasional
(laris) di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa utama umat
Muslim di dunia.

Karyanya ini menerangkan bahwa Alquran sangat konsisten dengan ilmu


pengetahuan dan sains, sedangkan Al-Kitab atau Bibel tidak demikian. Bucaille dalam
bukunya mengkritik Bibel yang ia anggap tidak konsisten dan penurunannya diragukan.

Anda mungkin juga menyukai