Anda di halaman 1dari 5

Aldrin Amstrong Rey

NIM: 1410544015

KOLINTANG GO TO UNESCO

Ayo, kita rame-rame berjuang Kolintang go to UNESCO! Ajakan ini sepertinya masih
sangat jarang terdengar. Kalaupun terdengar, itu masih terbatas dilakukan oleh orang-orang
tertentu. Sebut saja mereka yang paling getol menyerukan ini: Pengurus Persatuan Insan
Kolintang Nasional (PINKAN) dan Para Pelatih Kolintang yang tergabung dalan Ikatan Persatuan
Kolintang Indonesia (IPKOLINDO). Persoalannya adalah mengapa Kolintang mesti go to UNESCO?
Sudah sejauh mana sosialisasi dan usaha-usaha menjadikan musik Kolintang go to UNESCO?

Sejak Kolintang dikumandangkan go to UNESCO pada tahun 2013 tentu sudah banyak hal
yang telah diupayakan oleh masyarakat pemilik musik Kolintang itu. Para Insan Kolintang seperti
PINKAN, IPKOLINDO dan stageholder-stageholderya telah berupaya mengkaji musik Kolintang
dan menjajaki kemungkinan-kemungkinan untuk bisa go to UNESCO. Tujuannya adalah agar
Musik Kolintang yang sekrang sering disebut Ansambel Musik Kolintang Kayu Minahasa
dicatatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia di organisasi dunia yang mengurusi hal-hal
yang berhubungan dengan bidang pendidikan dan Kebudayaan yaitu UNESCO. Tulisan ini
dimaksudkan untuk mendukung gerakan Kolintang go to UNESCO tersebut melalui spirit hormat
dan cinta pada Kolintang

Sebagai seorang putera Minahasa penulis telah mengenal dan memainkan musik
Kolintang sejak Sekolah Dasar. Dalam ingatan penulis bahwa sampai tahun 90-an nuansa
orkestrasi dan aransmen musik kolintang cenderung dan terkesan monoton. Banyak pita kaset
dan VCD menjadi bukti nuansa orkestrasi dan aransmen yang monoton tersebut.

Pada tahun 2012 di Jakarta diakan sebuah ajang perlombaan seni budaya Minahasa
bertajuk “Festival Malesung”. Salah satu lomba dalam Festival tersebut adalah Lomba Musik
Kolintang. Orkestrasi dan aransmen yang dipertunjukan oleh kelompok-kelompok Kolintang dari
Jakarta, Bogor, Sulawesi Utara terkesan sangat kreatif, variatif dan energik. Tentu sifat-sifat
orkestrasi dan aransmen seperti ini bukan sesuatu yang baru. Bisa jadi dalam pertunjukan-
pertunjukan sebelum Festival ini kelompok-kelompok Kolintang tersebut sudah sering dilakukan.
Hanya saja momen Festival Malesung di Jakarta tersebut menjadi momen baru yang memacu
dan memicu bentuk-bentuk pertunjukan orkestrasi dan aransmen kolintang yang lebih hidup.
Sesudah Festival Malesung tersebut di beberapa daerah diadakan Festival serupa yang
mengundang dan memacu kelompok-kelompok Kolintang di berbagai daerah, terutama di
Minahasa dan beberapa daerah untuk berkreasi dalam keikutsertaannya dalam lomba-lomba
kolintang. Bahkan, di daerah asal dan pemilik Kolintang itu sendiri yaitu Minahasa berbagai
kegiatan lomba kolintang dalam skala-skala yang kecil dan kategorial semakin banyak terlihat.
Umumnya kegitan lomba kolintang tersebut menggunakan istilah Lomba Ansambel Musik
Kolintang Kayu Minahasa (AMKK Minahasa).

Sampai tahun 2012 sebenarnya istilah Ansambel Musik Kolintang Kayu Minahasa belum
familiar. Banyak orang lebih mengenal dan menyebut AMKK tersebut dengan istilah Kolintang
saja. Istilah AMKK Minahasa itu sangat berhubungan dengan usaha dari para Insan dan pegiat
pengembangan kolintang untuk menjadikan Kolintang itu sebagai musik masyarakat Minahasa
yang diakui oleh dunia melalui Badan Dunia yang berwenang menetapkan sebuah musik sebagai
milik masyarakat tertentu. Perjuangan ini tentunya bertujuan untuk pengembangn musik
kolintang itu sendiri. Salah satu upaya pada pengembangan musik Kolintang itu adalah adanya
pengakuan dari dunia melalui Badan Dunia yang mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan kebudayaan. Kolintang itu adalah kekayaan kebudayaan masyarakat Minahasa.
Banyak orang sudah tahu bahwa masyarakat pemilik Kolintang itu adalah masyarakat Minahasa.
Tetapi, mengntisipasi adanya pihak-pihak tertentu yang bisa saja akan mengklaim bahwa
kolintang sebagai miliknya, maka masyarakat Minahasa melalui pihak-pihak yang kompeten
melakukan serangkaian upaya Kolintang go to UNESCO. Artinya, masyarakat Minahasa
berkehendak baik atas music tradisinya untuk diakui oleh dunia sebagai music miliknya.

Tetapi, ternyata Kolintang go to UNESCO bukanlah sebuah mimpi indah yang mudah
dalam perwujudannya. Dalam kajian-kajian yang telah dibuat oleh pihak-pihak yang kompeten
ternyata persyaratannya tidak sederhana. Ada persyaratan-persyaratan yang menuntut keras
dari berbagai pihak untuk menjadikan Kolintang sebagai musik masyarakat Minahasa yang diakui
dunia. Misalnya, musik Kolintang dalam bentuk Ansambel Musik Kolintang Kayu Minahasa itu
harus benar-benar dapat ditemukan di akar rumput. Sekurang-kurangnya AMKK Minahasa itu
dapat ditemukan di setiap desa/kelurahan di wilayah masyarakat Minahasa.

Tentu setiap putera-puteri Minahasa, baik yang tinggal di Minahasa maupun di luar
Minahasa ingin mendukung Kolintang go to UNESCO. Tetapi, seberapa banyak masyarakat
Minahasa tahu dan sadar bahwa sekarang ini terdapat usaha untuk menjadikan Kolintang
Minahasa go to UNESCO? Kajian-kajian dan upaya-upaya Kolintang Minahasa go to UNESCO
harus dan perlu kita dukung terus. Seruan “Ayo, kita rame-rame mendukung Kolintang go to
UNESCO” harus kita serukan terus dalam berbagai kesempatan, tidak hanya pada kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan perlombaan Kolintang Minahasa tetapi dalam berbagai
kesempatan.

Satu hal yang ingin penulis usulkan dalam tulisan ini adalah dalam gerakan Kolintang
Minahasa go to UNESCO itu kita perlu menghembuskan spirit hormat dan cinta pada Kolintang
Minahasa.

Dalam banyak kesempatan kelompok-kelompok Kolintang sering diundang atau


dilibatkan menyemarakan acara-acara hiburan maupun pesta-pesta. Tetapi sering ada rasa miris
ketika penulis melihat music Kolintang seperti masih dianaktirikan. Kalau ada group band dan
Kolintang, umumnya Instrumen-instrumen Band mendapat tempat di panggung utama,
sementara music Kolintang hanya mendapat kedudukan di bagian bawah atau sudut panggung.
Seharusnya Kolintang juga mendapat kedudukan yang sama dengan music Band. Ini berkaitan
dengan sikap mental masyarakat sendiri yang masih memperlakukan musiknya sendiri sebagai
musik kelas kedua. Ketika melihat foto-foto music Kolintang hanya ditempatkan di samping
panggung, seorang Pegiat Ansambel Musik Kolintang Kayu Minahasa di Ibu kota pernah bilang
begini: “Kita setengah mati memperjuangkan Kolintang go to UNESCO, sementara ngoni yang di
Manado sana memperlakukan music Kolinta g sebagai kelas kedua……” Hal ini menjadi tantangan
bukan hanya buat para Pegiat music Kolintang AMKK tapi bagi masyarakat Minahasa sendiri.
Penulis pernah menghadiri salah satu perayaan HUT Universitas Gajah Madah
Yogyakarta. Di arena perhelatan acara terdapat panggung para Petinggi Universitas dan
Undangan dan 1 panggung khusus tempat Ansambel Gamelan Yogyakarta. Sementara Band dan
musik-musik daerah lain tidak mendapat tempat khusus. Pada bagian prosesi acara HUT tersebut
memang, group Kolintang Manjo Sumikolah Yogyakarta mendapat kesempatan memainkan
beberapa lagu. Begitu juga group-group musik daerah lain dan group Band mendapat
kesempatan menyemarakan acara HUT. Tetapi hal menarik yang saya lihat bahwa Ansambel
Gamelan mendapat panggung khusus. Panggung khusus tersebut menandakan betapa
masyarakat Jogja sangat menomorsatukan musik daerahnya, bukan hanya dalam wacana dengan
mitos-mitosnya tetapi dengan kenyataan bahwa Ansambel Musik Gamelan disediakan panggung
khusus dan sound system khusus dalam perhelatan HUT UGM tersebut. Beranikah kita dalam
upacara-upacara dan acara-acara di daerah kita music Kolintang kita perjuangkan dan berikan
tempat khusus dan utama sebagai ungkapan nyata bahwa kita menghormati dan
menomorsatukan musik tradisi daerah kita?

Kolintang go to UNESCO harus berangkat dari rasa cinta dan hormat kita akan music
Kolintang sebagai musik andalan dan nomor satu. Kita tidak harus menciptakan mitos-mitos
seperti mitos-mitos yang diciptakan orang Jawa untuk membangkitkan rasa cinta dan hormat
pada gamelan. Cukup kita mulai mencintai dan menghormati music Kolintang dengan memberi
tempat nomor satu dalam acara-acara apapun di daerah kita. Sementara orang-orang di Ibu kota
dan para pegiat Kolintang begitu semangat memperjuangkan Kolintang go to UNESCO kita mulai
dengan membangkitkan rasa cinta dan hormat kita pada music Kolintang. Kita tempatkan music
Kolintang di tempat terdepan pada setiap acara. Kita berikan tempat khusus pada music
Kolintang sebagai bukti bahwa kita mencintai dan menghormati Musik Kolintang Minahasa. Kalau
bukan kita siapa lagi yang akan memulai mencintai dan menghormati music Kolintang Minahasa?

Anda mungkin juga menyukai