Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat
mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
HERDIYANTI FHAUZIAH
1110011000033
Penguji I
,lqlo,
Muhammad Zuhdi. M.Ed. Ph.D /
NIP: 19720704199703 | 002
Penguji II
NIP: 1955042
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat
mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
HERDIYANTI FHAUZIAH
NIM: 1110011000033
Di bawah Bimbingan
\
___/w7
Drs. Abdul Haris. M.Ae
Yang mengesahkan,
Pembimbing
--\u /
Drs. Abdul Haris. M.Ae
NIP: 19660901 199503 1 001
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap
menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya
sendiri.
i
ABSTRACT
Human being is the most perfects creature among the creatures of Allah
SWT. Along with the creation of his body, also created in his a mind and
disposition of monotheism, which will be developed through a process of
education. Education is a continuous work done by educators for learners to
develop all aspects of the personality of the students both physically and
spiritually towards the formation of a major personality. However, in Islamic
education the meaning of educational is devoted to directing students towards the
formation of personality in accordance with the teachings of Islam. Based on the
context, the purpose of this paper is to investigate how the concept of man
according to Hamka? And derivatives question is how the concept of human
relations with the concept of Islamic education by Hamka?.
The method used is a qualitative research method with a descriptive approach
of analysis and library research. Once the data is collected and recorded properly,
then the next step is to analyze the data. The analysis process is done by reviewing
all available data from various sources, then the data is analyzed and studied
carefully and described here in after provides an overview and explanation and
description.
The concept of man in Hamka is, that man is a caliph fi al-ard at once 'abd
Allah are obliged to obey and serve Him alone. According to him at birth, human
potential is unknown and only bring instinct (gharizah) or nature, then the
potential of the human will develop after birth and conducted a series of
interactions with the environment. In humans, there are three main elements that
can sustain his duties as caliph fi al-ard and 'abd Allah. The three main elements
are mind, heart, and senses (sight, hearing, smell, taste, and touch) found on his
body. With those man can worship and devoted to his Lord in order to become a
perfect human. This concept is reflected in the formulation of the concept of
Islamic education by Hamka, at the meaning, purpose, materials, and other
educational elements. Hamka’s minds about Islamic education is grounded on
integralitas of nature, which optimizes all the potential in students.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya. Shalawat dan salam saya sanjungkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.
Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua
orang tua dan keluargaku tercinta Ayahanda Yusri, Ibunda Sobriyah yang selalu
mendoakanku dan mendidikku dengan penuh keikhlasan, keridhaan dan kesabaran
serta kasih sayang hingga saat ini. Dan kepada adik-adikku (Chika, Zanky, Zaskia,
Natasya, dan Sabian) yang selalu memberikan semangat dalam menuju hidup
yang penuh keberkahan, semoga Allah SWT senantiasa menuntun dan menjaga
mereka dalam menuju keridhaan-Nya.
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan serta dukungan dari
berbagai pihak yang secara tulus ikhlas memberikan bantuannya baik secara moril
maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan dan
menghaturkan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, Dosen pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas
telah memberikan bimbingan, bantuan serta motivasinya untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. H. Armai Arief, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik dan para dosen
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga
selesainya skripsi ini.
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
iii
membantu penulis dalam mengumpulkan bahan-bahan referensi untuk
menyelesaikan skrpsi ini.
6. Kawan-kawan yang memberikan keceriaan dalam kehidupan dengan tawa
dan canda, para mahasiswa PAI khususnya PAI A angkatan 2010 -Shofa,
Aqiela, Puji, Niesa, Alis, Upik, Endang, Isma, Mba Uni, Yully, Ziah, Reren,
Eva, Eby, Fitri, Wiwid, Fufah, Tia, Firda, Maesaroh, Fahmi, Henry, Zaki,
Teguh, Makky, Fadly, Basyir, Haris, Tejo, Suhail, Rahman, Fauzul, Roaz,
Taqien, Deri-, Aniez (PAI D), Amel (PAI D), Imah (PAI D), Mae (PAI B),
Kiki (PAI D), segenap kawan-kawan yang secara langsung maupun tidak
langsung telah ikut serta membantu dan memberikan dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis
Herdiyanti Fhauziah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
v
4. Potensi Manusia ............................................................. 22
5. Tujuan Hidup Manusia ................................................... 23
6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan ............ 24
C. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................... 27
vi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 65
B. Implikasi ................................................................................ 66
C. Saran ...................................................................................... 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna yang
diberi keistimewaan bentuk serta dianugerahi dengan akal dan fikiran yang
membuatnya mampu memikirkan mengenai alasan penciptaannya di muka bumi
dan tujuan dari penciptaannya tersebut. Sesuai dengan firman Allah dalam surat
At-Taghabun ayat 3:
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq.Dia membentuk rupamu dan
membaguskan rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali (mu).”
Awal mula penciptaan manusia adalah dari Adam as., lalu dari sulbinya
terciptalah Hawa sebagai pasangannya dan lahirlah keturunan-keturunannya
secara terus-menerus hingga akhir zaman. Seiring bertambahnya jumlah manusia
di muka bumi ini beserta hiruk-pikuk aktivitasnya guna menyambung
keberlangsungan hidupnya di dunia, manusia lambat laun menjadi lupa akan
hakikat dirinya serta tujuan dari penciptaannya di dunia ini. Padahal Al-Qur‟an
telah memaparkan secara jelas bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana tertera dalam
firman-Nya surat Adz-Dzariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
1
2
Upaya untuk menyingkap hakikat manusia secara utuh telah banyak menyita
perhatian, baik dari kalangan filosof, ilmuan bahkan agamawan. Salah satunya
ialah tokoh filosof terkemuka, John Locke. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh
Ag.Soejono, “Pada waktu lahir anak manusia adalah kosong seperti kertas putih
belum tertulisi, pengisiannya bergantung pada pengalamannya”.2
1
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 83
2
Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1, (Bandung: C.V. Ilmu, 1978), Cet.
X, h. 20
3
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h.
29
3
Salah satu cara mengetahui dan mempelajari konsep manusia adalah melalui
pendidikan. Karena pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian
manusia agar seluruh aspek manusia (aspek keimanan, syariat, dan penghambaan)
menjelma dalam sebuah harmoni dan saling menyempurnakan.Lewat penjelmaan
itu, seluruh potensi manusia dipadukan dan dicurahkan demi mencapai suatu
4
Ibid., h. 52
4
tujuan. Segala upaya, perilaku, dan getar perasaan, senantiasa bertitik tolak dari
tujuan tersebut.
Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia
yang digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu disiplin ilmu atau
aliran tertentu. Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori
atau sistem pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang
digunakan.
5
Mohammad Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 179
6
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 130-131
7
Prasetya, Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.
15
5
Sebagai contoh apa yang terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang
berdasarkan pada filsafat positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai.
Manusia dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang tidak jauh berbeda
dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam fungsi berfikir,
kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang berfikir. Kemudian
pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup materialisme. Puncak
kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi. Materialisme dan sekuler
berjalan seiring dan berkaitan satu sama lain.
sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Bahwa dengan mengacu pada surat
Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya Dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan
manusia, melainkan untuk menyembah Aku, menurutnya rumusan tujuan
pendidikan pada hakikatnya sama dengan tujuan hidup manusia, yaitu
menghambakan diri kepada Allah.”10 Dengan demikian, tujuan hidup muslim
sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.
Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan
praktek Kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
manusia. Menurut Ali Ashraf, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar,
mengatakan bahwa, “Pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas
tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang pengembangan
inidividu seutuhnya.”11 Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka
berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Pembicaraan diseputar
persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan.
Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti konsep manusia serta
implementasinya terhadap konsep pendidikan Islam yang dicetuskan oleh Hamka,
8
karena penulis ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai pemikiran yang
dicetuskannya, serta pengetahuan lain yang dimilikinya yang sementara ini
penulis belum ketahui.
Bertolak dari hal tersebut, maka dari itu penulis tertarik untuk membahas
masalah ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul
“Hubungan Konsep Manusia dengan KonsepPendidikan Islam Menurut Haji
Abdul Malik Karim Amrullah”
B. Identifikasi Masalah
Di antara masalah yang terkait dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:
C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penulisan skripsi ini, dibatasi
hanya pada konsep manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam
menurut Hamka.
D. Perumusan Masalah
Dari beberapa uraian singkat di atas, maka permasalahan yang dapat penulis
rumuskan adalah sebagai berikut:
9
KAJIAN TEORITIK
Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang paling istimewa dan
pada dirinya diberikan potensi (fitrah) yang membuatnya dapat menjalani
kehidupannya di dunia dan dapat mengolah sumber daya yang telah
dianugerahkan Allah untuk mempermudah keberlangsungan hidupnya di
dunia, serta mampu menjadikan kemegahan alam semesta tersebut sebagai
perenungan dan bukti akan besarnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Fadilah Suralaga, dkk, kata basyar berasal dari kata yang
pada mulanya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari
akar kata yang sama lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia
dinamai basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit
binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui
tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.2
1
Mohammad Irfan dan Matsuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), Cet. I, h. 55.
2
Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005), Cet. I, h. 11
10
11
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”
3
Ibid., h. 11-12
4
Mohammad Irfan dan Matsuki HS, op. cit., h. 61
5
Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, Pembelajaran Berbasis Fitrah, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2009), Cet. II, h. 51-52
12
6
Daniel Djuned, Antropologi Al-Qur‟an, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 88
7
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 129
8
Murtadha Mutahhari, Perspektif Al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan,
1997),Cet. IX, h. 32
9
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 14
13
dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang
berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki dan berbicara.10
Allah SWT. menayatakan dalam firman-Nya surat asy-Syams ayat 1-7:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan
siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta
pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya).”
2. Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan Islam menurut rumusan Seminar Nasional tentang
Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, sebagaimana dikutip oleh M.
Arifin ialah “Sebagai pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan
ruhani dan jasmani manusia menurut ajaran Islam dengan hikmah
10
Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., h. 129-130
14
11
M. Arifin, op. cit., h. 13-14
12
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press,
2008), h. 24
13
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif,
1980), Cet. IV, h. 23
14
A. Fatah Yasin, op. cit., h. 108
15
Kata khalifah berasal dari bahasa Arab “khalafa” yang berarti pengganti,
istilah ini pertama kali digunakan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
yakni sebagai sebutan bagi para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi.
Kedudukan seluruh manusia sebagai khalifah yang disebutkan Allah dalam
firman-Nya di atas, tidaklah dimaksudkan bahwa seluruh manusia bertugas
sebagai wakil atau pemimpin umat dalam hal pemerintahan. Akan tetapi
khalifah di sini memiliki arti bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab
untuk dapat mengolah dan menaburkan benih-benih kebaikan sebagai wakil
Tuhan di muka bumi.
15
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur,
(Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), h. 65
16
16
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn „Arabi oleh Al-
Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 80
17
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 84-
85
17
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan
dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, pencipta yang paling baik.”
18
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 15
18
a. Tahap jasad
b. Tahap hayat
19
Toto Suharto, op. cit., h. 82
19
sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang
merupakan awal mula hayat (kehidupan) seorang manusia.20
Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah
bersumber dari air juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales,
hal ini dikarenakan segala unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi
salah satu kebutuhan dan menjadi bagian dari dirinya. Baik itu hewan,
tumbuhan maupun manusia.
c. Tahap ruh
Kata ruh berasal dari kata ar-rih yang berarti angin. Oleh karena itu,
ar-ruh disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir,
sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam
berbagai arti, tetapi yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan
sandaran bagi jasad.”21
20
Ibid.
21
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 77
22
I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia), (Jakarta: Bina Aksara,
1983), Cet. III, h. 67
20
Oleh karena itu, pada hakikatnya jiwa manusia yang telah hidup sejak
zaman azali hingga di dunia akhirat nanti hanyalah ruhnya saja, adapun
jasadnya yang tampak di muka bumi ini hanya merupakan alat atau wadah
sebagai bukti yang jelas akan kehidupannya di muka bumi.
23
Ibid.
24
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2004), h. 77
21
d. Tahap nafs
25
Toto Suharto, op. cit., h. 83
26
Ibid., h. 85-86
22
4. Potensi Manusia
Untuk dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali
Tuhan dengan berbagai potensi. Potensi-potensi ini diberikan Tuhan kepada
manusia sebagai suatu anugerah, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk
lain. Potensi-potensi ini dalam bahasa agama disebut dengan fitrah.
Di dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim
disebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Kedua
orangtuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa manusia semenjak lahir sudah
dibekali dengan berbagai potensi yang disebut dengan fitrah. Fitrah adalah
suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang
khusus diciptakan Tuhan bagi manusia. menurut Toto Suharto, “Fitrah
kiranya merupakan modal modal dasar bagi manusia agar dapat
memakmurkan bumi ini. Fitrah juga merupakan potensi kodrati yang dimiliki
manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup. Keberhasilan
manusia dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk
mengembangkan fitrah ini.”27
Berdasarkan dengan potensi (fitrah) yang dibekalkan Tuhan kepada
manusia, para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat kepada
manusia. Menurut Zuhairini, Prediket tersebut antara lain:
a. Manusia adalah “homo sapiens” artinya makhluk yang mempunyai
budi.
b. Manusia adalah “animal rational” artinya binatang yang berpikir.
27
Ibid., h. 86
23
28
Zuhairini, dkk, op. cit, h. 82-83
24
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
31
Zuhairini, dkk, op. cit., h. 99
32
Ahmad. D. Marimba, op. cit., h. 37
33
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 85
34
Toto Suharto, op. cit., h. 116
26
35
Ibid., h. 119
27
Dari dua penelitian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pandangan Hamka
mengenai konsepnya tentang manusia dan hubungannya dengan konsep
pendidikan Islam yang dirumuskannya. Karena pada dasarnya setiap konsep
pendidikan yang dirumuskan oleh suatu tokoh tidak akan pernah terlepas dari
gagasan mereka tentang manusia, karena manusia merupakan subjek dan objek
kajian dari pendidikan itu sendiri, jadi pemahaman tentang konsep manusia secara
mendalam mutlak dipahami oleh para penggagas pendidikan, dalam penelitian ini
adalah Hamka. Dan karena belum ditemukan penelitian yang membahas
mengenai konsep manusia dan implikasinya terhadap konsep pendidikan Islam
menurut Hamka.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian
29
30
C. Sumber Data
1. Menurut Saefudin, “Data primer adalah data utama dari berbagai referensi
atau sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan
pertama”2. Dalam hal ini sumber data primer yang digunakan adalah buku-
buku karya Hamka sebagai sumber acuan utama, antara lain: Hamka,
Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998, dan Hamka, Lembaga
hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962.
2. Menurut Sugiyono, “Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu
berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang
memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas.”3Dalam hal ini sumber
data sekunder yang digunakan antara lain buku Memperbincangkan
Dinamika Intelektual Dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam
karangan Samsul Nizar dan Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
karangan Suwito dan Fauzan, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA
karangan Abdul Rouf, dan lain sebagainya.
Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Studi Pustaka (Library Research), menurut Sugiyono “studi pustaka yaitu
studi yang dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h.
157
2
Saefudin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89
3
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2012), h. 309
31
seperti teks book, dan artikel yang memiliki relevansi dengan penelitian ini guna
mendapatkan landasan teori.”4
F. Teknik Penulisan
4
Ibid., h. 309
5
Lexy J. Moleong, op. cit., h. 248
BAB IV
A. Biografi Hamka
1. Riwayat Hidup Hamka
1
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. I, h. 15-18
2
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani), 2006, h. 60
32
33
Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang
juga merujuk kepada nama ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah.3 Menurut
Floriberta Aning S, dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh yang Mengubah
Indonesia, pada tahun 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah
Sutan dan kemudian dari hasil perkawinan tersebut mereka dikaruniai 12
orang anak, 2 diantaranya meninggal dunia. Dan pada tahun 1973 ia menikah
untuk yang kedua kalinya dengan seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj.
Siti Chadijah setelah ditinggal wafat istri pertamanya satu setengah tahun
sebelumnya. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi Islam
modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama
berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat.4
2. Pendidikan Hamka
Menurut Samsul Nizar, sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama
dan membaca Al-Qur‟an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia
dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian
dimasukkan ke sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3
tahun lamanya. Ia juga memiliki hobi menonton film yang kemudian banyak
memberinya inspirasi untuk mengarang.5
Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916
sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di
Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek.
Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah.
Guru-gurunya pada waktu itu antara lain; Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syeikh Zainuddin
Labay el-Yunusiy.
3
Abdul Rouf, Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA, (Selangor: Piagam Intan SDN.
BHD, 2013), Cet. I, h. 19
4
Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh
yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, (Jakarta: Pt. Buku Kita, Cet. III,
2007), h. 81
5
Samsul Nizar, op. cit., h. 25-26
34
lebih luas, baik hasil pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya para
pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan ke Bahasa Arab. Lewat bahas
pula Hamka kecil suka menulis dalam bentuk apa saja. Ada puisi, cerpen,
novel, tasawuf, dan artikel-artikel tentang dakwah.
Ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya seputar ilmu-
ilmu Islami, namun juga terhadap ilmu-ilmu umum semakin berkembang saat
ia bekerja di perpustakaan milik gurunya Engku Zainuddin dan Engku Dt.
Sinaro yang bernama Zinaro. Selain dipekerjakan untuk membantu melipat
kertas, gurunya juga memperbolehkannya untuk membaca buku-buku di
perpustakaan tersebut. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan buku-
buku karya Plato, Aristoteles, Phytagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan
lainnya dari berbagai bidang ilmu.
Dalam menerima berbagai informasi dan ilmu pengetahuan ia sangat
menunjukkan kehati-hatiannya, namun tak menutup kemungkinan juga
baginya untuk terkadang ia mengambil pendapat ilmuan Barat yang
pandangannya bersifat positif bagi pembangunan dinamika umat (Islam).
Sistem pendidikan tradisional dilingkungan tempat tinggalnya
membuatnya merasa kurang puas dan ia berniat untuk melanjutkan
pendidikannya di tanah Jawa, ia lalu mendalami kitab-kitab klasik dan ilmu
lainnya di Yogyakarta. Guru yang amat besar jasanya dalam mengajarinya
tentang ilmu agama pada waktu itu adalah A.R. Sutan Mansur. Ia juga sering
melakukan diskusi guna memperluas wawasannya bersama para kawannya,
salah satunya ialah Muhammad Natsir. Di tempat ini pula, ia mulai
berkenalan dengan ide pembaruan gerakan Serikat Islam dan
Muhammadiyah.
Kemudian, pada tahun 1925, ia melanjutkan pendidikannya di
Pekalongan, di sini, ia tinggal dan bersama iparnya A.R. St. Mansur dan
mulai mempelajari ilmu tentang Islam yang dinamis maupun ilmu politik dari
iparnya tersebut. Di sini pula ia berkenalan dengan ide-ide pembaruan
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang berupaya
mendobrak kebekuan umat. Ide-ide pembaruan para tokoh ini juga turut
36
6
Ibid., h. 28-29
7
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1989), h. 7
37
8
Irfan Hamka, Ayah, (Jakarta: Republik, 2013), h. 290
9
Ibid.
38
jumud, serta pendidikan Islam yang hanya berorientasi pada bangsa Arab dan
dikotomis. Kedua, tahap pencarian identitas dan pembentukan wawasan
intelektual. Masa ini dipengaruhi oleh pemikiran ketika ia belajar di
Pekalongan dan Jogjakarta. Persentuhannya dengan ide-ide Islam modernis
yang berkembang waktu itu, telah ikut mempengaruhi warna dan dinamika
pemikirannya. Ketiga, tahap pengembangan intelektual awal. Masa ini adalah
setelah kembali dari Jawa. Dinamika ini bisa dilihat dari upayanya
mengembangkan ide pembaruan, baik ketika di Minangkabau maupun Medan
dan Makassar. Proses tersebut dilakukan melalui wadah Muhammadiyah
maupun karya-karyanya. Keempat, tahap pengembangan intelektual kedua
dan pemaparan pemikiran-pemikiran pembaruannya. Masa ini diawali ketika
berangkat ke Jakarta, dan terutama pada tahun 1952 sampai akhir hayatnya,
ketika zaman Jepang, Hamka memang sempat mendapat posisi sebagai
anggota Syu Kai (Dewan Perwakilan Rakyat), setelah banyak sekali
pelarangan yang dilakukan Jepang terhadap perkumpulan dan majalah yang
dipimpinnya. Dan sikap kompromi mau bekerja sama dengan Jepang ini juga
yang memunculkan sikap sinis terhadap dirinya, hingga akhirnya ia pergi ke
Padangpanjang pada tahun 1945 hingga tahun 1949. Sesudah perjanjian
Roem Royen, ia ingin mengembangkan dakwah dan pemikirannya ke Jakarta
dan mulai melakukan aktivitasnya sebagai koresponden majalah
Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya
autobiografinya Kenang-kenangan Hidup, tahun 1950.10
Hamka adalah seorang pemimpin politik, dan agamawan, sastrawan,
wartawan (jurnalistik) yang moderat dan diterima oleh semua lapisan dan
golongan masyarakat, beliau wafat pada 24 Juli 1981 (1401 H), dengan
meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya.
Menurut Hery Sucipto, sebagai bukti penghargaan yang tinggi di bidang
keilmuan, perserikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya
10
Samsul Nizar, op. cit., h. 45-46
39
b. Biografi
Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Widjaja, 1958. Melalui karyanya ini ia
11
Hery Sucipto, Tajdid Muhammadiyah, (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 158
12
Samsul Nizar, op. cit., h. 2
40
e. Sejarah Islam
1) Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq). Medan:
Pustaka Nasional, 1929.
2) Ringkasan Tarikh Ummat Islam. Medan: Pustaka Nasional, 1929.
3) Sedjarah Islam Di Soematera. Medan: Pustaka Nasional, 1950.
4) Sejarah Umat Islam, 4 Jilid. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
13
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997), h. 2
42
yang benar. Maka dari itu diusahakan lembaga tidak menjadi sekedar
lembaga yang tidak pernah diusahakan dalam menuangkannya. Bagi
Hamka, manusia harus berusaha agar hal-hal yang diusahakannya sesuai
dengan ketentuan yang disediakan Tuhan untuk manusia.
Pada Al-Qur‟an terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk
penyebutan manusia, yakni; al-basyar, an-nas, al-insan, dan bani Adam.
Istilah penyebutan tersebut didasari atas perbedaan manusia dengan
makhluk-makhluk Allah lainnya baik dalam hal bentuk, serta potensi-
potensi yang dianugerahkan pada diri manusia, seperti akal pikiran, kalbu
dan juga nafsu yang berguna untuk mempelajari dan memahami alam
semesta.
Setelah manusia terlahir di dunia, meski ia terlihat lemah dan tak
berdaya. Namun, sebenarnya sudah terdapat potensi-potensi atau fitrah
yang terdapat di dalam dirinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Samsul
Nizar, bahwa dalam hal proses penciptaannya, manusia merupakan
makhluk Allah yang paling sempurna, ia telah dianugerahkan dengan
berbagai fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Dalam perspektif
pendidikan Islam fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang
menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi
kekuatan hidup, kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual
(agama).14Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan saling terkait satu
sama lain (integral).
Dalam Al-Qur‟an kata fitrah dinukilkan Allah SWT. dalam surat ar-
Ruum ayat 30:
14
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 135
43
15
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), Jilid 7, h. 5516
16
Ibid, h. 5515
17
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 76.
18
Samsul Nizar, op. cit., h. 136
44
19
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, op. cit., h. 4665-4667
20
A. Susanto, op. cit., h. 41
45
21
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid XIV. op. cit., h. 274
22
A. Susanto, op. cit., h. 64
46
1) Jasad
Menurut Hamka, jasad (jism) manusia merupakan tempat di mana
jiwa (al-qalb) berada, meskipun jiwa merupakan tujuan utama bagi
manusia, namun tanpa jism, jiwa tidak akan berkembang secara
sempurna. Melalui wasilah jism, jiwa manusia akan berkembang secara
sempurna.
Begitu juga Menurut Zakiah Daradjat, “Dimensi fisik merupakan
dimensi yang mempunyai bentuk dan terdiri dari seluruh perangkat:
badan, kepala, kaki, tangan, dan seluruh anggota luar dan dalam, yang
diciptakan oleh Allah dalam bentuk dan kondisi yang sebaik-baiknya.
Bahkan manusia adalah makhluk Allah yang paling baik.”23
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat at-Tin ayat 4:
23
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV Ruhama,
1995), Cet. 2, h. 2
47
dengan kaum wanita yang cenderung lebih lemah. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang perawatan tubuh mutlak diperlukan oleh setiap
manusia agar dapat menjalani tugas dan aktivitas kehidupannya dengan
baik.
Menurut Hamka, terdapat dua cara yang dapat ditempuh manusia
untuk memelihara tubuhnya, yaitu: pertama, sederhana dalam makan
dan minum. Kedua, mengetahui ilmu kesehatan. Memelihara
kesehatan tubuh adalah penting. Jika tubuh tidak sehat, hanya akan
memengaruhi aspek diri manusia yang lainnya, yaitu kesehatan akal,
bahkan akhirnya akan berdampak pada kesehatan busi (akhlak).24
24
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 40
25
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 19
48
26
A. Susanto, op. cit., h. 57
27
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 40-41
49
28
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 123
29
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 5
30
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008),
h. 385
50
31
Hamka, Filsafat Ketuhanan, (Surabaya: Karunia, 1985), h. 10
32
A. Susanto, op. cit., h. 35
33
Said Isamail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2010), Cet. I, h. 69
34
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 7
51
35
Samsul Nizar, Memperbincangkan…, op. cit., h. 125
36
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 230
37
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 9
52
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua
telah mendidikku di waktu aku kecil".
38
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz I,op. cit., h. 156
53
sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu segi saja, seperti segi akidah,
ibadah atau akhlaknya saja, melainkan mencakup seluruhnya; bahkan lebih
luas dari semua itu.”42
Jadi, berdasarkan pendapat yang dikemukakan penulis di atas,
pendidikan Islam adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh pendidik
kepada peserta didik, baik dalam hal mengisi intelektual peserta didik dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan dan agama, juga dalam hal menanamkan
nilai-nilai moral dan kebaikan kepada mereka. Sehingga diharapkan setelah
mengenyam pendidikan ini para peserta didik akan mampu bersikap baik dan
positif.
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka,
bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang
layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal
Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari
keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian,
manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.43
42
Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Fak Tarbiyah Iain
Gunung Djati, 1995). h. 98-99
43
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 54
55
44
Ibid, h. 197
45
A. Susanto, op. cit., h. 66
46
Baharuddin, Umiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam Historisitas dan
Implikasi pada Masyarakat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h. 145
56
Dalam hidup ini, menurut Hamka terdapat dua prinsip dasar yang
dapat menunjang dan menjadikan kemajuan dan kejayaan manusia, yaitu
prinsip keberanian dan prinsip kemerdekaan berpikir. Kedua prinsip ini
menimbulkan berbagai macam pengetahuan dan tanpa keduanya ilmu
pengetahuan tidak pernah muncul serta kejayaan manusia hanya berada
dalam angan-angan. Berdasarkan prinsip tersebut Hamka membagi
materi pendidikan Islam dalam empat macam, yaitu:
1) Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqh, tafsir, hadis, nahwu, bayan,
mantiq, akhlak, dan sebagainya. Menurut Hamka melalui muatan
materi keagamaan, diharapkan akan menjadi alat kontrol sekaligus
ikut mewarnai pembentukan kepribadian peserta didik.48 Seyogyanya
dalam setiap lembaga pendidikan selalu mengedepankan muatan
materi pendidikan keagamaan, namun, bukan sebatas mengajar, akan
tetapi mendidik agar didapat pengetahuan agama yang mendalam.
2) Ilmu-ilmu umum, menurut Hamka seperti ilmu sejarah, filsafat,
kesusateraan, ilmu hitung, ilmu bumi, ilmu falak, ilmu tubuh, ilmu
jiwa, ilmu masyarakat, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu pemerintahan,
dan lain sebagainya.49 Dengan ilmu-ilmu tersebut diharapkan manusia
akan mampu memperluas wawasan berpikirnya guna menyelidiki dan
menganalisa ayat-ayat Tuhan di semesta alam ini dan membangun
peradaban yang rahmatan lil „alamin sebagai bentuk
pengejawantahannya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
3) Keterampilan praktis, menurut Hamka seperti baris berbaris akan
menjadikan peserta didik hidup lebih teratur dan bisa di atur. Selain
itu kegiatan seperti memanah, berperang, berenang, berkuda akan
membuat tubuh peserta didik menjadi sehat dan kuat.50 Namun dalam
47
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 203
48
Ibid., h. 204
49
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 192-193
50
______, Falsafah Hidup, (Medan: Pustaka Islamiyah, 1950), h. 75
57
54
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 13
55
Ibid, h. 190
59
d. Peserta didik
Pendidikan ada karena faktor manusia yang butuh kepada ilmu-ilmu
pengetahuan agar mereka dapat menjalani hidup dengan baik, dengan
cara mewarisi pengetahuan dan budaya yang telah dimiliki oleh para
generasi sebelumnya. Para pengenyam pendidikan inilah yang disebut
dengan peserta didik.
Menurut Fadhilah Suralaga, dkk, dalam sistem pendidikan, peserta
didik sering dikenal dengan istilah murid yang berasal dari bahasa Arab
arada-yuridu-iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan
(the willer). Dalam bahasa Arab terdapat dua istilah lagi, yakni; tilmidz
56
A. Susanto, op. cit., 60
57
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), Cet. I, h. 264
60
dan thalib, kata tilmidz sering diidentikkan dengan murid yang belajar di
madrasah, sedangkan kata thalib lebih menggambarkan perilaku aktif,
mandiri dan kreatif yang tidak terlalu banyak bergantung pada guru.58
“Menurut Hamka, hidup adalah cita-cita. Cita-cita menjadikan
manusia untuk senantiasa berjuang mempertahankan eksistensinya agar
tercapai apa yang dituju dengan sempurna.”59 Pernyataan ini erat
kaitannya dengan pengertian peserta didik, peserta didik mestilah
seseorang yang memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, sedang alat yang
dipergunakan untuk mencapainya tak lain adalah melalui proses
pendidikan.
Menurut M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Anak
didik adalah mahkhluk yang sedang dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah optimal
kemampuannya fitrahnya.”60
Berdasarkan pandangan di atas, peserta didik dapat diartikan sebagai
seseorang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan
dan pengarahan guna mengoptimalkan potensi dalam dirinya, dan untuk
mencapai hal tersebut dibutuhkan usaha dan semangat yang tinggi.
Dalam menjelaskan sikap yang harus dimiliki seorang peserta didik,
Hamka mengutip firman Allah surat Al-Isra‟ ayat 24:
58
Fadhillah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN
Jakarta Pres, 2005), Cet. I, h. 111-112
59
Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., h. 252-253
60
Abuddin Nata, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 131
61
61
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 181
62
62
Mohammad Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 179
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
65
66
B. Implikasi
1. Manusia merupakan makhluk materi sekaligus immateri yang berarti
terdiri dari aspek jasmani dan rohani, oleh karena itu pendidikan yang
dilaksanakan seyogyanya juga mengedepankan kedua aspek tersebut
(integral). Ilmu yang diberikan haruslah yang dapat memuaskan dahaga
akal dan jiwa (agama), agar manusia dapat menemukan kebenaran hakiki
sekaligus mencapai makna kebahagiaan yang sesungguhnya.
2. Dalam Al-Qur’an dijelaskan secara tegas bahwa tujuan penciptaan
manusia adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, maka
dengan sebab tugasnya tersebut manusia memiliki peran sebagai khalifah
dan ‘abd Allah di muka bumi ini. Allah juga menganugerahi manusia
dengan potensi (akal, jiwa, jasad) untuk membantu mereka dalam
melaksanakan tugasnya tersebut, dan untuk mengoptimalkan potensi-
potensi tersebut maka pendidikan Islam sebagai sarana haruslah
merupakan sebuah upaya yang diarahkan untuk mengembangkan ketiga
potensi tersebut agar manusia dapat bermanfaat bagi dirinya dan juga
lingkungan sekitarnya.
67
C. Saran
68
69
Soejono, Ag. Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1. Bandung: C.V. Ilmu,
Cet. X, 1978.
Susilo, Madyo Eko, dan Kasihadi, RB. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara, 2001.
Syam, Mohammad Nor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Tafsir, Ahmad. Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fak
Tarbiyah Iain Gunung Djati, 1995.
Halaman Halaman
No. Footnote/Referensi Paraf
Buku Skripsi
1. Ali, Yunasril. Maru,sia Citra 80 t6
Ilahi Pengembangan Konsep
Insan Kamil lbn 'Arabi oleh Al-
-l
Jili. Jakarta: Paramadina, 1997 .
,,
_) Mohammad Daud. 385 51
Pendidikan Agama Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,2008.
4.
Al-Kautsar, Cet. I, 2010.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan 13, 14 13, 14
7
Islam. Jakarta: Bina Aksara,
1987.
Cet.II. 2009.
8. Daradjat, Zakiah. Pendidikan 21 5r 7, 19 47, 48,50,52
CeLI, 1995.
10. Djuned, Daniel. Antropologi Al- 88 t2
2011.
11. Hamka. Falsafah Hi&.p. 75,252-253 58,62
Medan: Pustaka Islamiyah,
1950.
12. Filsafat Ketuhanan. 10 51
Republik,2013.
14. Lembaga Hifutp. 2,13,30, 40, 43, 48. 50,
41, 54, 181, 53, 56, 57,
Jakarla: Dj ajamurni, 1962.
190,,201-202, 58, 60, 63
203 I
15. Pandangan Hidup 80, 192-193 58, 59
17.
Hamka. Jakarla: Pustaka Panji
Mas, 1989.
Tafsir Al-Azhar.
Jakarla: Pustaka Panjimas, 1998.
98-99, 156, 44, 45, 48,
202, 274, 53, 54, 55
4036-4037,
l
4665, 4667,
5515,5516
18. Tasawuf Modern. 123 50
Jakarta: Pustaka Paniimas, 1990.
19. Irfan, Mohammad, dan HS, 55 10
26.
t997.
.
LU,
Tokoh-Tokoh 9,83 61 53
29.
2008.
Pengantar 135 43
I
Dasar-Dasar Pemikiran
Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya
30.
Media Pratama,2001.
I.R. Marutsia
Poedjawijatna, 67 20
I
dengan Alamnya (Filsofat
Manusia). Jakarta: Bina Aksara,
Cet. III, 1983.
34.
Sejarah Indonesia di Abad 20.
Jakarta: PT. Buku Kita, Cet.
2007.
ke-L.
20
I
Bandung: C.V. Ilmu, Cet. X,
t978.
35. Sucipto, Hery. Tajdid 158 40
Muhammadiyah. Jakarta:
Grafindo,2005.
36. Sugiyono, Metode Penelitian 309 31,32
Pendidikan Kuantitatif,
I
hrulitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta,2012.
37. Suhafto, Toto. Filsofat 82, 93, 91, 2,, 17, 18, 19,
Pendidikan Islam. Jogjakarla:
85, 96, 116 21, 22,, 23,,
24,26,27
Ar-Ruzz Media, 2011.
38. Suralaga, Fadhilah, dkk. 11, 17, 111- 5, llr 62
40.
Pendidikan Islam.
Amzah.2009.
Susilo, Madyo Eko,
Jakarta:
dan
65,66,57,76
18
49,51,55, 56
25
I
Kasihadi, RB. Dasar-Dasar
Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara,200l.
41. Syam, Mohammad Nor. Filsafat 179
Drs.-\_
Abdul Haris, M.As
NIP: 19660901 199503 1 001